Kisah Dua Kebun: Pelajaran Berharga dari Al-Kahfi Ayat 35-45
Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Dikenal dengan kisah-kisah penuh hikmahnya—mulai dari Ashabul Kahf (Penghuni Gua), kisah Nabi Musa dan Khidir, hingga Dzulqarnain—surah ini sarat dengan pelajaran tentang fitnah (cobaan) iman, harta, ilmu, dan kekuasaan. Di antara kisah-kisah tersebut, terdapat sebuah perumpamaan yang sangat kuat dan relevan hingga zaman modern, yaitu kisah dua orang pemilik kebun yang disebutkan dalam ayat 32-45. Artikel ini akan memfokuskan pada ayat 35-45, menggali pelajaran mendalam tentang kesombongan, keimanan, kefanaan dunia, dan kekuasaan Allah yang mutlak.
Kisah ini menggambarkan kontras tajam antara dua pandangan hidup: satu yang terbuai oleh kekayaan materi dan melupakan Penciptanya, dan satu lagi yang walaupun sederhana namun teguh dalam keimanannya kepada Allah. Melalui narasi ini, Allah SWT memberikan peringatan keras akan bahaya kesombongan, sifat bergantung pada dunia, dan melupakan hakikat akhirat.
1. Pendahuluan: Surah Al-Kahf dan Hikmahnya
Surah Al-Kahf, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, diturunkan di Mekah dan terdiri dari 110 ayat. Dinamakan "Al-Kahf" yang berarti "Gua", merujuk pada kisah utama di dalamnya tentang sekelompok pemuda yang berlindung di gua untuk menjaga iman mereka dari penguasa zalim. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk membaca surah ini, khususnya pada hari Jumat, karena memiliki keutamaan besar sebagai pelindung dari fitnah Dajjal dan penerang bagi kehidupan. Ayat-ayat 35-45 adalah bagian integral dari rangkaian ajaran moral dan spiritual yang disajikan dalam surah ini, mengupas tuntas hakikat harta dan kekuasaan di mata Allah SWT.
Kisah dua kebun ini hadir sebagai perumpamaan tentang fitnah harta. Bagaimana kekayaan dapat membutakan mata hati seseorang, membuatnya sombong, dan melupakan asalnya serta tujuan hidupnya yang sejati. Di sisi lain, diperlihatkan juga bagaimana kesederhanaan hidup tidak menghalangi seseorang untuk memiliki kekayaan batin berupa iman dan tawakal kepada Allah.
2. Kisah Dua Kebun: Sebuah Pengantar Ayat 35-45
Sebelum kita menyelami ayat-ayat 35-45, penting untuk memahami latar belakang kisah ini. Allah SWT mengisahkan tentang dua orang laki-laki, yang satu diberi dua kebun anggur yang dikelilingi pohon kurma dan di antaranya dibuatkan ladang pertanian, serta dialirkan sungai di tengah-tengahnya. Kebun ini sangat subur, selalu menghasilkan buah, dan tidak pernah kurang. Laki-laki ini memiliki harta benda yang melimpah dan keluarga yang banyak. Sementara itu, sahabatnya, meskipun tidak disebutkan secara spesifik kondisinya, kita pahami bahwa ia tidak memiliki kekayaan materi sebanyak itu, namun hatinya dipenuhi iman.
Dialog antara kedua sahabat inilah yang menjadi inti pelajaran dalam ayat-ayat selanjutnya. Sang pemilik kebun yang kaya, dengan kesombongan dan keangkuhannya, memamerkan hartanya kepada sahabatnya, bahkan mempertanyakan hari kebangkitan. Sementara sahabatnya yang beriman, dengan rendah hati dan bijak, mengingatkannya akan asal-usulnya dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
3. Ayat 35: Kesombongan Harta dan Kezaliman Diri
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا
Wa dakhala jannatahu wa huwa ẓālimul linafsihi qāla mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadanDan dia memasuki kebunnya dengan menganiaya dirinya sendiri (karena kufur nikmat); dia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,"
Tafsir Mendalam Ayat 35
Ayat ini membuka tirai pada puncak kesombongan dan keangkuhan sang pemilik kebun yang kaya. Frasa "wa dakhala jannatahu" (dan dia memasuki kebunnya) menunjukkan bahwa ia datang ke kebunnya bukan dengan rasa syukur, melainkan dengan perasaan bangga dan takjub terhadap hasil usahanya sendiri, seolah-olah semua itu adalah kekuatan dan kepintarannya. Dia terbuai oleh kemegahan kebunnya yang menghasilkan buah melimpah tanpa henti.
Yang lebih penting adalah frasa "wa huwa ẓālimul linafsihi" (dengan menganiaya dirinya sendiri). Ini adalah inti dari peringatan ilahi. Kezaliman di sini bukanlah hanya menganiaya orang lain, tetapi juga menganiaya diri sendiri dengan cara kufur nikmat, melupakan asal-usul kekayaan tersebut, dan menempatkan keyakinan pada hal-hal duniawi semata. Menganiaya diri sendiri dalam konteks ini berarti:
- **Kufur Nikmat:** Tidak menyadari bahwa semua kekayaan itu adalah anugerah dari Allah, melainkan menganggapnya sebagai hasil mutlak dari kerja keras dan kecerdasannya sendiri. Ini adalah bentuk ketidakadilan terhadap Sang Pemberi Rezeki.
