Kisah Dua Kebun: Pelajaran Berharga dari Al-Kahfi Ayat 35-45

Kisah Dua Kebun Sebuah ilustrasi sederhana dari dua kebun yang kontras: satu sisi menampilkan kebun yang rimbun dan subur dengan buah-buahan, sementara sisi lainnya menunjukkan kebun yang gersang dan hancur, menggambarkan kisah dalam Al-Kahfi.

Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Dikenal dengan kisah-kisah penuh hikmahnya—mulai dari Ashabul Kahf (Penghuni Gua), kisah Nabi Musa dan Khidir, hingga Dzulqarnain—surah ini sarat dengan pelajaran tentang fitnah (cobaan) iman, harta, ilmu, dan kekuasaan. Di antara kisah-kisah tersebut, terdapat sebuah perumpamaan yang sangat kuat dan relevan hingga zaman modern, yaitu kisah dua orang pemilik kebun yang disebutkan dalam ayat 32-45. Artikel ini akan memfokuskan pada ayat 35-45, menggali pelajaran mendalam tentang kesombongan, keimanan, kefanaan dunia, dan kekuasaan Allah yang mutlak.

Kisah ini menggambarkan kontras tajam antara dua pandangan hidup: satu yang terbuai oleh kekayaan materi dan melupakan Penciptanya, dan satu lagi yang walaupun sederhana namun teguh dalam keimanannya kepada Allah. Melalui narasi ini, Allah SWT memberikan peringatan keras akan bahaya kesombongan, sifat bergantung pada dunia, dan melupakan hakikat akhirat.

1. Pendahuluan: Surah Al-Kahf dan Hikmahnya

Surah Al-Kahf, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, diturunkan di Mekah dan terdiri dari 110 ayat. Dinamakan "Al-Kahf" yang berarti "Gua", merujuk pada kisah utama di dalamnya tentang sekelompok pemuda yang berlindung di gua untuk menjaga iman mereka dari penguasa zalim. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk membaca surah ini, khususnya pada hari Jumat, karena memiliki keutamaan besar sebagai pelindung dari fitnah Dajjal dan penerang bagi kehidupan. Ayat-ayat 35-45 adalah bagian integral dari rangkaian ajaran moral dan spiritual yang disajikan dalam surah ini, mengupas tuntas hakikat harta dan kekuasaan di mata Allah SWT.

Kisah dua kebun ini hadir sebagai perumpamaan tentang fitnah harta. Bagaimana kekayaan dapat membutakan mata hati seseorang, membuatnya sombong, dan melupakan asalnya serta tujuan hidupnya yang sejati. Di sisi lain, diperlihatkan juga bagaimana kesederhanaan hidup tidak menghalangi seseorang untuk memiliki kekayaan batin berupa iman dan tawakal kepada Allah.

2. Kisah Dua Kebun: Sebuah Pengantar Ayat 35-45

Sebelum kita menyelami ayat-ayat 35-45, penting untuk memahami latar belakang kisah ini. Allah SWT mengisahkan tentang dua orang laki-laki, yang satu diberi dua kebun anggur yang dikelilingi pohon kurma dan di antaranya dibuatkan ladang pertanian, serta dialirkan sungai di tengah-tengahnya. Kebun ini sangat subur, selalu menghasilkan buah, dan tidak pernah kurang. Laki-laki ini memiliki harta benda yang melimpah dan keluarga yang banyak. Sementara itu, sahabatnya, meskipun tidak disebutkan secara spesifik kondisinya, kita pahami bahwa ia tidak memiliki kekayaan materi sebanyak itu, namun hatinya dipenuhi iman.

Dialog antara kedua sahabat inilah yang menjadi inti pelajaran dalam ayat-ayat selanjutnya. Sang pemilik kebun yang kaya, dengan kesombongan dan keangkuhannya, memamerkan hartanya kepada sahabatnya, bahkan mempertanyakan hari kebangkitan. Sementara sahabatnya yang beriman, dengan rendah hati dan bijak, mengingatkannya akan asal-usulnya dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.

