Al-Kahfi 74: Mengurai Hikmah di Balik Takdir Ilahi
Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat Makkiyah dalam Al-Qur'an yang kaya akan pelajaran dan hikmah mendalam. Diturunkan pada periode awal Islam di Mekkah, surat ini menjawab beberapa pertanyaan esensial yang diajukan kaum musyrikin kepada Nabi Muhammad ﷺ, sekaligus menjadi panduan bagi umat Islam dalam menghadapi fitnah (ujian) kehidupan. Surat ini dinamai "Al-Kahfi" yang berarti "Gua", merujuk pada kisah heroik para pemuda Ashabul Kahf yang menyelamatkan iman mereka dari kekejaman penguasa zalim dengan berlindung di dalam gua.
Keistimewaan Surat Al-Kahfi tidak hanya terletak pada kisah-kisah di dalamnya, tetapi juga pada keutamaan membacanya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa barang siapa yang membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat, niscaya ia akan disinari cahaya antara dua Jumat, dan akan dilindungi dari fitnah Dajjal. Ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dan pengamalan isi surat ini dalam kehidupan seorang Muslim.
Siluet pintu gua, melambangkan kisah Ashabul Kahf dan tempat berlindung dari fitnah dunia.
Empat Pilar Kisah dalam Al-Kahfi
Surat Al-Kahfi menghadirkan empat kisah utama yang saling terkait dan mengandung pelajaran fundamental tentang keimanan, kesabaran, takdir, dan ujian hidup. Keempat kisah ini adalah:
- Kisah Ashabul Kahf (Para Pemuda Penghuni Gua): Mengajarkan tentang keyakinan teguh, hijrah demi agama, dan kekuasaan Allah yang mampu menjaga hamba-Nya.
- Kisah Nabi Musa dan Khidr: Menguak misteri takdir dan batas pengetahuan manusia, serta pentingnya kesabaran dalam menghadapi apa yang tampak janggal di mata lahiriah.
- Kisah Dhul-Qarnayn (Raja Dua Tanduk): Menampilkan sosok pemimpin yang adil, perkasa, dan beriman, yang menggunakan kekuasaannya untuk menolong kaum lemah dan membangun benteng pencegah kezaliman.
- Kisah Ya'juj dan Ma'juj: Merupakan bagian dari kisah Dhul-Qarnayn, mengisyaratkan tentang fitnah besar di akhir zaman dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Keempat kisah ini, meskipun memiliki latar belakang dan tokoh yang berbeda, semuanya berujung pada satu tema sentral: pentingnya berpegang teguh pada tauhid dan iman kepada Allah, serta kesabaran dalam menghadapi berbagai fitnah dunia. Ini adalah persiapan bagi umat Islam untuk menghadapi fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu kemunculan Dajjal.
Kisah Nabi Musa dan Khidr: Perjalanan Menyingkap Ilmu Ghaib
Di antara keempat kisah tersebut, kisah Nabi Musa dan seorang hamba saleh yang dikenal sebagai Khidr (Khadir) adalah yang paling menyoroti keterbatasan ilmu manusia dan kedalaman hikmah ilahi. Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa, seorang nabi besar dengan pengetahuan yang luas, merasa bahwa ia adalah orang yang paling berilmu di muka bumi. Allah kemudian menegurnya dan memberitahukan bahwa ada seorang hamba-Nya yang lebih berilmu dari Musa, yang berada di pertemuan dua lautan.
Dengan semangat yang membara untuk mencari ilmu, Nabi Musa melakukan perjalanan panjang bersama muridnya, Yusya' bin Nun. Perjalanan ini dipenuhi dengan ujian kesabaran dan ketaatan. Allah memberikan tanda untuk menemukan Khidr, yaitu ketika ikan yang mereka bawa sebagai bekal hidup kembali dan melompat ke laut. Ini adalah isyarat bahwa mereka telah mencapai tujuan.
