Al-Fatihah Ayat 7 Artinya: Mengungkap Makna Jalan Lurus dan Perlindungan Ilahi

Ilustrasi Jalan Lurus Sebuah ilustrasi grafis yang menampilkan jalan lurus yang terang benderang menuju cakrawala yang cerah, diapit oleh dua jalan bercabang yang lebih gelap dan berliku, melambangkan panduan dan kesesatan.

Ilustrasi Jalan Lurus (Shiratal Mustaqim) yang terang, diapit oleh jalan-jalan kesesatan yang gelap.

Surah Al-Fatihah, yang juga dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Quran) atau Ummul Quran (Induk Kitab Suci), merupakan surah pembuka dalam Al-Quran yang memiliki kedudukan sangat istimewa. Setiap Muslim wajib membacanya dalam setiap rakaat shalatnya, menunjukkan betapa sentralnya surah ini dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari. Ia adalah pondasi doa, pujian, dan permohonan yang mengikat hamba dengan Tuhannya.

Ayat ketujuh dari Surah Al-Fatihah adalah puncak dari permohonan seorang hamba kepada Allah SWT setelah sebelumnya memuji, mengagungkan, dan menyatakan ketundukan serta ketergantungan penuh kepada-Nya. Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup, melainkan inti sari dari seluruh Surah Al-Fatihah, bahkan boleh dikatakan inti dari seluruh ajaran Islam itu sendiri: pencarian dan penjagaan atas Jalan yang Lurus.

Pemahaman mendalam tentang makna Al-Fatihah ayat 7, yakni "Shiratal Mustaqim" (Jalan yang Lurus), "Ghairil Maghdubi Alaihim" (bukan jalan mereka yang dimurkai), dan "Waladh Dhallin" (dan bukan pula jalan mereka yang sesat), adalah kunci untuk memahami esensi hidayah dan cara meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap frasa dalam ayat ini, menelusuri tafsir para ulama, implikasinya dalam kehidupan modern, serta relevansinya bagi setiap Muslim yang merindukan bimbingan Ilahi.

Ayat Ketujuh Al-Fatihah: Teks Arab, Transliterasi, dan Terjemah

Berikut adalah lafaz Arab, transliterasi, dan terjemahan dari Surah Al-Fatihah ayat 7:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Shiroṭol-lażīna an'amta 'alaihim ghoiril-maghḍụbi 'alaihim wa laḍ-ḍāllīn.

Artinya: (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Ayat ini datang sebagai penjelasan atau tafsir dari ayat sebelumnya, "Ihdinas Shiratal Mustaqim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ia menjelaskan siapa 'orang-orang yang telah Engkau beri nikmat' dan siapa 'mereka yang dimurkai' serta 'mereka yang sesat', sehingga kita bisa memahami dengan jelas apa itu Jalan Lurus dan bagaimana cara menghindar dari jalan yang menyimpang.

Jalan yang Lurus: Shiratal Mustaqim

Frasa "Shiroṭol-lażīna an'amta 'alaihim" adalah inti permohonan kita kepada Allah. Ini adalah doa untuk dituntun menuju Jalan yang Lurus yang telah ditempuh oleh mereka yang mendapatkan nikmat dan karunia Allah.

Siapa Mereka yang Diberi Nikmat?

Al-Quran sendiri menjelaskan siapa saja golongan yang dimaksud dalam frasa ini. Surah An-Nisa ayat 69 menyebutkan:

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا

Artinya: Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Para Nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang benar), para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.

Dari ayat ini, kita memahami bahwa "orang-orang yang diberi nikmat" adalah empat golongan utama:

  1. Para Nabi (An-Nabiyyin): Mereka adalah utusan Allah yang menerima wahyu dan menjadi pembawa risalah kebenaran. Jalan mereka adalah jalan ketundukan total, kesabaran dalam berdakwah, dan kepemimpinan yang adil.
  2. Para Siddiqin (Ash-Shiddiqin): Mereka adalah orang-orang yang sangat jujur dan membenarkan sepenuhnya kebenaran yang dibawa para Nabi. Contoh terbaik adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang keimanannya tak tergoyahkan bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun. Mereka memiliki kejujuran lisan dan perbuatan, serta konsisten dalam membenarkan Allah dan Rasul-Nya.
  3. Para Syuhada (Asy-Syuhada'): Mereka adalah orang-orang yang bersaksi dengan jiwa raga mereka untuk menegakkan agama Allah, hingga gugur di jalan-Nya. Mereka adalah simbol pengorbanan tertinggi demi kebenaran.
  4. Para Shalihin (Ash-Shalihin): Mereka adalah orang-orang saleh, yang hidupnya diisi dengan amal kebajikan, ketaatan, menjauhi larangan, dan selalu berusaha memperbaiki diri serta lingkungan sekitarnya. Mereka adalah mayoritas umat yang berpegang teguh pada syariat Allah.

