Al-Fil tergolong surat Makkiyah, yaitu surat-surat yang diturunkan di Makkah sebelum Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Surat ini merupakan surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 5 ayat yang singkat namun padat makna. Penamaannya diambil dari kata "Al-Fil" (ٱلْفِيلِ) yang berarti "Gajah" yang terdapat pada ayat pertama, merujuk pada peristiwa bersejarah yang menakjubkan: penyerangan Ka'bah oleh pasukan bergajah di bawah pimpinan Abrahah. Peristiwa ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan sebuah manifestasi nyata dari kekuasaan dan perlindungan Allah SWT terhadap rumah-Nya yang suci, Ka'bah, serta menjadi pertanda awal dari era baru kenabian. Meskipun Surah Al-Fil diturunkan jauh setelah peristiwa tersebut, hikmah dan pelajaran di dalamnya sangat relevan dan mendalam, membentuk salah satu pilar keyakinan akan kekuasaan Ilahi dan kebatilan kesombongan manusia.
Surah Al-Fil adalah salah satu mutiara Al-Qur'an yang, meskipun singkat, sarat dengan pesan universal dan pelajaran yang mendalam. Ia seringkali kita dengar dan baca, terutama dalam salat, dan menjadi bagian integral dari hafalan banyak umat Islam karena kemudahan ayat-ayatnya. Namun, di balik kesederhanaan tersebut, tersimpan sebuah narasi epik tentang kekuasaan ilahi yang tak terbatas dan perlindungan-Nya atas kebenaran.
Dalam susunan mushaf, Surah Al-Fil terletak setelah Surah Al-Humazah dan sebelum Surah Quraisy, yang masing-masing memiliki keterkaitan tematik. Surah Al-Humazah mengkritik keras sikap kesombongan, kebanggaan akan harta, dan kebiasaan mencela orang lain, yang merupakan sifat-sifat yang juga dimiliki oleh Abrahah dalam skala yang lebih besar. Sementara itu, Surah Quraisy mengingatkan kaum Quraisy akan nikmat Allah yang besar berupa keamanan dan kemakmuran setelah peristiwa pasukan bergajah, yang memungkinkan mereka untuk berdagang dan berziarah tanpa rasa takut. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an menyampaikan pesan-pesannya dalam sebuah jalinan yang harmonis, memperkuat satu sama lain untuk membentuk pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam.
Surah ini tidak hanya mengukir sebuah peristiwa penting dalam sejarah Jazirah Arab, tetapi juga berfungsi sebagai landasan teologis yang menegaskan supremasi Allah SWT atas segala kekuatan manusia. Ini adalah sebuah pengingat abadi bahwa segala tipu daya dan kekuatan yang dibangun atas dasar kesombongan dan kezaliman, betapapun megahnya, pada akhirnya akan hancur di hadapan kehendak Allah. Pemahaman yang mendalam tentang Surah Al-Fil akan memperkuat iman, menumbuhkan tawakal, dan membentuk karakter Muslim yang rendah hati namun teguh dalam kebenaran.
Surah Al-Fil tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa menyelami latar belakang historis yang menjadi sebab turunnya surat ini, yaitu peristiwa "Tahun Gajah" ('Am al-Fil). Peristiwa luar biasa ini diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 570 Masehi, hanya beberapa saat sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Kisah ini tidak hanya tercatat dalam literatur Islam tetapi juga merupakan bagian dari ingatan kolektif dan tradisi lisan masyarakat Arab pra-Islam, menjadikannya sebuah peristiwa yang tak terbantahkan kebenarannya oleh mereka yang hidup di masa Nabi.
Sosok sentral dalam kisah ini adalah Abrahah al-Ashram, seorang gubernur Kristen dari Yaman yang ditunjuk oleh penguasa Kristen Abyssina (Ethiopia) saat itu. Yaman pada masa itu merupakan wilayah strategis yang memiliki jalur perdagangan penting dan kekayaan sumber daya. Abrahah adalah seorang penguasa yang sangat ambisius, cerdik dalam politik, dan berkeinginan kuat untuk menegakkan dominasinya, baik secara politik maupun ekonomi, di seluruh Jazirah Arab.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Abrahah membangun sebuah gereja yang sangat megah dan indah di Sana'a, ibu kota Yaman, yang dinamainya 'Al-Qulays'. Gereja ini dirancang dengan arsitektur yang menakjubkan dan dihiasi permata serta emas, dengan harapan dapat menarik perhatian masyarakat Arab. Tujuan utama Abrahah adalah mengalihkan arah ziarah dan peribadatan dari Ka'bah di Makkah ke gerejanya di Sana'a. Ia membayangkan Sana'a akan menjadi pusat ziarah, perdagangan, dan keagamaan yang baru, menggeser posisi Makkah yang sudah lama menjadi magnet bagi seluruh kabilah Arab. Hal ini tentu akan membawa keuntungan ekonomi dan politik yang sangat besar bagi kerajaannya.
Namun, upaya Abrahah ini menemui resistensi yang kuat dari masyarakat Arab. Ka'bah bukan sekadar bangunan bagi mereka; ia adalah "Baitullah" (Rumah Allah) yang suci, dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, serta menjadi simbol tradisi dan identitas keagamaan mereka yang telah diwariskan turun-temurun. Meskipun masyarakat Arab pada saat itu masih menganut politeisme, mereka tetap memegang teguh penghormatan terhadap Ka'bah.
