Tafsir Lengkap Surat Al-Kahfi Ayat 1-40

Menjelajahi Kisah, Hikmah, dan Pelajaran Berharga dari Al-Qur'an

Pendahuluan: Keagungan Surat Al-Kahfi

Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat Makkiyah yang sangat istimewa dalam Al-Qur'an, terdiri dari 110 ayat. Dinamai "Al-Kahfi" yang berarti "Gua" karena ia mengisahkan salah satu mukjizat terbesar, yaitu kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua). Surat ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah anjuran untuk membacanya setiap hari Jumat, yang diyakini dapat melindungi dari fitnah Dajjal.

Surat Al-Kahfi secara umum memuat empat kisah utama yang menjadi inti dari pesan-pesannya, yaitu:

  1. Kisah Ashabul Kahfi (ayat 9-26): Tentang sekelompok pemuda yang melarikan diri dari fitnah agama.
  2. Kisah Dua Pemilik Kebun (ayat 32-44): Tentang cobaan harta kekayaan dan kesombongan.
  3. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir (ayat 60-82): Tentang cobaan ilmu dan kesabaran.
  4. Kisah Dzulqarnain (ayat 83-98): Tentang cobaan kekuasaan dan kepemimpinan.

Keempat kisah ini, meskipun berlatar belakang waktu dan tempat yang berbeda, semuanya menyatu dalam satu tema sentral: ujian dalam kehidupan dan cara menghadapinya dengan iman, tawakal, dan kesabaran. Bagian awal dari surat ini, yaitu ayat 1 hingga 40, telah mencakup dua kisah utama: Ashabul Kahfi dan Parabel Dua Kebun, serta berbagai pengajaran penting lainnya tentang kebenaran Al-Qur'an, hari akhir, dan ujian keimanan.

Ilustrasi Al-Qur'an sebagai petunjuk dan cahaya

Kontekstualisasi Awal

Ayat-ayat awal Surat Al-Kahfi diletakkan sebagai pembuka yang agung, memuji Allah SWT yang telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk lurus tanpa sedikit pun kebengkokan. Ini adalah pernyataan yang kuat tentang kesempurnaan firman-Nya. Kemudian, surat ini segera menyinggung tentang konsekuensi dari keyakinan yang salah, khususnya bagi mereka yang mengklaim bahwa Allah memiliki seorang anak, sebuah konsep yang sangat ditolak dalam Islam.

Tafsir atas ayat 1-40 akan membawa kita menyelami keajaiban narasi ilahi, memahami pelajaran yang tak lekang oleh waktu, dan menginternalisasi hikmah yang relevan untuk setiap individu di setiap zaman. Mari kita bedah setiap bagian dari ayat-ayat mulia ini dengan mendalam.

Bagian 1: Pujian kepada Allah dan Konfirmasi Kebenaran Al-Qur'an (Ayat 1-8)

Ayat 1

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;

Tafsir dan Hikmah Ayat 1:

Ayat pertama ini adalah deklarasi agung berupa pujian (Alhamdulillah) kepada Allah SWT. Pujian ini tidak sembarang pujian, melainkan pujian yang dikhususkan karena karunia terbesar yang telah diberikan kepada umat manusia: penurunan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW). Kata "Al-Hamd" dalam bahasa Arab mengandung makna pujian dan rasa syukur yang lengkap dan sempurna, mencakup segala kebaikan dan keindahan yang berasal dari Allah.

Penekanan pada "hamba-Nya" (abdih) menunjukkan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan yang terpilih, namun juga menegaskan statusnya sebagai hamba, menjauhkan dari segala bentuk pengkultusan yang melampaui batas kemanusiaan. Ini adalah pondasi tauhid yang kokoh.

Frasa "tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya" (wa lam yaj'al lahu 'iwajan) adalah inti dari kesempurnaan Al-Qur'an. "Iwaj" (عوج) berarti kebengkokan atau penyimpangan. Ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang lurus, adil, konsisten, tidak bertentangan satu sama lain, dan benar dalam setiap ajaran yang disampaikannya. Ia adalah petunjuk yang sempurna, tidak ada kekeliruan, kekurangan, atau kontradiksi di dalamnya. Kebenaran Al-Qur'an tidak perlu diragukan, baik dalam akidah, syariat, maupun kisah-kisahnya. Ini penting sebagai penegasan di tengah fitnah dan keraguan yang mungkin muncul terhadap pesan ilahi.

Ayat 2

قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا

sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.

Tafsir dan Hikmah Ayat 2:

Ayat ini melanjutkan penjelasan tentang sifat dan tujuan Al-Qur'an. Kata "Qayyiman" (قَيِّمًا) berarti lurus, tegak, dan menjaga. Al-Qur'an disebut sebagai "Qayyim" karena ia adalah penjaga dan penegak kebenaran, keadilan, dan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Ia adalah standar moral dan hukum yang tidak pernah berubah atau bengkok.

Tujuan utama Al-Qur'an dinyatakan dalam dua fungsi: sebagai "Nazir" (pemberi peringatan) dan "Basyir" (pemberi kabar gembira).

  1. Peringatan (Liyundzira): Al-Qur'an memperingatkan manusia akan "ba'san syadidan" (siksaan yang sangat pedih) yang berasal "min ladunhu" (dari sisi-Nya), yaitu dari Allah SWT sendiri. Peringatan ini ditujukan bagi orang-orang yang ingkar, yang menolak kebenaran, dan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Peringatan ini bersifat serius karena datang langsung dari Pencipta semesta.
  2. Kabar Gembira (Wa yubassyira): Di sisi lain, Al-Qur'an juga memberikan kabar gembira kepada "al-Mu'mininalladzina ya'malunas shalihat" (orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh). Kabar gembira ini adalah "ajran hasanan" (balasan yang baik), yaitu surga dengan segala kenikmatannya. Ayat ini menekankan bahwa iman saja tidak cukup; ia harus dibuktikan dengan amal saleh. Iman dan amal saleh adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.

Keseimbangan antara harapan (raja') dan rasa takut (khauf) merupakan pilar penting dalam akidah Islam. Al-Qur'an tidak hanya mengancam, tetapi juga menawarkan janji manis bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.

Ayat 3

مَّاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا

mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Tafsir dan Hikmah Ayat 3:

Ayat pendek ini adalah kelanjutan dari kabar gembira pada ayat sebelumnya. "Makitsina fihi abada" menjelaskan sifat dari "balasan yang baik" itu: ia bersifat kekal abadi, tanpa akhir. Ini adalah puncak kebahagiaan bagi penghuni surga, yaitu kepastian bahwa kenikmatan yang mereka rasakan tidak akan pernah berakhir atau berkurang. Konsep kekekalan ini memberikan motivasi yang sangat besar bagi orang beriman untuk senantiasa beramal saleh, karena imbalannya jauh melampaui segala kenikmatan dunia yang fana.

Ayat 4

وَيُنذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا

Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: "Allah mengambil seorang anak".

Tafsir dan Hikmah Ayat 4:

Setelah memberikan peringatan umum dan kabar gembira, Al-Qur'an secara spesifik menyoroti kelompok yang akan menerima peringatan keras: "Alladzina qalu ittakhadzallahu waladan" (orang-orang yang berkata: "Allah mengambil seorang anak"). Ini adalah penegasan kuat tentang konsep tauhid (keesaan Allah) dalam Islam. Allah SWT adalah Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan (Surah Al-Ikhlas).

Peringatan ini secara khusus ditujukan kepada kaum musyrikin Arab yang meyakini adanya "anak-anak perempuan Allah" (seperti Al-Lat, Al-Uzza, Manat), serta kaum Nasrani yang meyakini Yesus adalah anak Allah, dan sebagian Yahudi yang meyakini Uzair sebagai anak Allah. Al-Qur'an dengan tegas menolak gagasan ini sebagai kekufuran yang sangat besar dan penghinaan terhadap keagungan Allah SWT yang Maha Sempurna. Mengaitkan anak kepada Allah adalah menyamakan-Nya dengan makhluk, mengurangi keagungan-Nya, dan menyalahi fitrah keesaan-Nya.

Ayat 5

مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya perkataan yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.