- **Kesombongan (Ujub):** Merasa bangga berlebihan atas apa yang dimiliki, memandang rendah orang lain, dan melupakan hakikat bahwa manusia hanyalah hamba yang lemah.
- **Berpaling dari Kebenaran:** Ketika seseorang terlampau tenggelam dalam kesenangan dunia, hatinya cenderung mengeras dan sulit menerima kebenaran atau peringatan. Ini adalah kerugian terbesar bagi dirinya sendiri di dunia dan akhirat.
- **Mengutamakan Dunia di atas Akhirat:** Menganggap harta duniawi sebagai tujuan akhir, sehingga melupakan tujuan sejati penciptaan manusia untuk beribadah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi.
Puncaknya, ia berkata, "mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadan" (Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya). Pernyataan ini menunjukkan betapa dalamnya ia tenggelam dalam ilusi duniawi. Ia yakin bahwa kebunnya akan kekal abadi, tidak akan rusak, dan tidak akan lenyap. Keyakinan seperti ini mencerminkan beberapa hal:
- **Ketiadaan Tawakal:** Tidak ada sedikitpun penyerahan diri atau pengakuan akan kekuasaan Allah yang bisa menghancurkan apa pun kapan saja.
- **Meremehkan Kekuasaan Tuhan:** Ia seolah-olah merasa kebal dari hukum alam dan takdir ilahi, lupa bahwa semua yang ada di bumi ini fana.
- **Kehilangan Perspektif Akhirat:** Jika ia percaya bahwa dunia ini abadi, maka tidak ada dorongan baginya untuk mempersiapkan diri menghadapi hari perhitungan, karena ia merasa aman di dunia ini.
- **Blindness to Change:** Dunia ini adalah alam perubahan. Segala sesuatu yang berawal pasti berakhir. Tanaman, bahkan yang paling subur sekalipun, akan menua, layu, dan akhirnya mati. Keyakinannya ini adalah bentuk penolakan terhadap realitas alam semesta.
4. Ayat 36: Penolakan Hari Kiamat dan Keyakinan Semu
وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا
Wa mā aẓunnus-sā'ata qā'imah, wa la'ir rudittu ilā Rabbī la'ajidanna khairam minhā munqalabādan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari itu.
Tafsir Mendalam Ayat 36
Setelah menyatakan keyakinannya bahwa kebunnya tidak akan binasa, ia melangkah lebih jauh dalam kesesatannya dengan menyatakan, "Wa mā aẓunnus-sā'ata qā'imah" (dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang). Ini adalah puncak dari kekufuran dan penolakannya terhadap kebenaran fundamental dalam Islam. Mengingkari hari Kiamat berarti mengingkari janji Allah, mengingkari keadilan ilahi, dan menolak konsep pertanggungjawaban di akhirat. Seseorang yang mengingkari Kiamat secara logis tidak akan merasa perlu beramal saleh atau menghindari dosa, karena tidak ada perhitungan yang akan datang.
Penyebab mengapa ia mengingkari Kiamat bisa jadi adalah:
- **Terlalu Nyaman dengan Dunia:** Kekayaan dan kenikmatan duniawinya telah membuatnya mabuk kepayang, sehingga ia tidak ingin memikirkan sesuatu yang akan mengganggu kenyamanannya, apalagi yang akan mengakhiri semua itu.
- **Kesombongan Intelektual:** Merasa cukup dengan pemikirannya sendiri, tanpa mau menerima wahyu atau ajaran dari agama.
- **Tidak Melihat Bukti:** Karena Kiamat adalah peristiwa gaib yang belum terjadi, ia mungkin merasa tidak ada bukti empiris, sehingga menolaknya.
Namun, yang lebih parah dan menunjukkan tipu daya setan serta kebodohan dirinya adalah kalimat selanjutnya: "wa la'ir rudittu ilā Rabbī la'ajidanna khairam minhā munqalabā" (dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari itu). Pernyataan ini bukan hanya absurd, tetapi juga menunjukkan tingkat kesombongan yang luar biasa:
- **Berprasangka Buruk kepada Allah:** Meskipun ia secara tersirat mengakui adanya Tuhan ("Rabbī"), ia berprasangka bahwa Tuhan akan memperlakukannya dengan baik di akhirat, sama seperti Ia memberinya kebun yang subur di dunia. Ia mengukur kebaikan Tuhan berdasarkan harta duniawinya.
- **Memanipulasi Konsep Kebaikan:** Ia menganggap bahwa karena ia kaya di dunia, maka ia pasti akan lebih kaya di akhirat. Ini adalah salah kaprah fatal terhadap konsep pahala dan balasan di sisi Allah. Balasan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal saleh, bukan oleh harta benda.
- **Kepercayaan Diri yang Keliru:** Ia seolah-olah yakin bahwa ia memiliki 'hak' untuk mendapatkan yang lebih baik di akhirat, meskipun ia telah kufur nikmat dan mengingkari hari Kiamat. Ini adalah penipuan diri sendiri yang mendalam.
