Gambar: Ilustrasi dua jenis taman, satu melambangkan keindahan abadi Surga, dan yang lain melambangkan kemewahan duniawi yang fana, dengan sungai mengalir di antara keduanya.
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Dikenal sebagai surah yang dianjurkan untuk dibaca pada hari Jumat, ia mengandung empat kisah utama yang sarat akan hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Kisah-kisah tersebut meliputi Ashabul Kahfi (Para Pemuda Penghuni Gua), kisah Musa dan Khidr, kisah Dzulqarnain, serta kisah dua orang laki-laki dengan dua kebunnya. Keempat kisah ini saling terkait dalam menyampaikan pesan tentang pentingnya keimanan, kesabaran dalam menghadapi cobaan, bahaya kesombongan, serta kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam ayat 31 hingga 35 dari Surah Al-Kahfi. Ayat-ayat ini merupakan bagian integral dari kisah dua orang laki-laki dengan kebun mereka, yang menjadi perumpamaan tentang kehidupan duniawi yang fana dan kebahagiaan abadi di akhirat. Ayat 31 secara khusus menggambarkan keindahan dan kenikmatan Surga sebagai balasan bagi orang-orang beriman, sementara ayat 32-35 memperkenalkan perumpamaan dua orang laki-laki, salah satunya adalah seorang yang kaya raya dan sombong dengan kebunnya yang melimpah, dan yang lainnya adalah seorang mukmin yang miskin namun bertawakal kepada Allah. Kontras antara kedua kondisi ini menjadi inti dari pelajaran yang ingin disampaikan Allah SWT.
Dengan mempelajari ayat-ayat ini secara mendalam, kita diharapkan dapat mengambil ibrah (pelajaran) tentang hakikat kekayaan sejati, pentingnya bersyukur, menjauhi kesombongan, serta menempatkan akhirat di atas segala kenikmatan dunia yang sementara. Mari kita mulai perjalanan spiritual ini dengan memahami setiap ayat secara terperinci.
Ayat ini hadir sebagai penawar hati bagi mereka yang beriman, sebuah janji agung dari Allah SWT setelah perumpamaan tentang dunia yang fana. Ayat ini merinci keindahan dan kemewahan yang menanti para penghuni Surga, sebagai kontras yang tajam dengan apa yang dimiliki oleh orang-orang yang hanya terpaku pada dunia.
Ulā'ika lahum jannātu 'Adnin tajrī min taḥtihimul-anhāru yuḥallawna fīhā min asāwira min dhahabin wa yalabasuūna thiyāban khuḍran min sundusin wa istabraqin muttaqi'īna fīhā 'alal-arā'ikī ni'maṣ-ṣawābu wa ḥasunat murtafaqa.
"Mereka itulah (orang-orang yang beriman dan beramal saleh) bagi mereka Surga Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam Surga itu mereka dihiasi dengan gelang-gelang emas dan memakai pakaian hijau dari sutra halus dan sutra tebal, sedang mereka duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah."
Ayat ini dengan detail menggambarkan kehidupan di Surga, menyajikan gambaran yang begitu memikat tentang kenikmatan yang abadi. Mari kita bedah satu per satu elemen-elemennya:
Frasa "Jannatu 'Adn" berarti taman-taman keabadian atau tempat tinggal yang kekal. 'Adn sendiri dalam bahasa Arab berarti 'tempat tinggal permanen'. Ini menunjukkan bahwa kenikmatan di Surga bukanlah sementara atau fana, melainkan abadi dan tak berkesudahan, berbeda dengan segala sesuatu di dunia ini. Surga Adn adalah tingkat Surga yang paling tinggi, yang dijanjikan bagi hamba-hamba Allah yang benar-benar saleh dan taat.
Ini adalah salah satu ciri khas Surga yang sering disebutkan dalam Al-Qur'an. Sungai-sungai yang mengalir di bawah pepohonan dan istana-istana di Surga memberikan pemandangan yang indah, suasana yang sejuk, dan ketersediaan air minum yang tak terbatas. Tafsir Ibn Katsir menyebutkan bahwa sungai-sungai ini adalah sungai-sungai yang tidak akan pernah kering atau berubah rasa, yaitu sungai susu, madu, khamr (yang tidak memabukkan), dan air jernih. Ini melambangkan kesegaran, keindahan, dan keberkahan yang tiada henti.