Tafsir dan Hikmah Ayat 5:

Ayat ini mengecam keras klaim bahwa Allah memiliki seorang anak, dengan menyatakan bahwa klaim tersebut tidak didasarkan pada ilmu atau bukti sedikit pun. Frasa "Ma lahum bihi min 'ilmin wa la li'aba'ihim" (mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka) menunjukkan bahwa keyakinan ini adalah warisan buta yang tidak memiliki dasar rasional, logis, atau wahyu yang benar. Ini adalah kebodohan dan kepalsuan yang turun-temurun.

Ekspresi "Kaburat kalimatan takhruju min afwahihim" (Alangkah jeleknya perkataan yang keluar dari mulut mereka) adalah ungkapan kekejian yang luar biasa dalam bahasa Arab. Ini menunjukkan betapa besar dan mengerikannya tuduhan tersebut di hadapan Allah SWT. Perkataan tersebut bukan hanya sebuah kesalahan, melainkan sebuah kebohongan besar yang berdampak pada rusaknya konsep tauhid dan penghinaan terhadap Dzat yang Maha Suci. "In yaquluna illa kadziba" (mereka tidak mengatakan kecuali dusta) menegaskan bahwa klaim ini murni kebohongan, tanpa sedikit pun kebenaran.

Ayat 6

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada keterangan ini?

Tafsir dan Hikmah Ayat 6:

Ayat ini adalah bentuk penghiburan ilahi kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat berduka dan bersedih hati karena penolakan kaumnya terhadap risalah yang dibawanya. Frasa "Fala'allaka bakhi'un nafsaka 'ala atsarihim" (maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka) menggambarkan betapa beratnya beban dakwah bagi Nabi. "Bakhi'un nafsaka" secara harfiah berarti "menghancurkan dirimu" atau "membinasakan dirimu," sebuah metafora untuk kesedihan yang mendalam dan keputusasaan.

Konteksnya adalah ketika Nabi SAW melihat kaumnya tidak beriman kepada Al-Qur'an (hadits ini). Allah mengingatkan Nabi bahwa tugasnya adalah menyampaikan pesan, bukan memaksa iman ke dalam hati manusia. Kekecewaan atas penolakan adalah wajar, tetapi Nabi tidak boleh sampai menghancurkan dirinya sendiri karena kesedihan itu. Ini adalah pelajaran penting bagi setiap dai atau orang yang berjuang di jalan Allah: sampaikan kebenaran dengan ikhlas dan sabar, tetapi serahkan hasil hidayah kepada Allah. Kesedihan yang berlebihan atas penolakan dapat menguras energi dan mengganggu fokus pada misi.

Ayat 7

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang paling baik perbuatannya.

Tafsir dan Hikmah Ayat 7:

Ayat ini menjelaskan hakikat dunia dan kehidupan di dalamnya. Allah menyatakan "Inna ja'alna ma 'alal ardhi zinatal laha" (Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya). Segala sesuatu yang indah, menarik, dan berharga di dunia ini—mulai dari kekayaan, anak-anak, istri, jabatan, makanan, pakaian, hingga pemandangan alam—adalah "zinah" (perhiasan). Perhiasan ini bersifat sementara dan fana, dirancang untuk menarik perhatian dan hati manusia.

Tujuan dari perhiasan dunia ini adalah "linabluwahum ayyuhum ahsanu 'amala" (untuk Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang paling baik perbuatannya). Dunia ini adalah arena ujian. Allah tidak menciptakan perhiasan dunia tanpa makna, melainkan sebagai alat untuk menguji ketaatan, kesabaran, dan syukur hamba-Nya. Ujian ini bukanlah tentang siapa yang paling banyak mengumpulkan perhiasan dunia, melainkan siapa yang paling baik amalannya. "Ahsanu 'amala" (amal yang paling baik) berarti amal yang paling ikhlas (hanya karena Allah) dan paling sesuai dengan tuntunan syariat (sunnah Nabi). Ayat ini menegaskan bahwa nilai sejati terletak pada kualitas amal, bukan kuantitas harta benda.

Ayat 8

وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.

Tafsir dan Hikmah Ayat 8:

Ayat ini melengkapi ayat sebelumnya dengan memberikan gambaran tentang akhir dari perhiasan dunia. "Wa inna laja'iluna ma 'alaiha sa'idan juruza" (Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan pula apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering). "Sa'idan juruza" adalah tanah yang gersang, tandus, tidak ditumbuhi apa-apa, dan tidak ada kehidupan di atasnya. Ini adalah metafora yang kuat untuk kehancuran dunia pada akhirnya (kiamat) dan kefanaan segala isinya.

Pesan utama ayat ini adalah peringatan agar manusia tidak terbuai dan tertipu oleh gemerlap dunia. Segala perhiasan yang ada akan musnah dan kembali menjadi debu. Ini mengajarkan pentingnya meletakkan prioritas pada kehidupan akhirat yang kekal dan menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, bukan sebagai tujuan itu sendiri. Setelah adanya peringatan terhadap kekufuran, penghiburan bagi Nabi, dan penjelasan tentang tujuan hidup, Allah kemudian mulai memperkenalkan salah satu kisah agung dalam surat ini.

Bagian 2: Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua) (Ayat 9-26)

Ilustrasi gua dan anjing yang tidur, melambangkan kisah Ashabul Kahfi

Kisah Ashabul Kahfi adalah salah satu narasi paling inspiratif dalam Al-Qur'an, mengajarkan tentang keteguhan iman, keberanian dalam menghadapi penindasan, dan mukjizat kekuasaan Allah. Kisah ini sering kali disandingkan dengan tema fitnah agama.

Ayat 9

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا

Apakah kamu mengira bahwa Ashabul Kahfi dan Ar-Raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?

Tafsir dan Hikmah Ayat 9:

Ayat ini memulai kisah Ashabul Kahfi dengan sebuah pertanyaan retoris kepada Nabi Muhammad SAW, "Am hasibta anna Ashabal Kahfi war Raqimi kanu min ayatina 'ajaba?" (Apakah kamu mengira bahwa Ashabul Kahfi dan Ar-Raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?). Pertanyaan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa kisah Ashabul Kahfi, meskipun luar biasa, bukanlah satu-satunya atau yang paling mengherankan dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Ada banyak mukjizat dan tanda kebesaran Allah di alam semesta yang jauh lebih besar dan lebih menakjubkan.

"Ashabul Kahfi" berarti "Para Penghuni Gua". Adapun "Ar-Raqim" (الرقيم) memiliki beberapa penafsiran. Sebagian ulama menafsirkan Ar-Raqim sebagai nama gunung, atau nama desa, atau bahkan nama anjing mereka. Namun, penafsiran yang paling kuat dan banyak dipegang adalah bahwa Ar-Raqim merujuk pada sebuah papan batu atau prasasti yang memuat nama-nama Ashabul Kahfi dan kisah mereka, yang dipasang di pintu gua atau di tempat mereka ditemukan. Ini berfungsi sebagai catatan sejarah atau pengingat.

Pesan di balik pertanyaan ini adalah untuk memperluas perspektif Nabi dan umatnya tentang kekuasaan Allah. Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan segala keajaibannya, menghidupkan dan mematikan, jauh lebih besar kekuasaan-Nya daripada hanya menidurkan beberapa pemuda selama berabad-abad dan kemudian membangunkan mereka.

Ayat 10

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini."

Tafsir dan Hikmah Ayat 10:

Kisah dimulai dengan adegan krusial: "Idz awal fityatu ilal kahfi" (ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke gua). Para pemuda (fityah) ini adalah sekelompok kecil yang berani dan teguh dalam iman, menghadapi tirani seorang penguasa zalim (diyakini Raja Decius atau Dhu Nuwas, tergantung riwayat) yang memaksa rakyatnya untuk menyembah berhala. Mereka tidak ingin mengorbankan iman mereka, sehingga memilih untuk melarikan diri dari kota dan mencari perlindungan di sebuah gua.

Sebelum memasuki gua, mereka memanjatkan doa yang penuh ketulusan: "Rabbana atina mil ladunka rahmah, wa hayyi' lana min amrina rasyada" (Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini). Doa ini menunjukkan:

Ayat 11

فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama beberapa tahun.