Terdapat beberapa riwayat mengenai pemicu kemarahan Abrahah. Salah satu yang paling masyhur adalah tindakan seorang Arab dari suku Kinanah (ada juga yang menyebut dari Banu Fuqaim), yang merasa geram dengan ambisi Abrahah untuk menyaingi Ka'bah. Sebagai bentuk protes dan penghinaan yang ekstrem terhadap gereja Al-Qulays, orang tersebut sengaja masuk ke dalam gereja dan buang hajat di sana. Tindakan ini, yang dianggap sebagai penistaan tempat ibadah, sangat melukai harga diri Abrahah dan memicu kemarahannya yang tak terkendali. Ia merasa kehormatannya dan kehormatan gerejanya telah diinjak-injak.
Api kemarahan Abrahah membara. Ia bersumpah akan membalas penghinaan tersebut dengan menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah. Segera setelah itu, Abrahah memerintahkan persiapan sebuah pasukan militer yang luar biasa besar dan perkasa, yang belum pernah disaksikan oleh Jazirah Arab sebelumnya. Pasukan ini tidak hanya terdiri dari prajurit-prajurit terlatih, tetapi juga dilengkapi dengan gajah-gajah perang yang perkasa. Gajah adalah hewan yang asing dan menakutkan bagi bangsa Arab, yang jarang melihatnya apalagi menggunakannya dalam peperangan. Kehadiran gajah-gajah ini, terutama gajah pribadinya yang terbesar dan terkuat bernama Mahmud, menambah kengerian dan keyakinan Abrahah akan kemenangannya yang mutlak.
Ketika pasukan Abrahah mulai bergerak dari Yaman menuju Makkah, kabar tentang kedatangan mereka menyebar cepat dan menimbulkan ketakutan di antara kabilah-kabilah Arab. Beberapa kabilah berusaha menghadang laju pasukan Abrahah, tidak rela Ka'bah dihancurkan. Salah satu pemimpin Arab yang mencoba melakukan perlawanan adalah Dhu Nafar, dari Yaman sendiri, namun ia dikalahkan dan ditawan oleh pasukan Abrahah. Kemudian, Nuafail bin Habib al-Khath'ami juga mencoba menghalangi, tetapi ia pun bernasib sama; ia dikalahkan, ditawan, dan dipaksa menjadi penunjuk jalan bagi Abrahah karena diancam akan dibunuh.
Dalam perjalanan mereka, pasukan Abrahah juga merampas harta benda dan ternak penduduk setempat sebagai bekal dan untuk melemahkan perlawanan. Di antara ternak yang dirampas adalah sekitar 200 ekor unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad ﷺ, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin suku Quraisy dan tokoh yang sangat dihormati di Makkah.
Menyadari ancaman yang mendekat, Abdul Muththalib, dengan kebijaksanaan dan keberaniannya, pergi menemui Abrahah di perkemahannya yang berada di Mughammash, tidak jauh dari Makkah. Ketika Abdul Muththalib tiba, Abrahah terkesan dengan postur, wibawa, dan keagungan Abdul Muththalib, sehingga ia mengundangnya masuk ke tendanya dan mendudukkannya di sampingnya, sebagai tanda penghormatan.
Abrahah kemudian bertanya kepada Abdul Muththalib, "Apa keperluanmu?" Abdul Muththalib dengan tenang menjawab, "Aku datang untuk menuntut unta-untaku yang kau rampas dikembalikan." Abrahah terkejut mendengar jawaban ini. Ia berkata, dengan nada sedikit meremehkan, "Aku mengira kau datang untuk memohon agar aku tidak menghancurkan rumah yang menjadi agama nenek moyangmu, dan yang menjadi pusat peribadatan serta kehormatan kaummu. Tetapi, kau hanya meminta unta-untamu yang kurampas!"
Abdul Muththalib, dengan ketenangan yang luar biasa dan keyakinan yang mendalam, memberikan jawaban yang monumental: "Aku adalah pemilik unta-unta itu, maka aku bertanggung jawab atasnya. Adapun Ka'bah itu, ia memiliki Pemiliknya sendiri yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan pemahaman yang luar biasa tentang konsep kepemilikan dan perlindungan Ilahi, meskipun Abdul Muththalib pada masa itu masih dalam keadaan musyrik. Ia memahami bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang akan membela dan menjaga rumah-Nya sendiri. Terkesan dengan jawaban ini, Abrahah pun memerintahkan pengembalian unta-unta Abdul Muththalib.
Setelah itu, Abdul Muththalib kembali ke Makkah dan segera memerintahkan seluruh penduduk Makkah untuk mengungsi ke puncak-puncak bukit dan lembah-lembah di sekitar kota. Mereka tidak memiliki kekuatan militer untuk melawan pasukan Abrahah yang sangat besar. Abdul Muththalib kemudian bersama beberapa tokoh Quraisy lainnya, pergi ke Ka'bah. Di sana, mereka berdiri di hadapan bangunan suci itu, memegang kiswah (kain penutup Ka'bah), dan berdoa dengan penuh kerendahan hati serta kepasrahan, memohon pertolongan dan perlindungan Allah SWT dari ancaman Abrahah.
Keesokan harinya, fajar menyingsing, dan pasukan Abrahah bersiap untuk melancarkan serangan terakhir mereka. Abrahah memerintahkan gajah-gajahnya, termasuk gajah Mahmud, untuk bergerak menuju Ka'bah. Namun, sesuatu yang ajaib dan tak terduga terjadi. Ketika gajah Mahmud diarahkan menuju Ka'bah, ia tiba-tiba berhenti, berlutut, dan menolak untuk bergerak maju. Meskipun pawang gajah memukulnya, menusuknya, dan memaksanya, gajah itu tetap bergeming. Anehnya, jika gajah itu diarahkan ke arah lain, seperti ke Yaman atau ke Syam, ia akan bergerak dengan cepat dan mudah. Ini adalah tanda pertama dari campur tangan Ilahi.
