Pengantar Surah Al-Kahfi dan Kisah Dhul-Qarnayn
Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam kitab suci Al-Qur'an, menempati posisi yang sangat mulia dan istimewa dalam hati umat Islam. Dinamai "Gua" karena di dalamnya terkandung narasi inspiratif tentang tujuh pemuda beriman (Ashabul Kahfi) yang memilih bersembunyi di dalam gua guna menjaga dan melindungi akidah mereka dari kekejaman penguasa zalim. Surah ini merupakan permadani yang kaya akan pelajaran moral, spiritual, etika kehidupan, dan isyarat-isyarat eskatologis (perihal akhir zaman). Secara garis besar, Al-Kahfi menyajikan empat kisah utama yang menjadi pilar pesan-pesan penting bagi umat manusia, yaitu: kisah Ashabul Kahfi, perumpamaan tentang dua pemilik kebun, kisah perjalanan pencarian ilmu Nabi Musa AS bersama Khidir AS, dan kisah Dhul-Qarnayn (Sang Pemilik Dua Tanduk atau Dua Zaman). Keempat kisah ini saling terkait satu sama lain, membentuk sebuah narasi utuh yang menyajikan beragam ujian keimanan, godaan duniawi, urgensi ilmu pengetahuan, pentingnya kesabaran, serta kemahakuasaan dan keadilan Ilahi.
Di antara empat pilar kisah tersebut, narasi tentang Dhul-Qarnayn, yang tersusun di bagian akhir surah, khususnya dari ayat 83 hingga 101, adalah sebuah epik yang memukau. Ia mengisahkan seorang raja atau penguasa yang saleh, yang dianugerahi oleh Allah SWT dengan kekuasaan yang luas, sarana yang memadai, dan ilmu untuk menjelajahi berbagai penjuru bumi. Misinya adalah untuk menegakkan keadilan, menolong kaum yang tertindas, dan menyebarkan kebaikan. Artikel ini akan memfokuskan pembahasannya pada segmen terakhir dan paling krusial dari perjalanan epik Dhul-Qarnayn, yaitu ayat Al-Kahfi 90-100. Bagian ini secara spesifik menguraikan pertemuannya dengan suatu kaum yang hidup di antara dua gunung, yang terus-menerus terancam oleh keganasan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog), serta bagaimana Dhul-Qarnayn kemudian membangun sebuah tembok atau benteng raksasa sebagai solusi permanen untuk melindungi mereka.
Melakukan pembahasan mendalam tentang Al-Kahfi 90-100 bukan sekadar mengurai rangkaian peristiwa sejarah atau menguak misteri kuno. Lebih dari itu, ia adalah sebuah upaya untuk menggali lapisan-lapisan makna, pelajaran moral yang tak lekang oleh waktu, serta isyarat-isyarat masa depan yang terkandung di dalamnya. Kisah ini sarat dengan ajaran fundamental tentang kepemimpinan yang adil dan ikhlas, kekuatan doa dan pertolongan Ilahi, pentingnya kerja keras dan partisipasi kolektif, serta pemahaman akan batasan kekuasaan manusia di hadapan kekuasaan absolut Allah SWT. Terlebih lagi, kehadiran dan perihal Ya'juj dan Ma'juj menjadi salah satu tanda besar akan datangnya Hari Kiamat yang wajib dipahami dan diyakini oleh setiap Muslim, sebagai pengingat akan kefanaan dunia dan keniscayaan akhirat.
Oleh karena itu, mari kita selami setiap ayat dalam segmen ini dengan hati yang terbuka dan pikiran yang jernih, agar kita dapat memetik hikmah sebanyak-banyaknya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Al-Qur'an benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam.
Perjalanan Dhul-Qarnayn: Menuju Timur yang Jauh dan Pertemuan dengan Kaum Tanpa Pelindung
Al-Qur'an secara ringkas namun padat menggambarkan Dhul-Qarnayn sebagai seorang penguasa agung yang melakukan tiga ekspedisi besar yang monumental. Tiga ekspedisi ini membawanya menjelajahi tiga arah mata angin yang berbeda. Eksposisi kita akan memulai fokus pada awal perjalanan ketiga, yang secara spesifik membawanya ke wilayah timur, sebuah perjalanan yang dilakukan setelah dua perjalanan sebelumnya ke arah barat dan ke tempat terbitnya matahari. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kahfi ayat 89-90, memberikan gambaran awal tentang perjalanannya yang tak kenal lelah:
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا (89)
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا (90)
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain). Hingga ketika dia sampai di tempat terbit matahari, (dia melihat matahari itu) menyinari suatu kaum yang tidak Kami buatkan suatu pelindung bagi mereka dari (sinaran) matahari itu."
Ayat 90 ini, meskipun singkat, menjadi titik tolak penting bagi pembahasan kita yang lebih mendalam mengenai ayat-ayat Al-Kahfi 90-100. Setelah Dhul-Qarnayn mencapai apa yang disebut "tempat terbitnya matahari" dalam narasi sebelumnya (Al-Kahfi ayat 89), ia melanjutkan perjalanannya yang tak berujung. Frasa "kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)" (ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا) adalah indikator kuat dari determinasi, ketekunan, dan sifat penjelajahannya yang berkelanjutan. Ini bukan sekadar perjalanan biasa yang didorong oleh ambisi pribadi, melainkan sebuah ekspedisi besar yang diilhami dan didukung penuh oleh sarana serta petunjuk langsung dari Allah SWT.
Para ulama tafsir secara ekstensif telah menafsirkan frasa "tempat terbit matahari" (مَطْلِعَ الشَّمْسِ) sebagai suatu daerah atau wilayah geografis di ujung timur bumi yang dikenal atau dapat dijangkau pada masa itu, bukan secara harfiah tempat di mana matahari secara fisik terbit dari cakrawala. Hal ini mengisyaratkan suatu wilayah yang sangat, sangat jauh di timur, di mana peradaban mungkin belum berkembang pesat atau memiliki ciri khas tertentu. Di sana, Dhul-Qarnayn bertemu dengan sebuah kaum yang hidup dalam kondisi yang sangat primitif dan rentan. Mereka digambarkan sebagai "kaum yang tidak Kami buatkan suatu pelindung bagi mereka dari (sinaran) matahari itu" (لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا). Deskripsi ini dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara:
- Secara Harfiah: Mereka adalah kaum yang hidup di daerah terbuka, mungkin tanpa tempat tinggal yang memadai, atau tanpa pakaian yang cukup untuk melindungi diri dari terik matahari yang menyengat. Iklim di daerah tersebut mungkin ekstrem, dan mereka tidak memiliki teknologi atau pengetahuan untuk membangun perlindungan.
- Secara Kiasan: Frasa ini juga dapat merujuk pada ketidakberdayaan mereka secara umum, baik dari segi fisik maupun peradaban. Mereka mungkin tidak memiliki kekuatan politik, militer, atau sosial yang dapat melindungi mereka dari ancaman eksternal maupun internal.
Kondisi kaum ini menunjukkan bahwa perjalanan Dhul-Qarnayn tidak hanya membawanya bertemu dengan peradaban-peradaban maju, tetapi juga dengan komunitas-komunitas yang sangat membutuhkan bantuan, bimbingan, dan perlindungan. Ini menggarisbawahi peran Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin yang diutus untuk membawa keadilan dan pertolongan bagi siapa pun yang membutuhkan, tanpa memandang tingkat peradaban atau kekayaan mereka. Ini adalah manifestasi dari rahmat Allah yang melingkupi seluruh makhluk-Nya melalui perantaraan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Pertemuan di Antara Dua Gunung: Ayat 92-93 dan Kaum yang Terisolasi
Perjalanan Dhul-Qarnayn yang penuh berkah dan makna tidaklah berhenti di tempat terbitnya matahari. Setelah Dhul-Qarnayn menunaikan tugasnya dengan menolong kaum yang hidup tanpa pelindung di sana, ia melanjutkan petualangannya, bergerak maju melintasi berbagai lanskap dan menghadapi tantangan-tantangan baru, hingga akhirnya ia bertemu dengan kaum lain yang berada dalam penderitaan. Ayat-ayat berikutnya, yaitu Al-Kahfi 92-93, membawa kita pada segmen paling krusial dan menjadi puncak dari kisah perjalanan Dhul-Qarnayn, di mana ia akan terlibat dalam proyek monumental yang tercatat dalam sejarah Al-Qur'an:
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا (92)
حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا (93)
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain). Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan."
Ayat 92 kembali menegaskan karakter Dhul-Qarnayn sebagai seorang penjelajah yang gigih dan memiliki tekad baja. Frasa "kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)" (ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا) adalah pengulangan yang penting, mengindikasikan bahwa perjalanannya bukanlah sebuah tindakan acak, melainkan serangkaian ekspedisi yang terencana dengan matang atau terinspirasi secara ilahi. Ia terus bergerak maju, dengan bekal ilmu, sarana, dan kekuatan yang dianugerahkan Allah, mencari tempat-tempat yang membutuhkan keadilan, perlindungan, dan bimbingan.