Tafsir dan Hikmah Ayat 11:

Sebagai respons atas doa mereka, Allah segera memberikan pertolongan: "Fadhrabna 'ala adzanihim fil kahfi sinina 'adada" (Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama beberapa tahun). Ungkapan "fadharabna 'ala adzanihim" (Kami tutup telinga mereka) adalah kiasan untuk menidurkan mereka dengan sangat pulas, sehingga mereka tidak mendengar suara apa pun yang dapat membangunkan mereka. Ini adalah perlindungan ilahi yang memastikan tidur mereka tidak terganggu oleh suara dari luar gua maupun suara dari dalam gua itu sendiri.

"Sinina 'adada" (beberapa tahun) mengisyaratkan bahwa durasi tidur mereka cukup lama, tetapi pada saat ini belum dijelaskan secara spesifik berapa lamanya. Ini adalah mukjizat pertama dalam kisah ini, menunjukkan kekuasaan Allah dalam menghentikan waktu bagi sekelompok manusia demi menjaga iman mereka.

Ayat 12

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (di gua).

Tafsir dan Hikmah Ayat 12:

Setelah tidur yang sangat panjang, Allah membangunkan mereka: "Tsumma ba'atsnahum" (Kemudian Kami bangunkan mereka). Tujuan dari kebangkitan ini dijelaskan: "lina'lama ayyul hizbayni ahsa lima labitsu amada" (agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal di gua).

Frasa "lina'lama" (agar Kami mengetahui) tidak berarti Allah tidak tahu sebelumnya, melainkan untuk menampakkan kepada manusia (dan kepada para pemuda itu sendiri) bukti kekuasaan-Nya. Ini adalah "ilmul zuhur" (ilmu yang menampakkan), bukan "ilmul haqq" (ilmu hakiki) yang memang sudah Allah miliki sejak azali. Tujuannya adalah untuk menjadi bukti nyata bagi orang-orang pada masa itu dan juga sebagai pelajaran bagi generasi setelahnya tentang kebenaran Hari Berbangkit dan kekuasaan Allah.

"Ayyul hizbayni" (kedua golongan) merujuk pada dua kelompok manusia yang akan berselisih pendapat atau berdebat tentang lamanya para pemuda tersebut tertidur. Ini mungkin merujuk pada kelompok para pemuda itu sendiri setelah bangun, atau kelompok orang-orang di luar gua pada masa itu yang kemudian berselisih mengenai hal tersebut.

Ayat 13

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahi bagi mereka petunjuk.

Tafsir dan Hikmah Ayat 13:

Allah menegaskan kebenaran kisah ini: "Nahnu naqussu 'alaika naba'ahum bil haqqi" (Kami ceritakan kepadamu kisah mereka dengan sebenarnya). Ini adalah jaminan ilahi bahwa apa yang disampaikan dalam Al-Qur'an adalah kebenaran mutlak, tanpa ada penambahan atau pengurangan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Ini juga menjawab keraguan orang-orang kafir Makkah yang meminta kisah ini sebagai ujian kebenaran kenabian Muhammad SAW.

Kemudian Al-Qur'an menggambarkan sifat dasar para pemuda tersebut: "Innahum fityatun amanu birabbihim wa zidnahum huda" (Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahi bagi mereka petunjuk). Istilah "fityah" (pemuda) menunjukkan bahwa mereka adalah kaum muda yang penuh semangat, idealisme, dan keberanian, yang lebih mudah menerima kebenaran dan lebih kuat dalam pendirian. Ini juga menyiratkan bahwa mereka mungkin belum memiliki banyak tanggung jawab duniawi yang dapat menghalangi mereka untuk berkorban demi iman.

Yang terpenting adalah Allah menegaskan bahwa mereka "amanu birabbihim" (beriman kepada Tuhan mereka) dan sebagai balasannya, Allah "wa zidnahum huda" (menambah bagi mereka petunjuk). Ini adalah janji Allah: barang siapa yang beriman dan berusaha di jalan-Nya, Allah akan menambah hidayah dan kekuatan iman baginya. Hidayah bukanlah sesuatu yang stagnan, tetapi dapat terus bertumbuh dan diperkuat oleh Allah.

Ayat 14

وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَ مِن دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَّقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Dan Kami teguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran."

Tafsir dan Hikmah Ayat 14:

Ayat ini mengungkap keberanian para pemuda tersebut. "Wa rabathna 'ala qulubihim" (Dan Kami teguhkan hati mereka). "Rabatna 'ala qulubihim" berarti Allah mengikat hati mereka, memberikan mereka kekuatan dan ketabahan yang luar biasa, sehingga mereka tidak gentar menghadapi ancaman penguasa zalim. Ini adalah intervensi ilahi yang memberikan keteguhan di saat paling genting.

"Idz qamu" (di waktu mereka berdiri) menunjukkan bahwa mereka berdiri dan menyatakan kebenaran di hadapan raja atau di hadapan khalayak yang menyembah berhala. Ini adalah tindakan heroik dan penuh risiko. Mereka berkata: "Rabbuna Rabbus samawati wal ardh, lan nad'uwa min dunihi ilahan" (Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia). Ini adalah deklarasi tauhid yang jelas dan tegas, menolak semua sesembahan selain Allah.

Kemudian mereka menambahkan: "Laqad qulna idzan shatatha" (sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran). Kata "shatatha" (شططا) berarti perkataan yang melewati batas kebenaran, kebohongan yang sangat besar, atau kesesatan yang sangat jauh. Mereka menyadari betul bahwa jika mereka menyembah selain Allah, itu adalah kesesatan yang tak terampuni. Ini menunjukkan kesadaran yang mendalam akan pentingnya menjaga kemurnian tauhid.

Ayat 15

هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَّوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat kedustaan terhadap Allah?

Tafsir dan Hikmah Ayat 15:

Setelah menyatakan tauhid mereka, para pemuda itu mengkritik kaum mereka. "Ha'ula'i qaumunattakhadzu min dunihi aliha" (Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan untuk disembah). Mereka menyebut kaum mereka sendiri karena rasa sayang dan keprihatinan, namun tetap tegas menolak kesyirikan.

Mereka kemudian menantang kaumnya: "Laula ya'tuna 'alaihim bi sultanin bayyin" (Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang tentang kepercayaan mereka?). Mereka menuntut bukti, argumen yang jelas, atau wahyu yang sah yang mendukung penyembahan berhala mereka. Tantangan ini menunjukkan bahwa kepercayaan mereka pada Allah didasarkan pada akal dan bukti, bukan taklid buta.

Ayat ini diakhiri dengan pertanyaan retoris yang kuat: "Faman adzlamu mimmaniftara 'alallahi kadziba?" (Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat kedustaan terhadap Allah?). Tidak ada kezaliman yang lebih besar daripada menyekutukan Allah atau mengklaim sesuatu tentang-Nya tanpa ilmu. Ini adalah dosa terbesar karena menyangkut hakikat Ketuhanan itu sendiri. Kedustaan ini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga mencoreng keagungan Allah.

Ayat 16

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu dalam urusanmu itu kemudahan.

Tafsir dan Hikmah Ayat 16:

Ayat ini adalah dialog atau perkataan di antara para pemuda itu sendiri, setelah mereka memutuskan untuk berpisah dari kaum musyrik. "Wa idz i'tazaltumuhum wa ma ya'buduna illallah" (Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah). Ini adalah prinsip "al-bara'ah" (berlepas diri) dari kemusyrikan dan orang-orang yang melakukannya. Mereka memilih untuk menjauh dari lingkungan yang toksik dan berbahaya bagi iman mereka. Frasa "illa Allah" (kecuali Allah) di sini bisa berarti "selain Allah" atau "kecuali (mereka mengklaim menyembah Allah bersama) yang lainnya."

Kemudian, mereka sepakat untuk "fa'wu ilal kahfi" (maka carilah tempat berlindung ke gua itu). Ini adalah keputusan kolektif untuk hijrah demi menjaga iman. Dan mereka menegaskan keyakinan mereka: "Yansyur lakum Rabbukum mir rahmatihi wa yuhayyi' lakum min amrikum mirfaqa" (niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu dalam urusanmu itu kemudahan). Ini menunjukkan optimisme, tawakal, dan keyakinan kuat bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang berhijrah di jalan-Nya. Mereka yakin Allah akan membentangkan rahmat-Nya dan memberikan kemudahan (mirfaqa) dalam segala urusan mereka.

