Al-Kahfi 81-100: Kisah Dzulqarnain dan Tembok Ya'juj Ma'juj

Ilustrasi Dzulqarnain membangun tembok besar di antara dua gunung, dengan matahari terbit dan terbenam di latar belakang, melambangkan keadilan dan kekuasaan Ilahi.

Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan besar dalam Al-Qur'an. Ia kerap dibaca pada hari Jumat dan dikenal karena mengandung empat kisah utama yang penuh hikmah: kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Keempat kisah ini saling terkait dalam menyampaikan pesan-pesan fundamental tentang ujian keimanan, kesabaran, ilmu, dan kekuasaan. Fokus artikel ini akan mengupas tuntas kisah Dzulqarnain, yang tercantum dalam ayat 81 hingga 100, sebuah narasi yang menawarkan pelajaran mendalam tentang kepemimpinan yang adil, kebijaksanaan, tawakal kepada Allah, dan hakikat kekuasaan duniawi yang fana.

Kisah Dzulqarnain bukanlah sekadar cerita sejarah masa lampau, melainkan sebuah cermin bagi umat manusia di setiap zaman. Ia menampilkan potret seorang penguasa agung yang diberi kekuasaan, kekayaan, dan jalan yang lapang oleh Allah SWT. Namun, tidak seperti banyak penguasa lain yang tergelincir dalam kesombongan dan tirani, Dzulqarnain menggunakan anugerah tersebut untuk menegakkan keadilan, membantu kaum yang tertindas, dan menghadapi kezaliman, termasuk membangun penghalang kokoh untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj. Melalui perjalanannya ke timur dan barat bumi, serta pertemuannya dengan berbagai kaum, Al-Qur'an menggambarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang ideal dan bagaimana seorang hamba sejati seharusnya menyikapi kekuasaan yang dimilikinya.

Dalam bagian ini, kita akan menyelami setiap ayat dari 81 hingga 100 Surah Al-Kahfi, menguraikan maknanya, konteksnya, serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Pembahasan akan mencakup identitas Dzulqarnain (meskipun fokus utama pada narasi Al-Qur'an), detail perjalanannya, interaksinya dengan berbagai kaum, pembangunan tembok raksasa, serta isu tentang Ya'juj dan Ma'juj yang menjadi salah satu tanda-tanda besar hari kiamat. Mari kita telaah bersama keagungan firman Allah ini untuk memperkaya pemahaman kita dan mengambil pelajaran berharga bagi kehidupan.

Latar Belakang Kisah Dzulqarnain dalam Surah Al-Kahfi

Kisah Dzulqarnain datang sebagai jawaban atas pertanyaan kaum Yahudi kepada Rasulullah SAW, yang bertujuan menguji kenabian beliau. Mereka bertanya tentang roh, penghuni gua (Ashabul Kahfi), dan Dzulqarnain. Pertanyaan-pertanyaan ini menyoroti aspek-aspek gaib dan sejarah yang tidak diketahui banyak orang pada masa itu. Wahyu yang turun kemudian membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Kisah Dzulqarnain, khususnya, berfungsi sebagai gambaran tentang ujian kekuasaan dan bagaimana seorang yang beriman seharusnya menyikapinya.

Nama "Dzulqarnain" secara harfiah berarti "pemilik dua tanduk" atau "pemilik dua zaman/kurun". Banyak penafsiran yang mencoba mengidentifikasi siapa Dzulqarnain ini secara historis, dengan beberapa pandangan menyebutnya sebagai Aleksander Agung, Cyrus Agung (Kurusy Al-Akbar), atau bahkan seorang raja dari Yaman. Namun, Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan identitas historisnya, melainkan lebih menekankan pada sifat dan perbuatannya. Ini mengisyaratkan bahwa pesan dan pelajaran dari kisahnya jauh lebih penting daripada identitas pribadinya. Yang jelas, ia adalah seorang hamba Allah yang saleh, yang dianugerahi kekuasaan besar dan kebijaksanaan luar biasa.

Dzulqarnain: Sosok Penjelajah Adil Pilihan Ilahi

Dzulqarnain digambarkan sebagai pemimpin yang adil dan beriman. Ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas, melainkan untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, dan membangun peradaban. Allah memberinya "sebab" atau "jalan" (sababan) untuk mencapai berbagai tempat di bumi, yang bisa diartikan sebagai sarana, pengetahuan, kekuatan militer, atau kemampuan strategis. Ini menunjukkan bahwa Allah memberikan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki bukan hanya kekuasaan, tetapi juga cara untuk menggunakan kekuasaan itu dengan bijak.