Puncak dari perjalanannya adalah ketika Dhul-Qarnayn tiba "di antara dua gunung" (حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ). Frasa "bainas-saddain" (بَيْنَ السَّدَّيْنِ) secara harfiah dapat diartikan "di antara dua bendungan" atau "dua penghalang". Dalam konteks geografis, ini merujuk pada dua pegunungan besar yang menjulang tinggi, yang membentang luas dan menciptakan sebuah celah atau lembah sempit di antara keduanya. Lokasi ini kemudian akan menjadi situs strategis bagi pembangunan tembok yang akan memisahkan kaum tersebut dari ancaman besar. Di tempat inilah, Dhul-Qarnayn bertemu dengan sebuah kaum yang digambarkan memiliki kendala signifikan dalam komunikasi: "mereka hampir tidak mengerti pembicaraan" (قَوْمًا لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا). Frasa ini dapat diinterpretasikan dalam beberapa dimensi:
- Hambatan Bahasa: Kemungkinan besar, mereka berbicara bahasa yang sangat asing dan kompleks, sehingga sangat sulit dimengerti oleh Dhul-Qarnayn dan pasukannya, atau sebaliknya.
- Tingkat Peradaban yang Rendah: Ini juga bisa mengindikasikan bahwa mereka memiliki tingkat pemahaman yang sangat mendasar atau peradaban yang sangat terbelakang, sehingga mereka sulit mencerna konsep-konsep atau ide-ide yang kompleks. Komunikasi yang efektif mungkin membutuhkan pendekatan yang lebih sederhana dan visual.
- Ujian bagi Dhul-Qarnayn: Kondisi ini menjadi ujian bagi Dhul-Qarnayn untuk menunjukkan kesabarannya, kebijaksanaannya, dan kemampuannya sebagai pemimpin dalam menemukan cara berkomunikasi yang efektif, bahkan dengan kaum yang paling terisolasi sekalipun. Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati harus mampu melampaui hambatan-hambatan komunikasi demi membantu rakyatnya.
Meskipun ada kendala bahasa atau pemahaman yang nyata, kaum ini pada akhirnya berhasil menyampaikan pesan yang sangat mendesak dan penting kepada Dhul-Qarnayn. Ini adalah bukti bahwa penderitaan dan kebutuhan mereka telah mencapai puncaknya, dan mereka menemukan cara, mungkin melalui isyarat atau bahasa yang sangat sederhana, untuk mengutarakan ancaman yang mereka hadapi. Pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi yang membawa Dhul-Qarnayn ke tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, untuk menunaikan tugas sucinya sebagai penegak keadilan dan pelindung kaum yang lemah.
Kisah ini mengajarkan kita pentingnya untuk tidak mengabaikan siapa pun, betapapun terbelakang atau terisolasi mereka, karena setiap manusia memiliki hak untuk hidup aman dan damai. Dhul-Qarnayn adalah cerminan dari seorang pemimpin yang tidak hanya memiliki kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual untuk memahami kebutuhan yang tak terucapkan sekalipun.
Rintihan Kaum yang Teraniaya: Ancaman Ya'juj dan Ma'juj (Ayat 94)
Setelah Dhul-Qarnayn dengan sabar dan bijaksana berhasil mengatasi kendala komunikasi yang ada, kaum yang ia temui di antara dua gunung itu akhirnya dapat menyampaikan keluhan dan permohonan mereka yang paling mendesak. Keluhan ini bukan sekadar masalah sepele, melainkan ancaman eksistensial yang telah lama menghantui hidup mereka. Permohonan krusial ini terekam dengan jelas dalam Al-Kahfi ayat 94:
قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا (94)
"Mereka berkata, 'Wahai Dhul-Qarnayn! Sungguh, Ya'juj dan Ma'juj itu (kelompok) yang berbuat kerusakan di bumi, maka bersediakah engkau kami beri imbalan agar engkau membuatkan dinding (pemisah) antara kami dan mereka?'"
Ayat ini merupakan inti dari permasalahan yang harus ditangani oleh Dhul-Qarnayn. Kaum tersebut, dengan nada keputusasaan yang mendalam, langsung mengidentifikasi sumber penderitaan mereka: Ya'juj dan Ma'juj. Mereka digambarkan dengan frasa yang sangat kuat dan mengerikan: "mufsiduuna fil-ardh" (yang berbuat kerusakan di bumi). Deskripsi ini bukan hanya sekadar merujuk pada perampokan atau penjarahan biasa; ia menggambarkan skala kehancuran, kebrutalan, dan kekejaman yang sistematis yang mereka timbulkan. Ya'juj dan Ma'juj bukan sekadar kelompok kecil perampok, melainkan kekuatan yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan, mengancam kehidupan dan keamanan kaum yang lemah ini secara fundamental.
Dari permohonan yang disampaikan oleh kaum yang teraniaya ini, kita dapat menarik beberapa poin penting mengenai situasi mereka dan harapan yang mereka sandarkan kepada Dhul-Qarnayn:
- Keputusasaan yang Mendalam: Kaum ini jelas-jelas telah menderita dalam waktu yang lama dan berada dalam kondisi yang sangat putus asa. Mereka telah mencapai titik di mana mereka tidak lagi mampu membela diri atau menemukan solusi sendiri. Kehadiran Dhul-Qarnayn dilihat sebagai harapan terakhir mereka, satu-satunya individu yang memiliki kekuatan, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah besar yang telah lama menghantui mereka.
- Pengakuan atas Kekuatan dan Reputasi Dhul-Qarnayn: Fakta bahwa mereka berani mengajukan permintaan sebesar itu kepada Dhul-Qarnayn menunjukkan bahwa mereka pasti sudah mendengar reputasinya yang tersebar luas, atau mereka telah menyaksikan sendiri sebagian dari kemampuannya yang luar biasa. Mereka percaya bahwa Dhul-Qarnayn adalah satu-satunya entitas yang mampu membangun benteng sehebat dan sekuat yang mereka butuhkan untuk menghadapi ancaman Ya'juj dan Ma'juj.
- Kesediaan untuk Berkorban dan Berpartisipasi: Mereka tidak datang dengan tangan kosong atau hanya menuntut. Mereka menawarkan "kharjan" (خَرْجًا), yang bisa diartikan sebagai imbalan, upah, atau upeti. Ini adalah bukti konkret dari kesediaan mereka untuk menyumbangkan harta atau tenaga demi terwujudnya benteng tersebut. Penawaran ini menggarisbawahi betapa mendesaknya kebutuhan mereka akan perlindungan, dan menunjukkan kesiapan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam solusi. Ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah proposal kerja sama.
- Spesifikasi Solusi yang Jelas: Menariknya, mereka tidak hanya mengeluh tentang masalah, tetapi juga menyarankan solusi spesifik: "agar engkau membuatkan dinding (pemisah) antara kami dan mereka" (تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا). Kata "saddan" (سَدًّا) di sini merujuk pada sebuah bendungan, penghalang, atau tembok yang kokoh. Ini bukan sekadar dinding kecil atau sementara, melainkan sebuah struktur permanen yang dapat menghentikan laju kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj.
Mengenai identitas Ya'juj dan Ma'juj, mereka adalah makhluk misterius yang disebutkan baik dalam Al-Qur'an maupun Hadis Nabi SAW sebagai salah satu tanda besar yang akan mendahului Hari Kiamat. Meskipun identitas pasti mereka telah menjadi bahan diskusi panjang di antara para ulama tafsir, sejarawan, dan pemikir modern, yang jelas dari ayat ini adalah bahwa pada waktu itu, mereka adalah ancaman nyata dan menghancurkan bagi kaum yang lemah ini, mengancam eksistensi, keamanan, dan kedamaian hidup mereka. Mereka melambangkan kekuatan destruktif yang akan dilepaskan ke muka bumi sebelum Hari Kiamat tiba, dan tugas Dhul-Qarnayn adalah untuk menahan kekuatan ini demi kemaslahatan manusia.
Jawaban Dhul-Qarnayn: Keadilan, Kemandirian, dan Spiritualitas (Ayat 95)
Mendengar keluhan yang mendalam dan tawaran yang tulus dari kaum yang teraniaya di antara dua gunung, Dhul-Qarnayn memberikan respons yang bukan hanya bijaksana, tetapi juga mencerminkan karakter mulianya sebagai pemimpin yang adil, mandiri, dan sangat spiritual. Respons ini tidak hanya menyelesaikan masalah praktis, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang etika kekuasaan dan keikhlasan. Ini dicatat dalam Al-Kahfi ayat 95:
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا (95)
"Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (dari imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga), agar aku dapat membuatkan benteng yang kokoh antara kamu dan mereka.'"