- **Mencampuradukkan Kebenaran:** Ada sedikit pengakuan akan kekuasaan Tuhan, namun dibelokkan untuk membenarkan kesalahannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar beriman, melainkan hanya menggunakan gagasan tentang Tuhan untuk mengukuhkan kesombongannya.
5. Ayat 37-38: Jawaban Bijak Sang Sahabat Beriman dan Dasar Tauhid
قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا
Qāla lahū ṣāḥibuhū wa huwa yuḥāwiruhū akhafarta billażī khalaqaka min turābin summa min nuṭfatin summa sawwāka rajulāKawannya (yang beriman) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, "Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?
لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا
Lākinnā Huwallāhu Rabbī wa lā usyriku bi Rabbī aḥadāTetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun."
Tafsir Mendalam Ayat 37-38
Ketika sang pemilik kebun yang kaya melontarkan kata-kata kekufuran dan kesombongan, sahabatnya yang beriman tidak tinggal diam. Dengan ketenangan dan hikmah, ia memulai dialog yang penuh pengajaran. Ini menunjukkan pentingnya seorang mukmin untuk berdakwah dan mengingatkan saudaranya ketika melihat kemungkaran atau kesesatan, namun dengan cara yang lemah lembut dan penuh argumen logis.
Pertanyaan sang sahabat, "Akhafarta billażī khalaqaka min turābin summa min nuṭfatin summa sawwāka rajulā?" (Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?) adalah retorika yang sangat kuat dan fundamental. Ini adalah pengingat akan asal-usul manusia dan kekuasaan Allah:
- **Asal-usul dari Tanah:** Mengingatkan bahwa manusia diciptakan dari unsur yang paling sederhana dan rendah, yaitu tanah. Ini bertujuan untuk menghancurkan kesombongan yang timbul dari harta dan kedudukan. Dari tanah, manusia kembali menjadi tanah.
- **Dari Setetes Mani:** Tahapan selanjutnya dalam penciptaan manusia, dari sesuatu yang tampak hina dan tak berdaya, yaitu setetes mani. Ini menunjukkan kelemahan dan ketergantungan manusia pada kekuasaan Allah.
- **Dijadikan Laki-laki Sempurna:** Dari asal yang sederhana itu, Allah membentuk manusia menjadi makhluk yang sempurna, dengan akal, pikiran, kekuatan, dan kemampuan. Ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Setelah pengingat akan kekuasaan Allah dalam penciptaan manusia, sang sahabat kemudian menyatakan keyakinan tauhidnya yang kuat: "Lākinnā Huwallāhu Rabbī wa lā usyriku bi Rabbī aḥadā" (Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun). Pernyataan ini adalah manifestasi dari keimanan yang kokoh:
- **Penegasan Tauhid:** Ia dengan tegas menyatakan bahwa hanya Allah yang menjadi Tuhannya. Ini adalah inti dari syahadat, pengakuan akan keesaan Allah dalam Rububiyah (ketuhanan), Uluhiyah (peribadatan), dan Asma' wa Sifat (nama dan sifat).
- **Penolakan Syirik:** "wa lā usyriku bi Rabbī aḥadā" (dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun) adalah penegasan bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, tidak ada yang berhak disembah selain Dia, dan tidak ada yang memiliki kekuasaan mutlak selain Dia. Ini adalah pukulan telak terhadap kesombongan sang pemilik kebun yang secara implisit telah mensekutukan Allah dengan hartanya dan kemampuan dirinya sendiri.
- **Kontras Jelas:** Pernyataan ini berfungsi sebagai kontras langsung terhadap sikap temannya. Jika temannya ingkar kepada Allah, maka ia justru menegaskan keimanan dan ketauhidannya. Ini adalah teladan bagi seorang mukmin untuk berdiri teguh di atas kebenaran meskipun berada di hadapan kekuasaan atau kesombongan duniawi.
- **Prinsip Kehidupan:** Bagi sang sahabat, tauhid adalah prinsip hidupnya. Tidak ada yang lebih utama dari pada mengakui keesaan dan kekuasaan Allah. Semua kekayaan dan kenikmatan adalah fana dan hanya titipan dari Sang Pencipta.
6. Ayat 39: Kekuatan "Masya Allah La Quwwata Illa Billah"
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Wa lawlā iż dakhalta jannataka qulta mā syā’allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani anā aqalla minka mālaw wa waladāDan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, "Masya Allah, la quwwata illa billah (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit daripada engkau dalam hal harta dan keturunan,
Tafsir Mendalam Ayat 39
Setelah menegaskan tauhidnya, sang sahabat memberikan nasihat konkret yang seharusnya dilakukan oleh pemilik kebun yang sombong itu. Ia berkata, "Wa lawlā iż dakhalta jannataka qulta mā syā’allāhu lā quwwata illā billāh" (Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, "Masya Allah, la quwwata illa billah"). Ini adalah puncak dari nasehatnya dan menunjukkan kunci untuk menjaga nikmat serta menghindarkan diri dari kezaliman dan kesombongan.
Makna dari kalimat "Mā syā’allāhu lā quwwata illā billāh" adalah:
- **Mā syā’allāh (Apa yang dikehendaki Allah):** Mengakui bahwa segala sesuatu yang terjadi, semua nikmat dan karunia, adalah semata-mata atas kehendak Allah. Ini adalah pengingat akan kekuasaan mutlak Allah dalam mengatur segala sesuatu.