Perhiasan adalah simbol kemuliaan dan keindahan. Di dunia, perhiasan emas seringkali menjadi tanda status sosial. Di Surga, gelang-gelang emas ini diberikan sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT kepada para penghuninya. Ini juga menghilangkan larangan pemakaian emas bagi laki-laki di dunia, karena di akhirat aturan-aturan duniawi tidak berlaku lagi. Ini menunjukkan bahwa kenikmatan Surga melampaui segala batasan dan larangan duniawi.
Pakaian di Surga digambarkan berwarna hijau, warna yang sering dikaitkan dengan kesegaran, kehidupan, dan kedamaian. Bahan pakaiannya adalah sundus (sutra halus) dan istabraq (sutra tebal atau brokat). Kedua jenis sutra ini menunjukkan kualitas pakaian yang sangat tinggi, nyaman, indah, dan mewah. Ini adalah bentuk balasan dari kesabaran dan ketaatan mereka di dunia, di mana mereka mungkin telah menahan diri dari kemewahan haram atau hidup dalam kesederhanaan.
Gambaran ini menunjukkan ketenangan, kenyamanan, dan posisi terhormat. Para penghuni Surga akan duduk bersandar di atas dipan-dipan atau singgasana yang dihias indah, menikmati suasana yang damai dan penuh nikmat tanpa sedikit pun rasa lelah atau khawatir. Ini menggambarkan puncak dari relaksasi dan kebahagiaan setelah perjuangan di dunia.
Penutup ayat ini menegaskan bahwa semua kenikmatan yang disebutkan di atas adalah pahala yang terbaik (`ni'maṣ-ṣawābu`) dan tempat istirahat atau kediaman yang paling indah (`ḥasunat murtafaqa`). Ini adalah penegasan ilahi bahwa tidak ada yang bisa menandingi kebahagiaan dan kenyamanan yang Allah janjikan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Ini adalah tujuan akhir yang seharusnya menjadi fokus utama setiap mukmin.
Ayat 31 ini tidak hanya memberikan gambaran fisik tentang Surga, tetapi juga memberikan gambaran spiritual tentang kedamaian, kemuliaan, dan keabadian. Ini berfungsi sebagai motivasi besar bagi para mukmin untuk terus berpegang teguh pada iman dan amal saleh, serta sebagai peringatan bagi mereka yang cenderung melupakan akhirat demi kenikmatan dunia yang fana.
Setelah menggambarkan kemuliaan Surga, Allah SWT melanjutkan dengan perumpamaan tentang dua orang laki-laki. Perumpamaan ini adalah inti dari kisah yang mengajarkan tentang bahaya kesombongan, kebanggaan akan harta dunia, serta pentingnya bersyukur dan bertawakal kepada Allah. Kisah ini menjadi kontras langsung dengan janji-janji Surga di ayat 31.
Ayat ini memulai kisah dengan memperkenalkan dua kebun yang menjadi pusat perumpamaan.
Waḍrib lahum maṡalan rajulainī ja'alnā li'aḥadihimā jannatainī min a'nābin wa ḥafafnāhumā binakhlin wa ja'alnā bainahumā zar'ā.
"Dan berikanlah kepada mereka (manusia) suatu perumpamaan, dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi salah seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur, dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang."
Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan perumpamaan ini kepada manusia. Perumpamaan ini melibatkan dua individu dengan kondisi yang sangat berbeda, yang akan menjadi cermin bagi siapa saja yang merenunginya.
Ayat ini dengan jelas menggambarkan seorang laki-laki yang diberkahi dengan kekayaan materi yang sangat besar, semuanya berasal dari karunia Allah. Namun, seperti yang akan kita lihat, kekayaan ini akan menjadi ujian baginya.
Ayat ini melanjutkan deskripsi kebun, menekankan kesempurnaan dan produktivitasnya.
Kiltal-jannataini ātat ukulahā wa lam taẓlim minhu shai'an wa fajarnā khilālahumā naharā.
"Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan tidak kurang sedikit pun (hasilnya), dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua (kebun) itu."
Deskripsi ini lebih lanjut menggarisbawahi betapa sempurna dan produktifnya kebun-kebun milik laki-laki kaya tersebut.