Jawaban Dhul-Qarnayn ini adalah sebuah deklarasi yang sarat makna dan mengandung beberapa poin fundamental yang patut direnungkan:
- Penolakan Imbalan Duniawi dan Pengakuan Rahmat Allah: Frasa pertama, "Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (dari imbalanmu)" (مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ), adalah manifestasi nyata dari keikhlasan dan ketidakserakahan Dhul-Qarnayn. Ia secara tegas menolak imbalan materi atau upeti yang ditawarkan oleh kaum tersebut. Penolakannya bukan karena ia meremehkan tawaran mereka, melainkan karena ia menyadari bahwa semua kekuatan, kekuasaan, kekayaan, dan ilmu yang dimilikinya adalah anugerah langsung dan karunia yang jauh lebih berharga dari Allah SWT. Ia sudah merasa cukup dengan rahmat Tuhannya. Ini adalah teladan kepemimpinan yang tulus, beramal semata-mata karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan dari manusia. Sikap ini menunjukkan integritas moral yang sangat tinggi dan kesadaran akan hakikat kekuasaan sebagai amanah, bukan alat untuk memperkaya diri.
- Permintaan Bantuan Berupa Tenaga dan Kolaborasi: Meskipun menolak imbalan materi, Dhul-Qarnayn tidak menolak bantuan sama sekali. Sebaliknya, ia meminta "bantulah aku dengan kekuatan (tenaga)" (فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ). Permintaan ini menunjukkan pragmatisme Dhul-Qarnayn; ia memahami bahwa pembangunan benteng sebesar dan sekompleks itu membutuhkan banyak tenaga kerja. Lebih dari itu, permintaan ini adalah bentuk kebijaksanaan yang mendalam. Ia ingin kaum tersebut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan benteng yang akan melindungi mereka sendiri. Hal ini tidak hanya memupuk rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama, tetapi juga mendidik kaum tersebut untuk tidak hanya bergantung sepenuhnya pada orang lain, melainkan juga untuk berkontribusi dengan kemampuan dan tenaga yang mereka miliki. Ini adalah prinsip kerja sama dan pemberdayaan masyarakat.
- Janji Pembangunan Benteng yang Luar Biasa Kokoh: Akhirnya, Dhul-Qarnayn memberikan janji yang melegakan: "agar aku dapat membuatkan benteng yang kokoh antara kamu dan mereka" (أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا). Kata "radman" (رَدْمًا) di sini memiliki konotasi yang lebih kuat, lebih kokoh, dan lebih masif dibandingkan dengan kata "saddan" (سَدًّا) yang sebelumnya diusulkan oleh kaum tersebut. "Radman" menggambarkan sebuah benteng atau penghalang yang sangat kuat, mungkin bertingkat, berlapis-lapis, atau sangat solid sehingga tidak mudah ditembus atau dirusak. Ini menunjukkan komitmen Dhul-Qarnayn untuk membangun solusi yang tidak hanya efektif, tetapi juga permanen dan tahan lama, demi keamanan jangka panjang kaum tersebut.
Sikap dan jawaban Dhul-Qarnayn ini adalah cerminan dari model pemimpin ideal dalam ajaran Islam: adil dalam keputusan, tidak serakah terhadap harta duniawi, berorientasi pada kemaslahatan dan kesejahteraan umat, serta memiliki visi jangka panjang yang didasari oleh keimanan. Ia menggunakan kekuasaan dan anugerah yang diberikan Allah untuk melayani dan melindungi, bukan untuk menumpuk kekayaan atau mendapatkan pujian. Ini adalah pelajaran abadi tentang kepemimpinan yang benar dan mulia.
Pembangunan Tembok Raksasa: Detail Teknis dan Keajaiban Rekayasa (Ayat 96-97)
Setelah kesepakatan tercapai dan kaum tersebut siap untuk memberikan bantuan tenaga, Dhul-Qarnayn segera memulai proyek pembangunan tembok yang fenomenal. Al-Qur'an, dengan gaya bahasa yang ringkas namun sangat deskriptif, memberikan detail-detail menarik tentang proses dan bahan-bahan yang digunakan. Gambaran ini tidak hanya menunjukkan kejeniusan rekayasa Dhul-Qarnayn yang didukung oleh ilham ilahi, tetapi juga menyoroti kemajuan teknologi metalurgi yang mungkin ada pada zamannya. Detail pembangunan ini dijelaskan dalam Al-Kahfi ayat 96-97:
آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوا ۖ حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا (96)
فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا (97)
"Berilah aku potongan-potongan besi!' Hingga ketika (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Tiuplah (api itu)!' Hingga ketika (besi) itu menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).' Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak mampu mendakinya dan tidak mampu (pula) melubanginya."
Ayat 96 menguraikan langkah-langkah pembangunan yang inovatif dan terencana:
- Pengumpulan Potongan Besi (آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ): Dhul-Qarnayn memulai dengan meminta "zubara al-hadid", yaitu blok-blok besar atau potongan-potongan besi. Ini menunjukkan penggunaan material yang sangat kuat, padat, dan tahan lama sebagai fondasi serta struktur utama benteng. Besi pada masa itu adalah material yang mahal dan sulit diolah, sehingga penggunaannya menunjukkan skala dan kekuatan proyek.
- Penyusunan dan Perataan dengan Puncak Gunung (حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ): Potongan-potongan besi yang besar itu kemudian disusun, ditumpuk, dan diratakan hingga mencapai ketinggian yang sama dengan kedua puncak gunung yang menjadi celah alami tersebut ("as-sadafain"). Ini berarti tembok yang dibangun sangat tinggi dan masif, secara efektif menutup celah di antara gunung-gunung tersebut sepenuhnya, menciptakan penghalang yang tak terlewatkan. Ketinggian ini memastikan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh Ya'juj dan Ma'juj untuk melarikan diri atau masuk.
- Pembakaran Besi Hingga Membara (قَالَ انْفُخُوا ۖ حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا): Setelah struktur besi tersusun rapi, Dhul-Qarnayn memerintahkan pasukannya dan kaum tersebut untuk "meniup api" (انْفُخُوا), yaitu mengipas atau memompa udara ke dalam tungku besar, untuk memanaskan tumpukan besi-besi itu hingga menjadi merah membara seperti api. Ini adalah teknik metalurgi yang canggih untuk menyatukan dan mengeraskan material. Proses pembakaran intens ini bertujuan untuk mencapai suhu yang sangat tinggi, membuat besi menjadi lunak dan siap untuk proses selanjutnya.
- Penuangan Tembaga Cair (قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا): Pada puncak proses pemanasan, ketika besi sudah mencapai suhu optimum (merah membara), Dhul-Qarnayn meminta "qithran" (قِطْرًا). Kata ini secara umum diartikan sebagai tembaga cair atau kuningan cair. Cairan logam panas ini kemudian dituangkan di atas struktur besi yang membara. Kombinasi besi yang panas dan tembaga cair ini akan menyatu, mengisi setiap celah, dan menciptakan paduan logam yang sangat homogen, kuat, padat, dan tahan lama setelah mendingin. Teknik ini mirip dengan proses pengecoran (casting) atau pengelasan berskala raksasa, yang menghasilkan material komposit dengan kekuatan luar biasa. Ini merupakan puncak dari kecanggihan rekayasa Dhul-Qarnayn.
Hasil dari pembangunan megah dan menakjubkan ini dijelaskan dalam ayat 97:
"Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak mampu mendakinya dan tidak mampu (pula) melubanginya."
- Tidak Mampu Mendaki (فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ): Tembok ini dirancang dengan ketinggian yang ekstrem dan permukaannya mungkin sangat licin, curam, atau tidak memiliki pijakan yang cukup, sehingga mustahil bagi Ya'juj dan Ma'juj untuk memanjatnya atau melewati bagian atasnya. Ini menunjukkan desain yang tidak hanya kokoh tetapi juga cerdik dari segi fungsionalitas.
- Tidak Mampu Melubangi (وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا): Kepadatan luar biasa dan kekuatan gabungan dari besi dan tembaga yang menyatu membuat tembok ini mustahil untuk digali, dihancurkan, atau dilubangi dengan teknologi atau kekuatan kasar yang dimiliki oleh Ya'juj dan Ma'juj. Ini adalah benteng yang benar-benar tak tertembus oleh serangan fisik.
Pembangunan tembok ini adalah bukti nyata dari kebesaran Allah SWT yang menganugerahkan ilmu, hikmah, dan kemampuan luar biasa kepada Dhul-Qarnayn. Proyek ini bukan hanya sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol perlindungan ilahi bagi kaum yang beriman dan tertindas, serta peringatan akan kekuatan tak terbatas yang dapat Allah berikan kepada hamba-Nya yang saleh.
Kisah ini juga menjadi inspirasi bagi manusia untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak hanya untuk kemajuan materi, tetapi terutama untuk kemaslahatan umat dan perlindungan dari segala bentuk kerusakan dan kejahatan. Dhul-Qarnayn menunjukkan bagaimana kekuasaan dan ilmu harus bersinergi demi kebaikan bersama.