3. Ayat 35: Kesombongan Harta dan Kezaliman Diri

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا

Wa dakhala jannatahu wa huwa ẓālimul linafsihi qāla mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadan

Dan dia memasuki kebunnya dengan menganiaya dirinya sendiri (karena kufur nikmat); dia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,"

Tafsir Mendalam Ayat 35

Ayat ini membuka tirai pada puncak kesombongan dan keangkuhan sang pemilik kebun yang kaya. Frasa "wa dakhala jannatahu" (dan dia memasuki kebunnya) menunjukkan bahwa ia datang ke kebunnya bukan dengan rasa syukur, melainkan dengan perasaan bangga dan takjub terhadap hasil usahanya sendiri, seolah-olah semua itu adalah kekuatan dan kepintarannya. Dia terbuai oleh kemegahan kebunnya yang menghasilkan buah melimpah tanpa henti.

Yang lebih penting adalah frasa "wa huwa ẓālimul linafsihi" (dengan menganiaya dirinya sendiri). Ini adalah inti dari peringatan ilahi. Kezaliman di sini bukanlah hanya menganiaya orang lain, tetapi juga menganiaya diri sendiri dengan cara kufur nikmat, melupakan asal-usul kekayaan tersebut, dan menempatkan keyakinan pada hal-hal duniawi semata. Menganiaya diri sendiri dalam konteks ini berarti:

  1. **Kufur Nikmat:** Tidak menyadari bahwa semua kekayaan itu adalah anugerah dari Allah, melainkan menganggapnya sebagai hasil mutlak dari kerja keras dan kecerdasannya sendiri. Ini adalah bentuk ketidakadilan terhadap Sang Pemberi Rezeki.
  2. **Kesombongan (Ujub):** Merasa bangga berlebihan atas apa yang dimiliki, memandang rendah orang lain, dan melupakan hakikat bahwa manusia hanyalah hamba yang lemah.
  3. **Berpaling dari Kebenaran:** Ketika seseorang terlampau tenggelam dalam kesenangan dunia, hatinya cenderung mengeras dan sulit menerima kebenaran atau peringatan. Ini adalah kerugian terbesar bagi dirinya sendiri di dunia dan akhirat.
  4. **Mengutamakan Dunia di atas Akhirat:** Menganggap harta duniawi sebagai tujuan akhir, sehingga melupakan tujuan sejati penciptaan manusia untuk beribadah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi.
Kezaliman ini adalah akar dari segala keburukan yang akan muncul darinya.

Puncaknya, ia berkata, "mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadan" (Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya). Pernyataan ini menunjukkan betapa dalamnya ia tenggelam dalam ilusi duniawi. Ia yakin bahwa kebunnya akan kekal abadi, tidak akan rusak, dan tidak akan lenyap. Keyakinan seperti ini mencerminkan beberapa hal:

Ayat ini adalah potret nyata tentang bahaya kekayaan jika tidak diiringi dengan keimanan dan rasa syukur. Harta bisa menjadi fitnah terbesar yang menjerumuskan seseorang ke dalam kezaliman terhadap dirinya sendiri dan akhirnya kepada kekufuran.

4. Ayat 36: Penolakan Hari Kiamat dan Keyakinan Semu

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا

Wa mā aẓunnus-sā'ata qā'imah, wa la'ir rudittu ilā Rabbī la'ajidanna khairam minhā munqalabā

dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari itu.

Tafsir Mendalam Ayat 36

Setelah menyatakan keyakinannya bahwa kebunnya tidak akan binasa, ia melangkah lebih jauh dalam kesesatannya dengan menyatakan, "Wa mā aẓunnus-sā'ata qā'imah" (dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang). Ini adalah puncak dari kekufuran dan penolakannya terhadap kebenaran fundamental dalam Islam. Mengingkari hari Kiamat berarti mengingkari janji Allah, mengingkari keadilan ilahi, dan menolak konsep pertanggungjawaban di akhirat. Seseorang yang mengingkari Kiamat secara logis tidak akan merasa perlu beramal saleh atau menghindari dosa, karena tidak ada perhitungan yang akan datang.