Setelah bertemu dengan Khidr, Nabi Musa memohon untuk bisa belajar darinya. Khidr menyetujui dengan syarat bahwa Musa harus bersabar dan tidak boleh bertanya tentang apa pun yang dilakukan Khidr sampai ia sendiri yang menjelaskannya. Syarat ini adalah kunci utama untuk memahami seluruh narasi, sebab apa yang akan dilakukan Khidr akan tampak ganjil dan tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia, apalagi bagi seorang nabi yang menjunjung tinggi keadilan seperti Musa.
Insiden Pertama: Melubangi Perahu
Perjalanan Musa dan Khidr dimulai. Mereka menaiki sebuah perahu yang disedikan oleh penduduk setempat secara gratis. Namun, tanpa disangka, Khidr melubangi perahu tersebut. Musa yang melihat tindakan ini terkejut dan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya:
"Apakah kamu melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang keji!" (QS. Al-Kahfi: 71)
Khidr mengingatkan Musa akan janjinya untuk tidak bertanya. Musa meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan berjanji akan lebih bersabar. Hikmah di balik insiden ini baru terungkap nanti: ada seorang raja zalim di belakang mereka yang akan merampas setiap perahu yang bagus. Dengan melubangi perahu itu, Khidr sebenarnya menyelamatkan perahu tersebut dari perampasan, sehingga pemiliknya (orang-orang miskin) masih bisa memperbaikinya dan menggunakannya kembali.
Ilustrasi perahu di atas air, simbol dari insiden pertama kisah Musa dan Khidr.
Insiden Kedua: Membunuh Seorang Anak (Al-Kahfi Ayat 74)
Setelah insiden perahu, Musa dan Khidr melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini, mereka berpapasan dengan sekelompok anak-anak yang sedang bermain. Tanpa peringatan atau alasan yang jelas bagi Musa, Khidr menangkap seorang anak laki-laki dan membunuhnya. Adegan ini adalah puncak dari ujian kesabaran dan keimanan bagi Nabi Musa. Sebagai seorang nabi yang membawa syariat keadilan dan larangan membunuh jiwa tanpa hak, Musa tentu saja tidak dapat menerima tindakan ini.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang suci, padahal dia tidak membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar!" (QS. Al-Kahfi: 74)
Reaksi Nabi Musa dan Keterbatasannya
Ayat 74 ini adalah titik krusial dalam kisah Musa dan Khidr, serta inti dari banyak pelajaran yang dapat kita petik. Reaksi Nabi Musa sangatlah wajar dan manusiawi. Dari sudut pandang akal dan syariat yang ia ketahui, membunuh seorang anak yang tidak bersalah adalah tindakan yang sangat keji (munkar) dan tidak dapat dibenarkan. Jiwa yang "suci" (zakiyyah) dalam konteks ini berarti jiwa yang belum memiliki dosa-dosa besar, dan belum melakukan kejahatan yang membenarkan hukuman mati.
Pertanyaan Musa, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang suci, padahal dia tidak membunuh orang lain?" mencerminkan prinsip keadilan ilahi yang dia yakini dan ajarkan. Pembunuhan adalah dosa besar, dan membunuh tanpa sebab yang sah adalah kezaliman yang tidak termaafkan. Ini menunjukkan bahwa Musa melihat kejadian ini murni dari perspektif hukum syariat dan moralitas yang berlaku umum.
Gambar siluet seorang anak dan orang tua, merepresentasikan insiden anak yang dibunuh Khidr dan pertanyaan tentang keadilan.