Peringatan Dhul-Qarnayn: Batasan Kekuasaan Manusia dan Janji Hari Kiamat (Ayat 98)
Setelah sukses menyelesaikan pembangunan tembok yang begitu kokoh dan tak tertembus, sebuah mahakarya rekayasa yang telah melindungi kaum yang lemah dari ancaman Ya'juj dan Ma'juj, Dhul-Qarnayn tidak lantas berbangga diri, menyombongkan pencapaiannya, atau mengklaim hasil itu sebagai murni dari kemampuannya sendiri. Sebaliknya, ia melontarkan sebuah pernyataan yang penuh kerendahan hati, kebijaksanaan, dan kesadaran akan kekuasaan absolut Allah SWT. Pernyataan ini menjadi inti spiritual dari seluruh kisah Dhul-Qarnayn dan mengandung isyarat-isyarat penting mengenai akhir zaman. Ini termaktub dalam Al-Kahfi ayat 98:
قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي ۖ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا (98)
"Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar.'"
Ayat ini adalah salah satu yang paling krusial dan mengandung hikmah mendalam dalam keseluruhan kisah Dhul-Qarnayn. Setiap frasa di dalamnya sarat dengan pelajaran yang relevan bagi setiap Muslim:
- Pengakuan Mutlak atas Rahmat Allah: Frasa "Ini adalah rahmat dari Tuhanku" (هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي) adalah deklarasi kerendahan hati dan tauhid yang agung. Dhul-Qarnayn secara eksplisit mengakui bahwa semua keberhasilannya—mulai dari ilmu yang memungkinkannya merancang tembok, sarana yang ia miliki untuk melaksanakannya, hingga kekuatan untuk mengumpulkan dan memimpin manusia—adalah anugerah, karunia, dan rahmat semata dari Allah. Ia tidak mengaitkan keberhasilan ini dengan kehebatan dirinya sendiri, kecerdasannya, atau kekuasaan politiknya, melainkan secara total mengembalikannya kepada Sang Pemberi Karunia. Ini adalah pelajaran fundamental bagi setiap pemimpin, setiap individu yang meraih kesuksesan, atau setiap orang yang memiliki kekuasaan: segala sesuatu datang dari Allah, dan kita hanyalah perantara atau pemegang amanah. Tanpa izin dan pertolongan-Nya, tidak ada yang dapat tercapai.
- Peringatan Tegas Akan Akhir Zaman dan Kefanaan Dunia: Kemudian, Dhul-Qarnayn melanjutkan dengan sebuah peringatan profetik: "Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menghancurluluhkannya" (فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ). Pernyataan ini adalah isyarat yang sangat jelas mengenai akhir zaman dan keniscayaan peristiwa-peristiwa besar yang mendahului Hari Kiamat. Tembok yang begitu kokoh, yang dirancang untuk menjadi benteng permanen, bukanlah struktur yang abadi. Akan tiba suatu saat, yang hanya diketahui oleh Allah SWT, di mana tembok itu akan dihancurkan. Frasa "dakka'a" (دَكَّاءَ) berarti rata dengan tanah, hancur lebur, atau menjadi puing-puing. Ini menandakan bahwa tidak ada kekuatan manusia, betapapun besar dan canggihnya, yang dapat menandingi atau melawan kehendak Allah. Ketika janji-Nya tiba, benteng terkuat sekalipun akan dihancurkan dengan mudah. Kehancuran tembok ini akan menjadi momen pelepasan Ya'juj dan Ma'juj, yang merupakan salah satu tanda besar yang paling ditunggu menjelang Hari Kiamat.
- Penegasan Kebenaran Janji Allah: Dhul-Qarnayn menutup pernyataannya dengan menegaskan: "dan janji Tuhanku itu benar" (وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا). Penegasan ini menguatkan keyakinan mutlaknya akan kebenaran dan ketetapan janji-janji Allah. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa segala yang telah Dia janjikan, termasuk peristiwa akhir zaman dan kemunculan kembali Ya'juj dan Ma'juj, pasti akan terjadi. Pernyataan ini berfungsi untuk menanamkan keyakinan yang kokoh pada kaum yang telah ia lindungi, serta pada seluruh umat Islam sepanjang masa, bahwa peristiwa masa depan adalah bagian tak terpisahkan dari rencana Ilahi yang akan terwujud tanpa cela.
Pernyataan Dhul-Qarnayn ini juga berfungsi sebagai pengingat bahwa perlindungan yang diberikan melalui tembok adalah rahmat sementara. Manusia hanya bisa berusaha dan mengambil sebab, tetapi takdir dan hasil akhir sepenuhnya berada di tangan Allah. Tembok itu adalah solusi jangka pendek yang diberikan Allah sebagai rahmat untuk kaum yang tertindas, namun keberadaan Ya'juj dan Ma'juj serta pelepasan mereka adalah bagian dari skenario ilahi yang lebih besar menjelang Kiamat. Ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati, tawakkal (berserah diri kepada Allah), dan kesadaran akan tujuan akhir kehidupan.
Dengan demikian, ayat 98 ini bukan hanya penutup kisah pembangunan tembok, tetapi juga pembuka wawasan tentang eskatologi Islam, mengajak kita untuk selalu mengingat bahwa kehidupan dunia adalah fana, dan persiapan untuk akhirat adalah prioritas utama.
Ya'juj dan Ma'juj: Identitas, Karakteristik, dan Kemunculan Kembali sebagai Tanda Akhir Zaman
Pembahasan mendalam tentang Al-Kahfi 90-100 tidak akan lengkap tanpa mengulas lebih jauh mengenai Ya'juj dan Ma'juj. Mereka bukan sekadar karakter figuran dalam kisah Dhul-Qarnayn, melainkan entitas penting yang keberadaannya ditegaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW sebagai salah satu tanda besar menjelang Hari Kiamat. Identitas mereka telah menjadi subjek diskusi dan interpretasi yang ekstensif sepanjang sejarah Islam, menimbulkan berbagai pandangan dan teori.
Siapa Sebenarnya Ya'juj dan Ma'juj?
Secara umum, terdapat beberapa pandangan utama mengenai identitas mereka:
- Bangsa Manusia dari Keturunan Adam (AS): Ini adalah pandangan mayoritas ulama Ahlusunnah Wal Jama'ah, didukung oleh banyak Hadis shahih. Ya'juj dan Ma'juj diyakini sebagai keturunan Nabi Adam AS, spesifiknya dari garis keturunan Yafits bin Nuh AS. Mereka adalah manusia sejati, bukan jin, makhluk mitologi, atau entitas spiritual. Namun, mereka memiliki karakteristik fisik dan sifat moral yang unik: jumlah mereka sangat banyak, sangat kuat, cenderung agresif, dan gemar berbuat kerusakan. Hadis-hadis Nabi SAW secara eksplisit menyebutkan bahwa mereka adalah bagian dari manusia, bahkan Allah akan berfirman kepada Adam pada Hari Kiamat untuk mengeluarkan "pasukan dari neraka", dan Nabi SAW menyebutkan bahwa dari setiap seribu, sembilan ratus sembilan puluh sembilan adalah dari Ya'juj dan Ma'juj.
- Bangsa-Bangsa Destruktif di Masa Lalu: Beberapa penafsir, khususnya di era modern, mencoba mengidentifikasi Ya'juj dan Ma'juj dengan bangsa-bangsa historis tertentu yang dikenal karena invasi dan kehancuran masif mereka, seperti bangsa Mongol (Tartar) yang meluluhlantakkan sebagian besar Asia dan Eropa pada abad ke-13, atau bangsa Viking. Namun, pandangan ini umumnya ditolak oleh mayoritas ulama karena Hadis-hadis secara eksplisit menempatkan kemunculan Ya'juj dan Ma'juj sebagai tanda Kiamat yang belum terjadi pada masa Nabi SAW dan belum terjadi secara universal hingga kini. Identifikasi dengan bangsa historis tertentu akan bertentangan dengan narasi Hadis yang menggambarkan pelepasan mereka di akhir zaman.
- Simbol Kekuatan Destruktif Modern: Ada juga interpretasi simbolis yang menganggap Ya'juj dan Ma'juj sebagai representasi dari kekuatan-kekuatan destruktif modern yang merusak peradaban, seperti ideologi-ideologi ekstremis, teknologi yang disalahgunakan untuk kehancuran, agresi militer yang tak terkendali antarnegara, atau bahkan kehancuran moral dan etika dalam masyarakat global. Meskipun Al-Qur'an dan Hadis mengandung makna yang luas, tafsiran simbolis semacam ini cenderung menyimpang dari makna literal dan zhahir (eksplisit) dari nash-nash agama yang secara jelas menggambarkan mereka sebagai entitas fisik.