Ayat ini adalah sumber inspirasi bagi siapa saja yang menghadapi tekanan sosial atau politik untuk berkompromi dengan iman. Berlepas diri dari lingkungan buruk dan mencari perlindungan kepada Allah adalah langkah yang diberkahi.

Ayat 17

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila ia terbenam, ia menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan baginya seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk.

Tafsir dan Hikmah Ayat 17:

Ayat ini menggambarkan mukjizat pengaturan Allah terhadap gua tempat para pemuda itu tidur. Allah mengatur arah sinar matahari sedemikian rupa agar tidak langsung mengenai mereka: "Wa taras syamsa idza thala'at tazawaru 'an kahfihim dzatal yamin" (Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan), dan "wa idza gharabat taqridhuhum dzatas syimal" (dan apabila ia terbenam, ia menjauhi mereka ke sebelah kiri). Ini berarti gua itu memiliki orientasi yang memungkinkan cahaya matahari masuk ke dalam gua, namun tidak secara langsung mengenai tubuh mereka.

Manfaat dari pengaturan ini adalah untuk:

Para pemuda itu sendiri "wahum fi fajwatin minh" (sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu). Ini menunjukkan bahwa gua tersebut cukup luas dan nyaman, bukan sebuah celah sempit yang menyesakkan. Ini adalah bagian dari rahmat dan kemudahan yang Allah berikan kepada mereka.

Allah kemudian menegaskan: "Dzalika min ayatiilah" (Itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah). Pengaturan alamiah yang sempurna ini adalah bukti kekuasaan Allah yang tiada tara, menunjukkan bahwa Dia mengatur segala sesuatu untuk melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman.

Bagian akhir ayat ini mengembalikan pada tema hidayah: "Man yahdillah fa huwal muhtad, wa man yudhlil falan tajida lahu waliyyan mursyida" (Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan baginya seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk). Ini adalah pengingat bahwa hidayah sepenuhnya berada di tangan Allah. Kisah Ashabul Kahfi adalah bukti nyata bagaimana Allah membimbing dan melindungi mereka yang memilih jalan hidayah, sementara mereka yang menolak akan tersesat tanpa penolong.

Ayat 18

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu. Jikalau kamu melihat mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah kamu akan dipenuhi rasa ketakutan terhadap mereka.

Tafsir dan Hikmah Ayat 18:

Ayat ini melanjutkan gambaran kondisi para pemuda di dalam gua. "Wa tahsabuhum ayqazhan wa hum ruqud" (Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur). Penampilan mereka yang seperti bangun ini bisa jadi karena mata mereka terbuka atau posisi tubuh yang menyerupai orang terjaga. Ini menambah keajaiban mukjizat tidur mereka.

Allah sendiri yang melakukan perawatan atas mereka: "Wa nuqallibuhum dzatal yamini wa dzatas syimal" (dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri). Gerakan membolak-balikkan ini sangat penting untuk mencegah kerusakan tubuh, seperti luka baring (decubitus), yang akan terjadi jika mereka terus-menerus dalam satu posisi selama berabad-abad. Ini adalah detail ilmiah yang menunjukkan kekuasaan dan kasih sayang Allah dalam memelihara hamba-Nya.

Kemudian disebutkan juga tentang "wa kalbuhum basithun dzira'ayhi bil washid" (sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu). Anjing ini adalah hewan peliharaan mereka yang setia, yang ikut melarikan diri dan menjaga mereka di pintu gua. Posisinya yang membentangkan lengan menunjukkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menjaga. Anjing tersebut juga tertidur seperti mereka, namun posisinya menambah kesan menyeramkan bagi siapa saja yang mendekat, sekaligus menjadi bagian dari penjagaan Allah.

Akhir ayat ini adalah peringatan yang menegaskan suasana misterius dan menakutkan: "Lawiththala'ta 'alaihim lawallaita minhum firara, wa lamuli'ta minhum ru'ba" (Jikalau kamu melihat mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah kamu akan dipenuhi rasa ketakutan terhadap mereka). Ini menunjukkan bahwa penampilan mereka yang tidur begitu lama akan terlihat aneh, pucat, dan mungkin menakutkan bagi mata manusia, sehingga tidak ada orang yang berani mendekat atau mengganggu mereka. Ini adalah salah satu bentuk perlindungan Allah agar tidur mereka tidak terganggu.

Ayat 19

وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhanmu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat makanan mana yang lebih baik, lalu hendaklah dia membawa sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun."

Tafsir dan Hikmah Ayat 19:

Ayat ini menceritakan saat kebangkitan para pemuda dari tidur panjang mereka. "Wa kadzalika ba'atsnahum liyatasahalu baynahum" (Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri). Tujuan dari kebangkitan ini adalah untuk memicu dialog di antara mereka, yang akan mengarah pada pengungkapan mukjizat Allah.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang durasi tidur mereka: "Qala qa'ilun minhum kam labitstum?" (Berkata salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada di sini?"). Jawaban mereka menunjukkan ketidaktahuan mereka akan waktu yang sesungguhnya berlalu: "Qalu labitsna yawman aw ba'dha yawm" (Mereka menjawab: "Kita berada di sini sehari atau setengah hari"). Ini wajar, karena ketika seseorang tidur lama, ia akan merasa hanya sebentar.

Kemudian, salah seorang dari mereka yang lebih bijaksana (atau yang paling mengetahui) berkata: "Rabbukum a'lamu bima labitstum" (Tuhanmu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini). Ini adalah sikap tawakal dan pengakuan akan keterbatasan ilmu manusia, mengembalikan segala pengetahuan kepada Allah.

Mengingat kebutuhan mendesak, mereka memutuskan untuk mengirim salah satu dari mereka ke kota: "Fab'atsu ahadakum bi wariqikum hadzihi ilal madinah" (Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini). "Wariq" adalah uang perak, menunjukkan bahwa mereka membawa uang tunai yang mungkin sudah kuno pada saat itu.

Tugas utusan itu adalah "falyanzhur ayyuha azka tha'aman" (dan hendaklah dia melihat makanan mana yang lebih baik). "Azka tha'aman" berarti makanan yang paling bersih, paling halal, dan paling baik kualitasnya. Ini menunjukkan perhatian mereka terhadap kehalalan dan kebaikan makanan.

Kemudian "falyatikum birizqin minh" (lalu hendaklah dia membawa sebagian makanan itu untukmu). Dan yang terpenting adalah dua nasihat keselamatan: "Wa liyatalaththaf" (dan hendaklah dia berlaku lemah-lembut/hati-hati) dan "wa la yusy'iranna bikum ahada" (dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun). Nasihat ini menunjukkan bahwa mereka masih sangat khawatir akan penguasa zalim yang mereka tinggalkan. Mereka ingin utusan itu bertindak bijaksana, tidak menarik perhatian, dan tidak mengungkapkan identitas mereka, karena takut akan penangkapan dan siksaan.

Ayat ini mengajarkan hikmah tentang pentingnya kebijaksanaan, kehati-hatian, tawakal, dan kepedulian terhadap kehalalan rezeki, terutama dalam situasi yang sulit.

Ayat 20

إِنَّهُمْ إِن يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَن تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan merajam kamu atau mengembalikan kamu kepada agama mereka; dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.

Tafsir dan Hikmah Ayat 20:

Ayat ini menjelaskan alasan di balik kehati-hatian ekstrem yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Para pemuda itu berkata: "Innahum in yazharu 'alaikum yarjumukum aw yu'idukum fi millatihim" (Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan merajam kamu atau mengembalikan kamu kepada agama mereka). Mereka tahu betul bahaya yang mengancam jika keberadaan mereka terbongkar:

Dan mereka menyadari konsekuensi spiritualnya: "Wa lan tuflihu idzan abada" (dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya). Ini menunjukkan bahwa mereka memandang kesuksesan sejati adalah keselamatan di akhirat, bukan keselamatan duniawi sesaat dengan mengorbankan iman. Mengikuti agama sesat kaum mereka akan berarti kegagalan abadi di hadapan Allah. Prioritas mereka adalah iman di atas segalanya, bahkan nyawa.