Penjelasan Khidr: Hikmah di Balik Peristiwa
Sekali lagi, Khidr mengingatkan Musa tentang janjinya. Namun, kali ini Khidr mengisyaratkan bahwa jika Musa bertanya lagi, maka ini akan menjadi perpisahan mereka. Setelah insiden ketiga (memperbaiki dinding), Khidr akhirnya menjelaskan seluruh hikmah di balik tindakan-tindakannya, termasuk pembunuhan anak ini:
"Adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Maka kami menghendaki, supaya Tuhan mereka menggantinya dengan (anak lain) yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih menyayangi (kepada ibu bapaknya)." (QS. Al-Kahfi: 80-81)
Penjelasan ini membuka dimensi baru yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Inti dari hikmah ini adalah:
- Pengetahuan Ghaib dan Takdir Ilahi: Khidr diberikan ilmu dari sisi Allah tentang masa depan dan takdir. Anak ini, di masa dewasa nanti, akan tumbuh menjadi seorang yang durhaka, zalim, dan akan menyebabkan kedua orang tuanya yang saleh jatuh ke dalam kesesatan dan kekafiran karena perilaku anaknya. Allah, dengan ilmu-Nya yang Maha Luas, mengetahui apa yang akan terjadi.
- Perlindungan terhadap Iman Orang Tua: Tindakan Khidr adalah bentuk perlindungan Allah terhadap iman kedua orang tua anak tersebut. Bagi Allah, menjaga keimanan hamba-hamba-Nya yang saleh adalah prioritas. Kehilangan seorang anak, meskipun berat, lebih ringan daripada kehilangan iman dan terjerumus dalam kekafiran karena sebab anaknya sendiri.
- Penggantian yang Lebih Baik: Allah menjanjikan pengganti yang lebih baik bagi kedua orang tua tersebut, yang akan lebih suci (dari dosa) dan lebih berbakti. Ini menunjukkan rahmat dan keadilan Allah yang tidak terbatas, di mana setiap kehilangan yang terjadi atas kehendak-Nya akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik bagi hamba-Nya yang bersabar dan beriman.
Implikasi Teologis dan Filosofis
Kisah ini memiliki implikasi yang sangat dalam mengenai konsep takdir (qada dan qadar) dalam Islam. Manusia, dengan keterbatasan pengetahuannya, hanya bisa menilai sesuatu dari apa yang tampak di permukaan. Kita melihat sebuah "kezaliman" atau "kemungkaran", sementara di balik itu ada rencana Ilahi yang jauh lebih besar dan sempurna, yang bertujuan untuk kebaikan jangka panjang.
- Keterbatasan Akal Manusia: Kisah ini adalah pengingat tegas bahwa akal manusia memiliki batas. Ada dimensi realitas dan takdir yang hanya diketahui oleh Allah. Mencoba memahami setiap peristiwa dengan logika semata seringkali membawa pada kebingungan dan ketidakpuasan.
- Kepercayaan pada Ilmu Ghaib: Umat Islam wajib mengimani adanya ilmu ghaib yang hanya Allah miliki dan kadang-kadang Dia karuniakan kepada hamba-hamba pilihan-Nya (seperti Khidr) sebagai mukjizat atau karamah.
- Sabar dalam Menghadapi Takdir: Kita sering diuji dengan musibah yang tidak kita pahami alasannya. Kehilangan, kesusahan, dan kemalangan seringkali membuat kita bertanya-tanya, "Mengapa ini terjadi padaku?" Kisah ini mengajarkan bahwa di balik setiap ujian, ada hikmah dan kebaikan yang mungkin tidak kita sadari, bahkan mungkin itu adalah bentuk perlindungan atau persiapan untuk sesuatu yang lebih baik di masa depan.
- Keadilan Allah yang Absolut: Bagi mereka yang meragukan keadilan Allah karena insiden ini, penting untuk diingat bahwa Allah adalah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Keadilan-Nya tidak sama dengan keadilan manusia yang terbatas. Dia mengetahui akhir dari segala sesuatu, dan tindakan-Nya selalu demi kebaikan tertinggi, meskipun itu berarti mengorbankan sesuatu yang kita anggap "baik" di masa sekarang.