Kesimpulan yang paling kuat dan dipegang oleh mayoritas ulama adalah bahwa Ya'juj dan Ma'juj adalah entitas fisik, sekelompok besar manusia yang akan muncul dari balik tembok pada akhir zaman, sebagaimana telah dinubuatkan oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Tanda-tanda Kemunculan Ya'juj dan Ma'juj
Kemunculan Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu dari sepuluh tanda besar Hari Kiamat (Alamat-e Kubra). Kronologi Hadis menempatkan kemunculan mereka setelah peristiwa Dajjal dan turunnya Nabi Isa AS ke bumi. Ketika Nabi Isa AS berhasil mengalahkan Dajjal, Allah akan mewahyukan kepadanya tentang kemunculan Ya'juj dan Ma'juj. Pada saat itulah, tembok yang dibangun oleh Dhul-Qarnayn akan hancur lebur.
Hadis-hadis Nabi SAW memberikan gambaran yang mengerikan tentang mereka:
- Jumlah yang Sangat Banyak: Mereka akan keluar berbondong-bondong, dengan jumlah yang tak terhitung, sehingga bumi terasa sesak oleh mereka. Mereka digambarkan seperti lautan manusia yang memenuhi setiap celah dan bukit.
- Sifat Rakus dan Merusak: Mereka akan menyebar di muka bumi, menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Mereka sangat rakus; Hadis menyebutkan bahwa ketika mereka melewati sebuah danau, rombongan pertama akan meminum habis airnya, dan rombongan terakhir tidak akan menemukan setetes pun air. Mereka akan memakan apa saja yang ada, menghancurkan tanaman, dan membunuh hewan serta manusia yang mereka temui.
- Kekuatan Tak Terbendung: Tidak ada kekuatan manusia yang dapat menghentikan laju mereka. Nabi Isa AS dan para pengikutnya akan berlindung di puncak gunung, memohon pertolongan kepada Allah. Allah kemudian akan mengutus sejenis ulat atau belatung yang menyerang leher Ya'juj dan Ma'juj, menyebabkan mereka semua mati dalam semalam. Bumi akan dipenuhi bau bangkai mereka, lalu Allah akan mengirim hujan yang membersihkan bumi.
Pelepasan Ya'juj dan Ma'juj ini adalah puncak dari skenario akhir zaman, menunjukkan kerapuhan dunia dan dominasi kejahatan sebelum datangnya Hari Kiamat yang sebenarnya. Ini juga menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya berlindung kepada Allah dari segala fitnah dan keburukan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, serta senantiasa memperkuat keimanan dan ketakwaan sebagai benteng utama.
Kisah Al-Kahfi 90-100, dengan perincian tentang Ya'juj dan Ma'juj, bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi untuk memicu refleksi spiritual. Ia mengingatkan kita bahwa dunia ini memiliki akhir, dan setiap tindakan kita memiliki konsekuensi di hadapan Allah. Kesiapan mental dan spiritual adalah kunci dalam menghadapi segala tantangan, termasuk tanda-tanda besar akhir zaman.
Konteks Luas Surah Al-Kahfi: Hubungan Antara Kisah Dhul-Qarnayn dengan Kisah Lain
Kisah Dhul-Qarnayn, khususnya bagian yang termaktub dalam ayat Al-Kahfi 90-100, bukanlah sebuah narasi yang berdiri sendiri secara terpisah dalam Surah Al-Kahfi. Sebaliknya, ia terjalin erat dengan kisah-kisah lain yang mendahuluinya dalam surah yang sama dan secara harmonis menyatu dengan tema-tema besar yang diusung oleh surah tersebut. Memahami hubungan interkoneksi ini akan sangat memperkaya pemahaman kita tentang pesan universal yang ingin disampaikan Al-Qur'an.
Surah Al-Kahfi dikenal sebagai "pelindung dari fitnah Dajjal" dan mengandung empat fitnah utama yang diwakili oleh empat kisah pokok:
- Fitnah Agama (Ashabul Kahfi): Mereka melarikan diri untuk melindungi iman mereka.
- Fitnah Harta (Kisah Dua Pemilik Kebun): Kisah tentang kesombongan dan ketergantungan pada harta yang berujung pada kehancuran.
- Fitnah Ilmu (Kisah Nabi Musa dan Khidir): Pelajaran tentang kerendahan hati dalam mencari ilmu dan batas pengetahuan manusia.
- Fitnah Kekuasaan (Kisah Dhul-Qarnayn): Bagaimana kekuasaan yang besar harus digunakan dengan benar dan bertanggung jawab.
Mari kita telaah bagaimana kisah Dhul-Qarnayn dalam Al-Kahfi 90-100 ini berkaitan erat dengan kisah-kisah dan tema-tema lain dalam Surah Al-Kahfi:
1. Ujian Kekuasaan dan Kekayaan: Kontras dengan Kisah Dua Pemilik Kebun
Kisah Dhul-Qarnayn adalah sebuah antitesis yang kuat dan kontras langsung dengan narasi tentang dua pemilik kebun. Salah satu pemilik kebun, karena kesombongan dan keangkuhannya, menggunakan kekayaan melimpahnya untuk berfoya-foya, mengklaimnya sebagai hasil jerih payah sendiri, dan secara terang-terangan melupakan anugerah Allah, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran total kebun dan hartanya. Sebaliknya, Dhul-Qarnayn, meskipun dianugerahi kekuasaan yang tak terhingga dan sarana yang melimpah, menggunakannya dengan penuh tanggung jawab untuk berbuat kebaikan, menegakkan keadilan di muka bumi, menolong kaum yang tertindas, dan selalu mengembalikan segala kemuliaan serta keberhasilan kepada Allah SWT. Perbandingan ini mengajarkan sebuah pelajaran fundamental: kekuasaan dan kekayaan adalah ujian besar dari Allah, dan yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya—apakah untuk kesombongan dan kerusakan, atau untuk ketaatan dan kemaslahatan.
2. Pencarian Ilmu dan Hikmah: Hubungan dengan Kisah Nabi Musa dan Khidir
Kisah Dhul-Qarnayn juga memiliki paralel tematis dengan kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Nabi Musa, meskipun seorang Nabi dan Rasul yang agung, diperintahkan oleh Allah untuk mencari ilmu dari Khidir, menunjukkan bahwa ilmu sejati datang dari Allah dan manusia harus selalu haus akan pengetahuan serta merendahkan diri di hadapan ilmu yang lebih tinggi. Dhul-Qarnayn juga dianugerahi "sebab" (أَتْبَعَ سَبَبًا) oleh Allah, yang dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan, teknologi, dan sarana untuk melakukan perjalanannya yang epik. Ia adalah contoh bagaimana ilmu dan kebijaksanaan, ketika diilhami oleh Allah, dapat digunakan untuk kebaikan umat manusia dan pembangunan peradaban yang bermanfaat. Pembangunan tembok yang canggih itu sendiri adalah bukti nyata dari penerapan ilmu yang luar biasa.
3. Ketabahan dan Kesabaran dalam Ketaatan
Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan tentang ketabahan yang luar biasa dalam menjaga iman di tengah tekanan dan ancaman penguasa zalim. Serupa dengan itu, kisah Dhul-Qarnayn menunjukkan bentuk ketabahan yang berbeda: ketabahan dalam menghadapi tantangan fisik yang ekstrem (perjalanan jauh), tantangan sosial (berinteraksi dengan kaum yang sulit berkomunikasi), dan kesabaran dalam membangun sebuah solusi monumental (tembok raksasa) untuk kaum yang tertindas. Semua kisah ini adalah representasi dari berbagai bentuk kesabaran dalam ketaatan kepada Allah dan dalam menjalankan misi ilahi.
4. Persiapan Menghadapi Akhir Zaman dan Fitnah Dajjal
Salah satu tema sentral dan pesan utama Surah Al-Kahfi adalah persiapan umat Muslim untuk menghadapi Hari Kiamat dan fitnah-fitnah besar di akhir zaman, khususnya fitnah Dajjal yang merupakan ujian terbesar. Kisah Ya'juj dan Ma'juj yang terkurung di balik tembok Dhul-Qarnayn, dan janji Allah bahwa tembok itu akan hancur sebelum Kiamat, secara langsung menghubungkan kisah Dhul-Qarnayn dengan tema eskatologis ini. Dengan menyinggung kemunculan mereka, surah ini secara langsung mengingatkan umat Muslim tentang realitas akhir zaman dan pentingnya berpegang teguh pada iman, melakukan amal saleh, dan bertawakkal sepenuhnya kepada Allah sebagai benteng terbaik dari segala fitnah.
5. Kepemimpinan yang Adil dan Bertanggung Jawab
Sepanjang ketiga perjalanannya, Dhul-Qarnayn selalu berinteraksi dengan berbagai kaum, menegakkan keadilan, dan menolong mereka yang tertindas atau membutuhkan bimbingan. Prinsip keadilan ini adalah inti dari ajaran Islam dan harus menjadi landasan bagi setiap pemerintahan dan pemimpin. Dhul-Qarnayn adalah teladan pemimpin yang adil: ia tidak serakah, menolak imbalan materi, dan fokus pada kemaslahatan rakyatnya. Ia menggunakan kekuatan dan sumber dayanya untuk menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah, menunjukkan apa arti kepemimpinan yang sesungguhnya dalam Islam.