Ayat 21

وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا ۖ رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا

Dan demikianlah Kami perlihatkan (kepada manusia) keadaan mereka, agar mereka mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa hari kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, mereka berkata: "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sungguh kami akan mendirikan sebuah masjid di atas (gua) mereka."

Tafsir dan Hikmah Ayat 21:

Ayat ini mengisahkan terungkapnya keberadaan Ashabul Kahfi. "Wa kadzalika a'tsarna 'alaihim" (Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada manusia keadaan mereka). Allah sengaja menyingkap keberadaan mereka. Bagaimana terungkapnya? Ketika utusan pemuda itu datang ke kota dengan uang perak kuno, orang-orang di kota terkejut dan menyadari bahwa uang itu berasal dari zaman yang sangat lama. Berita menyebar, dan akhirnya mereka dituntun ke gua.

Tujuan dari penyingkapan ini adalah sangat penting: "liya'lamu anna wa'dallahi haqqun wa annas sa'ata la rayba fiha" (agar mereka mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa hari kiamat itu tidak ada keraguan padanya). Pada masa itu, mungkin ada perdebatan sengit tentang hari berbangkit (resurrection) dan kekuasaan Allah. Kisah Ashabul Kahfi yang tidur ratusan tahun lalu bangkit kembali adalah bukti fisik dan konkret tentang kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali orang mati, dan karenanya, kebenaran Hari Kiamat. Ini adalah mukjizat yang berfungsi sebagai pelajaran akidah.

Setelah ditemukan, "idz yatanaza'una baynahum amrahum" (ketika mereka berselisih tentang urusan mereka). Maksudnya adalah perselisihan di antara orang-orang yang menemukan mereka mengenai apa yang harus dilakukan terhadap para pemuda itu atau bagaimana mengabadikan peristiwa ini. Sebagian berkata: "Faqalubnu 'alaihim bunyana" (Dirikanlah sebuah bangunan di atas gua mereka), mungkin sebagai monumen atau tanda. Dengan berkata: "Rabbuhum a'lamu bihim" (Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka), mereka menunjukkan sikap pasrah atau tidak ingin terlalu mengintervensi urusan ilahi.

Namun, "qalalladzina ghalabu 'ala amrihim lanattakhidzanna 'alaihim masjida" (Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sungguh kami akan mendirikan sebuah masjid di atas gua mereka"). Ini menunjukkan adanya dua kelompok pendapat: satu yang cenderung membuat monumen biasa, dan yang lainnya (yang memiliki kekuasaan atau pengaruh) yang memutuskan untuk membangun tempat ibadah (masjid) di atas gua tersebut. Ini menjadi catatan sejarah tentang bagaimana tempat-tempat keramat bisa muncul, meskipun dalam Islam, membangun masjid di atas kuburan atau tempat tidur orang saleh adalah sesuatu yang dilarang karena dapat mengarah pada syirik.

Ayat 22

سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempatnya adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan "lima orang, yang keenam adalah anjingnya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan "tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah mereka) kecuali sedikit." Karena itu janganlah kamu berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahiriah saja, dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (kepada seorang pun) di antara mereka.

Tafsir dan Hikmah Ayat 22:

Ayat ini membahas tentang perdebatan mengenai jumlah Ashabul Kahfi yang akan terjadi di kemudian hari, bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW. "Sayaquluna tsalatsatun rabi'uhum kalbuhum wa yaquluna khamsatun sadisuhum kalbuhum rajman bil ghaib" (Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempatnya adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan "lima orang, yang keenam adalah anjingnya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib). "Rajman bil ghaib" berarti melempar tebakan terhadap hal yang gaib, menunjukkan bahwa ini adalah spekulasi tanpa dasar yang kuat.

Kemudian Al-Qur'an melanjutkan: "Wa yaquluna sab'atun wa tsaminuhum kalbuhum" (dan (yang lain lagi) mengatakan "tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya"). Penafsiran ulama cenderung menguatkan bahwa jumlah tujuh orang inilah yang paling mendekati kebenaran, meskipun Allah tidak secara eksplisit mengatakannya sebagai jumlah pasti.

Namun, jawaban tegas dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah: "Qul Rabbi a'lamu bi 'iddatihim ma ya'lamuhum illa qalil" (Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah mereka) kecuali sedikit"). Ini adalah pelajaran penting bahwa detail-detail yang tidak fundamental bagi tujuan kisah (seperti jumlah pasti) tidak perlu diperdebatkan atau dicari secara berlebihan. Hanya Allah yang tahu sepenuhnya, dan hanya sedikit orang yang mungkin diberi pengetahuan khusus tentangnya.

Oleh karena itu, Allah memberi petunjuk kepada Nabi: "Fala tumari fihim illa mira'an zahira" (Karena itu janganlah kamu berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahiriah saja). "Mira'an zahira" berarti perdebatan yang jelas, singkat, dan tidak mendalam, tidak sampai pada perselisihan yang sia-sia atau membuang waktu. Sampaikan saja apa yang diwahyukan.

Dan "wa la tastafti fihim minhum ahada" (dan jangan kamu menanyakan tentang mereka kepada seorang pun di antara mereka). Ini merujuk pada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) pada masa Nabi yang seringkali memiliki versi cerita mereka sendiri, namun seringkali bercampur dengan mitos atau distorsi. Al-Qur'an adalah sumber kebenaran tertinggi, tidak perlu mencari konfirmasi dari sumber lain yang tidak otentik.

Ayat 23

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا

Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok pagi,

Tafsir dan Hikmah Ayat 23:

Ayat ini dan ayat berikutnya (ayat 24) adalah intervensi ilahi yang memberikan pelajaran etika penting kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya, yang dikenal sebagai adab "insya Allah". Konon, ayat ini turun setelah Nabi SAW ditanya oleh kaum musyrik Makkah (dengan dorongan Yahudi) tentang kisah Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, dan Ruh. Nabi menjawab akan memberitahu mereka besok, tetapi lupa mengucapkan "Insya Allah", sehingga wahyu tertunda beberapa waktu. Ini adalah teguran dan pengajaran.

"Wa la taqulanna lisyai'in inni fa'ilun dzalika ghada" (Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok pagi"). Ayat ini melarang umat Islam untuk secara pasti menyatakan akan melakukan sesuatu di masa depan tanpa mengaitkannya dengan kehendak Allah. Manusia memiliki keterbatasan dan ketidakpastian dalam mengendalikan masa depan. Perencanaan adalah baik, tetapi kepastian pelaksanaannya ada di tangan Allah.

Ayat 24

إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا

kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

Tafsir dan Hikmah Ayat 24:

Ayat ini melanjutkan etika pada ayat sebelumnya. "Illa an yasya'allah" (kecuali dengan menyebut: "Insya Allah"). Inilah adab yang diajarkan, yaitu selalu menyertakan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) ketika berjanji atau berniat melakukan sesuatu di masa depan. Ini adalah pengakuan akan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu dan keterbatasan manusia.

"Wadzkar Rabbaka idza nasit" (Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa). Jika seseorang lupa mengucapkan "Insya Allah" dan kemudian teringat, ia harus segera mengucapkannya. Ini adalah bentuk zikir dan pengingat bahwa Allah-lah yang menguasai segala sesuatu. Ini juga menunjukkan bahwa lupa tidak serta merta dosa, namun harus segera dikoreksi dengan mengingat Allah.

Dan setelah itu, dianjurkan untuk berdoa: "Wa qul 'asa an yahdiyani Rabbi li'aqraba min hadza rasyada" (dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini"). Doa ini menunjukkan kerendahan hati dan keinginan untuk selalu mendekat kepada kebenaran yang paling murni. Ini adalah doa untuk peningkatan ilmu, pemahaman, dan hidayah, bahkan setelah mendapatkan jawaban atau petunjuk.

Pelajaran dari dua ayat ini sangat fundamental dalam kehidupan muslim: tawakal, pengakuan akan kehendak Allah, dan adab dalam berbicara dan merencanakan masa depan.

Ayat 25

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.

Tafsir dan Hikmah Ayat 25:

Ayat ini secara eksplisit mengungkapkan durasi tidur Ashabul Kahfi yang sebelumnya menjadi perdebatan pada ayat 19. "Wa labitsu fi kahfihim tsalatsa mi'atin sinina wazdadzu tis'a" (Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun). Jadi, totalnya adalah 309 tahun.