Ayat ini menggambarkan sebuah kemakmuran yang sangat stabil dan berkelanjutan, sebuah gambaran yang bisa membuat siapa saja terpana dan mungkin merasa iri. Ini adalah kondisi ideal yang diinginkan banyak orang di dunia, dan Allah sengaja menampilkannya untuk menyoroti bahaya ketika kenikmatan ini tidak disikapi dengan benar.
Ayat ini mengungkapkan sikap mental dari pemilik kebun yang kaya, yang pada akhirnya akan membawanya kepada kerugian.
Wa kāna lahu ṡamarun fa qāla liṣāḥibihi wa huwa yuḥāwiruhū anā akṡaru minka mālan wa a'azzu nafarā.
"Dan dia mempunyai kekayaan besar, lalu dia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: 'Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.'"
Di sinilah karakter si kaya mulai terungkap, dan ini adalah titik balik penting dalam perumpamaan.
Sikap ini adalah representasi klasik dari orang yang melupakan asal-usul hartanya, tidak mensyukuri nikmat Allah, dan justru menjadikannya alat untuk menyombongkan diri dan merendahkan orang lain. Dia terperangkap dalam fatamorgana kekayaan duniawi, meyakini bahwa kemuliaan seseorang diukur dari jumlah harta dan pengikutnya.
Ayat ini menunjukkan tingkat kekafiran dan kesalahan berpikir si kaya, yang berpuncak pada penolakan terhadap kebenaran akhirat.
Wa dakhala jannatahu wa huwa ẓālimun linafsihi qāla mā aẓunnu an tabīda hādzihī abadan wa mā aẓunnu as-sā'ata qā'imatan wa la'in rudidtu ilā rabbī la'ajidanna khairan minhā munqalabā.
"Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri (karena kekufurannya); ia berkata: 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak yakin hari Kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini.'"
Ayat ini mengungkap kedalaman kesesatan si kaya, yang bukan hanya sombong, tetapi juga ingkar terhadap kebenaran fundamental Islam.
Ayat 35 adalah peringatan keras terhadap sikap sombong, kufur nikmat, dan penolakan terhadap hari akhirat. Kekayaan dan kesuksesan duniawi tidak boleh menjadi alasan untuk melupakan Allah dan hari perhitungan. Sebaliknya, ia harus menjadi sarana untuk bersyukur dan meningkatkan ketaatan.
Ayat 31-35 Surah Al-Kahfi adalah rangkaian yang sangat padat hikmah, menyajikan kontras tajam antara dua jalan hidup dan dua hasil akhir. Mari kita bedah lebih dalam tema-tema utamanya.
Penempatan ayat 31, yang menggambarkan Surga, tepat sebelum dan di tengah-tengah kisah dua orang laki-laki ini bukanlah kebetulan. Ini adalah strategi ilahi untuk:
Kisah si kaya adalah peringatan keras tentang bahaya kesombongan dan melupakan asal-usul nikmat. Sikapnya di ayat 34, "Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat," mencerminkan penyakit hati yang sangat berbahaya:
Ini menjadi pelajaran penting bahwa kekayaan dan kekuasaan adalah ujian, bukan jaminan kebahagiaan atau kemuliaan di sisi Allah. Justru, keduanya bisa menjadi jebakan yang menjauhkan seseorang dari kebenaran.
Ayat 32-33 secara eksplisit menyatakan "Kami jadikan bagi salah seorang di antara keduanya..." dan "Kami alirkan sungai di celah-celah..." Ini menunjukkan bahwa semua kekayaan dan keberlimpahan itu adalah pemberian dari Allah. Allah adalah pemilik sejati, dan manusia hanyalah pengelola sementara. Si kaya dalam kisah ini melupakan hakikat ini. Dia mengklaim kepemilikan penuh dan abadi atas apa yang sejatinya hanyalah pinjaman dari Allah.
Pelajaran ini sangat relevan di era modern, di mana banyak orang cenderung mengukur kesuksesan hanya dari akumulasi materi dan lupa akan Dzat yang memberi rezeki.
