Pendahuluan: Surah Al-Kahfi dan Hikmahnya
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki posisi istimewa dalam Al-Quran, dianjurkan untuk dibaca setiap hari Jumat karena mengandung berbagai pelajaran berharga dan perlindungan dari fitnah akhir zaman, terutama fitnah Dajjal. Surah ini mengisahkan empat cerita utama yang penuh hikmah: kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang menunjukkan keimanan dan perlindungan ilahi; kisah Nabi Musa dan Khidir yang mengajarkan tentang hakikat ilmu dan rahasia takdir; kisah dua pemilik kebun yang menggambarkan ujian kekayaan dan kesombongan; dan kisah Dhul-Qarnayn yang menyoroti kepemimpinan yang adil, kekuasaan, dan pembangunan. Keempat kisah ini saling berkaitan, semuanya menyampaikan pesan tentang pentingnya keimanan, kesabaran, kerendahan hati, dan pengembalian segala urusan kepada Allah SWT.
Dalam konteks kisah Dhul-Qarnayn, Allah SWT menggambarkan seorang pemimpin besar yang diberikan kekuasaan luas di muka bumi. Ia melakukan perjalanan ke barat, timur, dan akhirnya tiba di antara dua gunung. Di sanalah ia bertemu dengan kaum yang mengeluhkan keberadaan Yajuj dan Majuj, makhluk perusak yang senantiasa menebar kerusakan di bumi. Permohonan bantuan dari kaum tersebut berujung pada pembangunan sebuah tembok raksasa yang terbuat dari besi dan tembaga, sebuah mahakarya yang menjadi simbol kekuatan dan kearifan Dhul-Qarnayn. Puncak dari narasi pembangunan tembok ini terangkum dalam ayat ke-97, yang akan menjadi fokus utama pembahasan kita. Ayat ini bukan sekadar deskripsi teknis, melainkan mengandung makna filosofis, spiritual, dan eskatologis yang sangat mendalam bagi umat manusia.
Analisis Ayat Al-Kahfi 97: Fondasi Kekuatan yang Tak Tertembus
Ayat ke-97 dari Surah Al-Kahfi berbunyi:
فَمَا اسْطَاعُوٓا۟ أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا ٱسْتَطَٰعُوا۟ لَهُۥ نَقْبًا
Terjemahan bebasnya adalah: "Maka mereka (Yajuj dan Majuj) tidak dapat mendakinya, dan mereka tidak dapat (pula) melobanginya."
Ayat ini, meskipun singkat, sarat akan makna dan gambaran kekuatan yang tak terlukiskan. Ini adalah pernyataan tegas tentang ketidakmampuan Yajuj dan Majuj untuk menembus tembok yang dibangun oleh Dhul-Qarnayn. Mari kita bedah setiap frasa untuk memahami kedalaman maknanya.
"فَمَا اسْطَاعُوٓا۟ أَن يَظْهَرُوهُ" (Maka mereka tidak dapat mendakinya)
Frasa ini dimulai dengan partikel `fa-mā` (maka tidak), yang menunjukkan penegasan negatif. Kata kunci di sini adalah `isṭāʿū` (اسْطَاعُوٓا۟), yang berasal dari akar kata `ṭ-w-ʿ` (ط-و-ع) yang berarti kemampuan, kekuatan, atau kesanggupan. Bentuk `isṭāʿa` dalam bahasa Arab seringkali mengandung makna kemampuan yang sangat kuat, upaya maksimal yang dikerahkan, namun tetap gagal. Ini berbeda dengan `isṭāṭāʿa` (yang juga muncul di bagian kedua ayat ini) yang secara gramatikal lebih umum untuk "mampu". Pemilihan kata `isṭāʿū` di awal ayat ini mungkin menekankan bahwa bahkan dengan segala daya upaya yang sangat besar, mereka tetap tidak memiliki kapabilitas.
Selanjutnya, kata `an yaẓharūhu` (أَن يَظْهَرُوهُ) berarti "untuk menampakkan diri di atasnya" atau "untuk mendakinya". Kata `ẓahara` (ظهر) memiliki beberapa makna, antara lain 'muncul', 'menampakkan diri', atau 'mendaki'. Dalam konteks ini, ia merujuk pada upaya untuk naik ke puncak tembok, melampauinya secara vertikal. Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa tembok tersebut begitu tinggi dan mungkin juga licin atau tidak memiliki pijakan, sehingga Yajuj dan Majuj, meskipun dikenal sebagai makhluk yang kuat dan berjumlah sangat banyak, tidak mampu mendaki atau melompatinya.
Gambaran ini bukan sekadar tentang ketinggian fisik. Ia mencerminkan sebuah batasan absolut yang tidak bisa diatasi dengan kekuatan kasar semata. Tembok itu adalah manifestasi dari rancangan yang sempurna, yang tidak hanya mengandalkan bahan-bahan material, tetapi juga kebijaksanaan Dhul-Qarnayn yang diilhami oleh Allah. Seolah-olah tembok itu dibangun dengan dimensi yang melampaui kemampuan fisik makhluk fana untuk diatasi. Hal ini juga bisa diartikan sebagai kemustahilan untuk mengatasi benteng tersebut melalui strategi "atas", yaitu dengan melompat, terbang, atau membangun struktur untuk naik ke atasnya.