Kisah ini menjadi contoh bagi setiap pemimpin dan individu. Kekuasaan, sekecil apa pun, adalah amanah. Bagaimana seseorang menggunakan kekuasaannya — apakah untuk kemaslahatan umat atau untuk kepentingan pribadi — akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Dzulqarnain adalah teladan dalam mengemban amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab dan ketundukan kepada perintah Allah SWT.

Penjelasan Ayat 81-100 Surah Al-Kahfi

Mari kita selami setiap ayat dalam rentang ini untuk memahami detail kisahnya dan pesan-pesan yang disampaikannya.

Ayat 81:

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا

"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia dapati di situ kaum (yang kafir). Kami berfirman, 'Wahai Dzulqarnain, engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka.'"

Ayat ini memulai narasi perjalanan Dzulqarnain. Ia melakukan perjalanan pertama ke arah barat, hingga mencapai "tempat terbenam matahari." Ungkapan ini tidak berarti bahwa matahari secara fisik terbenam di tempat tertentu di bumi, melainkan menggambarkan titik terjauh di barat yang dapat dicapai oleh Dzulqarnain. Dari sudut pandang visualnya, ia melihat matahari seolah-olah terbenam dalam "laut yang berlumpur hitam" (`ainin hami'atin`). Ini adalah gambaran metaforis atau optik, di mana cakrawala air laut bercampur dengan lumpur atau rawa, menciptakan ilusi visual seperti matahari tenggelam di dalamnya, atau bisa juga merujuk pada lautan luas dengan warna gelap karena kedalamannya atau lumpur di dasarnya.

Di sana, ia menemukan suatu kaum. Allah kemudian memberinya pilihan: untuk menghukum kaum tersebut atau memperlakukan mereka dengan baik. Pilihan ini menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan Dzulqarnain kekuasaan dan otoritas untuk memutuskan nasib suatu kaum. Ini adalah ujian bagi kepemimpinannya: apakah ia akan menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau untuk menegakkan keadilan dan kebaikan.

Ayat 82:

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا

"Dia berkata, 'Adapun orang yang berbuat zalim, kami akan menyiksanya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat pedih.'"

Dzulqarnain, dengan kebijaksanaan dan keadilannya, memilih untuk menegakkan keadilan. Ia membedakan antara orang-orang yang zalim dan orang-orang yang berbuat baik. Baginya, orang yang berbuat zalim akan dihukum di dunia ini (olehnya), dan setelah itu, mereka akan menghadapi siksaan yang lebih pedih di akhirat dari Allah SWT. Ini menunjukkan pemahamannya bahwa kekuasaan duniawi hanyalah sebagian dari keadilan, dan keadilan sejati adalah milik Allah di akhirat. Ia tidak menunda hukuman bagi yang zalim, namun ia juga mengakui bahwa siksaan Allah jauh lebih berat dan abadi.

Ayat 83:

وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا

"Dan adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik, dan akan Kami perintahkan kepadanya untuk berbuat yang mudah dari urusan kami."

Sebaliknya, bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Dzulqarnain menjanjikan pahala yang terbaik. Ini bisa berarti ia akan memperlakukan mereka dengan baik, memberi mereka kemudahan dalam hidup, atau mengajarkan mereka kebenaran agama. Ungkapan "akan Kami perintahkan kepadanya untuk berbuat yang mudah dari urusan kami" menunjukkan bahwa Dzulqarnain akan memberikan petunjuk dan arahan yang memudahkan kehidupan mereka, tidak membebani mereka dengan kesulitan, dan membantu mereka dalam kebaikan. Ini adalah prinsip dasar kepemimpinan yang adil: menghukum yang jahat dan memberi kemudahan serta penghargaan kepada yang baik.

Ayat 84:

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا

"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)."

Setelah urusannya di barat selesai, Dzulqarnain melanjutkan perjalanannya. Ungkapan "kemudian dia menempuh suatu jalan" mengisyaratkan keberlanjutan ekspedisinya yang penuh tujuan, dengan dukungan dan izin dari Allah. Ayat ini menunjukkan tekad Dzulqarnain untuk terus beramal saleh dan menjalankan misi yang telah Allah amanahkan kepadanya.

