Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surah Makkiyah dalam Al-Qur'an yang kaya akan hikmah dan pelajaran mendalam. Dikenal dengan kisah-kisah utamanya seperti Ashabul Kahf (Penghuni Gua), kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS, serta kisah Dzulqarnain, surah ini memberikan panduan komprehensif tentang berbagai ujian kehidupan: ujian iman, ujian ilmu, dan ujian kekuasaan. Di antara ayat-ayat penutup surah yang penuh makna ini, terdapat ayat 105 yang berfungsi sebagai rangkuman dan penegasan inti pesan dari seluruh surah, sekaligus peringatan yang sangat penting bagi umat manusia tentang nilai hakiki amal perbuatan di hadapan Allah SWT.
Ayat 105 dari Surah Al-Kahfi adalah sebuah cerminan tentang konsekuensi dari kekafiran dan penolakan terhadap kebenaran ilahi. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang nasib orang-orang kafir di akhirat, tetapi juga secara implisit menegaskan betapa fundamentalnya iman sebagai pondasi bagi setiap amal perbuatan agar memiliki nilai di sisi Allah SWT. Tanpa iman yang benar, bahkan perbuatan baik sekalipun, akan menjadi sia-sia di hari perhitungan. Mari kita selami lebih dalam makna ayat ini, menelaah setiap frasa, dan menarik pelajaran berharga yang dapat membimbing kita dalam menjalani kehidupan.
Untuk memahami sepenuhnya pesan yang terkandung dalam ayat ini, kita perlu mengkaji setiap bagiannya secara cermat, dengan merujuk pada tafsir para ulama dan konteks Al-Qur'an secara keseluruhan.
Frasa pembuka ayat ini mengidentifikasi subjek utama yang dibicarakan: "Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka." Siapakah "mereka" ini? Ayat ini merujuk kepada individu atau kelompok yang secara sadar dan sengaja menolak atau mengingkari tanda-tanda kebesaran Allah (ayat-ayat-Nya).
Kata "kafir" berasal dari akar kata Arab yang berarti "menutupi" atau "mengingkari." Dalam konteks Islam, kafir adalah seseorang yang menolak kebenaran risalah Islam setelah kebenasan itu sampai kepadanya. Ini tidak hanya terbatas pada kaum musyrikin Mekah di zaman Nabi Muhammad SAW, melainkan mencakup setiap orang, di setiap zaman dan tempat, yang telah menerima seruan kebenaran Islam namun memilih untuk menolaknya.
Penting untuk dicatat bahwa kekafiran di sini bukanlah sekadar kurangnya pengetahuan, melainkan penolakan yang disengaja setelah bukti-bukti kebenaran telah sampai. Mereka memilih untuk "menutupi" kebenaran yang telah jelas terpampang di hadapan mereka, baik dalam bentuk wahyu maupun alam semesta.
Frasa kedua ini menyoroti aspek fundamental lain dari kekafiran mereka: penolakan terhadap pertemuan dengan Allah SWT. Ini merujuk pada pengingkaran terhadap Hari Kebangkitan, Hari Perhitungan, dan Hari Pembalasan di akhirat.
Keyakinan akan Hari Kiamat adalah salah satu rukun iman dalam Islam. Mengingkari atau meragukan adanya Hari Akhir dan pertemuan dengan Allah adalah bentuk kekafiran yang sangat serius, karena hal itu meniadakan tujuan akhir dari penciptaan dan menghancurkan seluruh sistem pertanggungjawaban moral dan spiritual.
Ayat ini secara eksplisit menghubungkan dua bentuk kekafiran ini: penolakan terhadap ayat-ayat Allah dan penolakan terhadap Hari Pertemuan dengan-Nya. Keduanya saling terkait erat; jika seseorang tidak percaya pada risalah Allah, maka ia juga cenderung tidak akan percaya pada Hari Perhitungan yang dijanjikan dalam risalah tersebut.
Ini adalah konsekuensi langsung dari kekafiran yang disebutkan sebelumnya: "Maka gugurlah amal-amal mereka." Kata "habithat" (حَبِطَتْ) berasal dari kata dasar "habatha" yang berarti "menjadi sia-sia", "gugur", atau "batal". Analogi yang sering digunakan adalah seperti hewan yang makan rumput beracun sehingga seluruh makanannya sia-sia dan bahkan membahayakan.
Frasa ini merupakan inti dari peringatan keras dalam ayat ini. Ini berarti bahwa segala bentuk perbuatan yang mungkin dianggap baik atau bermanfaat secara duniawi yang dilakukan oleh orang-orang kafir tidak akan memiliki nilai atau pahala di sisi Allah untuk kehidupan akhirat.