Penyebutan ketidakmampuan mendaki ini juga memberikan kita gambaran tentang karakteristik Yajuj dan Majuj. Mereka digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, sehingga upaya mereka untuk mendaki tembok yang megah ini adalah hal yang wajar. Namun, meskipun demikian, tembok itu tetap menjadi penghalang yang tak tergoyahkan. Ini mengindikasikan bahwa ketinggian tembok itu jauh melampaui batasan fisik makhluk apapun, bahkan yang luar biasa sekalipun.
"وَمَا ٱسْتَطَٰعُوا۟ لَهُۥ نَقْبًا" (dan mereka tidak dapat (pula) melobanginya)
Bagian kedua ayat ini mengulang penegasan ketidakmampuan, namun dengan sedikit variasi kata dan objek. Di sini digunakan `isṭāṭāʿū` (ٱسْتَطَٰعُوا۟), bentuk yang lebih umum dari kata "mampu" atau "sangggup". Pengulangan ini, meskipun dengan sedikit perbedaan bentuk kata, berfungsi untuk memberikan penekanan yang kuat bahwa ketidakmampuan mereka adalah mutlak, tidak hanya dalam satu aspek tetapi dalam semua upaya. Ini adalah kaidah dalam balaghah (retorika) Al-Quran untuk memperkuat suatu pernyataan.
Kemudian, kata `lahu naqbā` (لَهُۥ نَقْبًا) berarti "melobanginya" atau "menembusnya". Kata `naqbun` (نَقْبًا) secara harfiah berarti 'lubang', 'terowongan', atau 'jalan tembus'. Ini merujuk pada upaya untuk menembus tembok secara horizontal, yaitu dengan menggali, melubangi, atau merusaknya dari sisi. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya (Al-Kahfi 96), tembok ini dibangun dari lempengan-lempengan besi yang dipanaskan hingga merah membara, kemudian dicampur dengan tembaga cair. Kombinasi material ini menghasilkan benteng yang sangat padat, keras, dan tahan banting, menjadikannya mustahil untuk dilubangi.
Pernyataan ini menegaskan bahwa tembok tersebut bukan hanya tinggi, tetapi juga tebal dan padat. Tidak ada celah, tidak ada titik lemah yang bisa dimanfaatkan untuk ditembus. Baik dengan kekuatan pukulan, pahatan, atau galian, Yajuj dan Majuj tidak memiliki daya untuk menciptakan lubang sekecil apa pun di benteng tersebut. Ini menunjukkan bahwa materi penyusun tembok memiliki karakteristik yang tidak biasa, yang secara efektif meniadakan segala bentuk kerusakan fisik dari luar.
Kombinasi larangan "mendaki" dan "melubangi" adalah penegasan ganda yang sempurna. Ini berarti bahwa tembok tersebut adalah penghalang total yang tidak dapat ditembus dari arah manapun—baik dari atas maupun dari tengah. Ini adalah gambaran sebuah konstruksi yang didesain untuk menjadi penghalang abadi, sebuah karya yang melampaui batas-batas konstruksi biasa, dan hanya dapat dijelaskan dengan intervensi atau petunjuk ilahi.
Ilustrasi Tembok Besi Dhul-Qarnayn yang tak dapat ditembus.
Konteks Kisah Dhul-Qarnayn dan Yajuj Majuj
Untuk memahami sepenuhnya makna ayat Al-Kahfi 97, penting untuk meninjau kembali konteks luas kisah Dhul-Qarnayn. Kisah ini dimulai dengan pertanyaan orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW mengenai "pemilik dua tanduk" atau Dhul-Qarnayn, sebagai salah satu dari tiga pertanyaan yang bertujuan menguji kenabian beliau. Allah kemudian menurunkan wahyu yang menjelaskan tentang sosok pemimpin ini.
Dhul-Qarnayn adalah seorang raja atau pemimpin yang diberikan kekuasaan, pengetahuan, dan kemampuan oleh Allah untuk berkelana ke berbagai penjuru bumi. Al-Quran menggambarkan perjalanannya ke arah matahari terbenam, lalu ke tempat matahari terbit, dan terakhir ke suatu tempat di antara dua gunung. Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia menunjukkan keadilan, kebijaksanaan, dan kekuatan yang luar biasa. Ia membantu orang-orang yang tertindas dan menumpas kezaliman.
Pada perjalanannya yang ketiga, ia tiba di suatu lembah yang terletak di antara dua gunung. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang berbahasa aneh, yang mengeluhkan keberadaan Yajuj dan Majuj (Gog dan Magog). Kaum ini menjelaskan bahwa Yajuj dan Majuj adalah makhluk-makhluk yang senantiasa membuat kerusakan di bumi, menyerbu wilayah mereka, dan merampas harta benda mereka. Mereka memohon kepada Dhul-Qarnayn untuk membangunkan sebuah tembok sebagai penghalang antara mereka dengan Yajuj dan Majuj, dan mereka bersedia membayar upah untuk itu.