Ayat 85:

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا

"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (Timur), dia melihat matahari terbit menimpa suatu kaum yang tidak Kami jadikan bagi mereka selain dari itu (pelindung dari matahari)."

Dzulqarnain kini bergerak ke arah timur, mencapai titik terjauh di mana matahari terbit dari sudut pandangnya. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang hidup dalam kondisi sangat primitif. Mereka tidak memiliki bangunan, pakaian, atau apa pun yang dapat melindungi mereka dari teriknya matahari secara langsung. Ini adalah gambaran tentang kaum yang hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, mungkin juga dalam ketidaktahuan. Kondisi ini menyoroti keragaman manusia dan keadaan hidup mereka di berbagai belahan bumi, serta menguji respons seorang pemimpin yang saleh terhadap mereka.

Ayat 86:

كَذَٰلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا

"Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya (Dzulqarnain)."

Ayat ini adalah sisipan Ilahi yang menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui segala tindakan, niat, dan kondisi Dzulqarnain. Meskipun ia seorang penguasa besar, ia tetap berada di bawah pengawasan dan pengetahuan Allah SWT. Ini adalah pengingat bagi Dzulqarnain (dan bagi kita semua) bahwa tidak ada perbuatan yang luput dari pandangan Allah. Ini juga menegaskan bahwa segala "sebab" atau "jalan" yang diberikan kepadanya adalah dari Allah, dan Allah mengetahui bagaimana ia menggunakannya.

Ayat 87:

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا

"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)."

Setelah perjalanannya ke timur dan menghadapi kaum yang sederhana itu, Dzulqarnain kembali melanjutkan perjalanannya, menunjukkan tekad dan misinya yang tak berkesudahan.

Ayat 88:

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا

"Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia dapati di belakang kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti perkataan (orang lain)."

Ini adalah perjalanan ketiga dan yang paling signifikan. Dzulqarnain mencapai sebuah lokasi yang terletak di antara dua gunung, yang disebut "As-Saddain" (dua penghalang alami). Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum yang sangat terisolasi, yang "hampir tidak mengerti perkataan" (kaum yang bahasanya sulit dimengerti atau yang memiliki keterbatasan komunikasi). Keterbatasan bahasa ini menambah tantangan bagi Dzulqarnain untuk memahami masalah mereka dan berkomunikasi dengan mereka. Namun, ia tetap berusaha, menunjukkan kesabarannya dan keinginannya untuk membantu.

Ayat 89:

قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

"Mereka berkata, 'Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, maka bolehkah kami memberimu upah agar engkau membuatkan dinding antara kami dan mereka?'"

Kaum tersebut, meskipun memiliki keterbatasan bahasa, berhasil menyampaikan keluhan dan permohonan mereka kepada Dzulqarnain. Mereka mengeluhkan tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) sebagai makhluk-makhluk yang senantiasa berbuat kerusakan di bumi. Kaum itu meminta Dzulqarnain untuk membangun penghalang (saddan) antara mereka dan Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka menawarkan imbalan atau upah (kharjan) atas pekerjaan tersebut. Ini menunjukkan betapa menderitanya mereka akibat serangan Ya'juj dan Ma'juj, sehingga mereka bersedia membayar mahal untuk perlindungan.

Ayat 90:

قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا

"Dzulqarnain berkata, 'Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga) agar aku membuatkan dinding penghalang (radman) antara kamu dan mereka.'"

Dzulqarnain menunjukkan kemuliaan jiwanya dan ketidakbergantungannya pada harta duniawi. Ia menolak tawaran upah, menyatakan bahwa karunia yang telah Allah berikan kepadanya jauh lebih baik dan mencukupi. Ini adalah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang ikhlas, tidak berorientasi pada keuntungan pribadi, melainkan semata-mata mencari ridha Allah dan melayani umat. Ia hanya meminta bantuan tenaga dan kekuatan dari kaum tersebut, bukan harta, untuk membangun penghalang. Kata "radman" yang digunakan di sini (berbeda dengan "saddan" sebelumnya) menunjukkan konstruksi yang lebih kokoh dan kuat, mungkin mengindikasikan bahwa ia akan membangun sesuatu yang sangat besar dan tak tertembus.

Ayat 91:

آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انفُخُوا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا

"Berilah aku potongan-potongan besi!' Hingga apabila (potongan-potongan besi itu) telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia berkata, 'Tiup (api itu)!' Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia berkata, 'Berilah aku tembaga (yang sudah dicairkan) agar aku tuangkan ke atasnya.'"