Penolakan si kaya terhadap Hari Kiamat di ayat 35 ("dan aku tidak yakin hari Kiamat itu akan datang") adalah akar dari kesesatannya. Keyakinan akan Hari Akhir adalah fondasi moral dan etika dalam Islam. Tanpa keyakinan ini:
Allah menunjukkan melalui kisah ini bahwa siapa pun yang menolak Hari Kiamat, bahkan jika dia hidup dalam kemewahan dunia, sejatinya sedang menzalimi dirinya sendiri dan menuju kehancuran.
Meskipun perkataan sang mukmin baru akan muncul di ayat-ayat selanjutnya (setelah ayat 35), keberadaan nya dalam dialog di ayat 34 ("dia berkata kepada kawannya") sudah mengisyaratkan keberadaan perspektif yang berbeda. Sang mukmin, meskipun miskin secara materi, memiliki kekayaan iman dan pemahaman yang benar tentang hakikat kehidupan. Dia tidak silau dengan kemewahan kawannya, dan dia akan mencoba membimbingnya ke jalan yang benar. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati bukan pada harta, melainkan pada keimanan dan ketakwaan.
Kisah ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana harta dan anak (`mal wa banun`) bisa menjadi fitnah atau ujian. Bagi si kaya, kekayaannya justru menjerumuskannya pada kesesatan. Ini menegaskan firman Allah di tempat lain dalam Al-Qur'an (misalnya Al-Kahfi: 46), bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang kekal lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.
Keyakinan si kaya bahwa ia akan menemukan yang lebih baik di sisi Allah jika ada Hari Kiamat, menunjukkan kebodohan dan kesombongan yang ekstrem. Dia tidak memahami bahwa balasan di akhirat didasarkan pada iman dan amal saleh, bukan pada kekayaan duniawi. Ini adalah peringatan bagi mereka yang merasa aman karena status sosial atau ekonomi mereka di dunia, tanpa mempertimbangkan keadaan spiritual mereka.
Meskipun kisah ini berasal dari masa lalu, pelajaran dari Surah Al-Kahfi ayat 31-35 tetap sangat relevan bagi kehidupan manusia di era modern ini. Dunia hari ini dipenuhi dengan godaan materi yang lebih kompleks dan beragam daripada sebelumnya.
Masyarakat modern seringkali terjebak dalam lingkaran materialisme dan konsumerisme. Nilai seseorang seringkali diukur dari apa yang ia miliki: rumah mewah, mobil terbaru, gadget canggih, atau merek pakaian terkenal. Ayat 32-34 adalah cermin bagi kondisi ini, mengingatkan kita bahwa kebanggaan pada harta dan kekayaan adalah sifat yang tercela dan bisa menjerumuskan pada kesesatan.
Perasaan "lebih kaya darimu" atau "lebih banyak pengikut darimu" kini bisa dimanifestasikan dalam jumlah pengikut di media sosial, jumlah "like" pada postingan, atau kepemilikan aset digital. Semua ini adalah bentuk-bentuk kekayaan duniawi baru yang, jika tidak disikapi dengan iman, bisa menimbulkan kesombongan yang sama seperti si kaya dalam kisah ini.
Di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak sedikit orang yang kehilangan keyakinan akan hal-hal ghaib, termasuk Hari Kiamat. Paham ateisme, agnostisisme, atau sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, dapat mengikis keimanan seseorang terhadap akhirat. Seperti si kaya di ayat 35 yang berkata, "Aku tidak yakin hari Kiamat itu akan datang," banyak orang hari ini hidup seolah-olah dunia ini adalah satu-satunya realitas dan tidak ada pertanggungjawaban setelah kematian.
Ayat ini menjadi pengingat bahwa keyakinan akan akhirat adalah fondasi moral yang esensial. Tanpa itu, kehidupan akan kehilangan tujuan dan arah, dan manusia cenderung berbuat semaunya tanpa memikirkan konsekuensi abadi.
Kisah ini menekankan pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan, sekecil apapun itu. Kekayaan yang melimpah harusnya meningkatkan ketakwaan dan kerendahan hati, bukan kesombongan. Seorang mukmin sejati akan selalu menyadari bahwa semua yang dimilikinya adalah karunia dari Allah, dan ia hanyalah pemegang amanah yang harus menggunakannya di jalan yang benar.
Ketika seseorang bersyukur, ia akan menggunakan hartanya untuk kebaikan, berbagi dengan yang membutuhkan, dan menginvestasikannya untuk akhirat. Ini kontras dengan si kaya yang menggunakan kekayaannya untuk kesombongan dan kezaliman terhadap dirinya sendiri.