- **Lā quwwata illā billāh (Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah):** Mengakui bahwa segala kekuatan, kemampuan, dan usaha yang manusia miliki, tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa pertolongan dan taufik dari Allah SWT. Ini meniadakan segala bentuk kekuatan diri yang bersifat independen dari Allah.
- **Menghindari Ujub dan Takabur:** Kalimat ini secara langsung memerangi bibit-bibit kesombongan (ujub) yang bisa muncul ketika seseorang melihat keberhasilannya atau hartanya. Ini mengingatkan bahwa semua itu bukan karena dirinya, melainkan karunia Allah.
- **Memperkuat Rasa Syukur:** Dengan menyandarkan segala sesuatu kepada kehendak dan kekuatan Allah, hati menjadi lebih peka untuk bersyukur.
- **Melindungi Nikmat dari Kecemburuan:** Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa ucapan ini dapat melindungi nikmat dari 'ain (pandangan mata jahat atau kecemburuan yang bisa menyebabkan kerusakan, atas izin Allah).
- **Meningkatkan Tawakal:** Membiasakan diri mengucapkan ini akan menguatkan tawakal (penyerahan diri) kepada Allah, karena menyadari bahwa segala upaya manusia harus disertai dengan izin dan pertolongan-Nya.
- **Pendidikan Jiwa:** Kalimat ini mendidik jiwa untuk selalu merujuk kepada Allah dalam setiap keadaan, baik suka maupun duka, nikmat maupun musibah.
Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk selalu menghubungkan segala kesuksesan dan nikmat kepada Allah, bukan kepada diri sendiri. Ini adalah prinsip dasar keimanan yang membebaskan manusia dari kesombongan dan ketergantungan pada dunia fana.
7. Ayat 40-41: Ancaman Azab dan Perubahan Kekuasaan Allah
فَعَسَىٰ رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا
Fa 'asā Rabbī ay yu'tiyani khairam min jannatika wa yursila 'alayhā ḥusbānam minas-samā'i fa tuṣbiḥa ṣa'īdan zalaqāMaka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan Dia mengirimkan ketetapan (azab) dari langit kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin (tidak ditumbuhi pepohonan).
أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَن تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا
Aw yuṣbiḥa mā’uhā ghawran falan tastaṭī'a lahū ṭalabāAtau airnya menjadi kering, sehingga engkau tidak dapat lagi menemukannya."
Tafsir Mendalam Ayat 40-41
Setelah memberikan nasihat dan menegaskan tauhidnya, sang sahabat beriman mulai memperingatkan tentang konsekuensi dari kesombongan dan kekufuran. Ia tidak mengharapkan kebinasaan bagi temannya secara langsung, namun ia mengingatkan tentang kekuasaan Allah yang mampu mengubah segalanya dalam sekejap.
Ia berkata, "Fa 'asā Rabbī ay yu'tiyani khairam min jannatika" (Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini)). Ini bukan ungkapan iri hati, melainkan sebuah pernyataan tawakal dan keyakinan akan keadilan serta kemurahan Allah. Ia tahu bahwa jika ia terus berada di jalan keimanan dan kesabaran, Allah akan memberikan yang terbaik baginya, mungkin di dunia ini dengan bentuk lain yang lebih berkah, atau yang pasti adalah di akhirat kelak. Ini adalah cerminan dari keyakinan bahwa pahala dan rezeki sejati datang dari Allah, bukan semata-mata dari usaha manusia.
Kemudian, ia memberikan peringatan yang sangat tajam kepada temannya tentang kemungkinan azab yang menimpa kebunnya: "wa yursila 'alayhā ḥusbānam minas-samā'i fa tuṣbiḥa ṣa'īdan zalaqā" (dan Dia mengirimkan ketetapan (azab) dari langit kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin (tidak ditumbuhi pepohonan)).
- **Ḥusbānam minas-samā'i:** Ketetapan atau azab dari langit. Ini bisa berupa petir, badai, hujan es yang merusak, atau bencana alam lainnya yang datang dari atas. Kata "ḥusbān" juga bisa berarti perhitungan yang tepat, seolah-olah Allah mengirimkan azab itu sesuai dengan kadar kesombongan dan kekufuran hamba-Nya.
- **Ṣa'īdan zalaqā:** Tanah yang licin dan gundul. Ini menggambarkan kondisi tanah yang hancur lebur, tidak ada lagi tanaman yang bisa tumbuh di atasnya. Kebun yang tadinya subur dan rimbun, dalam sekejap bisa berubah menjadi padang gersang yang tidak bermanfaat. Ini adalah gambaran kehancuran total yang menghilangkan segala potensi kehidupan.
- **Mā’uhā ghawran:** Airnya menjadi kering atau tenggelam ke dalam tanah, sehingga tidak bisa dijangkau lagi. Ini adalah azab yang menargetkan sumber daya paling vital. Tanpa air, kebun secantik apa pun pasti akan mati.
- **Falan tastaṭī'a lahū ṭalabā:** Engkau tidak akan bisa lagi menemukannya atau mendapatkannya. Ini menunjukkan keputusasaan total. Manusia, dengan segala teknologinya, seringkali tidak berdaya jika Allah menahan air. Ini adalah pengingat bahwa Allah-lah yang mengendalikan siklus air dan seluruh sumber daya alam.