Namun, Dhul-Qarnayn, dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kekuasaannya berasal dari Allah, menolak upah tersebut. Ia mengatakan bahwa rezeki yang diberikan Tuhannya kepadanya sudah lebih baik. Ia hanya meminta bantuan tenaga dan peralatan. Dengan bimbingan Allah, ia memerintahkan untuk mengumpulkan potongan-potongan besi, meletakkannya di antara dua gunung hingga mencapai puncak yang sejajar, lalu menyalakan api besar di bawahnya. Setelah besi-besi itu membara, ia meminta agar dituangkan tembaga cair di atasnya. Proses ini menciptakan sebuah tembok raksasa yang sangat kokoh, padat, dan tak tertembus.
Ayat 97 adalah puncak dari kisah pembangunan tembok tersebut, menegaskan bahwa tujuan pembangunan telah tercapai dengan sempurna. Tembok itu berdiri kokoh sebagai benteng yang tak dapat diatasi oleh Yajuj dan Majuj. Ini bukan hanya cerita historis, tetapi juga mengandung janji ilahi dan tanda-tanda akhir zaman.
Siapakah Yajuj dan Majuj?
Yajuj dan Majuj adalah makhluk yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits sebagai tanda-tanda besar Kiamat. Identitas pasti mereka, baik secara rasial maupun geografis, telah menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama dan sejarawan. Beberapa ulama berpendapat bahwa mereka adalah keturunan Nabi Nuh AS, yaitu dari Yafits, dan merupakan suku-suku yang ada di bumi ini, seperti bangsa Mongol atau Tartar. Namun, pandangan mayoritas meyakini bahwa mereka adalah entitas khusus yang keberadaannya tersembunyi, terkurung di balik tembok Dhul-Qarnayn, dan akan muncul pada akhir zaman sebagai bagian dari tanda-tanda besar Kiamat.
Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menggambarkan Yajuj dan Majuj sebagai kaum yang sangat banyak jumlahnya, memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, dan akan membuat kerusakan yang dahsyat di bumi ketika mereka dilepaskan. Mereka akan minum habis air danau, menghancurkan tanaman, dan membunuh manusia. Kemunculan mereka adalah salah satu tanda paling mengerikan menjelang Hari Kiamat. Ayat 96-97 Surah Al-Anbiya juga menyebutkan mereka:
حَتَّىٰٓ إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُم مِّن كُلِّ حَدَبٍ يَنسِلُونَ وَٱقْتَرَبَ ٱلْوَعْدُ ٱلْحَقُّ فَإِذَا هِىَ شَٰخِصَةٌ أَبْصَٰرُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَٰوَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِى غَفْلَةٍ مِّنْ هَٰذَا بَلْ كُنَّا ظَٰلِمِينَ
Terjemahan: "Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh penjuru. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): 'Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim.'" (QS. Al-Anbiya: 96-97)
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan terbukanya Yajuj dan Majuj dengan dekatnya janji yang benar, yaitu Hari Kiamat. Ini menunjukkan bahwa tembok yang dibangun Dhul-Qarnayn bukanlah penghalang yang permanen, melainkan akan runtuh pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah.
Pelajaran dan Hikmah dari Al-Kahfi 97
Ayat Al-Kahfi 97, bersama dengan keseluruhan kisah Dhul-Qarnayn, mengandung banyak pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan kita, baik secara individu maupun kolektif.
1. Kekuasaan Allah SWT yang Tak Terbatas
Pelajaran paling mendasar dari ayat ini adalah penegasan kekuasaan Allah SWT yang maha dahsyat. Meskipun Dhul-Qarnayn adalah pemimpin yang kuat dan bijaksana, ia selalu mengembalikan semua keberhasilannya kepada rahmat dan petunjuk Allah. Tembok tersebut, meskipun dibangun dengan teknologi dan kekuatan manusia, tidak akan mungkin setangguh itu tanpa izin dan kehendak ilahi. Dhul-Qarnayn sendiri menegaskan di ayat berikutnya (Al-Kahfi 98): "Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku."
Ini mengingatkan kita bahwa segala kekuatan, kecerdasan, dan sumber daya yang kita miliki hanyalah anugerah dari Allah. Tanpa izin-Nya, tidak ada satu pun proyek atau rencana manusia yang akan berhasil dengan sempurna. Tembok yang tak tertembus itu adalah simbol bahwa ketika Allah berkehendak, tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Ia mampu mengendalikan apa pun, bahkan makhluk yang paling merusak sekalipun, melalui sarana yang Dia tetapkan.
Kekuatan material Yajuj dan Majuj pun tidak berarti apa-apa di hadapan kekuatan Allah yang mewujudkan tembok tersebut. Ini mengajarkan kita untuk selalu bersandar kepada-Nya dalam segala urusan, dan menyadari bahwa setiap pencapaian adalah bukti kasih sayang dan kekuasaan-Nya, bukan semata-mata hasil usaha kita.