Ini adalah poin krusial yang membedakan pandangan Islam tentang amal dan pahala. Kebaikan yang mutlak di mata Allah adalah kebaikan yang muncul dari keimanan yang tulus dan diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya. Kebaikan yang tidak dilandasi oleh iman, meskipun bermanfaat bagi manusia, tidak akan menyelamatkan pelakunya dari azab Allah di akhirat.
Frasa penutup ini adalah penegasan konsekuensi yang paling mengerikan: "dan Kami tidak akan mengadakan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat."
Dalam akidah Islam, "Mizan" atau timbangan adalah realitas pada Hari Kiamat di mana amal-amal manusia akan ditimbang. Amal baik akan memberatkan timbangan kebaikan, sedangkan amal buruk akan memberatkan timbangan keburukan. Hasil timbangan ini akan menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bahwa iman adalah kunci utama dan prasyarat mutlak bagi diterimanya amal perbuatan di sisi Allah SWT untuk kehidupan akhirat yang abadi. Tanpa iman, semua usaha dan jerih payah di dunia, betapapun mulia kelihatannya di mata manusia, akan berakhir dalam kehampaan di hari perhitungan.
Surah Al-Kahfi dikenal dengan empat kisah utamanya yang masing-masing mengandung hikmah dan pelajaran mendalam. Ayat 105 ini, yang datang di bagian akhir surah, berfungsi sebagai benang merah yang mengikat semua pelajaran tersebut dan memberikan kesimpulan yang tegas. Mari kita lihat bagaimana ayat ini relevan dengan kisah-kisah sebelumnya:
Kisah pertama menceritakan sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari penguasa zalim dan aniaya yang memaksa mereka menyembah berhala. Mereka bersembunyi di dalam gua dan ditidurkan oleh Allah selama lebih dari 300 tahun. Kisah ini adalah tentang ujian iman, keteguhan hati, dan perlindungan Allah bagi hamba-Nya yang mempertahankan akidah tauhid.
Kisah ini menceritakan perjalanan Nabi Musa AS dalam menuntut ilmu dari seorang hamba Allah yang saleh, yaitu Khidir AS. Nabi Musa menyaksikan tiga kejadian yang awalnya tampak salah atau tidak adil, namun pada akhirnya terungkap hikmah di baliknya. Kisah ini adalah tentang ujian ilmu dan kesabaran, serta pemahaman bahwa ilmu Allah jauh lebih luas dari ilmu manusia.
Kisah ini mengisahkan seorang raja perkasa yang diberi kekuasaan besar oleh Allah untuk melakukan perjalanan ke timur dan barat, membangun dinding penahan Ya'juj dan Ma'juj. Kisah ini adalah tentang ujian kekuasaan, bagaimana seorang pemimpin menggunakan kekuatannya untuk kebaikan, keadilan, dan menyebarkan keimanan kepada Allah.
Dengan demikian, ayat 105 berfungsi sebagai klimaks dan rangkuman moral dari semua kisah ini. Ini adalah peringatan bahwa terlepas dari seberapa besar ujian yang dihadapi (iman, ilmu, kekuasaan), yang terpenting adalah berpegang teguh pada ayat-ayat Allah dan keyakinan akan pertemuan dengan-Nya. Tanpa iman ini, segala upaya dan "kebaikan" duniawi akan menjadi sia-sia di hadapan Mizan keadilan Ilahi.
Ayat 105 dari Surah Al-Kahfi membawa implikasi yang sangat dalam dan pelajaran yang esensial bagi setiap Muslim. Ayat ini bukan sekadar ancaman bagi orang kafir, tetapi juga pengingat dan motivasi bagi orang beriman untuk senantiasa memperbaiki diri.
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahwa iman kepada Allah SWT adalah fondasi utama dan prasyarat mutlak bagi setiap amal perbuatan agar diterima dan bernilai di sisi-Nya di akhirat. Sebagus apapun, semulia apapun, dan sebesar apapun suatu perbuatan di mata manusia, jika tidak dilandasi oleh iman yang benar kepada Allah dan diniatkan karena-Nya, maka perbuatan itu tidak akan memiliki bobot pahala di Hari Kiamat.