8. Ayat 42: Penyesalan yang Tiada Berguna Setelah Kehilangan
وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَىٰ مَا أَنفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا
Wa uḥīṭa bi ṯamarihī fa aṣbaḥa yuqallibu kaffayhi ‘alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā wa yaqūlu yā laytanī lam usyrik bi Rabbī aḥadāDan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (atap-atapnya) dan dia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun."
Tafsir Mendalam Ayat 42
Peringatan dari sang sahabat beriman benar-benar terjadi. Ayat ini menggambarkan bagaimana azab Allah menimpa kebun sang pemilik yang sombong. Frasa "Wa uḥīṭa bi ṯamarihī" (Dan harta kekayaannya dibinasakan) menunjukkan kehancuran yang menyeluruh dan tiba-tiba. Kekayaan yang menjadi sumber kesombongannya lenyap dalam sekejap. Ini adalah bukti kekuasaan Allah yang Maha Kuasa, yang mampu mengambil kembali nikmat-Nya kapan saja Dia kehendaki, tanpa ada yang mampu mencegahnya.
Reaksi sang pemilik kebun setelah kehancuran adalah, "fa aṣbaḥa yuqallibu kaffayhi ‘alā mā anfaqa fīhā" (lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu). Gerakan membolak-balikkan telapak tangan adalah isyarat klasik dalam bahasa Arab untuk menunjukkan penyesalan, frustrasi, dan kekecewaan yang mendalam. Ia menyesali semua biaya, tenaga, dan waktu yang telah ia curahkan untuk membangun kebun itu, yang kini hancur lebur tanpa sisa. Ini adalah penyesalan atas hilangnya investasi duniawi, bukan penyesalan atas kesalahannya terhadap Allah.
Kondisi kebun dijelaskan dengan sangat gamblang: "wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā" (sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (atap-atapnya)). Frasa ini melukiskan pemandangan kehancuran total. "Khāwiyatun" berarti kosong, runtuh, hampa. "Urūsyihā" merujuk pada struktur penyangga tanaman anggur yang biasanya melengkung seperti atap. Kebun yang tadinya rimbun dengan buah-buahan kini rata dengan tanah, hanya menyisakan puing dan kehampaan. Ini menunjukkan betapa fana dan rentannya segala kemewahan duniawi.
Puncak penyesalannya adalah ucapannya, "wa yaqūlu yā laytanī lam usyrik bi Rabbī aḥadā" (dan dia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.").
- **Penyesalan yang Terlambat:** Kata "yā laytanī" (alangkah baiknya sekiranya) menunjukkan penyesalan yang mendalam atas perbuatan syiriknya. Namun, penyesalan ini datang setelah azab menimpa, bukan sebelum atau saat ia diperingatkan. Dalam ajaran Islam, tobat yang paling bernilai adalah ketika masih ada kesempatan, sebelum azab datang atau sebelum nyawa sampai di tenggorokan.
- **Pengakuan Syirik:** Pada titik kehancuran ini, barulah ia menyadari bahwa kesombongannya dan ketergantungannya pada harta adalah bentuk syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya atau nikmat-Nya. Ia menyadari bahwa kekuasaan sejati hanya milik Allah, dan hartanya tidak memiliki kekuatan untuk melindunginya.
- **Hikmah dari Musibah:** Musibah terkadang menjadi "pembangun" bagi orang-orang yang tersesat. Kebinasaan harta bendanya akhirnya membukakan mata hatinya untuk mengakui kesalahan fatalnya, yaitu syirik. Meskipun penyesalan ini terlambat untuk menyelamatkan hartanya di dunia, semoga ini menjadi awal tobatnya untuk kebaikan akhirat.
9. Ayat 43: Tiada Penolong Selain Allah
وَلَمْ تَكُن لَّهُ فِئَةٌ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مُنتَصِرًا
Wa lam takul lahū fi’atuy yanṣurūnahū min dūnillāhi wa mā kāna muntaṣirāDan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah; dan dia tidak akan dapat membela dirinya.
Tafsir Mendalam Ayat 43
Setelah kebunnya hancur dan penyesalan menyelimuti dirinya, ayat ini menegaskan kebenaran pahit yang harus ia terima: "Wa lam takul lahū fi’atuy yanṣurūnahū min dūnillāhi" (Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah). Ini adalah realitas yang telanjang tentang kelemahan manusia ketika berhadapan dengan takdir Allah.
Sang pemilik kebun yang sombong dulu membanggakan harta dan keturunannya (yang disebut dalam ayat sebelumnya sebagai "mālawa walada" dan "ḥusbāna"), mungkin juga memiliki banyak pengikut atau pelayan. Namun, ketika azab Allah datang, semua itu tidak ada gunanya:
- **Fī'ah (Segolongan/Kelompok):** Merujuk kepada kerabat, teman, pelayan, atau siapa pun yang biasanya mengelilingi orang kaya dan berkuasa. Mereka semua tidak berdaya ketika menghadapi ketentuan Allah. Kekuatan sosial atau dukungan manusiawi menjadi nol besar.