Memohon petunjuk kepada jalan mereka berarti memohon agar kita diberikan kekuatan, keteguhan hati, dan kemampuan untuk meneladani sifat-sifat mulia mereka. Ini adalah sebuah permohonan yang sangat komprehensif, mencakup aspek akidah (keyakinan), ibadah, akhlak, dan muamalah (interaksi sosial).

Makna Filosofis Shiratal Mustaqim

Shiratal Mustaqim bukanlah sekadar jalan fisik, melainkan jalan hidup yang menyeluruh. Ia mencakup:

Jalan ini adalah jalan yang jelas, tidak berliku, tidak bercabang, dan langsung menuju kepada Allah SWT. Ia adalah jalan yang aman dari keraguan, kesesatan, dan murka. Memohon petunjuk kepada jalan ini adalah pengakuan akan kelemahan diri dan ketergantungan penuh kepada bimbingan Ilahi.

Dalam konteks modern, menjaga Shiratal Mustaqim berarti menghadapi godaan materialisme, ideologi yang menyimpang, dan gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini adalah perjuangan terus-menerus untuk menjaga hati, pikiran, dan tindakan agar tetap sejalan dengan ajaran Ilahi.

Menghindari Jalan yang Dimurkai: Ghairil Maghdubi Alaihim

Setelah memohon petunjuk ke Jalan Lurus, ayat ini melanjutkan dengan permohonan agar kita dijauhkan dari "Ghoiril-maghḍụbi 'alaihim", yaitu bukan jalan mereka yang dimurkai oleh Allah SWT.

Siapa Mereka yang Dimurkai?

Para ulama tafsir secara umum menafsirkan golongan ini sebagai kaum Yahudi. Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat dan karakteristik kaum Yahudi dalam Al-Quran. Mereka adalah kaum yang telah diberikan ilmu dan petunjuk yang jelas dari Allah, tetapi mereka memilih untuk menolak kebenaran tersebut, mengingkari janji, berbuat kerusakan, bahkan membunuh para nabi. Mereka memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, bahkan menyalahgunakannya untuk kepentingan duniawi dan kesombongan.

Ciri-ciri mereka yang dimurkai Allah:

Namun, penting untuk diingat bahwa penafsiran ini tidak eksklusif hanya untuk Yahudi. Istilah "mereka yang dimurkai" adalah istilah umum yang mencakup siapa saja, dari umat mana pun, yang memiliki ciri-ciri tersebut. Yaitu, orang yang mengetahui kebenaran tetapi sengaja menolaknya, melanggarnya, atau menyalahgunakannya demi keuntungan pribadi, kesombongan, atau kebencian. Ini adalah jalan orang-orang yang *tahu* apa yang benar tapi memilih untuk *tidak melakukannya*.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat manifestasi dari "mereka yang dimurkai" pada orang-orang yang mengetahui hukum-hukum Allah, memahami larangan-Nya, namun dengan sengaja melanggar atau meremehkannya. Misalnya, seorang Muslim yang tahu bahwa riba itu haram namun tetap terlibat di dalamnya, atau seseorang yang tahu pentingnya shalat namun sengaja meninggalkannya karena malas atau meremehkan.

Doa ini adalah permohonan agar hati kita tidak menjadi seperti mereka, yang bebal terhadap kebenaran meskipun telah menyaksikannya, dan agar kita dijauhkan dari sikap membangkang dan kesombongan spiritual.

Menghindari Jalan yang Sesat: Waladh Dhallin

Setelah permohonan untuk tidak mengikuti jalan yang dimurkai, ayat ini ditutup dengan permohonan untuk dijauhkan dari "Wa laḍ-ḍāllīn", yaitu bukan pula jalan mereka yang sesat.

Siapa Mereka yang Sesat?