Mengapa disebutkan "tiga ratus tahun dan ditambah sembilan"? Para mufassir menjelaskan bahwa 300 tahun adalah perhitungan berdasarkan kalender Matahari (Masehi), sedangkan 309 tahun adalah perhitungan berdasarkan kalender Qamariyah (Hijriyah). Setiap 100 tahun Masehi, terdapat kelebihan sekitar 3 tahun Qamariyah. Jadi, 300 tahun Masehi setara dengan 300 + (3 x 3) = 309 tahun Qamariyah. Ini menunjukkan keakuratan Al-Qur'an dalam detail waktu dan perhitungan, yang pada masa itu mungkin belum banyak diketahui.

Angka ini menegaskan kembali mukjizat Allah. Tidur selama 309 tahun adalah sesuatu yang melampaui kemampuan manusia dan hanya bisa terjadi dengan kekuasaan ilahi. Ini berfungsi sebagai bukti kuat bagi kebangkitan setelah kematian dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.

Ayat 26

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal; kepunyaan-Nya-lah semua yang gaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan."

Tafsir dan Hikmah Ayat 26:

Meskipun Al-Qur'an telah memberikan durasi yang spesifik, ayat ini kembali menegaskan otoritas mutlak Allah dalam pengetahuan. "Qulillahhu a'lamu bima labitsu" (Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal"). Ini adalah penekanan bahwa pengetahuan manusia, bahkan yang berasal dari wahyu, tetaplah terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah yang sempurna dan meliputi segala sesuatu.

Kemudian, ayat ini memperluas cakupan pengetahuan Allah: "Lahu ghaybus samawati wal ardh" (Kepunyaan-Nya-lah semua yang gaib di langit dan di bumi). Hanya Allah yang mengetahui rahasia-rahasia alam semesta, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang dapat mengetahui hal gaib kecuali dengan izin-Nya.

Ungkapan "Absir bihi wa asmi'" (Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya) adalah bentuk pujian kepada Allah. Ini adalah gaya bahasa Arab untuk menyatakan kesempurnaan penglihatan dan pendengaran Allah yang tidak terbatas oleh ruang, waktu, atau batasan fisik apa pun. Dia melihat dan mendengar segala sesuatu, bahkan bisikan hati yang paling tersembunyi.

Ayat ini ditutup dengan penegasan tauhid dan kekuasaan mutlak Allah: "Ma lahum min dunihi min waliyyin wa la yusyriku fi hukmihi ahada" (Tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan). Ini adalah inti dari kisah Ashabul Kahfi dan seluruh ajaran Islam. Hanya Allah yang menjadi wali (pelindung dan penolong) sejati. Dia tidak memiliki sekutu dalam pemerintahan-Nya, dalam keputusan-keputusan-Nya, dan dalam kekuasaan-Nya. Ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk syirik dan penegasan keesaan Allah dalam segala aspek rububiyah (ketuhanan) dan uluhiyah (penyembahan).

Bagian 3: Kewajiban Mengikuti Wahyu dan Gambaran Akibatnya (Ayat 27-31)

Setelah kisah Ashabul Kahfi yang mengajarkan tentang keteguhan iman di tengah fitnah agama, bagian ini mengalihkan perhatian kepada keutamaan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber kebenaran, serta kontras antara balasan bagi orang beriman dan orang kafir.

Ilustrasi sebuah buku terbuka dengan cahaya, melambangkan petunjuk dari wahyu dan Al-Qur'an
Ayat 27

وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن كِتَابِ رَبِّكَ ۖ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِ مُلْتَحَدًا

Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia.

Tafsir dan Hikmah Ayat 27:

Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad SAW dan secara tidak langsung seluruh umat Islam untuk senantiasa "watlu ma uhiya ilaika min kitabi Rabbik" (membacakan/mengikuti apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu). "Tilawah" tidak hanya berarti membaca secara lisan, tetapi juga mengikuti, merenungkan, memahami, dan mengamalkan isi Al-Qur'an. Ini adalah instruksi untuk berpegang teguh pada wahyu ilahi sebagai satu-satunya sumber petunjuk.

Penegasan yang kuat menyertainya: "La mubaddila li kalimatih" (Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya). Ini adalah jaminan ilahi atas kemurnian dan keaslian Al-Qur'an. Tidak ada makhluk yang mampu memalsukan, mengubah, atau menambahkan sedikit pun pada firman Allah. Ini membedakan Al-Qur'an dari kitab-kitab suci sebelumnya yang telah mengalami distorsi oleh tangan manusia. Ayat ini juga bisa diartikan bahwa keputusan dan ketetapan Allah yang ada di dalam Al-Qur'an tidak dapat dibatalkan atau diganti oleh siapapun.

Kemudian, "wa lan tajida min dunihi multahada" (Dan kamu tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia). "Multahada" berarti tempat berlindung, tempat kembali, atau penolong. Ini menegaskan bahwa setelah berpegang teguh pada Al-Qur'an, tidak ada tempat lain untuk berlindung atau mencari pertolongan kecuali kepada Allah SWT. Dialah satu-satunya Pelindung yang sejati dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Ini adalah pesan tawakal total dan penolakan syirik, menggemakan pelajaran dari kisah Ashabul Kahfi.

Ayat 28

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

Tafsir dan Hikmah Ayat 28:

Ayat ini memberikan instruksi penting mengenai pergaulan dan prioritas dalam berdakwah. "Wasbir nafsaka ma'al ladzina yad'una Rabbahum bil ghadati wal 'asyiyyi yuriduna wajhahu" (Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya). Ini adalah perintah untuk Nabi (dan umatnya) agar tetap bersama orang-orang mukmin yang rendah hati, yang tekun beribadah (doa dan zikir di pagi dan sore hari), dan yang tulus mencari wajah Allah (ridha-Nya) semata, bukan karena tujuan duniawi.

Konteks turunnya ayat ini diyakini adalah ketika para pembesar Quraisy yang kafir ingin duduk bersama Nabi SAW, namun mereka mensyaratkan agar Nabi mengusir para sahabat yang miskin dan rendahan. Allah melarang keras tindakan tersebut. Maka Allah berfirman: "Wa la ta'du 'aynaka 'anhum turidu zinatal hayatid dunya" (dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini). Ini adalah larangan untuk meninggalkan orang-orang beriman yang tulus demi mengejar popularitas, harta, atau kedudukan dari orang-orang kaya dan berkuasa di dunia.

Kemudian, "wa la tuti' man aghfalna qalbahu 'an dzikrina wattaba'a hawahu wa kana amruhu furutha" (dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas). Ini adalah larangan untuk mengikuti orang-orang yang memiliki sifat-sifat buruk:

Ayat ini mengajarkan pentingnya memilih teman dan lingkungan yang baik, menjaga kesabaran dalam berinteraksi dengan orang-orang beriman, dan menjauhi mereka yang hatinya lalai dan hidupnya dikendalikan hawa nafsu. Kualitas iman dan ketakwaan lebih penting daripada status sosial atau kekayaan.

Ayat 29

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti luluhan tembaga yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Tafsir dan Hikmah Ayat 29:

Ayat ini adalah deklarasi tegas tentang kebebasan berkehendak dan konsekuensi dari pilihan tersebut. "Wa qulil haqqu mir Rabbikum" (Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu"). Ini adalah penegasan bahwa Islam adalah kebenaran mutlak yang berasal dari Allah, bukan dari manusia.

Kemudian diberikan pilihan: "Faman sya'a falyu'min wa man sya'a falyakfur" (maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak memaksa iman. Manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka. Namun, kebebasan ini disertai dengan konsekuensi yang jelas dan berat.

Bagi orang-orang yang memilih kekafiran (zalimin), Allah telah menyiapkan neraka: "Inna a'tadna lidh dhalimina naran ahatha bihim suradiquha" (Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka). "Suradiquha" adalah tenda atau dinding api yang mengelilingi mereka, sehingga tidak ada jalan keluar. Ini adalah gambaran tentang neraka yang mengerikan, di mana api melahap mereka dari segala sisi.