Ayat 31 memberikan gambaran yang jelas tentang Surga. Ini berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa tujuan akhir seorang mukmin bukanlah mengumpulkan kekayaan dunia, melainkan meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Dengan memiliki perspektif akhirat, seseorang akan lebih bijak dalam mengelola kehidupannya di dunia. Ia akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan pilihan, karena menyadari bahwa semua itu akan dipertanggungjawabkan di Hari Perhitungan.
Alih-alih berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya," seorang mukmin akan selalu berkata, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un" (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali), menyadari kefanaan segala sesuatu.
Pada zaman modern, "pengikut" bisa berarti banyak hal: tim kerja, karyawan, basis pelanggan, atau bahkan pengikut di media sosial. Ayat 34 mengingatkan bahwa membanggakan kekuatan dari jumlah pengikut atau anak keturunan adalah bentuk kesombongan yang tidak pada tempatnya. Kekuatan sejati datang dari pertolongan Allah, bukan dari jumlah manusia di sekitar kita. Bahkan pasukan yang besar bisa hancur tanpa pertolongan-Nya.
Pernyataan si kaya di ayat 35, "sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini," adalah contoh penipuan diri sendiri yang berbahaya. Banyak orang hari ini yang, meskipun tidak beramal saleh atau bahkan ingkar, tetap berharap atau merasa berhak mendapatkan yang terbaik di akhirat. Ini adalah bentuk ghurūr yang harus dihindari. Kemuliaan di sisi Allah tidak didasarkan pada dugaan atau harapan kosong, tetapi pada iman yang tulus dan amal saleh yang konsisten.
Kisah dua orang laki-laki ini adalah salah satu dari empat ujian besar yang digambarkan dalam Surah Al-Kahfi. Masing-masing ujian ini mengajarkan cara menghadapi godaan dunia:
Secara keseluruhan, Surah Al-Kahfi, melalui kisah-kisah ini, memberikan panduan komprehensif bagi mukmin dalam menghadapi berbagai fitnah (ujian) kehidupan: fitnah agama, fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan. Ayat 31-35 secara spesifik berfokus pada fitnah harta, memberikan peringatan keras dan sekaligus janji indah bagi mereka yang lulus ujian tersebut.
Ayat 31-35 dari Surah Al-Kahfi menyuguhkan sebuah pelajaran yang sangat fundamental tentang hakikat kehidupan, nilai kekayaan, dan pentingnya iman kepada hari akhirat. Gambaran Surga Adn di ayat 31 adalah janji manis bagi setiap jiwa yang beriman dan beramal saleh, sebuah destinasi abadi yang penuh dengan kenikmatan tiada tara, jauh melampaui segala kemewahan duniawi.
Kemudian, perumpamaan tentang dua orang laki-laki di ayat 32-35 berfungsi sebagai cermin refleksi. Kita melihat bagaimana harta dan kemewahan yang melimpah, seperti kebun anggur dan kurma yang subur serta sungai yang mengalir, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kesombongan, kufur nikmat, dan penolakan terhadap kebenaran ilahi. Sikap si kaya yang membanggakan harta dan pengikutnya, serta penolakannya terhadap Hari Kiamat, adalah contoh klasik dari bagaimana dunia dapat membutakan mata hati manusia dari realitas yang lebih besar dan abadi.
Pelajaran terpenting dari ayat-ayat ini adalah bahwa kemuliaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta atau kuatnya pengikut, melainkan dari kedalaman iman, ketakwaan, dan syukur kepada Allah SWT. Dunia dengan segala perhiasannya hanyalah ujian sementara, dan kebahagiaan yang hakiki serta abadi hanya dapat ditemukan di sisi Allah, di Surga Adn yang dijanjikan.
Semoga dengan merenungi makna Surah Al-Kahfi ayat 31-35 ini, kita semua dapat mengambil hikmah, menjauhkan diri dari kesombongan dan materialisme, serta senantiasa berusaha menjadi hamba-hamba Allah yang bersyukur, bertawakal, dan beramal saleh, demi meraih sebaik-baiknya pahala dan tempat kembali yang paling indah di sisi-Nya. Amin.