2. Kelemahan Manusia di Hadapan Kehendak Ilahi
Sebaliknya, ayat ini juga menyoroti kelemahan manusia, bahkan makhluk yang digambarkan sangat kuat seperti Yajuj dan Majuj. Meskipun mereka berusaha sekuat tenaga, dengan segala upaya untuk mendaki atau melubangi tembok, mereka tetap tidak berdaya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik atau jumlah yang banyak tidaklah cukup untuk melawan takdir dan ketetapan Allah.
Kisah ini menegaskan bahwa setiap individu atau kelompok, sekokoh apapun pertahanan atau sehebat apapun strateginya, akan selalu memiliki batasan. Ada hal-hal yang berada di luar kendali dan kemampuan manusia. Mengakui kelemahan ini adalah langkah pertama menuju kerendahan hati dan ketundukan kepada Sang Pencipta. Kesombongan dan merasa paling kuat hanya akan berujung pada kegagalan dan kekecewaan.
Dalam konteks modern, di mana manusia seringkali terbuai dengan kemajuan teknologi dan kekuatan militer, ayat ini menjadi pengingat yang relevan. Betapapun canggihnya sistem pertahanan atau senjata pemusnah massal, semua itu tidak berarti di hadapan kehendak Allah. Bencana alam, wabah penyakit, atau krisis tak terduga seringkali menunjukkan betapa rentannya manusia terhadap kekuatan alam yang dikendalikan oleh Allah.
3. Keadilan dan Perlindungan Allah bagi Kaum yang Lemah
Kisah Dhul-Qarnayn bermula dari keluhan kaum yang tertindas oleh Yajuj dan Majuj. Allah mengutus Dhul-Qarnayn untuk melindungi mereka, membangunkan tembok yang menjadi perisai dari kejahatan. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah adalah Al-Adl (Yang Maha Adil) dan Al-Hafiz (Yang Maha Memelihara).
Allah tidak akan membiarkan kezaliman berlarut-larut tanpa campur tangan. Meskipun campur tangan-Nya mungkin tidak selalu terlihat secara langsung atau instan, namun Dia memiliki cara dan waktu-Nya sendiri untuk menegakkan keadilan dan melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman dan tertindas. Ini memberikan harapan dan kekuatan bagi mereka yang sedang menghadapi kesulitan dan penindasan, bahwa pertolongan Allah pasti akan datang pada waktunya.
Pelajaran ini juga mengajarkan kita pentingnya empati dan solidaritas. Dhul-Qarnayn tidak memungut bayaran karena ia memahami penderitaan kaum tersebut dan melihatnya sebagai kesempatan untuk berbuat kebaikan demi Allah. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta membela kaum yang lemah dan terpinggirkan.
4. Hikmah di Balik Penundaan Kejahatan
Tembok ini berfungsi untuk menunda kemunculan Yajuj dan Majuj hingga waktu yang telah ditetapkan. Ini adalah bagian dari rencana ilahi yang penuh hikmah. Allah bisa saja memusnahkan mereka sepenuhnya, namun Dia memilih untuk menahan mereka sementara waktu. Ini menunjukkan bahwa setiap peristiwa, bahkan yang tampak sebagai musibah, memiliki tujuan dan waktu yang sempurna dalam skenario ilahi.
Penundaan ini memberi kesempatan bagi umat manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi akhir zaman. Ia memberikan waktu bagi generasi-generasi untuk beriman, beramal saleh, dan memperkuat spiritualitas mereka sebelum datangnya ujian-ujian besar. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian, dan tanda-tanda Kiamat adalah pengingat untuk tidak lalai dalam mempersiapkan kehidupan akhirat.
Manusia seringkali ingin segala sesuatu terjadi sesuai keinginan dan jadwal mereka. Namun, kisah ini mengajarkan kita untuk bersabar dan percaya pada hikmah Allah. Ada banyak hal yang tidak kita ketahui, dan Allah-lah yang paling tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya dan bagi kelangsungan alam semesta.
5. Pentingnya Niat yang Tulus dan Kerendahan Hati
Dhul-Qarnayn menunjukkan contoh pemimpin yang luar biasa. Ia tidak sombong dengan kekuasaan dan kemampuannya. Ia menolak bayaran, mengembalikan semua kemampuannya kepada rahmat Tuhannya, dan bekerja demi kebaikan umat manusia. Niatnya murni karena Allah.
Hal ini kontras dengan banyak pemimpin di dunia yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau untuk menyombongkan diri. Kisah Dhul-Qarnayn mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kekuasaan itu sendiri, melainkan pada bagaimana kekuasaan itu digunakan—dengan keadilan, kerendahan hati, dan pengabdian kepada Allah dan sesama. Kekuatan yang tidak diiringi dengan niat tulus dan kerendahan hati akan menjadi bumerang bagi pemiliknya.