Secara umum, para ulama menafsirkan golongan ini sebagai kaum Nasrani (Kristen). Hal ini juga didasarkan pada riwayat dan penggambaran kaum Nasrani dalam Al-Quran. Mereka adalah kaum yang memiliki keimanan dan niat beribadah, namun tanpa ilmu yang memadai, sehingga mereka tersesat dari jalan yang benar. Mereka melakukan perbuatan baik namun berdasarkan pemahaman yang keliru atau bid'ah yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ciri-ciri mereka yang sesat:

Sama seperti golongan yang dimurkai, istilah "mereka yang sesat" juga tidak eksklusif hanya untuk Nasrani. Ia mencakup siapa saja, dari umat mana pun, yang memiliki ciri-ciri tersebut. Yaitu, orang yang ingin berbuat baik, ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, namun karena kebodohan atau kekurangan ilmu, mereka melakukan kesesatan atau penyimpangan. Ini adalah jalan orang-orang yang *tidak tahu* apa yang benar, sehingga mereka *melakukan kesalahan tanpa sengaja*.

Dalam konteks umat Islam, kita juga bisa tersesat jika beribadah atau beramal tanpa ilmu yang benar. Contohnya adalah melakukan bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak ada dasarnya dalam syariat), atau meyakini hal-hal yang bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah karena kurangnya pengetahuan agama, meskipun dengan niat yang tulus. Ada pula fenomena di mana sebagian Muslim terjebak dalam praktik-praktik spiritual yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni karena kurangnya bimbingan dan pemahaman.

Doa ini adalah permohonan agar Allah menjauhkan kita dari kebodohan dan agar kita senantiasa diberikan ilmu yang benar serta pemahaman yang lurus dalam beragama, sehingga amal ibadah kita diterima dan tidak sia-sia.

Mengapa Keduanya Disebutkan dalam Doa?

Penyebutan kedua golongan ini dalam ayat 7 Al-Fatihah, setelah permohonan Jalan Lurus, memiliki hikmah yang sangat mendalam:

  1. Peringatan dari Dua Bentuk Penyimpangan: Ayat ini mengajarkan kita bahwa ada dua jenis penyimpangan utama dari Jalan Lurus:
    • Penyimpangan karena Kesombongan dan Penolakan Ilmu (Jalan yang Dimurkai): Mereka tahu kebenaran tetapi tidak mengikutinya. Ini adalah dosa karena kesengajaan dan pembangkangan.
    • Penyimpangan karena Ketidaktahuan dan Kelebihan dalam Beragama (Jalan yang Sesat): Mereka ingin berbuat baik tetapi tanpa ilmu yang benar, sehingga tersesat. Ini adalah dosa karena kebodohan dan kelalaian.
    Seorang Muslim harus berusaha menghindari kedua ekstrem ini. Kita harus memiliki ilmu yang benar (agar tidak sesat) dan mengamalkan ilmu tersebut dengan ikhlas (agar tidak dimurkai).
  2. Keseimbangan dalam Beragama: Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan (wasathiyah). Doa ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu kaku dan dogmatis (seperti Yahudi yang dimurkai) dan tidak pula terlalu longgar atau berlebihan hingga menyimpang (seperti Nasrani yang sesat). Kita harus berpegang pada kebenaran dengan ilmu dan amal yang seimbang.
  3. Pengakuan atas Kebutuhan Bimbingan Allah: Dengan memohon dijauhkan dari kedua jalan ini, seorang hamba mengakui bahwa tanpa bimbingan langsung dari Allah, ia bisa saja jatuh ke dalam salah satu penyimpangan tersebut. Ini menegaskan bahwa hidayah sepenuhnya ada di tangan Allah.
  4. Pengajaran tentang Pentingnya Ilmu dan Amal: Ayat ini secara implisit menekankan bahwa ilmu tanpa amal adalah kosong (jalan yang dimurkai) dan amal tanpa ilmu bisa menyesatkan (jalan yang sesat). Keduanya harus berjalan beriringan.

Al-Fatihah sebagai Doa Komprehensif

Surah Al-Fatihah secara keseluruhan, dan khususnya ayat ketujuh, adalah doa yang paling komprehensif dan fundamental dalam Islam. Setelah memulai dengan pujian kepada Allah (ayat 1-3), pengakuan atas keesaan-Nya dalam beribadah dan memohon pertolongan (ayat 4), kemudian permohonan utama untuk ditunjuki Jalan yang Lurus (ayat 5-6), maka ayat 7 menjadi penjelasan detail tentang Jalan Lurus tersebut dan dua jalan lain yang harus dihindari. Ini adalah penegasan, "Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus itu, yaitu jalan yang Engkau ridhai, bukan jalan kesesatan yang akan mengundang murka-Mu."