Ayat ini merinci metode pembangunan tembok yang luar biasa oleh Dzulqarnain. Ia memerintahkan kaum tersebut untuk mengumpulkan "zubara al-hadid" (potongan-potongan besi atau lempengan besi). Setelah terkumpul dan disusun hingga ketinggian yang sama dengan kedua puncak gunung, ia memerintahkan untuk menyalakan api dan meniupnya dengan kencang sehingga besi-besi itu menjadi merah membara seperti api. Pada tahap ini, ia meminta "qitran" (tembaga cair atau timah cair) untuk dituang di atas besi yang membara tersebut. Ini adalah teknik metalurgi canggih untuk masanya, yang menciptakan paduan logam yang sangat kuat dan tidak bisa ditembus. Proses ini menunjukkan pengetahuan teknologi tinggi dan perencanaan yang matang dari Dzulqarnain, yang juga merupakan bagian dari "sebab" yang Allah berikan kepadanya.

Ayat 92:

فَمَا اسْطَاعُوا أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا

"Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya."

Dengan selesainya pembangunan tembok yang sangat kokoh tersebut, Ya'juj dan Ma'juj tidak lagi dapat menyerang kaum yang teraniaya itu. Mereka tidak mampu memanjat tembok yang tinggi dan licin itu, dan juga tidak mampu melubanginya karena kekerasan dan ketebalannya. Ini adalah bukti kekuatan dan efektivitas tembok yang dibangun Dzulqarnain, menunjukkan bahwa ia berhasil melaksanakan tugasnya untuk melindungi kaum tersebut dari kerusakan Ya'juj dan Ma'juj.

Ayat 93:

قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي ۖ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا

"Dzulqarnain berkata, 'Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila telah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.'"

Setelah berhasil membangun tembok, Dzulqarnain tidak menyombongkan diri atas pencapaiannya. Sebaliknya, ia langsung mengaitkan keberhasilan itu dengan rahmat Allah SWT. Ini menunjukkan keimanan dan tawakal yang kuat. Ia menyadari bahwa kekuasaannya, pengetahuannya, dan kemampuannya semua berasal dari Allah. Lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa tembok ini tidak akan bertahan selamanya. Akan tiba suatu masa, sesuai dengan "janji Tuhanku" (yaitu tanda-tanda hari kiamat), di mana tembok itu akan dihancurkan ("dakka'a" - hancur luluh atau rata dengan tanah). Ia menutupnya dengan pernyataan bahwa "janji Tuhanku itu adalah benar," menunjukkan keyakinan mutlaknya akan kebenaran janji Allah. Ayat ini memberikan wawasan penting tentang sifat sementara dari segala pencapaian duniawi dan kepastian akan hari kiamat.

Ayat 94:

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا

"Kami biarkan pada hari itu sebagian mereka berbaur dengan sebagian yang lain. Lalu ditiuplah sangkakala, maka Kami kumpulkan mereka semuanya."

Ayat ini melompat ke masa depan, menggambarkan skenario ketika tembok Ya'juj dan Ma'juj hancur. Pada saat itu, Ya'juj dan Ma'juj akan "berbaur dengan sebagian yang lain," yang berarti mereka akan keluar berbondong-bondong, membanjiri bumi dalam jumlah yang sangat besar, berdesak-desakan, dan menyebar ke segala arah, menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Kemudian, ayat ini melanjutkan ke peristiwa Hari Kiamat: "Lalu ditiuplah sangkakala, maka Kami kumpulkan mereka semuanya." Ini adalah gambaran tentang kebangkitan dan pengumpulan seluruh umat manusia (termasuk Ya'juj dan Ma'juj) di Padang Mahsyar untuk dihisab. Ayat ini menghubungkan kisah Dzulqarnain dengan eskatologi Islam, menekankan bahwa kehancuran tembok Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu tanda besar menjelang akhir zaman, yang diikuti oleh datangnya Hari Kiamat.

Ayat 95:

وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَافِرِينَ عَرْضًا

"Dan Kami perlihatkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan sejelas-jelasnya."