Dan penderitaan mereka tidak berhenti di situ. "Wa in yastaghitsu yughatsu bima'in kal muhli yasywil wujuh" (Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti luluhan tembaga yang mendidih yang menghanguskan muka). "Al-Muhl" adalah cairan kental seperti minyak panas yang mendidih atau luluhan tembaga cair. Air ini tidak menghilangkan dahaga, melainkan menambah penderitaan dengan menghanguskan wajah dan merobek-robek organ dalam.

Ayat ditutup dengan penegasan: "Bi'sas syarabu wa sa'at murtafaqa" (Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek). Ini adalah kontras yang tajam dengan surga. Bagi mereka, tidak ada kenyamanan atau ketenangan, hanya azab yang tiada henti. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi siapa pun yang memilih untuk mengingkari kebenaran.

Ayat 30

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.

Tafsir dan Hikmah Ayat 30:

Setelah menggambarkan nasib orang-orang zalim, ayat ini beralih kepada kebahagiaan orang-orang beriman sebagai kontras yang sempurna. "Innal ladzina amanu wa 'amilus shalihat" (Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh). Kembali ditekankan bahwa iman harus disertai dengan amal saleh. Iman adalah keyakinan hati, dan amal saleh adalah wujud nyata dari keyakinan tersebut dalam perbuatan.

Allah menjamin: "Inna la nudhi'u ajra man ahsana 'amala" (sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik). "Ahsana 'amala" berarti orang yang paling baik amalannya, yaitu amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan sunnah Nabi. Allah adalah Maha Adil, dan Dia tidak akan membiarkan sedikit pun kebaikan terlewat tanpa balasan. Ini adalah janji yang menghibur dan memotivasi bagi setiap mukmin yang berusaha.

Ayat 31

أُولَٰئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ ۚ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا

Mereka itu (orang-orang yang beriman dan beramal saleh) bagi mereka surga 'Adn, mengalir di bawah mereka sungai-sungai; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah.

Tafsir dan Hikmah Ayat 31:

Ayat ini menggambarkan keindahan dan kenikmatan surga yang dijanjikan bagi orang-orang beriman dan beramal saleh. Gambaran ini adalah kebalikan total dari deskripsi neraka pada ayat 29.

Ayat ini ditutup dengan: "Ni'mas tsawabu wa hasunat murtafaqa" (Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah). Ini adalah penegasan bahwa surga adalah balasan terbaik dan tempat kembali yang paling mulia, kontras dengan neraka yang disebut "minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek" (ayat 29). Perbandingan ini bertujuan untuk mendorong manusia memilih jalan kebaikan dan menghindari jalan kezaliman, dengan harapan akan balasan surga yang kekal.

Bagian 4: Parabel Dua Kebun (Ayat 32-44)

Setelah membahas fitnah agama (Ashabul Kahfi) dan keutamaan Al-Qur'an serta konsekuensi pilihan manusia, Al-Qur'an kemudian menyajikan parabel tentang fitnah harta dan kesombongan melalui kisah dua pemilik kebun. Kisah ini adalah cerminan dari ujian duniawi dan bahaya kelalaian.

Ilustrasi dua pohon, satu rimbun dan satu tandus, melambangkan dua kebun yang kontras
Ayat 32

وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا

Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.

Tafsir dan Hikmah Ayat 32:

"Wadhrib lahum matsala rajulayn" (Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki). Ayat ini memperkenalkan sebuah parabel, metode pengajaran Al-Qur'an untuk menjelaskan konsep abstrak dengan contoh konkret. Kedua laki-laki ini menggambarkan dua sikap ekstrem terhadap nikmat dunia.

Allah menjelaskan kekayaan salah satu dari mereka: "Ja'alna li'ahadihima jannatayni min a'nabin" (Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya dua buah kebun anggur). Kebun anggur adalah simbol kekayaan dan kemewahan di Jazirah Arab. Tidak hanya satu, tapi "dua kebun", menunjukkan kekayaan yang melimpah.

Kebun-kebun itu semakin diperindah dan diperkaya: "Wa hafafnahuma bi nakhl" (dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma). Pohon kurma juga merupakan sumber kekayaan dan makanan pokok. Dan di antara kedua kebun itu: "wa ja'alna baynahuma zar'a" (Kami buatkan ladang), yang berarti tanah pertanian subur lainnya. Ini adalah gambaran kekayaan agraria yang luar biasa, memastikan sumber pendapatan yang beragam dan berkelanjutan. Pria ini diberkahi dengan segala bentuk kemakmuran duniawi.

Ayat 33

كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِم مِّنْهُ شَيْئًا ۚ وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا

Kedua kebun itu menghasilkan buahnya dan tidak berkurang sedikitpun buah-buahannya, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.

Tafsir dan Hikmah Ayat 33:

Ayat ini melanjutkan gambaran kesempurnaan dua kebun tersebut. "Kilta al-jannatayni atat ukulaha wa lam tazhlim minhu syay'a" (Kedua kebun itu menghasilkan buahnya dan tidak berkurang sedikitpun buah-buahannya). Ini menunjukkan produktivitas yang luar biasa dan konsisten. Hasil panen selalu melimpah dan tidak pernah gagal, sebuah karunia yang sangat besar.

Sumber kehidupan kebun-kebun itu juga sempurna: "Wa fajjarna khilalahuma nahara" (dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu). Keberadaan sungai yang mengalir di antara kebun-kebun menjamin pasokan air yang melimpah dan berkelanjutan, menghilangkan kekhawatiran akan kekeringan. Air adalah sumber kehidupan, dan di gurun pasir, sungai adalah simbol kemakmuran tertinggi. Dengan demikian, pria ini memiliki kombinasi tanah subur, tanaman berbuah, dan irigasi yang sempurna.

Ayat 34

وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

Dan dia mempunyai kekayaan besar, lalu ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat."

Tafsir dan Hikmah Ayat 34:

"Wa kana lahu tsamarun" (Dan dia mempunyai kekayaan besar). "Tsamar" bisa berarti buah-buahan, tetapi di sini bisa juga diartikan kekayaan secara umum, termasuk harta, hasil panen, dan pendapatan lainnya. Ia tidak hanya punya kebun, tetapi juga keuntungan besar darinya.

Kemudian, pria kaya ini berbicara kepada temannya yang mukmin dalam percakapan: "faqala li sahibihil wa huwa yuhawiruhu" (lalu ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia). Dalam percakapan ini, terungkaplah kesombongan dan keangkuhan si pemilik kebun yang kaya. Ia membanggakan diri dengan membandingkan kekayaannya: "Ana aktsaru minka malan" (Hartaku lebih banyak daripada hartamu).

Tidak hanya harta, ia juga membanggakan kekuatan sosial dan dukungan: "Wa a'azzu nafara" (dan pengikut-pengikutku lebih kuat/mulia). "Nafar" bisa merujuk pada anak-anak, keluarga, kerabat, atau pengikut yang memberikan kekuatan sosial dan perlindungan. Ini menunjukkan bahwa kesombongannya tidak hanya pada harta, tetapi juga pada pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya. Ia merasa lebih unggul dan aman dibandingkan temannya yang miskin.

Ayat ini menggambarkan bahaya kesombongan yang lahir dari harta dan kekuasaan. Kekayaan dan status sosial dapat membutakan seseorang dari kebenaran dan membuatnya melupakan asal-usul nikmat tersebut.

Ayat 35

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا

Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri (karena ucapannya). Ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,"

Tafsir dan Hikmah Ayat 35:

"Wa dakhala jannatahu wa huwa zhalimun li nafsihi" (Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri). Kezaliman terhadap diri sendiri di sini adalah karena kesombongan, keangkuhan, dan pengingkaran terhadap kebenaran yang akan ia ucapkan. Dia melihat kebunnya yang indah, dan bukannya bersyukur kepada Allah, malah diliputi kesombongan. Ini menunjukkan bahwa nikmat dunia jika tidak disikapi dengan benar, justru akan menjerumuskan seseorang pada kezaliman.