- Konsep 'Ash-Syarr al-Mutawqa' (Kejahatan yang Dicegah): Tindakan Khidr adalah mencegah kejahatan yang lebih besar di masa depan. Dalam pandangan Islam, kadang-kadang mengambil kerugian kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar adalah tindakan yang dibenarkan, apalagi jika itu datang dari perintah Ilahi.
Kisah pembunuhan anak ini, walaupun mengejutkan dan sulit diterima akal pada pandangan pertama, adalah salah satu pelajaran paling kuat dalam Al-Qur'an tentang kebijaksanaan Ilahi yang melampaui pemahaman manusia. Ini menuntut kita untuk memiliki kepercayaan penuh kepada Allah, bahkan ketika kita tidak memahami mengapa sesuatu terjadi.
Insiden Ketiga: Membangun Dinding
Setelah insiden anak, Musa dan Khidr tiba di sebuah kota yang penduduknya enggan menerima mereka sebagai tamu dan menolak memberi mereka makan. Namun, Khidr malah menemukan sebuah dinding yang hampir roboh di kota itu dan dengan sukarela memperbaikinya. Ini adalah tindakan ketiga yang lagi-lagi membuat Musa tidak bisa menahan diri untuk bertanya:
"Jikalau kamu mau, niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu." (QS. Al-Kahfi: 77)
Musa merasa heran mengapa Khidr melakukan kebaikan tanpa pamrih kepada kaum yang pelit. Pada titik ini, Khidr menyatakan perpisahan mereka, tetapi tidak sebelum menjelaskan hikmah di balik tindakan terakhirnya:
"Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu melainkan menurut perintah-Ku. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 82)
Hikmah dari insiden dinding ini adalah:
- Perlindungan Harta Anak Yatim: Dinding itu diperbaiki untuk melindungi harta karun di bawahnya agar tidak terlihat dan dicuri oleh orang lain sampai anak-anak yatim itu dewasa dan cukup kuat untuk mengelola harta mereka sendiri.
- Berkat Kesalehan Orang Tua: Allah memberkahi dan melindungi keturunan orang yang saleh. Karena kesalehan ayah mereka, Allah menjaga harta anak-anak yatim ini. Ini adalah bukti bahwa amal baik seseorang bisa mendatangkan kebaikan bagi keturunannya.
- Kebaikan Tanpa Pamrih: Khidr melakukan kebaikan ini tanpa meminta imbalan dari penduduk yang tidak ramah, semata-mata karena perintah Allah dan demi rahmat-Nya.
Ilustrasi dinding atau benteng, merepresentasikan insiden Khidr yang memperbaiki dinding.
Hikmah Umum dari Kisah Musa dan Khidr
Seluruh kisah Musa dan Khidr adalah sebuah metafora besar tentang perjalanan spiritual dan intelektual seorang hamba. Ini mengajarkan kita banyak hal penting:
- Kesabaran (Sabr): Kesabaran adalah kunci untuk menerima takdir dan memahami hikmah di baliknya. Tanpa kesabaran, Musa tidak akan mampu bertahan dalam perjalanan ini.
- Rendah Hati dalam Mencari Ilmu: Nabi Musa, seorang nabi yang mulia, tetap diperintahkan untuk mencari ilmu dari orang lain dan bersikap rendah hati. Ini adalah pelajaran bagi setiap penuntut ilmu.
- Ilmu Ladunni: Khidr memiliki "ilmu ladunni," yaitu ilmu yang langsung dari sisi Allah, bukan melalui proses belajar manusia biasa. Ini menunjukkan keragaman cara Allah menurunkan ilmu kepada hamba-Nya.
- Kebaikan Jangka Panjang vs. Kesulitan Sesaat: Seringkali, apa yang kita anggap buruk di masa sekarang mungkin merupakan kebaikan besar di masa depan, atau pencegahan dari keburukan yang lebih besar.
- Ujian Iman: Kisah ini adalah ujian bagi keimanan kita kepada Allah dan takdir-Nya. Apakah kita akan percaya pada hikmah-Nya meskipun kita tidak memahaminya, atau kita akan mempertanyakannya berdasarkan keterbatasan akal kita?