Setelah pengumpulan di hari kiamat, ayat ini menggambarkan salah satu pemandangan dahsyat: neraka Jahannam akan diperlihatkan "dengan sejelas-jelasnya" kepada orang-orang kafir. Ini adalah momen kebenaran, di mana tidak ada lagi keraguan atau penolakan. Orang-orang kafir akan menyaksikan sendiri akibat dari kekafiran dan perbuatan buruk mereka di dunia, menambah kengerian hisab mereka.

Ayat 96:

الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ عَن ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا

"Yaitu orang-orang yang mata mereka dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar (ajaran-Ku)."

Ayat ini menjelaskan siapa orang-orang kafir yang akan diperlihatkan Jahannam itu. Mereka adalah orang-orang yang selama hidup di dunia "mata mereka dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Ku (Allah)" dan "tidak sanggup mendengar (ajaran-Ku)." Ini adalah gambaran metaforis. Bukan berarti mereka buta atau tuli secara fisik, melainkan hati dan pikiran mereka tertutup dari kebenaran. Mereka menolak untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta dan dalam diri mereka sendiri, serta menolak untuk mendengar dan mengikuti petunjuk dari para Rasul. Kesombongan, kefasikan, dan penolakan itulah yang menyebabkan mereka menjadi buta dan tuli terhadap kebenaran, sehingga berujung pada siksa neraka.

Ayat 97:

أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِن دُونِي أَوْلِيَاءَ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا

"Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka dapat menjadikan hamba-hamba-Ku sebagai penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir."

Ayat ini merupakan celaan dan peringatan keras bagi orang-orang kafir yang menyekutukan Allah atau mengambil pelindung selain Dia. Mereka menyangka bahwa dengan menjadikan "hamba-hamba-Ku" (seperti nabi, orang saleh, malaikat, atau berhala) sebagai pelindung atau sesembahan selain Allah, mereka akan selamat. Padahal, hanya Allah-lah satu-satunya pelindung dan tempat bergantung. Ayat ini mengakhiri kisah Dzulqarnain dan beralih ke inti pesan Surah Al-Kahfi: pentingnya tauhid dan bahaya syirik. Allah menegaskan bahwa Jahannam telah disediakan sebagai "tempat tinggal" (nuzulan) bagi mereka yang tetap dalam kekafiran.

Ayat 98:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا

"Katakanlah (wahai Muhammad), 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'"

Ini adalah pertanyaan retoris yang menarik perhatian pendengar untuk mengetahui siapa golongan yang paling merugi. Pertanyaan ini disajikan untuk menggugah kesadaran dan merenungkan kondisi diri, agar tidak termasuk dalam golongan tersebut. Ini juga mempersiapkan untuk ayat berikutnya yang akan menjelaskan siapa mereka.

Ayat 99:

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya."

Ayat ini menjawab pertanyaan sebelumnya. Orang-orang yang paling merugi adalah mereka yang usahanya di dunia ini sia-sia, meskipun mereka sendiri merasa telah berbuat kebaikan dan melakukan yang terbaik. Ini adalah kondisi paling berbahaya: melakukan banyak hal, berusaha keras, tetapi semua itu tidak bernilai di sisi Allah karena didasari kekafiran, syirik, riya', atau tidak sesuai dengan syariat-Nya. Mereka adalah orang-orang yang sibuk dengan dunia, mengejar ambisi, ilmu, atau harta, tetapi tanpa landasan iman yang benar, sehingga semua pencapaian itu tidak memiliki bobot di akhirat.

Ayat 100:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا

"Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) pertemuan dengan Dia. Maka hapuslah amal-amal mereka, dan Kami tidak akan memberi bobot kepada amal mereka pada hari kiamat."

Ayat terakhir dalam rentang ini menjelaskan akar masalah kerugian mereka: kekafiran terhadap ayat-ayat Allah (baik Al-Qur'an maupun tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta) dan kekafiran terhadap pertemuan dengan Allah di akhirat. Karena dasar keimanan yang rapuh atau tidak ada sama sekali, semua amal mereka menjadi "hapus" (habithat) dan tidak memiliki "bobot" (waznan) di hari kiamat. Artinya, semua usaha dan perbuatan baik yang mereka kira telah mereka lakukan tidak akan dihitung sebagai pahala, karena syarat utama penerimaan amal adalah keimanan dan ketauhidan. Ini adalah peringatan keras bahwa iman adalah fondasi segala amal, dan tanpa iman yang benar, segala usaha duniawi tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah.