Di tengah kebingungan, kekesalan, dan keputusasaan pasukan Abrahah, langit di atas mereka tiba-tiba menjadi gelap. Dari arah laut, muncullah kawanan burung-burung kecil yang jumlahnya sangat banyak, seperti awan yang menutupi langit. Burung-burung ini dalam Al-Qur'an disebut "Ababil" (أَبَابِيلَ), yang diartikan sebagai "berbondong-bondong" atau "berkelompok-kelompok". Setiap burung membawa tiga buah batu kecil: satu di paruhnya dan dua di masing-masing kakinya. Batu-batu ini tidak sembarang batu, melainkan batu-batu yang berasal dari tanah liat yang terbakar (sijjil), yang digambarkan sangat keras dan mematikan.
Kawanan burung Ababil itu kemudian mulai melempari pasukan Abrahah dengan batu-batu tersebut. Setiap batu, meskipun ukurannya kecil, memiliki daya hancur yang luar biasa. Konon, setiap batu yang dijatuhkan mengenai satu prajurit Abrahah, menembus topi besi mereka, menembus tubuh mereka, menghancurkan tulang dan dagingnya hingga porak-poranda. Para prajurit Abrahah jatuh bergelimpangan, tubuh mereka hancur, sebagian bahkan meleleh, seolah-olah tubuh mereka telah dimakan ulat atau sisa makanan ternak yang telah dikunyah dan dibuang. Kekacauan melanda pasukan Abrahah. Mereka mencoba melarikan diri, tetapi sia-sia. Kematian menimpa mereka di setiap sudut.
Abrahah sendiri tidak luput dari azab ini. Ia juga terkena salah satu batu sijjil. Riwayat menyebutkan bahwa tubuhnya mulai hancur dan terkelupas sedikit demi sedikit, jari-jemarinya mulai rontok, dan ia kembali ke Yaman dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Abrahah akhirnya meninggal dunia dalam keadaan yang sangat hina dan mengerikan, tubuhnya luluh lantak. Peristiwa ini menjadi saksi bisu kekuasaan Allah yang tak terbatas, dan menjadi pengingat bagi setiap generasi tentang kebatilan kesombongan serta jaminan perlindungan Ilahi bagi rumah-Nya dan, pada akhirnya, bagi agama-Nya.
Setiap ayat dalam Surah Al-Fil adalah permata yang mengandung makna mendalam, layak untuk ditelaah satu per satu:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Terjemahan: "Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
Ayat pembuka ini diawali dengan pertanyaan retoris "أَلَمْ تَرَ" (Alam tara?), yang secara harfiah berarti "Tidakkah kamu melihat?". Namun, dalam konteks Al-Qur'an, pertanyaan ini tidak terbatas pada penglihatan fisik semata. Ia melampaui itu, merujuk pada pengetahuan yang sudah ada, pemahaman yang mendalam, dan perenungan yang seyogianya dilakukan oleh pendengar. Pertanyaan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan melalui beliau, kepada seluruh umat manusia di setiap zaman. Ini adalah ajakan untuk merenungkan dan mengambil pelajaran dari peristiwa besar yang sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan masyarakat Arab pada masa itu, bahkan mereka yang tidak menyaksikan langsung peristiwa tersebut telah mendengar dan mengetahui detailnya secara luas. Oleh karena itu, frasa ini lebih tepat diartikan sebagai "Tidakkah engkau mengetahui/memahami/merenungkan?"
Frasa berikutnya, "كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ" (kayfa fa'ala rabbuka), sangat penting. Kata "كَيْفَ" (kayfa) yang berarti "bagaimana" menekankan pada cara Allah bertindak. Ini bukan sekadar tindakan biasa, melainkan tindakan yang luar biasa, ajaib, dan di luar jangkauan akal serta perkiraan manusia. Hal ini menunjukkan kekuasaan mutlak Allah SWT yang mampu menghancurkan pasukan perkasa dengan cara yang paling tak terduga dan tidak konvensional. Penggunaan kata "رَبُّكَ" (Rabbuka – Tuhanmu) menggarisbawahi hubungan khusus antara Allah dengan Nabi Muhammad ﷺ dan, secara umum, dengan kaum beriman, bahwa Dia adalah Pelindung dan Penjaga mereka.
"بِأَصْحَابِ الْفِيلِ" (bi ashab al-fil) merujuk pada "pasukan bergajah". Penyebutan ini langsung menunjuk pada identitas pasukan Abrahah yang sangat terkenal dengan gajah-gajah mereka. Kata "ashab" (أَصْحَابِ) secara harfiah berarti "pemilik" atau "pengikut", sehingga "ashab al-fil" berarti "pemilik gajah" atau "pasukan yang menggunakan gajah". Gajah-gajah itu adalah ciri khas dan kekuatan utama mereka, sebuah simbol keperkasaan yang belum pernah ada tandingannya di Jazirah Arab saat itu. Dengan pertanyaan ini, Al-Qur'an secara langsung mengingatkan tentang peristiwa yang tak terlupakan tersebut, yang menjadi bukti nyata kekuasaan Allah dan perlindungan-Nya terhadap Ka'bah.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah bahwa Allah ingin kita menggunakan akal dan hati untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terjadi di masa lalu. Peristiwa Al-Fil bukan hanya cerita dongeng, tetapi fakta historis yang menjadi peringatan dan sumber keyakinan akan kebenaran dan keesaan Allah.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Terjemahan: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?"