Ini bukan berarti bahwa perbuatan baik yang dilakukan oleh non-Muslim tidak bermanfaat sama sekali. Mereka mungkin mendapatkan balasan di dunia, seperti keberkahan, kemudahan hidup, atau nama baik. Namun, balasan itu tidak akan berlanjut ke akhirat dalam bentuk pahala yang menyelamatkan dari neraka dan memasukkan ke surga.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan kekafiran terhadap "pertemuan dengan Dia" (Hari Kiamat). Ini menunjukkan betapa vitalnya keyakinan akan akhirat dalam sistem iman Islam.
Ayat ini adalah peringatan keras terhadap bahaya kekafiran dan syirik (menyekutukan Allah). Kekafiran adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan tersebut, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa: 48).
Konsekuensi dari kekafiran adalah gugurnya semua amal dan ketiadaan timbangan kebaikan di akhirat, yang berarti pasti menuju neraka jahanam.
Bagi orang beriman, ayat ini adalah dorongan untuk senantiasa beramal saleh dengan niat yang tulus dan ikhlas hanya karena Allah. Setiap kebaikan, sekecil apapun, jika dilandasi iman dan keikhlasan, akan memiliki bobot yang besar di timbangan akhirat. Ini termasuk shalat, puasa, zakat, sedekah, membaca Al-Qur'an, menuntut ilmu, berbuat baik kepada sesama, menjaga lingkungan, dan segala bentuk ketaatan lainnya.
Ayat ini mengajak kita untuk senantiasa melakukan muhasabah (introspeksi diri) terhadap kualitas iman dan amal kita. Apakah amal kita sudah benar-benar dilandasi iman yang kuat? Apakah niat kita sudah murni karena Allah? Apakah kita sudah mempersiapkan diri untuk "pertemuan dengan Dia"? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus selalu kita tanyakan pada diri sendiri.
Frasa "Kami tidak akan mengadakan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat" menunjukkan keadilan Allah yang mutlak. Allah tidak akan menimbang sesuatu yang memang tidak memiliki nilai di sisi-Nya. Jika seseorang menolak keberadaan dan risalah-Nya, mengapa pula Dia harus memberikan pahala di akhirat? Balasan duniawi mungkin telah mereka dapatkan, namun akhirat adalah milik orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Pesan yang disampaikan dalam Al-Kahfi ayat 105 bukanlah pesan yang berdiri sendiri. Al-Qur'an mengulang dan menegaskan prinsip ini di beberapa tempat lain, menunjukkan betapa sentralnya peran iman dan tauhid sebagai syarat diterimanya amal perbuatan di akhirat.
"Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi tidak ada apapun. Dan didapati di sana Allah, lalu Dia memberikan kepadanya perhitungan amalnya dengan sempurna. Dan Allah adalah Maha Cepat perhitungan-Nya."
(QS. An-Nur: 39)
Ayat ini memberikan perumpamaan yang sangat kuat tentang kesia-siaan amal orang kafir. Seperti fatamorgana yang tampak nyata dan menjanjikan air di padang pasir, tetapi ketika didekati ternyata tidak ada apa-apa, begitulah amal orang kafir. Di dunia, amal mereka mungkin tampak bermanfaat atau berharga, namun di akhirat, mereka tidak akan menemukan pahala sedikitpun, hanya perhitungan dari Allah atas kekafiran mereka.
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan."
(QS. Al-Furqan: 23)
Perumpamaan "debu yang beterbangan" ini juga sangat menggambarkan kesia-siaan amal orang kafir. Debu beterbangan itu ada, terlihat, namun tidak memiliki bobot atau nilai substansial. Demikian pula amal-amal yang dilakukan oleh mereka yang tidak beriman; secara fisik mungkin ada, tetapi tidak memiliki bobot pahala di sisi Allah untuk akhirat.
"Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amal-amal mereka seperti abu yang ditiup angin keras pada suatu hari yang berbadai. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia ini). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh."
(QS. Ibrahim: 18)
Perumpamaan abu yang ditiup angin keras menegaskan kembali bahwa segala usaha dan jerih payah mereka tidak akan menghasilkan apapun yang dapat mereka petik di akhirat. Angin iman dan tauhid tidak ada dalam hati mereka, sehingga amal mereka mudah dihamburkan tanpa jejak. Ini adalah salah satu perumpamaan paling tegas yang menggambarkan kehampaan akhirat bagi orang-orang yang mengingkari Allah.
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, 'Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi'."
(QS. Az-Zumar: 65)
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa perbuatan syirik, bahkan jika terjadi pada seorang nabi sekalipun (sebagai penegasan betapa seriusnya syirik), akan menghapus seluruh amal kebaikan. Ini menunjukkan bahwa syirik (dan kekafiran adalah bentuk syirik tertinggi) adalah satu-satunya dosa yang dapat menghanguskan seluruh catatan amal baik seseorang.