Bagi setiap individu, ini adalah pelajaran tentang pentingnya ikhlas dalam setiap tindakan. Sekecil apapun perbuatan baik, jika didasari niat tulus karena Allah, akan memiliki nilai yang besar. Sebaliknya, sebesar apapun pencapaian, jika didasari kesombongan atau riya', tidak akan bernilai di sisi Allah.
Dimensi Eskatologis: Tembok dan Akhir Zaman
Ayat Al-Kahfi 97 secara intrinsik terhubung dengan tanda-tanda Kiamat. Tembok yang kokoh itu akan tetap berdiri hingga "janji Tuhanku tiba" (Al-Kahfi 98), saat ia akan dihancurkan menjadi rata. Pada saat itulah Yajuj dan Majuj akan dibebaskan, dan mereka akan menyebar ke seluruh penjuru bumi, membawa kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Nabi Muhammad SAW dalam banyak hadits telah menjelaskan tentang kemunculan mereka sebagai salah satu tanda besar Kiamat. Mereka akan muncul setelah kemunculan Dajjal dan turunnya Nabi Isa AS. Ketika mereka dilepaskan, bumi akan dipenuhi dengan kerusakan dan kehancuran. Manusia akan mencari perlindungan, dan Nabi Isa bersama kaum mukminin akan berlindung di sebuah gunung, berdoa kepada Allah.
Allah kemudian akan mengirimkan ulat-ulat yang menyerang leher Yajuj dan Majuj, menyebabkan mereka mati secara bersamaan. Jasad-jasad mereka akan menutupi bumi, dan kemudian Allah akan mengirimkan hujan lebat yang membersihkan bumi dari bangkai-bangkai mereka. Peristiwa ini adalah salah satu episode dramatis dalam skenario akhir zaman, yang menunjukkan bahwa pada akhirnya, segala kekuatan akan tunduk pada kehendak Allah.
Diskusi tentang lokasi fisik tembok ini telah lama menjadi perdebatan. Beberapa ulama mengaitkannya dengan Tembok Besar Cina, sementara yang lain menunjuk ke pegunungan Kaukasus di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia, di mana terdapat sebuah celah yang dikenal sebagai "Gerbang Besi". Namun, tidak ada konsensus pasti mengenai lokasi geografisnya. Beberapa penafsir modern bahkan berpendapat bahwa kisah ini mungkin memiliki makna simbolis atau dimensi yang melampaui pemahaman geografis kita saat ini. Terlepas dari lokasinya, inti dari pesan Al-Quran adalah tentang keberadaan tembok tersebut sebagai penanda waktu dan tanda kekuasaan Allah.
Yang terpenting bukanlah mencari lokasi pasti tembok secara fisik, tetapi memahami pesan eskatologisnya: bahwa ada sebuah kekuatan jahat yang terkurung dan akan dilepaskan pada waktu yang telah ditentukan, dan bahwa peristiwa ini adalah bagian dari tanda-tanda besar menjelang Kiamat. Ini seharusnya mendorong kita untuk meningkatkan keimanan, mempersiapkan diri untuk akhirat, dan selalu memohon perlindungan kepada Allah dari segala fitnah dan kejahatan.
Relevansi Al-Kahfi 97 di Era Modern
Meskipun kisah Dhul-Qarnayn dan tembok besi terjadi di masa lampau dan terkait dengan tanda-tanda akhir zaman, pelajaran dari Al-Kahfi 97 tetap relevan bagi umat manusia di era modern ini.
1. Perlindungan dari Kerusakan Moral dan Sosial
Yajuj dan Majuj digambarkan sebagai penebar kerusakan. Di zaman modern, kerusakan tidak hanya terbatas pada kehancuran fisik, tetapi juga kerusakan moral, etika, dan sosial. Pornografi, narkoba, kejahatan siber, penyebaran hoaks, perpecahan sosial, dan ideologi-ideologi ekstrem dapat dianggap sebagai bentuk "kerusakan" yang merusak sendi-sendi masyarakat.
Ayat ini mengajarkan kita untuk membangun "tembok" perlindungan dalam diri dan masyarakat kita. Tembok ini bukan dari besi dan tembaga, melainkan dari keimanan yang kokoh, nilai-nilai moral yang luhur, pendidikan yang berkualitas, dan penegakan hukum yang adil. Seperti Dhul-Qarnayn yang membangun tembok fisik, kita perlu membangun benteng spiritual dan intelektual untuk melindungi diri dan generasi mendatang dari gelombang kerusakan yang terus meningkat.
Membangun tembok moral berarti memperkuat pendidikan agama, menanamkan akhlak mulia, mengajarkan toleransi, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial. Dengan demikian, kita dapat membentengi diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang merusak jiwa dan tatanan masyarakat.
2. Pentingnya Kepemimpinan yang Adil dan Beretika
Dhul-Qarnayn adalah teladan pemimpin yang adil, bijaksana, dan taat kepada Allah. Ia menggunakan kekuasaannya untuk melindungi yang lemah dan membangun kemaslahatan, bukan untuk menumpuk harta atau memperluas kekuasaan semata. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang sejati adalah amanah dari Allah yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab.