Kisah Dzulqarnain: Simbol Kekuasaan dan Keadilan

Kisah Dzulqarnain, sebagaimana diceritakan dalam Surah Al-Kahfi, adalah salah satu narasi paling inspiratif dalam Al-Qur'an tentang kepemimpinan yang saleh dan kekuasaan yang digunakan untuk kebaikan. Identitas historis Dzulqarnain mungkin tetap menjadi perdebatan para sejarawan dan mufassir, namun Al-Qur'an memilih untuk tidak fokus pada nama atau garis keturunannya, melainkan pada karakter, tindakan, dan hikmah yang dapat diambil dari kisahnya.

Sosok yang Diberi Kekuatan dan Jalan

Al-Qur'an memulai kisah Dzulqarnain dengan menegaskan bahwa Allah telah memberinya kekuasaan di muka bumi dan memberinya "sebab" atau "jalan" (sababan) untuk mencapai segala sesuatu. Ini berarti Allah melengkapinya dengan segala sarana yang diperlukan: kekuatan fisik, strategi militer, pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan mengatur. Ini bukan semata-mata anugerah harta, melainkan kemampuan untuk mengelola dan menggunakan sumber daya dengan efektif. Kekuatan ini adalah ujian, dan Dzulqarnain membuktikan dirinya layak mengemban amanah tersebut.

Perjalanan Menegakkan Keadilan

Perjalanan Dzulqarnain terbagi menjadi tiga fase utama, masing-masing dengan pelajaran tersendiri:

  1. Ke Barat (Tempat Terbenam Matahari): Di sini ia dihadapkan pada sebuah kaum yang mungkin zalim. Allah memberinya pilihan untuk menghukum atau berbuat baik. Dzulqarnain memilih jalan keadilan: menghukum yang zalim sebagai balasan atas kejahatan mereka di dunia, dan menegaskan bahwa siksaan Allah di akhirat jauh lebih pedih. Bagi yang beriman dan beramal saleh, ia menjanjikan pahala terbaik dan kemudahan. Ini menunjukkan prinsipnya dalam menegakkan hukum berdasarkan keadilan dan keimanan.
  2. Ke Timur (Tempat Terbit Matahari): Di sini ia menemukan kaum yang hidup dalam kesederhanaan ekstrem, tanpa perlindungan dari sengatan matahari. Al-Qur'an tidak merinci tindakan Dzulqarnain terhadap mereka, namun menekankan bahwa Allah meliputi segala yang ada padanya dengan ilmu-Nya. Ini mengisyaratkan bahwa Dzulqarnain pasti bertindak dengan cara yang bijaksana dan sesuai dengan kebutuhan kaum tersebut, sesuai dengan prinsip keadilannya.
  3. Antara Dua Gunung (Menghadapi Ya'juj dan Ma'juj): Ini adalah puncak dari perjalanannya. Ia bertemu kaum yang terisolasi dan menderita akibat serangan Ya'juj dan Ma'juj. Mereka meminta Dzulqarnain untuk membangun penghalang dan menawarkan upah.

Ketulusan dan Tawakal

Sikap Dzulqarnain dalam menanggapi permohonan kaum di antara dua gunung adalah teladan ketulusan. Ia menolak upah, menyatakan bahwa karunia Allah kepadanya sudah lebih dari cukup. Ini menunjukkan bahwa motifnya bukan kekayaan atau pujian, melainkan semata-mata untuk melaksanakan tugas dan mencari ridha Allah. Ia hanya meminta bantuan tenaga, menekankan semangat gotong royong dan bahwa ia hanyalah perantara rahmat Allah.

Setelah pembangunan tembok selesai, ia tidak berbangga diri. Sebaliknya, ia langsung mengatakan, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." Ini adalah puncak dari tawakal dan pengakuan akan kekuasaan Ilahi. Ia memahami bahwa segala pencapaiannya adalah berkat Allah semata, bukan karena kehebatan pribadinya. Ia juga mengingatkan bahwa tembok itu akan hancur pada waktu yang telah ditetapkan Allah, menegaskan sifat fana segala ciptaan dan kepastian janji Allah.

Ya'juj dan Ma'juj: Ancaman Akhir Zaman

Kisah Dzulqarnain tidak hanya menyoroti kepemimpinan yang adil, tetapi juga memperkenalkan salah satu tanda besar hari kiamat: Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog). Mereka digambarkan sebagai kaum yang "berbuat kerusakan di muka bumi." Sepanjang sejarah, mereka menjadi simbol kekuatan yang merusak, menindas, dan mengancam peradaban.