Keseluruhan ayat-ayat ini saling menguatkan makna dari Al-Kahfi ayat 105: bahwa keimanan yang murni kepada Allah SWT adalah kunci dan pondasi bagi segala bentuk amal yang ingin diterima dan mendapatkan balasan di akhirat. Tanpa iman ini, amal hanyalah bangunan tanpa fondasi yang akan runtuh dan sia-sia di hari perhitungan.
Untuk lebih memahami signifikansi Al-Kahfi ayat 105, penting untuk menggarisbawahi perbedaan mendasar antara amal perbuatan yang dilakukan oleh orang beriman dan orang kafir, terutama dalam konteks nilai akhirat.
Bagi seorang mukmin, setiap amal perbuatan, baik yang bersifat ibadah mahdhah (ritual) maupun ibadah ghairu mahdhah (umum), dilandasi oleh:
Ketika syarat-syarat ini terpenuhi, maka amal seorang mukmin, sekecil apapun, akan memiliki bobot yang besar di sisi Allah. Bahkan sekadar senyum, menyingkirkan duri di jalan, atau memberi makan hewan pun dapat menjadi sebab pahala yang mengalir deras, karena dilandasi iman dan niat tulus.
Allah SWT berfirman: "Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97)
Sebaliknya, amal orang kafir, meskipun secara lahiriah mungkin tampak serupa dengan amal orang beriman (seperti sedekah, membantu sesama, membangun fasilitas umum), tidak memiliki nilai di akhirat karena:
Sebagai akibatnya, amal mereka, seperti yang dijelaskan dalam Al-Kahfi 105 dan ayat-ayat terkait lainnya, akan menjadi sia-sia di akhirat. Allah Maha Adil, Dia tidak akan mengambil hak siapa pun. Jika mereka berbuat baik di dunia, mereka akan mendapatkan balasannya di dunia, sebagaimana disebutkan dalam hadis, namun tidak ada bagian bagi mereka di akhirat.
Perbedaan ini sangat krusial untuk dipahami, karena menegaskan bahwa Islam bukanlah sekadar kumpulan etika dan moral yang terpisah dari akidah. Sebaliknya, etika dan moral dalam Islam adalah manifestasi dari akidah yang benar, yang berpusat pada pengakuan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Meskipun makna ayat ini cukup jelas, terkadang muncul beberapa kesalahpahaman yang perlu diluruskan.
Ayat ini sering disalahpahami seolah-olah Islam meremehkan atau tidak menghargai perbuatan baik yang dilakukan oleh non-Muslim. Ini tidak benar. Islam sangat menjunjung tinggi kebaikan, keadilan, dan kemanusiaan. Banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja, tanpa memandang agama, suku, atau ras. Misalnya, Allah berfirman: "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Yang ditekankan dalam Al-Kahfi 105 adalah nilai amal di akhirat, bukan nilai amal di dunia. Perbuatan baik non-Muslim tentu membawa manfaat di dunia, dan Allah Maha Adil untuk membalasnya di dunia ini. Namun, untuk meraih keselamatan abadi di akhirat, yang merupakan tujuan tertinggi seorang manusia, diperlukan pondasi iman dan tauhid.
Kesalahpahaman lain adalah bahwa ayat ini menyiratkan hanya Muslim yang berhak berbuat baik atau bahwa kebaikan non-Muslim adalah palsu. Ini adalah interpretasi yang sempit. Siapapun, terlepas dari keimanannya, dapat melakukan perbuatan baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Islam bahkan mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan menularkan semangat positif kepada siapa saja.
Inti ayat ini adalah bahwa amal adalah ibadah jika dilandasi iman dan niat tulus kepada Allah. Tanpa iman dan niat tersebut, amal baik menjadi sekadar perbuatan sosial atau kemanusiaan, yang meskipun terpuji, tidak akan memiliki dampak penyelamatan di akhirat.
Beberapa Muslim mungkin berpikir bahwa ayat ini hanya berlaku untuk orang kafir, sehingga mereka otomatis aman. Ini juga salah. Ayat ini secara tidak langsung mengingatkan orang beriman akan pentingnya menjaga keimanan dan keikhlasan. Seorang Muslim yang terjerumus dalam syirik (misalnya, meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal yang hanya Allah mampu, atau menyembah kuburan), atau riya' (beramal untuk pujian manusia), atau melakukan bid'ah yang merusak akidah, juga berisiko amalnya gugur atau tidak diterima. Walaupun status keislamannya masih ada, kualitas amal dan pahalanya bisa terpengaruh negatif.