Kemudian, ia melontarkan klaim kufur: "Qala ma azhunnu an tabida hadzihi abada" (Ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya"). Ini adalah puncak dari kesombongan dan kelalaiannya. Ia berprasangka buruk kepada Allah, merasa bahwa kekayaannya kekal abadi, menafikan kekuasaan Allah yang dapat menghancurkan kapan saja. Ia lupa akan kefanaan dunia yang telah Allah ingatkan di ayat 7 dan 8. Ini adalah tanda kekufuran karena menolak kebenaran Hari Kiamat dan melupakan kekuasaan Allah.

Ayat 36

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنْقَلَبًا

dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan sekiranya pun aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini."

Tafsir dan Hikmah Ayat 36:

Kesombongan dan kekufuran pria ini semakin jelas. "Wa ma azhunnus sa'ata qa'imah" (dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang). Ini adalah pengingkaran terhadap salah satu rukun iman, yaitu percaya pada Hari Kiamat. Pengingkaran ini menjadi dasar dari sikapnya yang sembrono dan tidak takut akan pertanggungjawaban.

Lebih jauh lagi, ia menunjukkan keangkuhan yang luar biasa: "Wa la'in rudidtu ila Rabbi la'ajidanna khayram minha munqalaba" (dan sekiranya pun aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini). Ia berprasangka buruk kepada Allah, mengira bahwa jika pun ada kehidupan setelah mati dan ia kembali kepada Tuhannya, Allah akan memberinya yang lebih baik dari apa yang ia miliki di dunia, semata-mata karena kesuksesan duniawinya. Ini adalah bentuk penipuan diri sendiri dan kurangnya pemahaman tentang keadilan Allah, yang membalas berdasarkan iman dan amal saleh, bukan kekayaan.

Ayat 37

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا

Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya ketika ia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?

Tafsir dan Hikmah Ayat 37:

Sang teman yang mukmin, mendengar ucapan-ucapan kufur itu, tidak tinggal diam. "Qala lahu sahibuhu wa huwa yuhawiruhu" (Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya ketika ia bercakap-cakap dengannya). Ia menegur temannya dengan pertanyaan retoris yang menggugah: "Akafarta bil ladzi khalaqaka min turabin tsumma min nuthfatin tsumma sawwaka rajula?" (Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?).

Pertanyaan ini adalah pengingat akan asal-usul manusia dan kekuasaan Allah. Manusia berasal dari tanah (unsur bumi), kemudian dari setetes mani (yang lemah dan tidak berdaya), dan kemudian disempurnakan menjadi seorang laki-laki yang gagah. Proses penciptaan yang menakjubkan ini seharusnya menjadi bukti yang cukup tentang keesaan dan kekuasaan Allah, serta kefanaan dan kelemahan manusia. Bagaimana mungkin seseorang yang menyadari asal-usulnya sendiri bisa kufur kepada Penciptanya? Ini adalah argumen yang sangat kuat untuk membangkitkan akal dan fitrah teman yang sombong itu.

Ayat 38

لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا

Tetapi aku (berkeyakinan): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.

Tafsir dan Hikmah Ayat 38:

Setelah menegur temannya, sang mukmin kemudian menyatakan kembali akidah tauhidnya dengan tegas. "Lakinna Huwallahu Rabbi wa la usyriku bi Rabbi ahada" (Tetapi aku (berkeyakinan): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku). Kata "Lakinna" (tetapi aku) menunjukkan kontras yang jelas antara keyakinannya dengan keyakinan temannya yang kufur.

Deklarasi ini mencakup dua aspek penting:

Pernyataan ini adalah penolakan terhadap kesyirikan dan pengingkaran yang dilakukan oleh temannya. Ini adalah inti dari iman, sebuah pendirian yang kokoh di hadapan kesombongan dan kekufuran. Orang mukmin ini menegaskan bahwa sumber segala nikmat adalah Allah, bukan usaha atau kekayaan semata.

Ayat 39

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا

Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu "Masya Allah, la quwwata illa billah" (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu menganggap aku lebih sedikit daripada kamu dalam hal harta dan keturunan.

Tafsir dan Hikmah Ayat 39:

Sang mukmin melanjutkan nasihatnya, menunjukkan adab yang seharusnya dilakukan oleh temannya. "Wa lawla idz dakhalta jannataka qulta Masya Allah, la quwwata illa billah" (Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu "Masya Allah, la quwwata illa billah"). Ini adalah teguran halus namun tajam. Saat melihat nikmat yang melimpah, seharusnya seseorang bersyukur dan mengakui bahwa semua itu terjadi atas kehendak Allah, dan tidak ada kekuatan sejati kecuali dari-Nya.

Ucapan "Masya Allah, la quwwata illa billah" (Apa yang dikehendaki Allah, itulah yang terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) adalah ekspresi tawakal, pengakuan akan kekuasaan Allah, dan penolakan terhadap kesombongan diri. Ucapan ini juga diyakini dapat melindungi nikmat dari 'ain (pandangan dengki) atau dari kehancuran. Ini adalah obat penawar bagi penyakit kesombongan dan ujub (bangga diri).

Kemudian, sang mukmin melanjutkan dengan rendah hati: "In tarani ana aqalla minka malan wa walada" (Sekiranya kamu menganggap aku lebih sedikit daripada kamu dalam hal harta dan keturunan). Ini adalah pengakuan realistis bahwa dia memang lebih miskin, tetapi ini tidak lantas membuat imannya goyah atau membuatnya iri. Baginya, kekayaan sejati bukan terletak pada harta dunia.

Ayat 40

فَعَسَىٰ رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا

Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu, dan Dia mengirimkan ketetapan (siksaan) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin lagi tandus.

Tafsir dan Hikmah Ayat 40:

Ayat ini adalah puncak nasihat dari teman yang mukmin, yang mengandung doa dan peringatan. "Fa 'asa Rabbi an yu'tiyani khayram min jannatik" (Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu). Ini adalah doa penuh harap kepada Allah. Ia tidak iri dengan kekayaan temannya, tetapi ia berharap Allah akan memberinya balasan yang lebih baik, baik di dunia (jika Allah kehendaki) maupun di akhirat (yang pasti akan datang bagi orang beriman).

Kemudian, ia memberikan peringatan keras kepada temannya: "Wa yursila 'alaiha husbanam minas sama'i fatushbiha sa'idan zalaqa" (dan Dia mengirimkan ketetapan (siksaan) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin lagi tandus). "Husbanan minas sama'i" adalah ketetapan, perhitungan, atau siksaan yang datang dari langit. Ini bisa berupa petir, badai, hujan es yang merusak, atau bencana alam lainnya. "Sa'idan zalaqa" adalah tanah yang licin, tidak bisa ditanami apa-apa, dan tandus, kebalikan dari kebun yang subur.

Peringatan ini adalah ancaman nyata dari Allah bagi orang yang sombong dan ingkar. Kekayaan yang dibanggakan bisa lenyap dalam sekejap mata jika Allah berkehendak. Ini juga menunjukkan bahwa segala nikmat adalah amanah dari Allah, dan Dia berhak mengambilnya kembali kapan saja. Ayat ini adalah pengingat yang kuat tentang kefanaan dunia, keagungan Allah, dan konsekuensi dari kesombongan serta kekufuran.

Kesimpulan Awal dari Ayat 1-40

Dari ayat 1 hingga 40, Surat Al-Kahfi telah menyajikan pondasi penting tentang akidah, etika, dan cara menghadapi ujian kehidupan. Kita melihat keagungan Al-Qur'an sebagai petunjuk yang lurus, jaminan akan balasan bagi orang beriman dan peringatan bagi orang kafir.

Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan tentang:

Sementara itu, Parabel Dua Kebun memberikan pelajaran tentang:

Bagian antara kedua kisah ini (ayat 27-31) berfungsi sebagai jembatan yang menguatkan kembali peran Al-Qur'an sebagai satu-satunya pedoman, pentingnya bergaul dengan orang-orang saleh, dan kontras yang jelas antara balasan surga dan neraka. Semua ini mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup manusia: mengabdi kepada Allah dengan iman yang teguh, beramal saleh, dan tawakal di setiap ujian.

Meskipun surat ini terus berlanjut dengan kisah Musa dan Khidir, serta Dzulqarnain, bagian awal ini sudah memberikan bekal yang sangat berharga bagi seorang mukmin dalam menghadapi fitnah agama dan fitnah duniawi, dua tantangan terbesar yang akan selalu menyertai perjalanan hidup manusia.

🏠 Homepage