Dengan demikian, kisah Al-Kahfi 90-100 adalah bagian integral dari permadani kaya hikmah dalam Surah Al-Kahfi. Ia tidak hanya menyajikan sebuah narasi yang menarik, tetapi juga memberikan pelajaran-pelajaran yang komprehensif tentang bagaimana kita harus menghadapi ujian dunia dengan iman yang kokoh, ilmu yang bermanfaat, kesabaran yang tak tergoyahkan, dan keadilan dalam setiap tindakan, serta selalu mengingat tujuan akhir kita: pertemuan dengan Allah dan Hari Perhitungan yang pasti akan tiba.
Pelajaran dan Hikmah Mendalam dari Kisah Dhul-Qarnayn di Al-Kahfi 90-100
Kisah Dhul-Qarnayn, yang berpuncak pada pembangunan tembok raksasa untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj dalam ayat Al-Kahfi 90-100, adalah salah satu narasi Al-Qur'an yang paling kaya akan pelajaran dan hikmah. Hikmah-hikmah ini tidak terbatas pada masa lalu, melainkan tetap sangat relevan dan aplikatif bagi kehidupan kita, baik sebagai individu yang mencari petunjuk spiritual maupun sebagai bagian dari masyarakat yang berjuang menegakkan keadilan dan kebaikan. Berikut adalah beberapa pelajaran dan hikmah mendalam yang dapat kita petik:
1. Kekuasaan dan Kekayaan Adalah Amanah dari Allah, Bukan Hak Mutlak
Dhul-Qarnayn dianugerahi kekuasaan, kekayaan, dan ilmu yang luar biasa, sebagaimana disiratkan dalam firman Allah bahwa Dia telah "memberinya kemampuan dari segala sesuatu" dan ia sendiri mengakui "apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik". Namun, ia tidak pernah menyalahgunakan anugerah ini untuk kezaliman, kesombongan, atau kepentingan pribadi. Sebaliknya, ia menggunakannya secara bijaksana untuk menegakkan keadilan, menolong kaum yang lemah, dan membangun kemaslahatan umum. Ini mengajarkan kita bahwa setiap bentuk kekuasaan, jabatan, kekayaan, atau talenta yang kita miliki adalah amanah dari Allah. Kita tidak boleh mengklaimnya sebagai hak mutlak, melainkan harus menggunakannya sesuai kehendak-Nya untuk tujuan yang baik dan bermanfaat bagi umat, serta selalu mengembalikannya kepada Allah sebagai sumber segala nikmat.
2. Kepemimpinan yang Ikhlas, Adil, dan Tidak Serakah Adalah Kunci Keberkahan
Ketika kaum yang terancam menawarkan imbalan materi, Dhul-Qarnayn menolaknya dengan tegas. Sikap ini adalah manifestasi puncak dari kepemimpinan yang ikhlas, murni beramal demi Allah semata, tanpa mengharapkan balasan materi atau pujian dari manusia. Seorang pemimpin sejati adalah pelayan umat, bukan pencari kekayaan pribadi atau kemasyhuran. Keikhlasan ini adalah kunci utama keberkahan dalam setiap tindakan dan memastikan bahwa motif di balik setiap keputusan adalah demi kemaslahatan yang lebih besar. Keadilannya terlihat dari kesediaannya untuk melakukan perjalanan jauh dan membangun benteng tanpa meminta bayaran.
3. Pentingnya Kolaborasi, Partisipasi Masyarakat, dan Pemberdayaan
Meskipun Dhul-Qarnayn memiliki kekuatan besar dan sumber daya yang melimpah, ia tidak membangun tembok itu sendirian. Ia secara eksplisit meminta kaum yang tertindas untuk "membantuku dengan kekuatan (tenaga)". Ini adalah pelajaran penting tentang pentingnya kolaborasi dan partisipasi aktif masyarakat dalam menyelesaikan masalah bersama. Dhul-Qarnayn tidak ingin mereka hanya menjadi penerima pasif, tetapi ingin mereka merasa memiliki dan berkontribusi dalam proyek yang dirancang untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini tidak hanya mempercepat pembangunan, tetapi juga menanamkan rasa tanggung jawab bersama dan memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam menjaga keamanan mereka.
4. Penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Kebaikan Umat Manusia
Proses pembangunan tembok yang dijelaskan dalam ayat 96 menunjukkan penerapan ilmu metalurgi dan rekayasa yang sangat canggih pada masanya. Dhul-Qarnayn menggunakan potongan besi yang dibakar hingga membara, kemudian dicampur dengan tembaga cair untuk menciptakan struktur yang tak tertembus. Ini adalah contoh gemilang bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika diilhami dan digunakan untuk tujuan yang benar—yaitu untuk menyejahterakan, melindungi, dan membangun peradaban—dapat menjadi alat yang sangat ampuh dan bermanfaat bagi umat manusia. Islam mendorong umatnya untuk terus mencari ilmu, mengembangkan teknologi, dan memanfaatkannya untuk kebaikan, bukan untuk kerusakan atau dominasi.
5. Batasan Kekuasaan Manusia dan Kehendak Ilahi yang Absolut
Pernyataan Dhul-Qarnayn, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar," adalah pengingat yang sangat kuat bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk bangunan terkuat sekalipun yang dibuat manusia, berada di bawah kehendak dan kekuasaan absolut Allah. Sekokoh apapun benteng yang didirikan manusia, ia akan hancur dan rata dengan tanah pada waktu yang telah ditetapkan Allah. Manusia hanya bisa berusaha, merencanakan, dan bekerja keras, tetapi hasil akhir dan takdir sepenuhnya ada di tangan-Nya. Ini mengajarkan kerendahan hati yang mendalam dan pentingnya tawakkal (berserah diri kepada Allah) setelah melakukan usaha maksimal.
6. Realitas Ya'juj dan Ma'juj sebagai Tanda Akhir Zaman dan Pentingnya Perspektif Akhirat
Kisah ini menegaskan keberadaan Ya'juj dan Ma'juj sebagai ancaman nyata di masa depan, yang kemunculannya merupakan salah satu tanda besar Hari Kiamat. Penekanan pada akhir zaman ini mendorong umat Muslim untuk selalu mengingat kefanaan dunia, memperkuat iman, dan mempersiapkan diri menghadapi fitnah-fitnah akhir zaman dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta meningkatkan amal saleh. Ini adalah panggilan untuk tidak terlena dengan kehidupan dunia dan selalu berorientasi pada kehidupan akhirat.
7. Keadilan dan Perlindungan bagi yang Lemah sebagai Pilar Utama Masyarakat
Sepanjang perjalanannya, prinsip keadilan selalu menjadi fokus Dhul-Qarnayn. Ia melindungi kaum yang lemah dari Ya'juj dan Ma'juj, menunjukkan tanggung jawab sosial yang tinggi untuk membela mereka yang tidak berdaya dari kejahatan dan kerusakan. Dalam masyarakat modern, ini berarti berjuang untuk menciptakan sistem hukum, keamanan, dan sosial yang adil dan inklusif untuk semua, melindungi minoritas dan kelompok rentan dari penindasan.
Dengan merenungkan kisah Al-Kahfi 90-100, kita diingatkan akan keagungan Allah, pentingnya kepemimpinan yang adil dan ikhlas, serta keniscayaan akhir zaman. Ini adalah panggilan untuk introspeksi, perbaikan diri, dan menjadi hamba yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama, serta selalu waspada terhadap segala bentuk kerusakan di muka bumi.
Interpretasi Modern dan Relevansi Kontemporer dari Kisah Dhul-Qarnayn
Meskipun kisah Dhul-Qarnayn dan temboknya yang menahan Ya'juj dan Ma'juj termaktub dalam wahyu yang diturunkan berabad-abad yang lalu, pelajaran dan pesan dari Al-Kahfi 90-100 tetap relevan dan memiliki resonansi kuat dengan tantangan serta isu-isu kontemporer yang dihadapi umat manusia saat ini. Para pemikir, cendekiawan, dan tafsir modern sering mencoba menafsirkan kisah ini dengan lensa yang berbeda, mencari makna yang dapat diaplikasikan pada konteks zaman sekarang, tanpa menghilangkan esensi pesan aslinya.
1. Tembok Fisik atau Simbolis: Perdebatan Tafsir
Salah satu perdebatan utama dalam interpretasi modern adalah apakah tembok Dhul-Qarnayn itu masih merupakan struktur fisik yang terbuat dari besi dan tembaga di suatu lokasi geografis yang spesifik yang belum ditemukan, ataukah ia memiliki makna simbolis. Beberapa penafsir modern berpendapat bahwa seiring dengan perkembangan pengetahuan geografis dan teknologi, konsep "tembok" mungkin telah berevolusi. Bisa jadi itu adalah sebuah perbatasan alam yang tak terjamah oleh peradaban modern, seperti lapisan es yang tebal, pegunungan yang terjal tak tembus, atau dasar laut yang dalam. Atau, dalam pandangan yang lebih simbolis, tembok itu mungkin melambangkan sebuah "tembok" non-fisik yang menjaga Ya'juj dan Ma'juj tetap terisolasi, seperti kekuatan ilahi, batas-batas genetik, atau hambatan peradaban tertentu.