Syirik kecil atau riya' dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala amal tertentu, meskipun tidak serta merta mengeluarkan pelakunya dari Islam jika bukan syirik besar. Oleh karena itu, ayat ini adalah peringatan universal tentang pentingnya menjaga kemurnian tauhid dan keikhlasan niat.
Memahami Al-Kahfi ayat 105 dengan benar berarti menempatkan iman sebagai fondasi, niat sebagai penentu, dan ketaatan pada syariat sebagai jalannya. Ini bukan tentang meremehkan kebaikan, tetapi tentang memahami esensi dan tujuan akhir dari setiap kebaikan di hadapan Sang Pencipta.
Setelah memahami urgensi iman sebagai pondasi amal, muncul pertanyaan: bagaimana cara beriman yang benar agar amal kita tidak gugur? Al-Qur'an dan Sunnah telah memberikan panduan yang sangat jelas:
Rukun iman adalah pilar-pilar keimanan yang harus diyakini oleh setiap Muslim. Ini adalah fondasi dasar:
Setelah beriman, implementasi iman dalam bentuk perbuatan nyata adalah menjalankan rukun Islam, yaitu:
Rukun Islam adalah amal-amal pokok yang jika dilakukan dengan benar dan ikhlas, akan menjadi bukti keimanan seseorang dan memberatkan timbangan amal kebaikannya.
Seorang Muslim harus selalu memastikan bahwa niat di balik setiap amalnya adalah murni karena Allah SWT. Keikhlasan adalah ruh dari amal. Tanpa keikhlasan, amal bisa menjadi sia-sia, bahkan jika secara lahiriah terlihat sangat agung.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Amal yang diterima bukan hanya harus ikhlas, tetapi juga harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Beramal tanpa contoh dari Nabi dapat dikategorikan sebagai bid'ah, yang dapat ditolak oleh Allah.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim).
Tidak ada manusia yang luput dari dosa. Beriman yang benar juga mencakup kesediaan untuk senantiasa bertobat (memohon ampunan) kepada Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Taubat yang tulus dapat menghapus dosa dan menjaga kemurnian iman.
Dengan memegang teguh prinsip-prinsip ini, seorang Muslim dapat berharap bahwa amal perbuatannya akan diterima di sisi Allah, memberatkan timbangan kebaikannya pada Hari Kiamat, dan menjadi bekal menuju surga, sesuai dengan janji Allah SWT.
Surah Al-Kahfi ayat 105 bukanlah sekadar ayat yang menakutkan tentang azab bagi orang kafir, melainkan sebuah cermin yang sangat jernih bagi setiap kita. Ia mengajak kita untuk merenungkan kembali esensi keberadaan kita, tujuan hidup kita, dan nilai hakiki dari setiap langkah dan perbuatan yang kita lakukan di dunia fana ini.
Ayat ini secara tegas mengingatkan bahwa nilai sebuah amal tidak semata-mata diukur dari tampilan lahiriahnya, seberapa besar pengorbanan di baliknya, atau seberapa banyak pujian yang didapatkan dari manusia. Melainkan, nilai sejati amal di sisi Allah SWT ditentukan oleh dua hal fundamental:
Bayangkan seorang arsitek yang membangun sebuah bangunan megah. Bangunan itu mungkin terlihat kokoh dan indah dari luar, namun jika fondasinya lemah atau dibangun di atas tanah yang tidak stabil, maka pada akhirnya ia akan runtuh. Demikian pula amal manusia. Allah SWT adalah Sang Maha Tahu, yang tidak hanya melihat apa yang terlihat, tetapi juga menembus hingga ke relung hati dan niat terdalam.
Oleh karena itu, bagi kita yang mengaku beriman, ayat ini adalah pengingat konstan untuk:
Al-Kahfi ayat 105 adalah mercusuar yang menerangi jalan menuju keselamatan abadi. Ia menunjukkan bahwa jalan menuju surga bukan sekadar kumpulan perbuatan baik tanpa arah, melainkan perjalanan yang dilandasi iman yang kokoh, niat yang tulus, dan ketaatan yang konsisten kepada Sang Pencipta. Semoga kita semua termasuk golongan yang amal-amalnya diterima dan diberatkan timbangannya di Hari Kiamat, atas karunia dan rahmat Allah SWT.
Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang Surah Al-Kahfi ayat 105, serta menginspirasi kita semua untuk menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa beriman dan beramal saleh dengan sepenuh hati.