Siapa Ya'juj dan Ma'juj?

Meskipun Al-Qur'an tidak memberikan detail identitas etnis atau lokasi geografis mereka secara spesifik, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Nuh AS, dari anak Yafits. Mereka adalah manusia, tetapi memiliki karakteristik khusus: jumlah mereka sangat banyak, kekuatan fisik yang luar biasa, dan kecenderungan untuk berbuat kerusakan. Mereka telah dikurung di balik tembok yang dibangun Dzulqarnain, namun akan dilepaskan menjelang hari kiamat.

Tembok dan Kehancurannya

Tembok yang dibangun Dzulqarnain adalah hasil dari teknologi dan kekuatan yang luar biasa. Terbuat dari besi dan tembaga cair, ia begitu kokoh sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak dapat memanjatnya maupun melubanginya. Keberadaan tembok ini merupakan manifestasi dari rahmat Allah untuk melindungi kaum yang lemah dari gangguan perusak. Namun, Dzulqarnain sendiri telah meramalkan kehancurannya. Ini akan terjadi ketika "janji Tuhanku telah datang," yaitu pada waktu yang telah ditentukan Allah menjelang kiamat.

Ketika tembok itu runtuh, Ya'juj dan Ma'juj akan keluar berbondong-bondong, memenuhi bumi. Hadis-hadis menyebutkan bahwa mereka akan meminum seluruh air di danau dan sungai, memakan semua tanaman, dan menyebarkan kerusakan besar di antara manusia. Mereka akan menjadi ujian besar bagi umat manusia yang tersisa. Kehancuran tembok ini adalah salah satu tanda paling jelas bahwa hari kiamat semakin dekat, menandakan berakhirnya tatanan dunia seperti yang kita kenal.

Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Dzulqarnain

Kisah Dzulqarnain bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan mengandung mutiara hikmah yang relevan bagi kehidupan setiap Muslim di setiap zaman. Beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil antara lain:

1. Kekuasaan adalah Amanah dan Ujian

Dzulqarnain adalah contoh bagaimana seorang pemimpin harus menggunakan kekuasaannya. Ia diberi kekuasaan yang luar biasa, tetapi ia menggunakannya bukan untuk menindas atau memperkaya diri, melainkan untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, dan mencegah kerusakan. Ini mengajarkan bahwa setiap bentuk kekuasaan, sekecil apa pun dalam kehidupan sehari-hari, adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Penguasa sejati adalah yang melayani rakyatnya, bukan sebaliknya.

2. Pentingnya Keadilan dan Kebijaksanaan

Dalam perjalanannya, Dzulqarnain selalu bertindak adil. Ia membedakan antara yang zalim dan yang berbuat baik, memberikan balasan sesuai perbuatan. Ia juga menunjukkan kebijaksanaan dalam menolak upah dan memilih untuk mendapatkan bantuan tenaga, serta dalam merencanakan pembangunan tembok yang canggih. Ini menekankan bahwa keadilan harus menjadi inti setiap keputusan, dan kebijaksanaan adalah alat untuk mencapai kebaikan yang optimal.

3. Tawakal dan Rendah Hati di Hadapan Allah

Meskipun Dzulqarnain adalah seorang raja yang perkasa dengan pencapaian yang spektakuler, ia tidak pernah menyombongkan diri. Setiap keberhasilannya ia nisbatkan kepada rahmat Allah. Ini adalah esensi tawakal dan kerendahan hati seorang hamba. Mengakui bahwa semua kekuatan dan kemampuan berasal dari Allah adalah kunci untuk menghindari kesombongan dan tetap berada di jalan yang benar.

4. Sifat Fana' Dunia dan Kepastian Hari Akhir

Dzulqarnain sendiri menyatakan bahwa tembok yang dibangunnya, betapa pun kokohnya, akan hancur pada saat yang ditentukan Allah. Ini mengingatkan kita bahwa semua pencapaian duniawi, semua kekuatan dan kemegahan, pada akhirnya akan musnah. Hanya amal saleh yang didasari iman yang akan kekal. Kisah ini juga menguatkan keyakinan akan hari kiamat dan hisab, di mana setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan.