Ayat kedua ini melanjutkan pertanyaan retoris dari ayat pertama, memperkuat pesan tentang kekuasaan Allah dan kegagalan rencana musuh-musuh-Nya. "أَلَمْ يَجْعَلْ" (Alam yaj'al?) berarti "Bukankah Dia telah menjadikan?". Ini menegaskan bahwa tindakan ini sepenuhnya adalah kehendak dan kekuasaan Allah, bukan karena faktor kebetulan atau kekuatan lain.
"كَيْدَهُمْ" (kaydahum) adalah kata yang sangat penting di sini, berarti "tipu daya mereka", "strategi jahat mereka", "rencana busuk mereka", atau "persekongkolan mereka". Ini merujuk pada seluruh persiapan militer yang matang, strategi perang yang terencana, jumlah pasukan yang besar, persenjataan yang lengkap, dan tentu saja, gajah-gajah perkasa yang dibawa oleh Abrahah. Semua ini adalah bagian dari "tipu daya" atau siasat perang mereka untuk menghancurkan Ka'bah dan menegakkan dominasi Abrahah.
"فِي تَضْلِيلٍ" (fi tadhlil) adalah inti dari ayat ini, yang berarti "sia-sia", "sesat", "gagal total", "tersesat", atau "kehilangan arah". Allah menjadikan seluruh rencana dan upaya mereka, yang begitu rapi, kuat, dan terlihat tak terkalahkan, menjadi tidak berarti sama sekali. Seolah-olah mereka tersesat dalam perjalanan menuju tujuan mereka, padahal secara fisik mereka sudah hampir sampai di depan Ka'bah. Mereka kehilangan arah, bingung, dan tidak mampu mencapai tujuan mereka. Ini menunjukkan bahwa kekuatan material semata tidak cukup di hadapan kehendak Allah. Tipu daya manusia, sekokoh dan serumit apapun, akan hancur lebur jika bertentangan dengan kehendak Ilahi.
Ayat ini mengajarkan bahwa niat jahat, kesombongan, dan ambisi untuk merusak kebenaran atau tempat suci Allah pasti akan menemui kegagalan dan kesia-siaan. Ini adalah jaminan bagi orang-orang beriman bahwa rencana jahat musuh-musuh Islam, sekuat apapun, tidak akan pernah berhasil jika Allah tidak menghendakinya. Segala upaya manusia yang berlawanan dengan kehendak Tuhan akan berujung pada kehampaan.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
Terjemahan: "Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong,"
Ayat ketiga ini mulai menjelaskan secara spesifik bagaimana Allah menggagalkan tipu daya pasukan Abrahah. "وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ" (Wa arsala 'alayhim) berarti "Dan Dia mengirimkan kepada mereka". Kata "arsala" (أَرْسَلَ – mengirimkan) menunjukkan bahwa ini adalah tindakan aktif dan langsung dari Allah SWT. Ia tidak pasif, melainkan secara sengaja dan langsung campur tangan untuk melindungi rumah-Nya dan mengazab para pelaku kezaliman.
"طَيْرًا أَبَابِيلَ" (tayran ababil) adalah frasa kunci dalam ayat ini yang sering menjadi fokus diskusi dan perenungan. "Tayran" (طَيْرًا) berarti "burung-burung", sebuah bentuk jamak. Sedangkan "Ababil" (أَبَابِيلَ) adalah kata yang unik dalam bahasa Arab, yang tidak memiliki bentuk tunggal yang jelas dan umumnya diartikan sebagai "berkelompok-kelompok", "berbondong-bondong", "berhamburan", atau "dalam kawanan yang tak terhitung jumlahnya". Ini tidak merujuk pada jenis burung tertentu, melainkan pada jumlah, cara kedatangan, dan susunan mereka yang masif dan terorganisir, seperti pasukan udara yang dikirim khusus untuk sebuah misi. Bayangkan ribuan burung kecil yang datang dari segala arah, menutupi langit, membentuk formasi, membawa misi Ilahi.
Pilihan burung sebagai "senjata" Allah adalah sesuatu yang sangat kontras dan mencolok jika dibandingkan dengan kekuatan gajah. Gajah adalah simbol kekuatan, ukuran, kekuasaan militer, dan keperkasaan. Burung, terutama burung kecil, di mata manusia adalah simbol kelemahan, kerentanan, dan tidak berbahaya. Kontras yang tajam ini menunjukkan bahwa Allah tidak memerlukan kekuatan besar atau senjata canggih untuk mengalahkan musuh-Nya. Kekuatan-Nya melampaui segala perbandingan, dan bahkan makhluk terkecil dan terlemah pun dapat menjadi alat kehendak-Nya yang maha dahsyat jika Dia menghendaki.
Ayat ini menegaskan bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bahkan melalui makhluk yang paling lemah sekalipun di mata manusia. Ini menanamkan keyakinan bahwa seorang mukmin harus selalu bertawakkal kepada Allah, karena Dia memiliki cara-cara yang tak terduga dan luar biasa untuk menolong hamba-Nya yang beriman dan menegakkan kebenaran.