- **Min dūnillāhi (Selain Allah):** Menekankan bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu memberikan pertolongan kecuali Allah SWT. Ini adalah penegasan kembali tauhid Rububiyah, bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak untuk memberi manfaat atau menimpakan mudarat.
- **Kefanaan Kekuatan Manusia:** Segala kekuatan, pengaruh, dan dukungan yang berasal dari manusia atau dunia ini bersifat fana dan terbatas. Saat Allah berkehendak, semua itu tidak akan mampu memberikan perlindungan.
- **Ketergantungan Mutlak pada Allah:** Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Menggantungkan diri pada selain Allah adalah kesia-siaan dan dapat berujung pada kekecewaan yang mendalam.
- **Pentingnya Membangun Hubungan dengan Allah:** Daripada sibuk mencari dukungan dan kekuatan dari manusia atau materi, seorang mukmin seharusnya fokus membangun hubungan yang kuat dengan Allah, karena Dialah satu-satunya Penolong yang hakiki.
Kemudian dilanjutkan dengan "wa mā kāna muntaṣirā" (dan dia tidak akan dapat membela dirinya).
- **Muntaṣirā (Membela diri/Menang):** Ini berarti dia tidak memiliki kekuatan untuk membela dirinya dari kehancuran yang menimpanya, bahkan untuk sekadar mencegah sebagian kecil kerugian. Ia tidak memiliki daya untuk memulihkan kebunnya atau mengembalikan apa yang hilang.
- **Ketidakberdayaan Total:** Ini melengkapi gambaran ketidakberdayaan yang dialami oleh pemilik kebun itu. Semua kesombongan dan keyakinan pada hartanya sirna seketika, dan ia ditinggalkan sendiri menghadapi takdir Allah tanpa bantuan siapa pun.
10. Ayat 44: Kekuasaan Hakiki Milik Allah Semata
هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا
Hunālikal-walāyatu lillāhil-ḥaqq, Huwa khairun ṡawābaw wa khairun 'uqbāDi sana, pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan Yang Maha Benar. Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.
Tafsir Mendalam Ayat 44
Ayat ini datang sebagai pernyataan prinsipil dan universal setelah kisah kehancuran kebun. Frasa "Hunālikal-walāyatu lillāhil-ḥaqq" (Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan Yang Maha Benar) adalah inti dari pelajaran tauhid yang ingin disampaikan.
- **Hunālikal (Di sana):** Merujuk pada situasi genting, ketika semua harapan duniawi sirna, atau lebih luas lagi, pada hari Kiamat ketika manusia menghadapi hisab. Dalam konteks ini, "di sana" berarti pada saat kebun itu hancur dan tidak ada penolong.
- **Al-walāyatu (Pertolongan/Kekuasaan/Perlindungan):** Kata "walāyah" memiliki makna yang luas, meliputi kekuasaan, pemerintahan, perlindungan, pertolongan, dan kepemilikan. Dalam konteks ini, artinya adalah bahwa segala bentuk kekuasaan, perlindungan, dan pertolongan yang hakiki adalah milik Allah semata. Tidak ada wali (pelindung atau penolong) yang sejati selain Dia.
- **Lillāhil-ḥaqq (Milik Allah, Tuhan Yang Maha Benar):** Menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang Hak, yang nyata keberadaan-Nya, dan janji-Nya pasti benar. Ini kontras dengan apa yang dianggap benar oleh pemilik kebun (kekuatan hartanya) yang ternyata adalah kebatilan dan fana.
Selanjutnya, Allah disifatkan dengan dua atribut penting: "Huwa khairun ṡawābaw wa khairun 'uqbā" (Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan).
- **Khairun ṡawābaw (Sebaik-baik pemberi pahala):** Allah adalah Zat yang paling baik dalam memberikan balasan atas amal perbuatan hamba-Nya. Pahala dari Allah tidak hanya besar, tetapi juga kekal dan berkualitas tinggi. Ini adalah janji bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Berbeda dengan pahala duniawi yang fana, pahala dari Allah adalah abadi dan tak terhingga nilainya.
- **Khairun 'uqbā (Sebaik-baik pemberi balasan/akibat):** Ini merujuk pada hasil akhir atau konsekuensi dari setiap perbuatan. Allah adalah sebaik-baik penentu hasil akhir. Bagi orang yang taat, hasil akhirnya adalah kebaikan abadi; bagi orang yang durhaka, hasil akhirnya adalah kehancuran dan siksaan. Frasa ini mencakup balasan di dunia dan di akhirat. Konsekuensi dari beriman dan bertakwa adalah kebaikan, sedangkan konsekuensi dari kufur dan maksiat adalah keburukan. Ini juga mencakup konsep keadilan ilahi; Allah membalas setiap perbuatan dengan adil, dan balasan-Nya adalah yang terbaik sesuai dengan perbuatan hamba-Nya.
11. Ayat 45: Perumpamaan Kehidupan Dunia yang Fana
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا
Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dunyā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥu wa kānallāhu 'alā kulli syai'im muqtadirāDan berikanlah (Muhammad) kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tafsir Mendalam Ayat 45
Setelah kisah dua kebun yang menunjukkan secara konkret kefanaan harta dan kekuasaan dunia, Allah SWT menutupnya dengan perumpamaan yang sangat indah dan universal tentang hakikat kehidupan dunia itu sendiri. Ini adalah perumpamaan yang berlaku untuk setiap manusia, di setiap zaman.