5. Bahaya Kekafiran dan Syirik

Bagian akhir dari ayat-ayat ini (95-100) secara tegas mengalihkan fokus kepada nasib orang-orang kafir. Mereka yang buta hati dari ayat-ayat Allah dan menolak pertemuan dengan-Nya akan merugi. Amal-amal mereka, meskipun terlihat baik di mata dunia, akan sia-sia di sisi Allah karena tidak didasari keimanan yang benar. Ini adalah peringatan keras tentang pentingnya tauhid dan bahaya syirik sebagai penghapus segala amal baik.

6. Motivasi Beramal Ikhlas

Dzulqarnain menolak harta ketika ditawari, menunjukkan bahwa motivasinya adalah melayani Allah dan manusia, bukan mencari keuntungan pribadi. Ini menjadi teladan bagi kita untuk selalu beramal dengan niat yang ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah, tanpa mengharapkan imbalan duniawi. Amal yang ikhlas akan memiliki bobot di sisi Allah, meskipun kecil.

7. Peran Teknologi dan Ilmu dalam Islam

Pembangunan tembok oleh Dzulqarnain menggunakan teknik metalurgi yang canggih untuk zamannya. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak anti terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, umat Islam didorong untuk mencari ilmu dan menggunakan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia, selama tidak bertentangan dengan syariat Allah. Dzulqarnain memanfaatkan pengetahuannya untuk menciptakan solusi yang efektif dan tahan lama.

Secara keseluruhan, kisah Dzulqarnain dalam Surah Al-Kahfi adalah pengingat abadi akan pentingnya mengemban amanah kekuasaan dengan keadilan, kebijaksanaan, dan tawakal kepada Allah. Ia juga memberikan gambaran tentang realitas akhir zaman dengan kemunculan Ya'juj dan Ma'juj, serta menegaskan bahwa hanya iman dan amal saleh yang didasari tauhid yang akan menyelamatkan seseorang di hari kiamat.

Kesimpulan

Surah Al-Kahfi ayat 81-100 menyajikan kepada kita kisah Dzulqarnain, seorang pemimpin yang adil dan beriman, yang diberi kekuasaan luas oleh Allah SWT. Melalui perjalanannya ke barat, timur, dan ke tempat di antara dua gunung, ia menunjukkan bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan: untuk menegakkan keadilan, membantu kaum yang tertindas, dan membangun perlindungan dari kekuatan perusak seperti Ya'juj dan Ma'juj. Kisahnya adalah potret ideal seorang pemimpin yang tawakal kepada Allah, rendah hati, dan tidak tergiur oleh gemerlap dunia.

Pembangunan tembok kokoh yang mampu membendung Ya'juj dan Ma'juj adalah manifestasi dari rahmat dan kekuasaan Allah, serta kecanggihan teknologi yang digunakan Dzulqarnain. Namun, ia mengingatkan bahwa tembok tersebut, seperti segala sesuatu di dunia ini, bersifat fana dan akan hancur pada waktu yang telah Allah tetapkan, yang merupakan salah satu tanda besar menjelang hari kiamat. Ini adalah pengingat kuat akan kepastian akhirat dan transiensi kehidupan duniawi.

Ayat-ayat penutup dari rentang ini, khususnya ayat 95-100, memberikan peringatan keras kepada orang-orang kafir. Mereka yang buta hati terhadap ayat-ayat Allah dan menolak hari akhir akan mendapati semua usaha dan amal mereka sia-sia, tanpa bobot sedikit pun di hari kiamat. Ini menegaskan bahwa fondasi segala amal adalah keimanan yang murni kepada Allah (tauhid), dan tanpa itu, segala bentuk kebaikan tidak akan diterima. Dzulqarnain, dengan segala kekuasaan dan kemampuannya, selalu mengaitkan keberhasilannya dengan rahmat Tuhannya, sebuah pelajaran fundamental bagi setiap Muslim.

Dengan merenungkan kisah Dzulqarnain, kita diajak untuk introspeksi: bagaimana kita menggunakan kekuatan atau pengaruh yang kita miliki? Apakah kita berlaku adil? Apakah kita tawakal kepada Allah dalam setiap tindakan? Dan yang terpenting, apakah amal-amal kita didasari oleh keimanan yang tulus kepada Allah SWT dan hari akhir? Kisah ini adalah pedoman bagi setiap individu untuk menjadi pribadi yang lebih baik, pemimpin yang lebih adil, dan hamba Allah yang lebih taat, dengan senantiasa mengingat bahwa segala sesuatu kembali kepada Allah SWT.

🏠 Homepage