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
Terjemahan: "Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang terbakar,"
Ayat keempat ini melanjutkan penjelasan dari ayat sebelumnya, merincikan aksi yang dilakukan oleh burung-burung Ababil. "تَرْمِيهِم" (tarmihim) berarti "mereka melempari mereka". "Mereka" yang pertama merujuk pada burung-burung Ababil, dan "mereka" yang kedua merujuk pada pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka'bah. Kata kerja "رمى" (rama) yang berarti "melempar" menunjukkan tindakan agresif dan efektif.
"بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ" (bi hijaratim min sijjal) adalah deskripsi rinci dari "senjata" yang digunakan oleh burung-burung tersebut. "Hijarah" (حِجَارَةٍ) adalah bentuk jamak dari "hajar" (batu), sehingga berarti "batu-batu". Sedangkan "sijjil" (سِجِّيلٍ) adalah kata yang sangat penting dan telah menjadi objek berbagai tafsiran di kalangan mufasir. Beberapa pandangan tentang "sijjil" meliputi:
Terlepas dari interpretasi detailnya, yang jelas adalah bahwa batu-batu itu, meskipun kecil, memiliki efek yang sangat menghancurkan, jauh melampaui ukuran fisiknya. Setiap batu yang dilemparkan oleh burung-burung itu mengenai satu prajurit, menembus tubuhnya, menghancurkan tulang dan dagingnya hingga porak-poranda. Ini adalah mukjizat yang menunjukkan bahwa kekuasaan Allah dapat menjadikan benda paling kecil sekalipun sebagai senjata paling mematikan jika Dia menghendaki, meniadakan segala logika kekuatan konvensional.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa azab Allah bisa datang dengan cara yang tidak terduga, tidak konvensional, dan sangat mematikan. Ia mengingatkan akan hukuman yang menanti mereka yang berbuat zalim, sombong, dan berani menantang kekuasaan Allah atau mencoba menghancurkan simbol-simbol kebenaran dan kesucian agama.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
Terjemahan: "Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)."
Ayat kelima sekaligus terakhir ini menggambarkan puncak dari intervensi Ilahi dan akibat fatal yang menimpa pasukan Abrahah. "فَجَعَلَهُمْ" (Faja'alahum) berarti "Maka Dia menjadikan mereka". Huruf "fa" (فَ) di awal menunjukkan konsekuensi langsung dan cepat dari tindakan sebelumnya. Ini adalah hasil akhir yang mutlak dari campur tangan Allah.
"كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ" (ka'asfim ma'kul) adalah perumpamaan yang sangat puitis, visual, dan mengerikan, yang secara efektif melukiskan tingkat kehancuran total yang menimpa pasukan bergajah. Mari kita bedah perumpamaan ini:
Jadi, secara keseluruhan, perumpamaan "كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ" menggambarkan pasukan Abrahah yang awalnya gagah perkasa, berhias kekuatan, dan menakutkan, kini telah berubah menjadi puing-puing yang hancur lebur, tubuh mereka tercerai-berai, tak berbentuk, dan tidak berdaya, seperti daun-daun kering yang telah dimakan ulat atau binatang ternak, yang kemudian diinjak-injak dan berserakan menjadi sampah tak bernilai. Ini adalah gambaran visual tentang kehinaan dan kehancuran total bagi mereka yang menentang Allah.
Perumpamaan ini sangat efektif dalam menunjukkan betapa parahnya kehancuran yang menimpa. Dari pasukan yang megah dan menakutkan, mereka berubah menjadi sesuatu yang paling rendah dan tidak berarti, tanpa kehormatan, tanpa kekuatan, dan tanpa jejak yang layak diingat selain kehinaan mereka. Ini menunjukkan bahwa Allah mampu membalikkan kekuatan dan keangkuhan menjadi kehancuran yang paling memalukan.
Pelajaran utama dari ayat ini adalah konsekuensi akhir bagi kesombongan, kezaliman, dan penentangan terhadap kehendak Allah. Tidak peduli seberapa besar kekuatan materi atau kekuasaan yang dimiliki manusia, jika mereka menantang kehendak Allah dan berusaha menghancurkan kebenaran atau simbol-simbol-Nya, mereka akan dihancurkan dengan cara yang paling hina dan mengerikan, menjadi pelajaran bagi generasi setelahnya.
Surah Al-Fil bukan sekadar narasi sejarah belaka; ia adalah sebuah khazanah hikmah dan pelajaran abadi yang sangat relevan bagi umat manusia di setiap zaman, khususnya umat Islam. Kisah ini menegaskan prinsip-prinsip fundamental keimanan dan moralitas:
Pelajaran paling fundamental dan utama dari Surah Al-Fil adalah penegasan mutlak akan kekuasaan Allah SWT yang tidak ada bandingannya. Peristiwa pasukan bergajah secara dramatis menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan di alam semesta ini, sekokoh dan semegah apapun, yang dapat menandingi atau melawan kehendak Allah. Pasukan Abrahah adalah lambang kekuatan militer, kemajuan teknologi perang (pada masanya), dan kesombongan manusia. Mereka membawa gajah-gajah raksasa sebagai simbol dominasi dan intimidasi yang belum pernah ada sebelumnya di Jazirah Arab. Namun, Allah menghancurkan mereka dengan cara yang paling tidak terduga dan tidak konvensional: melalui makhluk yang paling kecil dan dianggap lemah (burung-burung) dan benda-benda sederhana (batu-batu kecil).