Namun, perlu ditekankan bahwa mayoritas ulama Ahlusunnah Wal Jama'ah tetap berpegang pada interpretasi literal bahwa tembok itu adalah struktur fisik yang didirikan di lokasi nyata yang sekarang tidak diketahui, dan Ya'juj dan Ma'juj adalah makhluk fisik yang akan dilepaskan pada akhir zaman. Argumentasinya adalah karena Al-Qur'an dan Hadis menggambarkannya secara fisik dan eksplisit. Bagaimanapun, esensi dari kisah ini adalah perlindungan dari kekuatan destruktif, baik secara fisik maupun metaforis.
2. Ya'juj dan Ma'juj dalam Konteks Modern: Ancaman Destruktif Kontemporer
Meskipun diyakini sebagai entitas fisik yang akan muncul di akhir zaman, konsep "Ya'juj dan Ma'juj" juga dapat dianalogikan dengan berbagai kekuatan destruktif yang kita saksikan di dunia modern saat ini:
- Ekstremisme dan Terorisme Global: Ideologi-ideologi ekstremis yang merusak tatanan sosial, menyebarkan kekerasan, teror, dan kebencian atas nama agama atau politik, dapat dilihat sebagai manifestasi dari sifat merusak "mufsiduuna fil-ardh" (yang berbuat kerusakan di bumi) dari Ya'juj dan Ma'juj. Mereka memecah belah umat dan menghancurkan kedamaian.
- Korupsi, Oligarki, dan Ketidakadilan Sistemik: Kekuatan-kekuatan yang menguasai sumber daya untuk kepentingan pribadi segelintir elite (oligarki), merampok hak-hak rakyat melalui korupsi sistemik, dan merusak keadilan sosial dan ekonomi, juga mencerminkan sifat merusak yang disebutkan dalam ayat 94. Mereka adalah parasit yang menggerogoti kesejahteraan masyarakat.
- Perusakan Lingkungan dan Krisis Iklim: Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, pencemaran lingkungan yang masif, dan ketidakpedulian terhadap kelestarian ekosistem global, yang menyebabkan krisis iklim dan bencana alam, juga dapat dilihat sebagai bentuk "mufsiduuna fil-ardh". Ini adalah kerusakan berskala besar yang mengancam keberlangsungan hidup di bumi.
- Ketergantungan Teknologi yang Merusak: Perkembangan teknologi yang sangat pesat, jika tidak diimbangi dengan etika, moral, dan kebijaksanaan, dapat menghasilkan "Ya'juj dan Ma'juj" versi modern. Contohnya adalah penyebaran informasi palsu (hoaks), kecanduan media sosial yang merusak mental, pengembangan senjata otonom tanpa kontrol moral, atau pengawasan massal yang mengikis privasi dan kebebasan individu.
Dalam konteks ini, "membangun tembok" bisa berarti membangun benteng pertahanan spiritual, intelektual, dan sosial yang kokoh. Ini meliputi pembangunan sistem nilai yang kuat, institusi yang adil dan transparan, pendidikan yang mencerahkan dan kritis, serta kesadaran spiritual yang membentengi individu dan masyarakat dari kekuatan-kekuatan destruktif ini. Tembok ini adalah pertahanan terhadap kejahatan internal maupun eksternal.
3. Relevansi Model Kepemimpinan Dhul-Qarnayn di Era Modern
Model kepemimpinan Dhul-Qarnayn sangat relevan dan inspiratif di era modern yang seringkali diwarnai oleh krisis kepemimpinan global. Di tengah realitas politik yang seringkali tercemar oleh korupsi, keserakahan, ambisi pribadi, dan orientasi jangka pendek, sosok Dhul-Qarnayn memberikan cetak biru ideal bagi seorang pemimpin:
- Kepemimpinan Adil dan Berpihak pada Rakyat: Prioritas utamanya adalah kesejahteraan, keamanan, dan keadilan bagi rakyatnya, bukan akumulasi kekayaan atau kekuasaan pribadi.
- Visi Jangka Panjang dan Solusi Berkelanjutan: Ia tidak hanya memadamkan api sementara, tetapi membangun benteng yang kokoh, memikirkan solusi yang permanen dan berkelanjutan untuk masalah besar yang dihadapi kaumnya.
- Kerendahan Hati dan Spiritualisme: Ia selalu mengaitkan keberhasilan kepada Allah, menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa kerendahan hati dan kesadaran spiritual akan mudah menyesatkan dan mengarah pada kezaliman.
- Kolaborasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Optimal: Ia mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan memanfaatkan ilmu pengetahuan serta teknologi secara optimal untuk mencari solusi atas masalah yang ada.
Kisah ini menjadi pengingat abadi bahwa kepemimpinan sejati adalah amanah besar yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan, dan dedikasi demi kemaslahatan seluruh umat manusia.
4. Pentingnya Perspektif Eskatologis dalam Kehidupan
Kisah Al-Kahfi 90-100 secara eksplisit menghubungkan tindakan Dhul-Qarnayn dengan janji Allah tentang akhir zaman. Ini mengingatkan kita bahwa dunia ini fana, dan segala upaya serta pencapaian manusia, betapapun megahnya, pada akhirnya akan kembali kepada kehendak Ilahi. Perspektif eskatologis ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup kita, agar tidak terlalu terikat pada kesenangan dan pencapaian duniawi, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat yang abadi.
Dengan demikian, kisah Dhul-Qarnayn dalam Al-Kahfi 90-100 adalah sebuah narasi abadi yang melampaui batas waktu dan tempat. Ia tidak hanya menceritakan sejarah kuno, tetapi juga menawarkan cetak biru moral, etika, dan spiritual bagi kita untuk memahami dan menghadapi berbagai tantangan dunia, baik yang bersifat internal (hawa nafsu, kesombongan) maupun eksternal (kezaliman, kerusakan lingkungan), hingga tiba saatnya Hari Kiamat. Ini adalah ajakan untuk hidup dengan penuh kesadaran dan tujuan.
Studi Komparatif: Dhul-Qarnayn dalam Berbagai Tradisi dan Identitas Historis
Kisah Dhul-Qarnayn dalam Al-Qur'an adalah narasi yang unik dan mendalam. Namun, elemen-elemen tertentu dalam kisahnya, seperti perjalanan ke timur dan barat, serta pembangunan benteng untuk menahan kaum perusak, memiliki resonansi dengan tradisi-tradisi lain di luar Islam. Hal ini telah memicu studi komparatif dan perdebatan panjang di kalangan sejarawan, teolog, dan ulama mengenai kemungkinan identitas historis Dhul-Qarnayn, dengan dua nama besar yang sering muncul: Alexander Agung dan Raja Cyrus Agung.
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an sendiri tidak secara eksplisit mengidentifikasi Dhul-Qarnayn dengan tokoh sejarah tertentu, dan justru menekankan pada pesan moral dan spiritual dari kisahnya. Namun, keingintahuan manusia untuk mencocokkan narasi suci dengan sejarah dunia adalah hal yang wajar.
1. Dhul-Qarnayn dan Alexander Agung (Iskandar Agung)
Secara historis, teori yang paling populer dan pertama kali muncul di kalangan sebagian ulama klasik dan modern adalah yang menyamakan Dhul-Qarnayn dengan Alexander Agung dari Makedonia (356–323 SM), yang dalam tradisi Arab dikenal sebagai Iskandar Agung. Argumen yang mendukung identifikasi ini meliputi:
- Julukan "Dua Tanduk": Alexander Agung sering digambarkan dengan simbol dua tanduk dalam koin-koin kuno, patung, atau tradisi mitologi Mesir, di mana ia kadang dihubungkan dengan dewa Amun-Ra yang memiliki tanduk domba. "Dhul-Qarnayn" secara harfiah berarti "pemilik dua tanduk" atau "dua zaman/abad," yang bisa merujuk pada kekuasaannya atas dua kerajaan besar atau kekuasaannya yang luas.
- Ekspedisi Global: Alexander Agung memang dikenal luas karena melakukan ekspedisi militer besar-besaran ke arah timur dan barat, menaklukkan sebagian besar dunia yang dikenal pada zamannya, dari Yunani hingga India. Ini cocok dengan deskripsi Dhul-Qarnayn yang mencapai "tempat terbenam matahari" dan "tempat terbit matahari."