Penyebab mengapa ia mengingkari Kiamat bisa jadi adalah:

Penolakan terhadap Kiamat ini secara langsung berhubungan dengan keyakinannya akan keabadian kebunnya. Jika dunia ini abadi baginya, maka Kiamat tidak perlu ada. Ini adalah pandangan yang sangat materialistis dan dangkal.

Namun, yang lebih parah dan menunjukkan tipu daya setan serta kebodohan dirinya adalah kalimat selanjutnya: "wa la'ir rudittu ilā Rabbī la'ajidanna khairam minhā munqalabā" (dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari itu). Pernyataan ini bukan hanya absurd, tetapi juga menunjukkan tingkat kesombongan yang luar biasa:

Ayat ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seseorang yang terbuai harta dan kekuasaan dapat sampai pada titik kesesatan yang parah, menolak kebenaran, dan bahkan berprasangka buruk terhadap Tuhan. Ini adalah gambaran dari hati yang telah tertutup oleh dunia.

5. Ayat 37-38: Jawaban Bijak Sang Sahabat Beriman dan Dasar Tauhid

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا

Qāla lahū ṣāḥibuhū wa huwa yuḥāwiruhū akhafarta billażī khalaqaka min turābin summa min nuṭfatin summa sawwāka rajulā

Kawannya (yang beriman) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, "Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?

لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا

Lākinnā Huwallāhu Rabbī wa lā usyriku bi Rabbī aḥadā

Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun."

Tafsir Mendalam Ayat 37-38

Ketika sang pemilik kebun yang kaya melontarkan kata-kata kekufuran dan kesombongan, sahabatnya yang beriman tidak tinggal diam. Dengan ketenangan dan hikmah, ia memulai dialog yang penuh pengajaran. Ini menunjukkan pentingnya seorang mukmin untuk berdakwah dan mengingatkan saudaranya ketika melihat kemungkaran atau kesesatan, namun dengan cara yang lemah lembut dan penuh argumen logis.

Pertanyaan sang sahabat, "Akhafarta billażī khalaqaka min turābin summa min nuṭfatin summa sawwāka rajulā?" (Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?) adalah retorika yang sangat kuat dan fundamental. Ini adalah pengingat akan asal-usul manusia dan kekuasaan Allah:

Dengan pertanyaan ini, sang sahabat ingin menyentuh fitrah (naluri) sang pemilik kebun. Bagaimana mungkin seseorang yang diciptakan dari tanah dan mani bisa begitu sombong dan melupakan Penciptanya? Bagaimana mungkin ia meragukan kekuasaan Allah untuk membinasakan kebunnya atau membangkitkan Kiamat, padahal Allah mampu menciptakan dirinya dari ketiadaan menjadi ada dan sempurna?

Setelah pengingat akan kekuasaan Allah dalam penciptaan manusia, sang sahabat kemudian menyatakan keyakinan tauhidnya yang kuat: "Lākinnā Huwallāhu Rabbī wa lā usyriku bi Rabbī aḥadā" (Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun). Pernyataan ini adalah manifestasi dari keimanan yang kokoh:

Ayat-ayat ini mengajarkan tentang pentingnya akar keimanan pada tauhid, yakni pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki. Dari sinilah lahir rasa syukur, rendah hati, dan ketaatan yang sejati. Tanpa tauhid yang kokoh, manusia mudah tergelincir pada kesombongan dan kekufuran.

6. Ayat 39: Kekuatan "Masya Allah La Quwwata Illa Billah"

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا

Wa lawlā iż dakhalta jannataka qulta mā syā’allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani anā aqalla minka mālaw wa waladā

Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, "Masya Allah, la quwwata illa billah (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit daripada engkau dalam hal harta dan keturunan,

Tafsir Mendalam Ayat 39

Setelah menegaskan tauhidnya, sang sahabat memberikan nasihat konkret yang seharusnya dilakukan oleh pemilik kebun yang sombong itu. Ia berkata, "Wa lawlā iż dakhalta jannataka qulta mā syā’allāhu lā quwwata illā billāh" (Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, "Masya Allah, la quwwata illa billah"). Ini adalah puncak dari nasehatnya dan menunjukkan kunci untuk menjaga nikmat serta menghindarkan diri dari kezaliman dan kesombongan.