Frasa "Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dunyā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i" (Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit) mengawali perumpamaan ini. Air hujan adalah sumber kehidupan. Ia turun dari langit, membawa berkah, dan memungkinkan segala sesuatu tumbuh.
Kemudian, "fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi" (sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi). Air hujan berinteraksi dengan tanah, menghidupkan benih, dan menyebabkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan—pohon, rumput, bunga, dan buah-buahan—tumbuh dengan subur dan indah. Ini melambangkan masa-masa kejayaan, kebahagiaan, kekayaan, kekuatan, dan segala bentuk kenikmatan yang manusia alami di dunia. Dunia ini pada awalnya tampak hijau, segar, dan penuh harapan.
Namun, datanglah realitas yang tak terhindarkan: "fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥu" (kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin).
- **Hasyīman:** Kering, hancur, rapuh seperti jerami. Tanaman yang tadinya hijau dan subur, akhirnya layu, mengering, dan menjadi remah-remah. Ini melambangkan kefanaan hidup. Kekuatan akan melemah, kecantikan akan memudar, harta akan lenyap, kesehatan akan menurun, dan kebahagiaan duniawi tidak akan kekal.
- **Tażrūhur-riyāḥu:** Diterbangkan oleh angin. Serpihan tanaman kering itu kemudian dihamburkan oleh angin, hilang tak berbekas. Ini menggambarkan bagaimana kehidupan dunia ini, dengan segala kemegahannya, akan berakhir begitu saja, tanpa sisa. Seolah-olah waktu berlalu begitu cepat, dan semua kenikmatan yang dulu ada kini hanyalah kenangan yang dibawa angin.
Ayat ini ditutup dengan penegasan: "wa kānallāhu 'alā kulli syai'im muqtadirā" (Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu).
- **Muqtadirā (Mahakuasa):** Penegasan ini menggarisbawahi bahwa Allah adalah Zat yang memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu, termasuk siklus kehidupan dan kematian, pertumbuhan dan kehancuran. Dia yang menghidupkan, Dia juga yang mematikan. Kekuasaan-Nya tidak terbatas, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya.
- **Penegasan Kembali Kekuasaan Allah:** Ini adalah pengulangan tema sentral dari kisah dua kebun ini. Bahwa di balik segala kemegahan dunia, ada kekuasaan yang lebih besar yang mengaturnya. Manusia tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah.
12. Refleksi Mendalam dan Pelajaran Kontemporer dari Kisah Dua Kebun
Kisah dua kebun dalam Surah Al-Kahf, khususnya ayat 35-45, bukanlah sekadar cerita lampau, melainkan cermin universal yang merefleksikan fitnah dunia dan jiwa manusia di setiap zaman. Pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya sangat relevan untuk kehidupan kita saat ini, di tengah gemerlapnya materialisme dan tantangan keimanan. Mari kita telaah lebih jauh refleksi dan pelajaran kontemporer yang bisa kita petik:
12.1. Bahaya Kesombongan (Ujub dan Takabur)
Inti dari kesesatan pemilik kebun yang kaya adalah kesombongan. Ia membanggakan harta, kebun, dan keturunannya, melupakan bahwa semua itu adalah anugerah dari Allah. Dalam konteks modern, kesombongan ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk:
- **Materialisme Ekstrem:** Mengukur kesuksesan dan kebahagiaan semata-mata dari kepemilikan materi, merek mewah, atau status sosial.
- **Keangkuhan Intelektual:** Merasa paling pintar, paling benar, dan merendahkan pandangan orang lain, bahkan menolak kebenaran agama.
- **Ketergantungan pada Diri Sendiri:** Merasa bahwa semua keberhasilan adalah hasil murni dari kerja keras, kecerdasan, atau koneksi pribadi, tanpa mengakui campur tangan Tuhan.
- **Pamer (Riya'):** Menggunakan kekayaan, jabatan, atau kemampuan untuk mencari pujian dan pengakuan dari manusia, bukan dari Allah.
12.2. Pentingnya Rasa Syukur dan Kalimat "Masya Allah La Quwwata Illa Billah"
Kontras dengan kesombongan adalah rasa syukur. Sahabat yang beriman mengingatkan untuk mengucapkan "Masya Allah, la quwwata illa billah" saat melihat nikmat. Ini adalah kunci untuk menjaga hati dari kesombongan dan memperkuat iman. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali lalai dalam bersyukur, atau bahkan lupa menyandarkan nikmat kepada Allah.
- **Mengakui Sumber Nikmat:** Setiap kali kita mendapatkan keberhasilan, kekayaan, kesehatan, atau kebahagiaan, kita harus segera menyadari bahwa semua itu datang dari Allah.
- **Perlindungan dari 'Ain dan Iri Hati:** Mengucapkan kalimat ini juga dapat berfungsi sebagai perlindungan dari pandangan mata jahat atau iri hati, baik dari orang lain maupun dari diri sendiri.
- **Menjaga Keberkahan:** Rasa syukur adalah kunci untuk menjaga dan meningkatkan keberkahan nikmat. Allah berjanji, "Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim: 7).