Di tengah krisis kepemimpinan global dan maraknya korupsi, kisah Dhul-Qarnayn menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya pemimpin yang berintegritas, yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Pemimpin harus mampu melihat jauh ke depan, mengidentifikasi ancaman, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi dan memajukan masyarakatnya, sebagaimana Dhul-Qarnayn melindungi kaum yang tertindas.
Kisah ini juga menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa kekuatan dan keberhasilan datang dari Allah, bukan dari kecerdasan atau kekuasaan mereka sendiri. Ini memupuk rasa syukur dan mencegah kesombongan yang seringkali menjadi penyebab kehancuran.
3. Ketekunan dan Kerjasama dalam Menghadapi Tantangan
Pembangunan tembok raksasa itu membutuhkan usaha yang luar biasa dan kerjasama antara Dhul-Qarnayn dengan kaum yang tertindas. Ini menunjukkan bahwa untuk mengatasi masalah besar, diperlukan ketekunan, perencanaan yang matang, dan semangat gotong royong.
Dalam menghadapi berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, kemiskinan, pandemi, atau konflik, umat manusia harus belajar dari kisah ini. Tidak ada masalah besar yang bisa diselesaikan sendirian. Diperlukan kerjasama lintas batas, antara bangsa dan agama, dengan ketekunan dan kesabaran untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.
Ketekunan yang ditunjukkan oleh Yajuj dan Majuj yang terus mencoba mendaki atau melubangi tembok (meskipun sia-sia) juga dapat memberikan pelajaran bagi kita. Dalam menghadapi kebaikan, kita harus lebih tekun dan sabar daripada mereka dalam melakukan keburukan. Ketekunan dalam beribadah, menuntut ilmu, dan berbuat kebaikan adalah kunci keberhasilan di dunia dan akhirat.
4. Mengingat Hakikat Hidup dan Kematian
Kemunculan Yajuj dan Majuj adalah tanda pasti akan dekatnya Hari Kiamat. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan dunia ini fana, dan ada kehidupan akhirat yang abadi. Ayat ini seharusnya mendorong kita untuk tidak terlalu terikat pada dunia dan selalu mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan Allah.
Di era modern yang serba cepat dan materialistis, manusia seringkali lalai akan tujuan hakiki penciptaan mereka. Ayat-ayat tentang akhir zaman berfungsi sebagai penyeimbang, mengingatkan kita untuk fokus pada hal-hal yang abadi dan tidak terlena dengan kesenangan dunia yang sementara. Kematian dan Kiamat bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kisah Al-Kahfi 97 tidak hanya sekadar cerita dari masa lalu, tetapi sebuah cermin yang merefleksikan kondisi manusia di setiap zaman. Ia mendorong kita untuk introspeksi, memperkuat keimanan, dan mengambil tindakan nyata untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan, baik di dunia maupun di akhirat.
Penafsiran Lain dan Sudut Pandang yang Berbeda
Kisah Dhul-Qarnayn dan temboknya, termasuk ayat 97, telah memicu berbagai penafsiran dan diskusi di kalangan ulama dan cendekiawan. Perbedaan ini terutama muncul dalam mengidentifikasi siapa Dhul-Qarnayn sebenarnya, di mana lokasi tembok, dan bagaimana memahami sifat Yajuj dan Majuj.
Identitas Dhul-Qarnayn
Ada beberapa pandangan populer mengenai identitas Dhul-Qarnayn:
- Iskandar Agung (Alexander the Great): Ini adalah pandangan yang cukup populer di masa lalu, terutama di kalangan sejarawan Barat dan beberapa ulama Muslim. Kesamaan terletak pada penaklukannya yang luas ke timur dan barat. Namun, pandangan ini banyak ditolak oleh ulama kontemporer karena Iskandar Agung adalah penyembah berhala, sedangkan Dhul-Qarnayn dalam Al-Quran jelas seorang yang beriman kepada Allah dan seorang yang adil. Ia juga dikenal sebagai seorang yang mengklaim ketuhanan, yang sangat bertentangan dengan karakter Dhul-Qarnayn yang saleh.
- Seorang Raja Shaleh dari Himyar (Yaman): Beberapa riwayat dan pandangan dari ulama seperti Wahb bin Munabbih menyebutkan bahwa Dhul-Qarnayn adalah seorang raja dari Yaman kuno. Argumentasinya didasarkan pada keberadaan "Dhul" (pemilik) dalam nama-nama raja Himyar (seperti Dhu Nuwas). Mereka berpendapat bahwa raja ini melakukan perjalanan dan pembangunan yang serupa. Namun, bukti sejarah konkret untuk menguatkan pandangan ini masih kurang kuat.