Makna dari kalimat "Mā syā’allāhu lā quwwata illā billāh" adalah:

Mengucapkan kalimat ini saat melihat nikmat, baik pada diri sendiri maupun orang lain, memiliki hikmah yang sangat besar: Sang sahabat kemudian melanjutkan dengan, "In tarani anā aqalla minka mālaw wa waladā" (Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit daripada engkau dalam hal harta dan keturunan). Ini adalah bentuk kerendahan hati dan pengakuan akan kenyataan bahwa secara materi, ia memang lebih rendah dari temannya. Namun, hal ini juga menyiratkan bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari harta atau anak-pinak, melainkan dari keimanan dan kedekatan kepada Allah. Ia tidak iri dengan kekayaan temannya, justru ia khawatir akan nasib temannya akibat kesombongan. Ini menunjukkan bahwa nilai seseorang di sisi Allah bukan diukur dari kuantitas harta atau keturunan, melainkan dari kualitas iman dan takwanya.

Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk selalu menghubungkan segala kesuksesan dan nikmat kepada Allah, bukan kepada diri sendiri. Ini adalah prinsip dasar keimanan yang membebaskan manusia dari kesombongan dan ketergantungan pada dunia fana.

7. Ayat 40-41: Ancaman Azab dan Perubahan Kekuasaan Allah

فَعَسَىٰ رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا

Fa 'asā Rabbī ay yu'tiyani khairam min jannatika wa yursila 'alayhā ḥusbānam minas-samā'i fa tuṣbiḥa ṣa'īdan zalaqā

Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan Dia mengirimkan ketetapan (azab) dari langit kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin (tidak ditumbuhi pepohonan).

أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَن تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا

Aw yuṣbiḥa mā’uhā ghawran falan tastaṭī'a lahū ṭalabā

Atau airnya menjadi kering, sehingga engkau tidak dapat lagi menemukannya."

Tafsir Mendalam Ayat 40-41

Setelah memberikan nasihat dan menegaskan tauhidnya, sang sahabat beriman mulai memperingatkan tentang konsekuensi dari kesombongan dan kekufuran. Ia tidak mengharapkan kebinasaan bagi temannya secara langsung, namun ia mengingatkan tentang kekuasaan Allah yang mampu mengubah segalanya dalam sekejap.

Ia berkata, "Fa 'asā Rabbī ay yu'tiyani khairam min jannatika" (Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini)). Ini bukan ungkapan iri hati, melainkan sebuah pernyataan tawakal dan keyakinan akan keadilan serta kemurahan Allah. Ia tahu bahwa jika ia terus berada di jalan keimanan dan kesabaran, Allah akan memberikan yang terbaik baginya, mungkin di dunia ini dengan bentuk lain yang lebih berkah, atau yang pasti adalah di akhirat kelak. Ini adalah cerminan dari keyakinan bahwa pahala dan rezeki sejati datang dari Allah, bukan semata-mata dari usaha manusia.

Kemudian, ia memberikan peringatan yang sangat tajam kepada temannya tentang kemungkinan azab yang menimpa kebunnya: "wa yursila 'alayhā ḥusbānam minas-samā'i fa tuṣbiḥa ṣa'īdan zalaqā" (dan Dia mengirimkan ketetapan (azab) dari langit kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin (tidak ditumbuhi pepohonan)).