- Keseimbangan antara Syariat dan Hakikat: Nabi Musa mewakili syariat, hukum-hukum Allah yang jelas dan tampak. Khidr mewakili hakikat, kebenaran tersembunyi di balik hukum-hukum itu. Keduanya penting dan saling melengkapi.
Kisah Dhul-Qarnayn: Pemimpin Adil dan Pembangun Peradaban
Kisah ketiga dalam Surat Al-Kahfi adalah tentang seorang raja perkasa dan adil bernama Dhul-Qarnayn, yang berarti "pemilik dua tanduk" atau "dua zaman/periode". Ia adalah seorang pemimpin yang diberi kekuasaan besar oleh Allah untuk melakukan perjalanan ke timur dan barat bumi, serta di antara dua gunung.
Di setiap tempat yang ia kunjungi, Dhul-Qarnayn menunjukkan kepemimpinan yang saleh:
- Perjalanan ke Barat: Ia sampai di tempat terbenamnya matahari dan mendapati kaum yang zalim. Ia diberi pilihan untuk menghukum atau berbuat baik kepada mereka. Dhul-Qarnayn memilih untuk menghukum yang zalim dan memberi petunjuk kepada yang berbuat baik.
- Perjalanan ke Timur: Ia sampai di tempat terbitnya matahari dan mendapati kaum yang tidak memiliki pelindung dari teriknya matahari. Ia tidak menganiaya mereka, melainkan mengatur urusan mereka dengan bijaksana.
- Perjalanan di Antara Dua Gunung: Ia bertemu dengan kaum yang mengeluhkan gangguan dari Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) dan meminta bantuan untuk membangun benteng. Dengan izin Allah dan bantuan penduduk setempat, Dhul-Qarnayn membangun dinding besar dari besi dan tembaga, melindungi mereka dari Ya'juj dan Ma'juj hingga waktu yang ditentukan Allah.
Kisah Dhul-Qarnayn mengajarkan tentang:
- Kekuasaan sebagai Amanah: Kekuasaan yang besar adalah amanah dari Allah yang harus digunakan untuk kebaikan, keadilan, dan menolong yang lemah.
- Kepemimpinan Adil: Seorang pemimpin sejati adalah yang menerapkan keadilan, memberi hukuman kepada yang zalim dan memberi petunjuk kepada yang saleh.
- Perlindungan terhadap Kaum Lemah: Dhul-Qarnayn menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kaum yang tertindas dari kezaliman.
- Kerja Sama dan Syukur: Dhul-Qarnayn meminta bantuan dari penduduk setempat dalam membangun benteng, menunjukkan pentingnya kerja sama, dan ia selalu bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya.
- Kerendahan Hati: Meskipun memiliki kekuasaan besar, Dhul-Qarnayn tetap rendah hati dan menyandarkan semua keberhasilannya kepada Allah.
Kisah Ya'juj dan Ma'juj: Tanda Akhir Zaman
Kisah Ya'juj dan Ma'juj disebutkan dalam konteks Dhul-Qarnayn. Mereka adalah kaum perusak yang akan muncul kembali di akhir zaman sebagai salah satu tanda besar Kiamat. Dinding yang dibangun Dhul-Qarnayn akan menahan mereka hingga waktu yang telah ditetapkan Allah. Kisah ini berfungsi sebagai pengingat akan dekatnya akhir zaman dan akan adanya fitnah-fitnah besar yang akan datang.
Pelajaran dari kisah Ya'juj dan Ma'juj ini adalah untuk senantiasa bersiap menghadapi akhirat, memperkuat iman, dan tidak terlena dengan kehidupan dunia yang fana. Munculnya mereka adalah bukti kekuasaan Allah dan janji-Nya yang pasti terjadi.