- Kisah dalam Tradisi Suryani: Ada sebuah teks Suryani abad ke-7 yang dikenal sebagai "Legenda Alexander" yang menceritakan Alexander membangun gerbang besar untuk mengurung "bangsa-bangsa yang tidak suci" (kemungkinan Ya'juj dan Ma'juj atau Gog dan Magog dalam tradisi Yahudi-Kristen) di suatu celah gunung di wilayah Kaukasus. Kisah ini mungkin menjadi latar belakang pengetahuan masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian ditanyakan kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun, identifikasi ini menghadapi beberapa tantangan serius dan diragukan oleh banyak ulama modern, terutama karena perbedaan signifikan dalam karakter moral dan keyakinan:
- Karakter Moral dan Keimanan: Alexander Agung dikenal sebagai penyembah berhala, yang meminum alkohol, dan tidak menunjukkan karakteristik saleh, monoteistik, dan rendah hati yang digambarkan dalam Al-Qur'an (seperti keikhlasan Dhul-Qarnayn, penolakannya terhadap imbalan, dan pengakuan rahmat Allah). Dhul-Qarnayn jelas seorang Muslim atau seorang yang beriman kepada Tuhan Yang Esa.
- Bukti Pembangunan Tembok: Meskipun ada legenda, bukti sejarah yang kuat tentang Alexander Agung secara pribadi membangun tembok dari besi dan tembaga untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj belum pernah ditemukan.
- Tujuan Perjalanan: Dhul-Qarnayn melakukan perjalanan atas perintah Allah untuk menegakkan keadilan dan menolong yang lemah, sementara Alexander lebih didorong oleh ambisi penaklukan dan perluasan kekuasaan pribadi.
Oleh karena itu, meskipun ada kemiripan superfisial, mayoritas ulama modern cenderung menolak identifikasi Dhul-Qarnayn dengan Alexander Agung.
2. Dhul-Qarnayn dan Raja Cyrus Agung (Kurush)
Beberapa ulama modern, seperti Abul Kalam Azad, Muhammad Asad, dan Maulana Maududi, mengemukakan pandangan bahwa Dhul-Qarnayn mungkin adalah Raja Cyrus Agung (Kurush yang dalam bahasa Persia Kuno adalah Kūruš) dari Kekaisaran Akhemeniyah Persia (sekitar 600–530 SM). Argumennya meliputi:
- Gelar "Dua Tanduk": Cyrus juga digambarkan dengan tanduk dalam beberapa relief kuno Persia, seperti di Pasargadae, di mana ia digambarkan dengan mahkota bertanduk. Simbol tanduk mungkin merujuk pada kekuasaannya atas dua kerajaan besar atau dua wilayah geografis.
- Monoteisme dan Keadilan: Cyrus dikenal sebagai penguasa yang toleran dan memiliki kecenderungan monoteistik (meskipun bukan Islam dalam pengertian kenabian Muhammad SAW), serta dihormati karena keadilannya. Ia membebaskan bangsa Israel dari penawanan Babilonia dan mengizinkan mereka kembali ke Yerusalem untuk membangun kembali Baitul Maqdis. Karakteristik ini lebih konsisten dengan Dhul-Qarnayn yang saleh dan adil.
- Ekspedisi: Cyrus juga melakukan ekspedisi militer ke timur dan barat, memperluas wilayah kekuasaannya secara signifikan.
- Pembangunan Gerbang/Benteng: Ada bukti bahwa Cyrus atau penerusnya membangun benteng atau gerbang di wilayah Kaukasus (seperti Gerbang Darial atau Gerbang Besi di Derbent, sekarang di Dagestan) yang berfungsi sebagai pertahanan strategis melawan suku-suku nomaden dari utara (seperti Scythians atau Cimmerians) yang kala itu dikenal sangat ganas dan sering menyerbu. Suku-suku ini secara historis kadang dihubungkan dengan Gog dan Magog. Benteng-benteng ini dibangun di celah-celah gunung untuk mencegah invasi. Ini bisa jadi adalah inspirasi atau korelasi historis untuk kisah tembok Ya'juj dan Ma'juj.
Pandangan yang menghubungkan Dhul-Qarnayn dengan Cyrus Agung ini lebih diterima oleh beberapa ulama modern karena dianggap lebih konsisten dengan karakter saleh, adil, dan monoteistik Dhul-Qarnayn dalam Al-Qur'an. Namun, tetap perlu diingat bahwa ini adalah tafsiran dan korelasi historis, bukan penegasan definitif dari Al-Qur'an.
3. Dhul-Qarnayn sebagai Sosok Simbolis atau Representasi Ideal
Beberapa cendekiawan juga berpendapat bahwa Dhul-Qarnayn mungkin tidak merujuk pada satu individu sejarah tertentu. Sebaliknya, ia bisa jadi adalah representasi ideal dari seorang pemimpin yang adil, saleh, dan dianugerahi kekuasaan oleh Allah untuk menegakkan kebaikan di bumi. Pendekatan ini memungkinkan pelajaran dari kisah Al-Kahfi 90-100 menjadi lebih universal dan tidak terbatas pada keakuratan identifikasi historis yang mungkin tidak sempurna atau tidak dapat diverifikasi secara mutlak.
Pada akhirnya, terlepas dari identitas sejarahnya yang masih menjadi perdebatan, fokus utama bagi umat Islam haruslah pada pesan dan hikmah yang terkandung dalam kisah ini. Yang terpenting adalah pelajaran tentang kepemimpinan yang adil, penolakan keserakahan, pentingnya kerja sama, penggunaan ilmu untuk kebaikan, dan kesadaran akan kekuasaan Allah yang Mahatinggi serta janji-janji-Nya tentang akhir zaman. Penekanan Al-Qur'an selalu pada pelajaran moral dan spiritual, bukan pada detail sejarah yang tidak esensial.
Penutup: Refleksi Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 90-100
Melalui eksplorasi mendalam terhadap ayat-ayat Al-Kahfi 90-100, kita telah mengarungi lautan hikmah yang tiada habisnya yang disajikan oleh kisah Dhul-Qarnayn. Bagian krusial ini, yang mengisahkan pembangunan benteng kokoh untuk menahan Ya'juj dan Ma'juj, bukan sekadar narasi sejarah purba yang menarik, melainkan sebuah peta jalan spiritual dan panduan etika kepemimpinan yang abadi, relevan di setiap zaman dan tempat.
Kisah ini dengan tegas menegaskan bahwa kekuasaan sejati bersumber sepenuhnya dari Allah SWT, dan setiap anugerah kekuasaan yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya harus diemban dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan yang tulus, serta semangat melayani demi kemaslahatan umat. Dhul-Qarnayn berdiri sebagai teladan nyata seorang pemimpin yang adil, yang menolak imbalan duniawi, mengedepankan prinsip keadilan tanpa pandang bulu, dan memanfaatkan ilmu serta teknologi yang dianugerahkan kepadanya untuk kemaslahatan dan perlindungan umat. Ia mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan terbesar bukanlah dominasi atau penaklukan, melainkan kemampuan untuk melindungi yang lemah, membangun pertahanan dari segala bentuk kerusakan, dan menjaga kedamaian di muka bumi.
Di balik kemegahan tembok besi dan tembaga yang menjulang tinggi, tersirat sebuah pengingat fundamental yang menghujam jiwa: segala konstruksi dan pencapaian manusia, sehebat apa pun, tidak akan abadi. Janji Allah tentang hancurnya tembok raksasa tersebut dan kemunculan kembali Ya'juj dan Ma'juj adalah realitas yang tak terhindarkan, sebuah tanda besar Hari Kiamat yang menggarisbawahi kefanaan dunia dan kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah pelajaran berharga yang mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat pada pencapaian duniawi yang fana, melainkan senantiasa mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk kehidupan akhirat yang abadi.
Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tantangan, pesan dari Al-Kahfi 90-100 tetap menggema kuat. Kita dihadapkan pada berbagai "Ya'juj dan Ma'juj" kontemporer, baik itu berupa ideologi destruktif yang memecah belah, keserakahan global yang merusak ekosistem dan tatanan sosial, ketidakadilan yang merajalela, maupun eksploitasi yang merusak martabat manusia. Kisah ini menginspirasi kita untuk membangun "tembok" pertahanan dalam diri kita dan masyarakat, dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika yang kokoh, institusi yang adil dan transparan, pendidikan yang mencerahkan dan memberdayakan, serta keimanan yang teguh dan tak tergoyahkan. Benteng-benteng ini akan melindungi diri kita dan masyarakat dari segala bentuk kerusakan dan kejahatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Semoga dengan merenungkan setiap ayat dalam Al-Kahfi 90-100, kita dapat menarik pelajaran berharga yang tak ternilai, menguatkan iman dan keyakinan kita, serta meneladani sifat-sifat mulia Dhul-Qarnayn dalam setiap aspek kehidupan kita. Jadikanlah Al-Qur'an sebagai pedoman utama yang senantiasa membimbing kita menuju kebaikan di dunia ini dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dengan begitu, kita akan menjadi hamba-hamba Allah yang beriman, bermanfaat, dan selalu berada di jalan yang diridai-Nya.