Peringatan kedua adalah: "Aw yuṣbiḥa mā’uhā ghawran falan tastaṭī'a lahū ṭalabā" (Atau airnya menjadi kering, sehingga engkau tidak dapat lagi menemukannya). Ini juga adalah ancaman azab yang sangat mengerikan, karena air adalah sumber kehidupan bagi kebun. Ancaman-ancaman ini bukan sekadar peringatan verbal, melainkan representasi dari kekuasaan mutlak Allah untuk mengambil kembali apa yang telah Dia berikan. Ini menunjukkan bahwa segala kenikmatan duniawi bersifat sementara dan bergantung sepenuhnya pada izin Allah. Ayat ini mengajarkan bahwa kesombongan dan kekufuran akan mendatangkan kemurkaan Allah, dan kemurkaan itu bisa berwujud pada musnahnya harta benda yang sangat kita banggakan. Tidak ada daya dan upaya yang bisa menyelamatkan kita dari takdir Allah.

8. Ayat 42: Penyesalan yang Tiada Berguna Setelah Kehilangan

وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَىٰ مَا أَنفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا

Wa uḥīṭa bi ṯamarihī fa aṣbaḥa yuqallibu kaffayhi ‘alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā wa yaqūlu yā laytanī lam usyrik bi Rabbī aḥadā

Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (atap-atapnya) dan dia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun."

Tafsir Mendalam Ayat 42

Peringatan dari sang sahabat beriman benar-benar terjadi. Ayat ini menggambarkan bagaimana azab Allah menimpa kebun sang pemilik yang sombong. Frasa "Wa uḥīṭa bi ṯamarihī" (Dan harta kekayaannya dibinasakan) menunjukkan kehancuran yang menyeluruh dan tiba-tiba. Kekayaan yang menjadi sumber kesombongannya lenyap dalam sekejap. Ini adalah bukti kekuasaan Allah yang Maha Kuasa, yang mampu mengambil kembali nikmat-Nya kapan saja Dia kehendaki, tanpa ada yang mampu mencegahnya.

Reaksi sang pemilik kebun setelah kehancuran adalah, "fa aṣbaḥa yuqallibu kaffayhi ‘alā mā anfaqa fīhā" (lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu). Gerakan membolak-balikkan telapak tangan adalah isyarat klasik dalam bahasa Arab untuk menunjukkan penyesalan, frustrasi, dan kekecewaan yang mendalam. Ia menyesali semua biaya, tenaga, dan waktu yang telah ia curahkan untuk membangun kebun itu, yang kini hancur lebur tanpa sisa. Ini adalah penyesalan atas hilangnya investasi duniawi, bukan penyesalan atas kesalahannya terhadap Allah.

Kondisi kebun dijelaskan dengan sangat gamblang: "wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā" (sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (atap-atapnya)). Frasa ini melukiskan pemandangan kehancuran total. "Khāwiyatun" berarti kosong, runtuh, hampa. "Urūsyihā" merujuk pada struktur penyangga tanaman anggur yang biasanya melengkung seperti atap. Kebun yang tadinya rimbun dengan buah-buahan kini rata dengan tanah, hanya menyisakan puing dan kehampaan. Ini menunjukkan betapa fana dan rentannya segala kemewahan duniawi.

Puncak penyesalannya adalah ucapannya, "wa yaqūlu yā laytanī lam usyrik bi Rabbī aḥadā" (dan dia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.").

Ayat ini memberikan pelajaran penting tentang penyesalan yang sia-sia jika datang setelah musibah. Ia juga menegaskan bahwa syirik, baik dalam bentuk terang-terangan maupun tersembunyi (seperti menyandarkan kekuasaan pada selain Allah), akan mendatangkan kehancuran. Musibah seringkali adalah cara Allah untuk menyadarkan hamba-Nya yang lalai, agar kembali kepada-Nya sebelum terlambat sepenuhnya.

9. Ayat 43: Tiada Penolong Selain Allah

وَلَمْ تَكُن لَّهُ فِئَةٌ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مُنتَصِرًا

Wa lam takul lahū fi’atuy yanṣurūnahū min dūnillāhi wa mā kāna muntaṣirā

Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah; dan dia tidak akan dapat membela dirinya.