Keterkaitan dan Relevansi Surat Al-Kahfi di Era Modern
Keempat kisah dalam Surat Al-Kahfi, meskipun berasal dari masa lampau, memiliki relevansi yang sangat kuat dengan tantangan dan fitnah yang kita hadapi di era modern:
- Fitnah Agama (Kisah Ashabul Kahf): Di era modern, fitnah agama bisa datang dalam bentuk ideologi sesat, tekanan sosial untuk meninggalkan syariat, atau keraguan yang ditanamkan terhadap ajaran Islam. Kisah Ashabul Kahf mengajarkan keteguhan iman, keberanian untuk berhijrah (meninggalkan lingkungan buruk), dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah.
- Fitnah Harta (Kisah Musa dan Khidr, juga pemilik kebun dalam Al-Kahfi): Kekayaan seringkali menjadi ujian. Manusia cenderung sombong dengan hartanya dan lupa akan Allah. Kisah Musa dan Khidr mengajarkan bahwa di balik kehilangan harta (perahu), ada hikmah perlindungan yang lebih besar. Juga, dalam Surat Al-Kahfi ada kisah pemilik dua kebun yang sombong dan akhirnya hartanya binasa, menjadi pelajaran tentang bahaya kesombongan harta.
- Fitnah Ilmu (Kisah Musa dan Khidr): Ilmu adalah karunia, tetapi bisa menjadi fitnah jika menimbulkan kesombongan. Kisah Musa dan Khidr menekankan bahwa ilmu Allah itu tak terbatas, dan manusia, sekaya apapun ilmunya, tetaplah fakir di hadapan Allah. Pentingnya kerendahan hati dalam mencari dan menyampaikan ilmu.
- Fitnah Kekuasaan (Kisah Dhul-Qarnayn): Kekuasaan bisa melalaikan atau membuat seseorang zalim. Dhul-Qarnayn adalah contoh pemimpin yang saleh, adil, dan menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan. Ini menjadi pelajaran bagi para pemimpin dan juga setiap individu yang memiliki pengaruh, untuk menggunakannya demi kebaikan dan menolong sesama.
Selain empat fitnah utama tersebut, Surat Al-Kahfi juga secara keseluruhan menjadi pelindung dari fitnah Dajjal. Dajjal akan datang dengan empat fitnah yang mirip: menyebarkan keraguan agama, menguasai kekayaan dunia, mengaku memiliki ilmu dan kekuatan supranatural, serta memegang kekuasaan mutlak. Dengan memahami dan mengamalkan hikmah Surat Al-Kahfi, umat Islam diharapkan memiliki benteng keimanan yang kokoh untuk menghadapi fitnah terbesar di akhir zaman ini.
Pesan utama Al-Kahfi adalah tentang kekuatan iman, kesabaran dalam menghadapi takdir, pentingnya tawakal, dan keterbatasan pengetahuan manusia di hadapan ilmu Allah yang Maha Luas. Ini adalah surat yang mempersiapkan jiwa untuk menghadapi berbagai ujian hidup, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dengan keyakinan penuh kepada Allah SWT.
Penutup
Surat Al-Kahfi adalah permata dalam Al-Qur'an, sebuah manual kehidupan yang komprehensif untuk membimbing umat manusia melewati labirin fitnah dunia. Melalui kisah-kisah yang disajikannya, terutama kisah Musa dan Khidr yang menyoroti batas pengetahuan dan kebijaksanaan Ilahi, kita diajak untuk merenung, bersabar, dan memperbaharui keyakinan kita kepada Allah SWT.
Ayat 74, dengan insiden pembunuhan anak, adalah sebuah pengingat yang kuat bahwa di balik setiap kejadian yang tampak buruk di mata kita, mungkin tersembunyi sebuah kebaikan dan hikmah yang jauh lebih besar. Ini mengajarkan kita untuk tidak mudah menghakimi, untuk bersabar atas takdir, dan untuk selalu percaya bahwa Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari Surat Al-Kahfi dan menjadikannya pelita dalam menjalani kehidupan ini, serta benteng pelindung dari segala fitnah.