Ini mengajarkan kepada kita, di tengah kemajuan teknologi dan klaim manusia atas kontrol alam, bahwa manusia, dengan segala ilmu, teknologi, kekayaan, dan kekuatannya, tetaplah makhluk yang lemah dan fana di hadapan Sang Pencipta. Keangkuhan dan kesombongan hanya akan berujung pada kehancuran dan kenistaan. Kekuasaan Allah melampaui batas-batas logika, perkiraan, dan ekspektasi manusia, menunjukkan bahwa Dia Maha Mampu atas segala sesuatu, mampu mengubah takdir, dan melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan oleh akal manusia. Ini adalah fondasi tauhid yang harus senantiasa dipegang teguh oleh setiap Muslim.
Ka'bah adalah Baitullah, Rumah Allah, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS sebagai pusat ibadah tauhid pertama di muka bumi. Peristiwa Al-Fil adalah demonstrasi nyata dan langsung bagaimana Allah melindungi rumah-Nya dari segala bentuk agresi dan upaya penghancuran. Meskipun pada saat itu masyarakat Makkah masih dalam keadaan musyrik, Allah tetap melindungi Ka'bah karena status dan perannya sebagai rumah suci yang menjadi simbol tauhid, meskipun disalahgunakan oleh sebagian besar dari mereka pada saat itu. Ini menunjukkan betapa agungnya Ka'bah di sisi Allah dan bahwa Dia akan senantiasa menjaganya.
Perlindungan ini juga meluas pada agama-Nya secara keseluruhan. Jika Allah melindungi sebuah bangunan batu dari kehancuran yang nyata, maka sudah pasti Dia akan lebih melindungi agama yang Dia turunkan, yaitu Islam, dari segala upaya untuk menghancurkan atau memadamkan cahayanya. Ini memberi keyakinan yang kokoh kepada umat Islam bahwa Islam akan selalu terjaga dan tidak akan pernah dapat dihancurkan oleh kekuatan manapun, meskipun dihadapkan pada tantangan, fitnah, dan ancaman besar. Setiap upaya untuk merusak atau menghancurkan kebenaran Islam pada akhirnya akan gagal.
Kisah Abrahah adalah cerminan dari kesombongan, keangkuhan, dan kezaliman yang membutakan. Ia ingin menyaingi Ka'bah, mengalihkan pusat ibadah umat, dan memaksakan dominasinya dengan kekuatan militer yang tak tertandingi pada zamannya. Kisahnya menjadi peringatan keras yang berlaku di setiap zaman bahwa kesombongan dan kezaliman, cepat atau lambat, akan berujung pada kehancuran yang hina. Sejarah manusia berulang kali menunjukkan bagaimana kekaisaran besar, penguasa tiran, dan individu yang sombong pada akhirnya jatuh dan hancur karena keangkuhan dan penindasan mereka terhadap kebenaran dan keadilan.
Ini adalah pesan moral yang sangat kuat: manusia harus selalu bersikap rendah hati (tawadhu'), tidak menyombongkan diri atas kekuatan, kekayaan, kedudukan, atau ilmu yang dimiliki, dan menjauhi segala bentuk kezaliman terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan. Sebab, di atas segala kekuatan dan keangkuhan manusia, ada Kekuatan Yang Maha Mengatasi, yang mampu membalas dengan cara yang paling menghinakan.
Sikap Abdul Muththalib yang menyerahkan urusan Ka'bah kepada Pemiliknya (Allah) setelah meminta unta-untanya kembali, adalah contoh tawakkal yang luar biasa. Meskipun ia belum beriman dalam arti Islam yang sempurna, ia memiliki keyakinan mendasar akan adanya kekuatan yang lebih besar yang akan melindungi Ka'bah, sebuah intuisi spiritual yang menembus batas-batas kesyirikan pada masanya. Sikap ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam menghadapi masalah besar atau ancaman yang melebihi kemampuan dan daya upaya kita, setelah melakukan ikhtiar semaksimal mungkin, kita harus menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Tawakkal bukanlah berarti pasif dan tidak melakukan apa-apa, melainkan sebuah keyakinan kuat bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berusaha dan bertawakkal, bahkan dengan cara-cara yang tak terduga dan di luar nalar manusia. Ini adalah sumber ketenangan batin dan kekuatan spiritual bagi seorang Muslim dalam menghadapi segala kesulitan hidup.
Peristiwa 'Am al-Fil terjadi hanya beberapa saat sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, bahkan menjadi penanda tahun kelahirannya. Banyak sejarawan dan mufasir melihatnya sebagai مقدمة (muqaddimah) atau pendahuluan yang signifikan bagi kedatangan Nabi akhir zaman. Seolah-olah Allah sengaja membersihkan dan menjaga Makkah dari tangan-tangan zalim Abrahah agar kelak menjadi tempat kelahiran dan awal mula risalah Nabi Muhammad ﷺ, risalah yang akan membawa petunjuk bagi seluruh alam. Ini adalah salah satu tanda kenabian beliau yang agung, bahwa Allah telah mempersiapkan lingkungan dan konteks yang tepat untuk kemunculan cahaya Islam.
Peristiwa ini juga menjadi bukti nyata kebenaran Al-Qur'an, yang menceritakan kembali kisah yang sudah dikenal luas oleh bangsa Arab pada masa Nabi, namun dengan penekanan pada aspek kekuasaan Ilahi dan pelajaran yang bisa diambil, yang tidak bisa dipahami sepenuhnya tanpa wahyu.