Tafsir Mendalam Ayat 43

Setelah kebunnya hancur dan penyesalan menyelimuti dirinya, ayat ini menegaskan kebenaran pahit yang harus ia terima: "Wa lam takul lahū fi’atuy yanṣurūnahū min dūnillāhi" (Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah). Ini adalah realitas yang telanjang tentang kelemahan manusia ketika berhadapan dengan takdir Allah.

Sang pemilik kebun yang sombong dulu membanggakan harta dan keturunannya (yang disebut dalam ayat sebelumnya sebagai "mālawa walada" dan "ḥusbāna"), mungkin juga memiliki banyak pengikut atau pelayan. Namun, ketika azab Allah datang, semua itu tidak ada gunanya:

Pelajaran utama dari frasa ini adalah:
  1. **Kefanaan Kekuatan Manusia:** Segala kekuatan, pengaruh, dan dukungan yang berasal dari manusia atau dunia ini bersifat fana dan terbatas. Saat Allah berkehendak, semua itu tidak akan mampu memberikan perlindungan.
  2. **Ketergantungan Mutlak pada Allah:** Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Menggantungkan diri pada selain Allah adalah kesia-siaan dan dapat berujung pada kekecewaan yang mendalam.
  3. **Pentingnya Membangun Hubungan dengan Allah:** Daripada sibuk mencari dukungan dan kekuatan dari manusia atau materi, seorang mukmin seharusnya fokus membangun hubungan yang kuat dengan Allah, karena Dialah satu-satunya Penolong yang hakiki.

Kemudian dilanjutkan dengan "wa mā kāna muntaṣirā" (dan dia tidak akan dapat membela dirinya).

Ayat ini menjadi penutup yang menyakitkan bagi kisah pemilik kebun yang sombong, sekaligus menjadi pengingat yang sangat kuat bagi kita semua. Bahwa di saat-saat paling genting, di hadapan kekuasaan Allah, tidak ada yang dapat menolong kita selain Allah. Harta, pangkat, keturunan, dan teman-teman tidak akan berarti apa-apa jika Allah telah menetapkan takdir-Nya. Oleh karena itu, sandarkanlah diri hanya kepada Allah, dan jangan pernah mensekutukan-Nya dengan apa pun.

10. Ayat 44: Kekuasaan Hakiki Milik Allah Semata

هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا

Hunālikal-walāyatu lillāhil-ḥaqq, Huwa khairun ṡawābaw wa khairun 'uqbā

Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan Yang Maha Benar. Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.

Tafsir Mendalam Ayat 44

Ayat ini datang sebagai pernyataan prinsipil dan universal setelah kisah kehancuran kebun. Frasa "Hunālikal-walāyatu lillāhil-ḥaqq" (Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan Yang Maha Benar) adalah inti dari pelajaran tauhid yang ingin disampaikan.

Jadi, ayat ini menegaskan bahwa dalam setiap kesulitan, musibah, atau saat segala kekuatan manusia tidak lagi berdaya, satu-satunya tempat untuk berlindung dan berharap pertolongan adalah kepada Allah SWT. Ini adalah pengajaran fundamental tentang tawakal dan penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Selanjutnya, Allah disifatkan dengan dua atribut penting: "Huwa khairun ṡawābaw wa khairun 'uqbā" (Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan).

Ayat ini memberikan harapan besar bagi orang-orang beriman yang mungkin merasa kecil atau miskin di dunia. Bahwa meskipun mereka tidak memiliki kekayaan duniawi, mereka memiliki Allah, sebaik-baik pemberi pahala dan penentu balasan. Ini adalah motivasi untuk tetap istiqamah di jalan kebenaran, tidak tergiur dengan gemerlap dunia, dan selalu bergantung pada Allah semata. Bagi mereka yang sombong dan durhaka, ayat ini adalah peringatan bahwa balasan dari Allah bisa sangat pedih, dan tidak ada yang bisa menghindari konsekuensi dari perbuatan mereka.