12.3. Hikmah di Balik Musibah dan Ujian
Kisah ini menunjukkan bahwa musibah dan kehilangan harta dapat menjadi teguran keras dari Allah. Kebinasaan kebun sang pemilik yang sombong adalah ujian yang datang untuk menyadarkan dirinya. Seringkali, manusia baru benar-benar menyadari kesalahannya ketika ia kehilangan sesuatu yang paling ia banggakan.
- **Pembangun Kesadaran:** Musibah dapat menjadi alat untuk membersihkan hati dari keterikatan dunia, mengembalikan fokus kepada Allah, dan menyadarkan manusia akan kefanaannya.
- **Peluang untuk Bertobat:** Setelah kehancuran, pemilik kebun berkata, "Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun." Ini adalah momen penyesalan yang bisa menjadi titik balik untuk tobat yang tulus.
- **Menemukan Kekuatan Sejati:** Dalam kesulitan, manusia akan menemukan bahwa kekuatan sejati bukan pada harta atau kekuasaan, melainkan pada Allah SWT.
12.4. Konsep Tawakal dan Qana'ah
Sahabat yang beriman dalam kisah ini menunjukkan sikap tawakal (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah) dan qana'ah (merasa cukup dengan apa yang Allah berikan). Meskipun ia miskin secara materi, ia kaya secara batin karena imannya yang kokoh.
- **Tawakal yang Benar:** Tawakal bukanlah berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha semaksimal mungkin, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah, dengan keyakinan penuh bahwa Allah akan memberikan yang terbaik.
- **Qana'ah sebagai Kekayaan Batin:** Qana'ah membebaskan jiwa dari rakus dan tamak. Orang yang qana'ah akan selalu merasa cukup dan bersyukur, tidak mudah iri atau terpengaruh oleh gemerlap dunia. Kekayaan sejati adalah kekayaan hati, bukan kekayaan materi.
12.5. Perbedaan Sudut Pandang Dunia dan Akhirat
Kisah ini secara fundamental membandingkan dua pandangan hidup:
- **Pandangan Materialis:** Menganggap dunia ini abadi, fokus pada kenikmatan sesaat, dan meragukan adanya akhirat. Ini adalah pandangan pemilik kebun yang kaya.
- **Pandangan Mukmin:** Menganggap dunia ini fana, hanya sebagai ladang untuk menanam kebaikan demi panen di akhirat. Fokus pada tujuan jangka panjang (akhirat) sambil tetap memaksimalkan potensi duniawi sesuai syariat.
12.6. Kekuatan Doa dan Zikir
Meskipun tidak secara eksplisit diceritakan, sikap sahabat yang beriman, yang selalu menyandarkan segala sesuatu kepada Allah, mencerminkan kebiasaan berdoa dan berzikir. Doa adalah senjata mukmin, dan zikir adalah benteng hati.
- **Komunikasi Langsung dengan Allah:** Melalui doa, kita mengakui ketergantungan kita kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya.
- **Ketenangan Hati:** Zikir (mengingat Allah) akan membawa ketenangan dan ketenteraman hati, menjauhkan dari kegelisahan dan ketamakan dunia.
- **Perlindungan:** Doa dan zikir adalah bentuk perlindungan dari fitnah dunia, godaan setan, dan azab Allah.
12.7. Mengambil Pelajaran dari Sejarah dan Perumpamaan Al-Qur'an
Al-Qur'an dipenuhi dengan kisah-kisah dan perumpamaan yang dirancang untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Kisah dua kebun adalah salah satu contoh bagaimana Allah mengajarkan hikmah melalui narasi yang kuat.
- **Renungan Konstan:** Seorang mukmin harus senantiasa merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an dan mengambil pelajaran darinya.
- **Melihat Tanda-tanda Kekuasaan Allah:** Kisah ini mendorong kita untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta dan dalam kehidupan manusia itu sendiri, dari penciptaan manusia hingga kehancuran materi.
- **Pembentukan Karakter:** Dengan meresapi pelajaran-pelajaran ini, seorang mukmin dapat membentuk karakternya menjadi pribadi yang tawadhu (rendah hati), syukur, sabar, dan bertawakal.
13. Kesimpulan
Kisah dua kebun dalam Surah Al-Kahf ayat 35-45 adalah sebuah perumpamaan abadi yang menggambarkan perjuangan antara iman dan materi. Ia mengingatkan kita akan kefanaan dunia dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Melalui karakter sang pemilik kebun yang sombong, kita diperingatkan tentang bahaya kesombongan, kufur nikmat, dan keterikatan yang berlebihan pada dunia. Sementara itu, sosok sahabat yang beriman menjadi teladan bagi kita tentang pentingnya tauhid yang kokoh, rasa syukur, tawakal, dan kerendahan hati.
Pada akhirnya, semua kekayaan dan kenikmatan dunia ini hanyalah titipan sementara, seperti tanaman yang tumbuh subur lalu mengering dan diterbangkan angin. Yang akan kekal adalah iman dan amal saleh kita. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat yang abadi, dan senantiasa mengucapkan "Masya Allah, la quwwata illa billah" dalam setiap karunia yang kita lihat dan rasakan.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk selalu bersyukur dan menjauhkan kita dari sifat-sifat tercela yang dapat membinasakan diri kita di dunia maupun di akhirat.