Walaupun Surah Al-Fil tidak secara langsung berbicara tentang Hari Kiamat atau balasan di akhirat, peristiwa azab yang menimpa pasukan Abrahah dapat dipandang sebagai 'kiamat kecil' atau 'azab duniawi' bagi mereka. Ini adalah contoh nyata balasan dan hukuman yang bisa terjadi di dunia ini bagi orang-orang yang berbuat kerusakan, kezaliman, dan penentangan terhadap Allah. Jika Allah bisa menghancurkan pasukan perkasa seperti itu di dunia ini, apalagi balasan yang akan menimpa mereka di akhirat kelak, yang jauh lebih dahsyat dan abadi.
Ini memperkuat keyakinan akan keadilan Allah yang absolut dan adanya hari pembalasan, di mana setiap perbuatan, baik maupun buruk, akan mendapatkan ganjarannya yang setimpal. Kisah ini adalah pengingat bahwa tidak ada kezaliman yang akan lolos tanpa hukuman, baik di dunia maupun di akhirat.
Meskipun penduduk Makkah mengungsi karena tidak mampu melawan, Abdul Muththalib dan beberapa orang Quraisy tetap berada di dekat Ka'bah, berdoa dengan tulus dan penuh kerendahan hati, memohon perlindungan Allah. Ini menunjukkan kekuatan dahsyat dari doa dan keikhlasan dalam memohon kepada Yang Maha Kuasa. Doa adalah senjata seorang mukmin, dan Allah selalu mendengar doa hamba-Nya, apalagi jika doa itu disertai dengan keyakinan dan tawakkal yang tulus. Ini mengajarkan pentingnya menjadikan doa sebagai upaya terakhir dan utama dalam menghadapi situasi yang di luar kendali manusia.
Kisah Abrahah dan pasukannya adalah representasi jelas tentang keterbatasan kekuatan manusia, betapapun besar dan canggihnya. Mereka memiliki gajah, teknologi perang, dan jumlah pasukan yang superior. Namun, di hadapan kehendak Allah, semua itu menjadi tidak berarti. Bahkan seekor gajah, yang merupakan bagian dari ciptaan Allah, dapat menolak kehendak tuannya untuk melaksanakan misi jahatnya. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam semesta tunduk pada kehendak Allah, dan manusia hanyalah bagian kecil dari ciptaan-Nya yang tidak memiliki kekuatan mutlak.
Fokus cerita pada Ka'bah menekankan betapa pentingnya Allah menjaga kesucian tempat ibadah-Nya. Ini adalah pelajaran bagi umat Islam untuk senantiasa menghormati, menjaga, dan memelihara kesucian masjid, mushola, dan tempat-tempat ibadah lainnya. Merusak atau menodai tempat ibadah adalah tindakan yang sangat dimurkai Allah.
Meskipun peristiwa dalam Surah Al-Fil terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dan hikmahnya tetap relevan dan memiliki implikasi yang mendalam bagi kehidupan umat Islam di era kontemporer. Dunia modern dengan segala kompleksitasnya menghadirkan "Abrahah-Abrahah" baru dalam berbagai bentuk, dan Surah Al-Fil memberikan panduan spiritual dan moral untuk menghadapinya.
Umat Islam di berbagai belahan dunia sering kali menghadapi tantangan, tekanan politik, ekonomi, sosial, dan bahkan agresi militer dari kekuatan-kekuatan yang jauh lebih besar dan dominan. Surah Al-Fil mengajarkan bahwa sebesar apapun tantangan atau ancaman yang dihadapi, selama kita berada di jalan kebenaran, keadilan, dan ketaatan kepada Allah, pertolongan Allah pasti akan datang. Ini menanamkan optimisme, ketabahan, dan keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya dengan ikhlas.
Kisah ini menjadi penguat semangat bahwa keberhasilan tidak semata-mata diukur dari kekuatan fisik, militer, atau ekonomi, melainkan dari pertolongan Ilahi. Ini mendorong umat Islam untuk tidak gentar menghadapi ancaman, tetapi untuk memperkuat iman, persatuan, kesabaran, dan tawakkal kepada Allah. Ini adalah fondasi kekuatan spiritual dalam menghadapi hegemoni atau penindasan.
Ka'bah adalah simbol persatuan umat Islam dan pusat spiritual. Peristiwa Al-Fil menunjukkan betapa pentingnya Allah menjaga kesucian tempat ini. Di zaman sekarang, ini dapat diinterpretasikan sebagai pentingnya menjaga kesucian masjid, mushola, dan tempat-tempat ibadah lainnya, serta menghormati dan mempertahankan simbol-simbol agama Islam, seperti Al-Qur'an, syiar Islam, dan nilai-nilai moral. Setiap upaya untuk menodai, merendahkan, atau menyingkirkan tempat-tempat suci dan simbol-simbol agama adalah tindakan yang tercela dan bisa mendatangkan kemurkaan Allah. Umat Islam diajarkan untuk proaktif dalam menjaga dan membela identitas keislaman mereka.
Abrahah adalah cerminan dari kesombongan yang mengandalkan kekuatan materi semata. Di era modern, manusia seringkali terjerat dalam materialisme ekstrem, konsumerisme, dan kesombongan yang timbul dari akumulasi kekayaan, kekuasaan, atau kemajuan teknologi yang pesat. Surah Al-Fil adalah pengingat bahwa semua itu fana dan tidak ada artinya di hadapan kekuasaan Allah. Kebahagiaan dan kesuksesan sejati tidak datang dari dominasi duniawi atau kepuasan hawa nafsu, melainkan dari ketaatan kepada Allah, kerendahan hati, dan pengabdian kepada nilai-nilai luhur.