11. Ayat 45: Perumpamaan Kehidupan Dunia yang Fana

وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا

Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dunyā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥu wa kānallāhu 'alā kulli syai'im muqtadirā

Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Tafsir Mendalam Ayat 45

Setelah kisah dua kebun yang menunjukkan secara konkret kefanaan harta dan kekuasaan dunia, Allah SWT menutupnya dengan perumpamaan yang sangat indah dan universal tentang hakikat kehidupan dunia itu sendiri. Ini adalah perumpamaan yang berlaku untuk setiap manusia, di setiap zaman.

Frasa "Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dunyā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i" (Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit) mengawali perumpamaan ini. Air hujan adalah sumber kehidupan. Ia turun dari langit, membawa berkah, dan memungkinkan segala sesuatu tumbuh.

Kemudian, "fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi" (sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi). Air hujan berinteraksi dengan tanah, menghidupkan benih, dan menyebabkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan—pohon, rumput, bunga, dan buah-buahan—tumbuh dengan subur dan indah. Ini melambangkan masa-masa kejayaan, kebahagiaan, kekayaan, kekuatan, dan segala bentuk kenikmatan yang manusia alami di dunia. Dunia ini pada awalnya tampak hijau, segar, dan penuh harapan.

Namun, datanglah realitas yang tak terhindarkan: "fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥu" (kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin).

Perumpamaan ini sangat kuat karena menggunakan fenomena alam yang sangat familiar bagi manusia untuk menggambarkan hakikat kehidupan. Keindahan dan kesuburan awal adalah godaan dunia, sementara kekeringan dan terbawa angin adalah akhir yang pasti.

Ayat ini ditutup dengan penegasan: "wa kānallāhu 'alā kulli syai'im muqtadirā" (Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu).

Perumpamaan ini menjadi pengingat yang sangat berharga bagi setiap mukmin untuk tidak terlalu terikat dengan dunia. Hidup ini seperti perjalanan singkat; ia indah di awalnya, namun pasti akan berakhir. Oleh karena itu, tujuan sejati haruslah pada persiapan untuk kehidupan abadi di akhirat, dan menjadikan dunia sebagai jembatan untuk mencapai tujuan tersebut. Harta, pangkat, dan segala kenikmatan dunia hanyalah pinjaman sementara yang akan dipertanggungjawabkan.

12. Refleksi Mendalam dan Pelajaran Kontemporer dari Kisah Dua Kebun

Kisah dua kebun dalam Surah Al-Kahf, khususnya ayat 35-45, bukanlah sekadar cerita lampau, melainkan cermin universal yang merefleksikan fitnah dunia dan jiwa manusia di setiap zaman. Pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya sangat relevan untuk kehidupan kita saat ini, di tengah gemerlapnya materialisme dan tantangan keimanan. Mari kita telaah lebih jauh refleksi dan pelajaran kontemporer yang bisa kita petik:

12.1. Bahaya Kesombongan (Ujub dan Takabur)

Inti dari kesesatan pemilik kebun yang kaya adalah kesombongan. Ia membanggakan harta, kebun, dan keturunannya, melupakan bahwa semua itu adalah anugerah dari Allah. Dalam konteks modern, kesombongan ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk:

Kisah ini mengajarkan bahwa kesombongan bukan hanya dosa besar, tetapi juga penyebab kehancuran diri. Seseorang yang sombong cenderung tidak bisa bersyukur, tidak bisa menerima nasihat, dan akhirnya ingkar kepada Penciptanya. Ingatlah, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.

12.2. Pentingnya Rasa Syukur dan Kalimat "Masya Allah La Quwwata Illa Billah"

Kontras dengan kesombongan adalah rasa syukur. Sahabat yang beriman mengingatkan untuk mengucapkan "Masya Allah, la quwwata illa billah" saat melihat nikmat. Ini adalah kunci untuk menjaga hati dari kesombongan dan memperkuat iman. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali lalai dalam bersyukur, atau bahkan lupa menyandarkan nikmat kepada Allah.