- Seorang Nabi atau Raja Pilihan Allah yang Tidak Diketahui Identitasnya Secara Historis: Ini adalah pandangan yang dipegang oleh banyak ulama besar, termasuk Ibnu Katsir dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa Al-Quran tidak secara spesifik menyebutkan identitas historis Dhul-Qarnayn, dan hal itu mungkin tidak penting untuk pesan utama yang ingin disampaikan. Yang penting adalah sifat-sifatnya sebagai pemimpin yang adil, beriman, dan menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan. Mengidentifikasikannya dengan tokoh sejarah tertentu mungkin justru mengalihkan perhatian dari hikmah utama kisah.
Pada akhirnya, identitas Dhul-Qarnayn yang sesungguhnya tidaklah esensial bagi pemahaman pesan spiritual dan moral dari Surah Al-Kahfi. Allah ingin kita fokus pada pelajaran yang terkandung dalam tindakannya, bukan pada detail sejarah yang tidak disebutkan secara eksplisit.
Lokasi Tembok
Sama halnya dengan identitas Dhul-Qarnayn, lokasi fisik tembok juga menjadi spekulasi. Beberapa teori yang diajukan antara lain:
- Pegunungan Kaukasus: Ini adalah teori yang paling populer. Di wilayah antara Laut Hitam dan Laut Kaspasus, terdapat celah sempit yang dikenal sebagai 'Gerbang Darial' atau 'Gerbang Besi' (Bab al-Abwab dalam bahasa Arab), yang secara historis menjadi jalur invasi suku-suku dari utara ke selatan. Banyak sejarawan dan geografer Muslim kuno menunjuk ke lokasi ini, mengidentifikasikan tembok tersebut dengan Dinding Derbent di Dagestan, Rusia, atau struktur pertahanan serupa yang dibangun untuk menahan suku-suku nomaden. Namun, struktur-struktur ini umumnya terbuat dari batu, bukan dari besi dan tembaga, dan ukurannya tidak sefenomenal yang digambarkan Al-Quran.
- Tembok Besar Cina: Beberapa pandangan mengaitkannya dengan Tembok Besar Cina, mengingat ukurannya yang kolosal dan fungsinya sebagai pertahanan. Namun, materialnya juga tidak sesuai, dan geografisnya tidak sesuai dengan deskripsi "di antara dua gunung" atau "di belakang" gunung secara spesifik yang menyempit.
- Lokasi yang Belum Ditemukan atau Berada di Dimensi Lain: Ada juga pandangan bahwa lokasi tembok tersebut masih tersembunyi atau mungkin berada di suatu tempat yang belum terjamah oleh peradaban modern, atau bahkan di dimensi geografis yang berbeda dari yang kita kenal.
- Interpretasi Simbolis: Sebagian kecil penafsir menganggap tembok ini mungkin memiliki makna simbolis, bukan literal. Namun, mayoritas ulama menolak pandangan ini karena Al-Quran dan Hadits dengan jelas menggambarkan Yajuj dan Majuj sebagai entitas fisik yang terkurung oleh tembok fisik dan akan dilepaskan pada akhir zaman.
Seperti identitas Dhul-Qarnayn, penentuan lokasi pasti tembok bukanlah inti dari pesan Al-Quran. Penekanannya adalah pada eksistensi tembok sebagai penghalang yang kuat, dibangun atas kehendak Allah, dan fungsinya sebagai penanda waktu bagi kemunculan Yajuj dan Majuj.
Karakteristik Yajuj dan Majuj
Meskipun Al-Quran tidak memberikan deskripsi fisik yang detail tentang Yajuj dan Majuj, Hadits Nabi SAW memberikan beberapa petunjuk. Mereka digambarkan sebagai suku-suku yang sangat banyak, memiliki kekuatan besar, dan akan membanjiri bumi, menyebabkan kerusakan yang luas. Beberapa hadits bahkan menyebutkan tentang usaha mereka setiap hari untuk melubangi tembok, namun setiap malam usaha mereka musnah dan esoknya mereka harus mulai lagi, sampai pada suatu hari Allah mengizinkan mereka untuk mengatakan "Insya Allah" saat akan melubangi tembok, sehingga mereka berhasil menembusnya. Kisah ini memperkuat makna ayat 97 tentang ketidakmampuan mereka untuk melubangi tembok tanpa izin Allah.
Interpretasi modern seringkali mencoba mengaitkan Yajuj dan Majuj dengan ancaman-ancaman kolektif seperti krisis lingkungan, pandemi global, atau bahkan konflik berskala besar. Namun, penafsiran ini harus hati-hati agar tidak menyimpang dari makna literal Al-Quran dan Hadits yang mengidentifikasi mereka sebagai makhluk spesifik yang akan muncul pada akhir zaman.
Perbedaan penafsiran ini adalah bagian dari kekayaan intelektual dalam Islam. Yang penting adalah bahwa kita tidak terjebak dalam perdebatan detail yang tidak esensial, melainkan fokus pada hikmah dan pelajaran inti yang ingin disampaikan oleh Al-Quran.