Hubungan Al-Fatihah dengan Seluruh Al-Quran

Para ulama menyatakan bahwa Al-Fatihah adalah "Ummul Kitab" karena ia merangkum seluruh isi Al-Quran. Ayat 7 secara khusus adalah cerminan inti dari ajaran Al-Quran: petunjuk (hidayah). Seluruh Al-Quran adalah penjelasan tentang Shiratal Mustaqim, dan memperingatkan dari jalan yang dimurkai serta jalan yang sesat. Setiap kisah, setiap hukum, setiap peringatan dalam Al-Quran pada dasarnya adalah rincian dari permohonan yang terkandung dalam ayat ini.

Misalnya, kisah para nabi dalam Al-Quran adalah contoh konkret dari "orang-orang yang Engkau beri nikmat". Kisah tentang kaum Fir'aun, kaum 'Ad, Tsamud, atau Bani Israil yang membangkang adalah contoh dari "mereka yang dimurkai". Sementara itu, kisah-kisah tentang penyimpangan akidah atau ritual tanpa dasar ilmu adalah peringatan dari "mereka yang sesat".

Setiap kali seorang Muslim membaca Al-Fatihah dalam shalat, ia sedang memperbarui janji dan permohonannya kepada Allah untuk tetap berada di Jalan Lurus ini, dan untuk dijauhkan dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan. Ini adalah bentuk refleksi dan muhasabah (introspeksi) diri yang terus-menerus.

Implikasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Memahami makna Al-Fatihah ayat 7 memiliki implikasi praktis yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim:

  1. Pentingnya Mencari Ilmu Syar'i: Untuk menghindari jalan yang sesat (Dhallin), seorang Muslim wajib untuk terus belajar agama, memahami Al-Quran dan Sunnah, serta merujuk kepada ulama yang kompeten. Ilmu adalah pelita yang menerangi jalan, agar kita tidak beribadah atau berkeyakinan berdasarkan asumsi atau tradisi yang keliru.
  2. Pentingnya Amal dengan Ilmu dan Ikhlas: Untuk menghindari jalan yang dimurkai (Maghdubi Alaihim), ilmu yang dimiliki harus diikuti dengan amal yang ikhlas dan konsisten. Mengetahui kebenaran namun enggan melaksanakannya adalah ciri mereka yang dimurkai. Sebaliknya, seorang Muslim harus berusaha mengamalkan setiap ilmu yang ia dapatkan, dan menjauhi segala larangan Allah.
  3. Tafakkur dan Muhasabah Diri: Setiap kali membaca ayat ini, hendaknya seorang Muslim merenungkan posisinya. Apakah ia sudah berada di Jalan Lurus? Apakah ada potensi dirinya terjerumus ke dalam kesombongan ilmu atau kebodohan yang menyesatkan? Doa ini menjadi pengingat untuk terus memperbaiki diri.
  4. Toleransi dan Sikap Moderat (Wasathiyah): Pemahaman terhadap dua golongan yang menyimpang ini membantu Muslim untuk tidak ekstrem. Kita tidak boleh menjadi jumud (kaku) dan menghakimi semua orang seperti Yahudi, pun tidak boleh menjadi terlalu liberal hingga mengorbankan prinsip agama seperti beberapa pandangan Nasrani yang menyimpang dari ajaran asli. Islam mengajarkan jalan tengah, jalan keseimbangan.
  5. Ketergantungan Penuh kepada Allah: Doa ini mengingatkan bahwa hidayah adalah karunia Allah. Kita bisa berusaha sekuat tenaga, tetapi tanpa pertolongan-Nya, kita bisa saja tersesat. Oleh karena itu, tawakal dan berdoa adalah kunci.
  6. Menjadi Contoh yang Baik: Dengan berusaha meneladani "orang-orang yang diberi nikmat", seorang Muslim diharapkan menjadi pribadi yang saleh, jujur, berilmu, dan berakhlak mulia, sehingga ia sendiri bisa menjadi contoh Shiratal Mustaqim bagi orang lain.

Peran Ayat 7 dalam Membentuk Karakter Muslim

Ayat 7 Al-Fatihah memiliki peran fundamental dalam membentuk karakter seorang Muslim yang sejati. Ini bukan sekadar doa, melainkan sebuah kompas moral dan spiritual yang memandu setiap langkah kehidupan:

Aamiin Setelah Ayat Ketujuh

Setelah selesai membaca Surah Al-Fatihah, khususnya ayat ketujuh, disunahkan bagi kita untuk mengucapkan "Aamiin". Mengucapkan Aamiin setelah doa adalah tanda pengharapan agar doa tersebut dikabulkan. "Aamiin" berarti "Ya Allah, kabulkanlah (doa kami)".

Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Apabila imam mengucapkan 'Amin', maka ucapkanlah 'Amin' pula. Karena sesungguhnya siapa yang ucapannya 'Amin' bertepatan dengan ucapan 'Amin' malaikat, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan betapa besar keutamaan mengucapkan Aamiin setelah Surah Al-Fatihah, terutama dalam shalat berjamaah. Ini adalah momen di mana doa seluruh jamaah, dipimpin oleh imam, naik ke langit, dan diharapkan bertepatan dengan doa para malaikat, sehingga Allah mengampuni dosa-dosa.

Pengucapan Aamiin juga menggarisbawahi keseriusan dan ketulusan kita dalam memohon kepada Allah agar dikaruniai Shiratal Mustaqim dan dijauhkan dari jalan kesesatan dan kemurkaan.

Tantangan Menjaga Shiratal Mustaqim di Era Modern

Di era globalisasi dan informasi yang serba cepat ini, tantangan untuk menjaga Shiratal Mustaqim menjadi semakin kompleks. Berbagai ideologi, gaya hidup, dan informasi yang simpang siur dapat dengan mudah menggoyahkan iman seseorang jika tidak memiliki fondasi yang kuat.

  1. Banjir Informasi dan Misinformasi: Internet dan media sosial membanjiri kita dengan informasi, termasuk yang berkaitan dengan agama. Tanpa filter dan pemahaman yang benar, seseorang bisa saja terjebak dalam pemahaman agama yang ekstrem, liberal, atau bahkan sesat, tanpa sadar. Ini adalah bentuk modern dari "Dhallin" yang disebabkan oleh kurangnya ilmu dan sumber yang valid.
  2. Materialisme dan Konsumerisme: Godaan duniawi yang kuat, seperti keinginan untuk kekayaan, jabatan, dan kenikmatan materi, dapat mengalihkan fokus dari Shiratal Mustaqim. Prioritas hidup bergeser dari ketaatan kepada Allah menjadi pengejaran nafsu duniawi semata, yang bisa mengarah pada "Maghdubi Alaihim" karena mengabaikan hukum-hukum Allah demi kepentingan dunia.
  3. Ideologi Menyimpang: Munculnya berbagai ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti ateisme, sekularisme ekstrem, atau paham-paham radikal, menuntut umat Muslim untuk memiliki pemahaman akidah yang kuat agar tidak terpengaruh dan tetap teguh di Jalan Lurus.
  4. Tekanan Sosial dan Budaya: Lingkungan sosial dan budaya yang terkadang tidak Islami dapat menjadi tekanan bagi seorang Muslim untuk berkompromi dengan nilai-nilai agamanya. Dibutuhkan kekuatan karakter dan keimanan untuk tetap istiqamah.
  5. Kurangnya Pembimbing yang Autentik: Di tengah banyaknya "ustaz" atau "influencer" agama di media sosial, penting untuk dapat membedakan mana pembimbing yang benar-benar berilmu dan sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, agar tidak jatuh ke dalam kesesatan.

Oleh karena itu, doa Al-Fatihah ayat 7 menjadi semakin relevan. Ini adalah permohonan yang tak lekang oleh waktu, menjadi pegangan di tengah gejolak zaman, memohon perlindungan dari segala bentuk penyimpangan dan kesesatan yang mungkin muncul dalam bentuk baru.

Penutup: Janji Hidayah bagi yang Memohon

Ayat ketujuh dari Surah Al-Fatihah adalah puncak dari doa dan permohonan kita kepada Allah. Ini adalah pengakuan bahwa kita, sebagai hamba, sangat membutuhkan bimbingan-Nya untuk menjalani hidup ini. Tanpa hidayah dari Allah, manusia sangat mudah tergelincir, baik karena kesombongan ilmu maupun karena kebodohan. Kita memohon agar Allah menuntun kita pada jalan yang benar, jalan yang telah ditempuh oleh para nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin, serta menjauhkan kita dari jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.

Setiap kali kita membaca Al-Fatihah dalam shalat, kita tidak hanya melafazkan ayat-ayat suci, tetapi kita sedang memperbarui ikrar, janji, dan permohonan kita kepada Sang Pencipta. Ini adalah kesempatan emas untuk merenungi makna yang terkandung di dalamnya, mengoreksi arah hidup kita, dan memohon keteguhan hati agar senantiasa berada di Shiratal Mustaqim hingga akhir hayat. Semoga Allah SWT senantiasa mengabulkan doa-doa kita dan menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa berada di Jalan yang Lurus.

🏠 Homepage