Mengamalkan kalimat ini dalam kehidupan sehari-hari, saat melihat harta, anak-anak, kesehatan, atau bahkan pemandangan alam yang indah, akan melatih hati untuk senantiasa terhubung dengan Allah dan menjauhkan kita dari kesombongan.

12.3. Hikmah di Balik Musibah dan Ujian

Kisah ini menunjukkan bahwa musibah dan kehilangan harta dapat menjadi teguran keras dari Allah. Kebinasaan kebun sang pemilik yang sombong adalah ujian yang datang untuk menyadarkan dirinya. Seringkali, manusia baru benar-benar menyadari kesalahannya ketika ia kehilangan sesuatu yang paling ia banggakan.

Bagi seorang mukmin, musibah adalah pengingat, penebus dosa, dan ujian untuk meningkatkan derajat. Sikap sabar dan tawakal dalam menghadapi musibah adalah ciri khas orang beriman.

12.4. Konsep Tawakal dan Qana'ah

Sahabat yang beriman dalam kisah ini menunjukkan sikap tawakal (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah) dan qana'ah (merasa cukup dengan apa yang Allah berikan). Meskipun ia miskin secara materi, ia kaya secara batin karena imannya yang kokoh.

Kedua sifat ini sangat penting di era konsumerisme saat ini, di mana banyak orang terus-menerus merasa tidak puas dan selalu mengejar lebih banyak materi, yang pada akhirnya justru menjebak mereka dalam siklus ketidakbahagiaan.

12.5. Perbedaan Sudut Pandang Dunia dan Akhirat

Kisah ini secara fundamental membandingkan dua pandangan hidup:

Ayat 45 secara indah menyimpulkan kefanaan dunia ini, membandingkannya dengan tanaman yang tumbuh subur lalu mengering dan diterbangkan angin. Ini adalah pengingat konstan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal. Oleh karena itu, investasi terbesar seharusnya adalah pada amal saleh yang akan kekal di akhirat.

12.6. Kekuatan Doa dan Zikir

Meskipun tidak secara eksplisit diceritakan, sikap sahabat yang beriman, yang selalu menyandarkan segala sesuatu kepada Allah, mencerminkan kebiasaan berdoa dan berzikir. Doa adalah senjata mukmin, dan zikir adalah benteng hati.

Membiasakan diri dengan doa dan zikir adalah cara terbaik untuk menjaga keimanan di tengah berbagai godaan dunia.

12.7. Mengambil Pelajaran dari Sejarah dan Perumpamaan Al-Qur'an

Al-Qur'an dipenuhi dengan kisah-kisah dan perumpamaan yang dirancang untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Kisah dua kebun adalah salah satu contoh bagaimana Allah mengajarkan hikmah melalui narasi yang kuat.

Memahami dan menginternalisasi ajaran-ajaran ini akan membimbing kita menjalani hidup dengan penuh makna dan tujuan.

13. Kesimpulan

Kisah dua kebun dalam Surah Al-Kahf ayat 35-45 adalah sebuah perumpamaan abadi yang menggambarkan perjuangan antara iman dan materi. Ia mengingatkan kita akan kefanaan dunia dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Melalui karakter sang pemilik kebun yang sombong, kita diperingatkan tentang bahaya kesombongan, kufur nikmat, dan keterikatan yang berlebihan pada dunia. Sementara itu, sosok sahabat yang beriman menjadi teladan bagi kita tentang pentingnya tauhid yang kokoh, rasa syukur, tawakal, dan kerendahan hati.

Pada akhirnya, semua kekayaan dan kenikmatan dunia ini hanyalah titipan sementara, seperti tanaman yang tumbuh subur lalu mengering dan diterbangkan angin. Yang akan kekal adalah iman dan amal saleh kita. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat yang abadi, dan senantiasa mengucapkan "Masya Allah, la quwwata illa billah" dalam setiap karunia yang kita lihat dan rasakan.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk selalu bersyukur dan menjauhkan kita dari sifat-sifat tercela yang dapat membinasakan diri kita di dunia maupun di akhirat.

🏠 Homepage