Menyelaraskan Ilmu Pengetahuan dan Iman
Beberapa orang mungkin bertanya-tanya, apakah mungkin ada tembok seperti itu yang terbuat dari besi dan tembaga di dunia ini yang belum ditemukan? Ilmu pengetahuan modern, khususnya geologi dan arkeologi, belum menemukan bukti keberadaan tembok raksasa yang sesuai dengan deskripsi Al-Quran. Namun, ini tidak berarti meniadakan kebenarannya.
Ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan:
- Batas Pengetahuan Manusia: Pengetahuan manusia, betapapun maju, tetaplah terbatas. Masih banyak misteri di bumi yang belum terpecahkan, terutama di daerah-daerah terpencil atau tersembunyi. Tidak menutup kemungkinan ada struktur yang belum terdeteksi.
- Waktu dan Perubahan Geografis: Geografi bumi telah mengalami perubahan drastis selama ribuan tahun. Sebuah lokasi yang dulunya strategis mungkin kini telah tertutup oleh pergeseran lempeng bumi, longsor, atau sedimentasi.
- Mukjizat dan Kehendak Allah: Pembangunan tembok ini, dengan material dan kekuatan yang luar biasa, mungkin merupakan bagian dari mukjizat yang diberikan Allah kepada Dhul-Qarnayn. Teknologi dan metodenya bisa jadi melampaui pemahaman teknologi kita saat ini. Al-Quran seringkali menceritakan peristiwa yang melampaui kemampuan manusia biasa untuk menunjukkan kekuasaan Allah.
- Prioritas pada Pesan: Inti dari kisah Al-Kahfi bukan untuk menjadi atlas geografis atau buku sejarah yang rinci, melainkan untuk memberikan pelajaran spiritual dan moral. Allah ingin umat-Nya memahami pesan tentang kekuasaan-Nya, keadilan, dan persiapan akhir zaman, bukan terjebak dalam pencarian fisik yang tak berujung.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk beriman pada hal-hal gaib yang diberitakan dalam Al-Quran dan Hadits, meskipun belum terbukti secara empiris oleh ilmu pengetahuan. Iman adalah keyakinan akan kebenaran dari apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan. Ilmu pengetahuan adalah alat untuk memahami alam semesta, tetapi ia memiliki batasan. Ketika ada kontradiksi, bukan berarti Al-Quran salah, melainkan pemahaman kita atau batas pengetahuan sains yang belum mencapai kebenaran mutlak.
Ayat Al-Kahfi 97 adalah pengingat bahwa alam semesta ini penuh dengan rahasia yang hanya diketahui oleh Allah. Ia mengajarkan kerendahan hati dalam menghadapi pengetahuan dan mendorong kita untuk terus mencari ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia, dengan tetap berpegang teguh pada keimanan.
Kesimpulan: Cahaya dari Tembok Besi Al-Kahfi 97
Ayat Al-Kahfi 97 adalah puncak dari kisah Dhul-Qarnayn yang mengagumkan, sebuah penegasan abadi tentang kekuatan sebuah benteng yang dibangun atas petunjuk Ilahi. Frasa "Maka mereka (Yajuj dan Majuj) tidak dapat mendakinya, dan mereka tidak dapat (pula) melobanginya" bukan sekadar deskripsi fisik, melainkan sebuah pernyataan universal tentang ketidakberdayaan kekuatan jahat di hadapan kehendak Allah SWT.
Dari ayat ini, kita memetik pelajaran mendalam tentang keagungan dan kekuasaan Allah yang tak terbatas, yang mampu menahan entitas perusak terbesar sekalipun dengan sebuah konstruksi sederhana namun efektif. Kita juga diingatkan akan kelemahan dan keterbatasan manusia, betapapun kuatnya. Kisah ini menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan yang adil dan berlandaskan iman, yang menggunakan kekuasaan sebagai amanah untuk melindungi kaum lemah dan menegakkan kebaikan.
Lebih dari itu, Al-Kahfi 97 adalah sebuah rambu eskatologis, yang menunjuk pada janji Allah tentang akhir zaman dan kemunculan Yajuj dan Majuj sebagai tanda besar Kiamat. Ia mengundang kita untuk merenungkan hakikat kehidupan, mempersiapkan diri untuk akhirat, dan senantiasa berlindung kepada Allah dari segala bentuk fitnah dan kerusakan, baik yang nyata maupun yang gaib.
Di era modern yang penuh tantangan, pesan dari tembok besi ini tetap relevan. Kita diajak untuk membangun "tembok-tembok" pertahanan spiritual dan moral dalam diri kita dan masyarakat, membentengi diri dari gelombang kerusakan yang bisa datang dalam berbagai bentuk. Dengan keimanan yang kokoh, akhlak yang mulia, dan kerjasama yang tulus, kita dapat mencontoh Dhul-Qarnayn dalam menghadapi dan mengatasi ancaman-ancaman zaman.
Semoga dengan memahami makna mendalam dari Al-Kahfi 97, kita semakin bertambah iman dan takwa, serta senantiasa mengambil hikmah dari setiap ayat Al-Quran sebagai panduan hidup kita. Karena pada akhirnya, segala kekuatan adalah milik Allah, dan kepada-Nyalah segala urusan akan kembali.