Kita harus selalu ingat bahwa segala kemudahan, kekuatan, dan keberhasilan yang kita miliki adalah titipan dari Allah, dan bisa dicabut kapan saja jika kita tidak bersyukur atau menyalahgunakannya. Sikap tawadhu' (rendah hati) adalah kunci untuk meraih ridha-Nya dan terhindar dari kehancuran seperti Abrahah.
Membaca dan merenungkan Surah Al-Fil dapat secara signifikan memperkuat iman dan keyakinan seorang Muslim di tengah berbagai ideologi, filsafat, dan keraguan yang disebarkan di era modern. Kisah ini adalah bukti nyata akan mukjizat Allah yang terus berulang sepanjang sejarah, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Ia mengingatkan kita bahwa ada kekuatan yang lebih besar di balik tabir alam semesta, yang mampu mengubah takdir, membalikkan keadaan, dan memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan yang tampaknya mustahil.
Ini adalah pengingat bahwa pertolongan Allah itu nyata, dan janji-Nya adalah benar. Keyakinan ini sangat penting untuk menjaga stabilitas spiritual, ketenangan batin, dan keteguhan dalam berpegang teguh pada ajaran Islam di tengah gejolak dan tantangan kehidupan dunia yang penuh ketidakpastian.
Kisah ini juga bisa menjadi inspirasi yang kuat bagi mereka yang berjuang melawan ketidakadilan, penindasan, dan kezaliman di berbagai belahan dunia. Ketika kekuatan zalim tampak begitu dominan, tak terkalahkan, dan kejam, Surah Al-Fil mengajarkan bahwa keadilan pada akhirnya akan selalu ditegakkan oleh Allah, bahkan dengan cara-cara yang tak terduga dan di luar perhitungan manusia. Ini mendorong umat Islam untuk tidak berputus asa dalam memperjuangkan keadilan, menyuarakan kebenaran, menentang kezaliman, dan membela hak-hak mereka yang tertindas, dengan keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.
Surah ini menegaskan bahwa bahkan sebuah kelompok kecil yang berpegang pada kebenaran, dengan tawakkal penuh kepada Allah, bisa mengalahkan kekuatan besar yang zalim. Ini adalah seruan untuk berani, teguh, dan tidak takut dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Meskipun masyarakat Makkah pada waktu itu belum bersatu di bawah panji Islam, mereka merasakan ancaman bersama terhadap Ka'bah. Peristiwa ini secara tidak langsung menunjukkan pentingnya solidaritas dan persatuan dalam menghadapi musuh yang mengancam nilai-nilai bersama. Bagi umat Islam modern, ini adalah pengingat kuat akan pentingnya ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan persatuan dalam menghadapi tantangan yang datang dari luar maupun dari dalam.
Surah Al-Fil, meskipun tergolong surat pendek dengan hanya lima ayat, adalah sebuah manifestasi agung dari kekuasaan Allah SWT dan hikmah yang tak terbatas. Kisah pasukan bergajah Abrahah yang hendak menghancurkan Ka'bah adalah salah satu mukjizat terbesar yang pernah disaksikan oleh bangsa Arab pra-Islam, dan menjadi sebuah prasejarah yang signifikan menjelang fajar kenabian Muhammad ﷺ. Peristiwa ini tidak hanya mengukir sejarah, tetapi juga membentuk landasan kokoh bagi keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Allah.
Melalui narasi yang ringkas namun sangat kuat, Allah SWT tidak hanya menceritakan sebuah peristiwa sejarah yang menakjubkan, tetapi juga menanamkan pelajaran-pelajaran fundamental yang relevan sepanjang masa: kebatilan kesombongan dan kezaliman yang pasti akan hancur, kekuatan tawakkal dan kepasrahan kepada Allah, keagungan perlindungan Ilahi terhadap rumah dan agama-Nya, serta kepastian balasan bagi para pelaku kerusakan dan penentang kebenaran. Peristiwa di 'Am al-Fil ini menjadi bukti nyata bahwa tipu daya dan kekuatan manusia, sekuat dan semegah apapun, akan hancur lebur di hadapan kehendak Sang Maha Kuasa, yang mampu menjadikan makhluk terkecil sebagai alat kemusnahan bagi musuh-musuh-Nya.
Bagi umat Islam di setiap zaman, Surah Al-Fil adalah sumber inspirasi, motivasi, dan penguat iman yang tak pernah pudar. Ia mengingatkan kita untuk senantiasa merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersebar di alam semesta dan dalam sejarah, menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan, keangkuhan, dan kezaliman. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk memperkuat tawakkal, sabar, dan meyakini bahwa kebenaran akan selalu menang atas kebatilan. Ini adalah pengingat abadi bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada kekuatan materi atau dominasi duniawi, melainkan pada kerendahan hati, ketaatan, dan keyakinan teguh kepada Allah SWT, Pemilik segala kekuatan dan pelindung segala kebenaran.
Dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan kehidupan modern, Surah Al-Fil memberikan perspektif yang jernih: bahwa kekuatan hakiki adalah kekuatan yang bersumber dari Allah, dan bahwa setiap upaya jahat yang ditujukan untuk merusak nilai-nilai kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan kembali kepada pelakunya sendiri. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang tak ternilai dari Surah Al-Fil ini, menjadikannya bekal dalam menapaki kehidupan, serta senantiasa berada dalam lindungan dan bimbingan-Nya dalam setiap langkah dan perjuangan kita.