Mendalami Surah Al-Kahfi: Ayat 70-110 dan Hikmahnya

Sebuah penelusuran mendalam terhadap kisah-kisah penuh pelajaran dari Al-Quran.

Ilustrasi Perjalanan Pengetahuan dan Hikmah Sebuah ilustrasi yang menggambarkan perjalanan pencarian ilmu dan hikmah. Terlihat siluet dua orang sedang berlayar di atas perahu menuju cakrawala yang cerah, di mana terdapat sebuah buku terbuka mengambang di awan, dan latar belakang pegunungan yang megah. Ilmu Hikmah

Pengantar: Kekuatan Kisah dalam Al-Quran

Al-Quran, kalamullah yang mulia, bukan hanya memuat hukum-hukum syariat dan pedoman ibadah, tetapi juga menyimpan harta karun berupa kisah-kisah. Kisah-kisah ini bukan dongeng biasa, melainkan narasi penuh hikmah yang diturunkan untuk menjadi pelajaran bagi umat manusia dari segala zaman. Salah satu surah yang kaya akan kisah adalah Surah Al-Kahfi, yang dianjurkan untuk dibaca setiap hari Jumat karena mengandung perlindungan dari fitnah Dajjal dan pelajaran penting tentang keimanan.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami Surah Al-Kahfi secara lebih mendalam, khususnya pada ayat 70 hingga 110. Rentang ayat ini memuat dua kisah utama yang sangat terkenal dan penuh dengan misteri serta pelajaran berharga: kisah Nabi Musa alaihissalam dengan seorang hamba Allah yang saleh bernama Khidir, dan kisah Raja Dzulqarnayn. Diakhiri dengan beberapa ayat penutup yang menggarisbawahi inti pesan Surah Al-Kahfi tentang ilmu Allah yang tak terbatas dan urgensi amal saleh serta tauhid.

Menganalisis ayat-ayat ini akan membuka cakrawala pemahaman kita tentang batas-batas ilmu manusia, pentingnya kesabaran, keadilan dalam kepemimpinan, dan hakikat kehidupan dunia. Mari kita memulai perjalanan spiritual dan intelektual ini, menggali mutiara hikmah dari Surah Al-Kahfi.

Kisah Nabi Musa dan Khidir: Pelajaran tentang Batasan Ilmu

Kisah pertemuan antara Nabi Musa alaihissalam, salah satu nabi Ulul Azmi yang dianugerahi Taurat, dengan seorang hamba Allah yang memiliki ilmu khusus, Khidir, adalah salah satu narasi paling memukau dan mendalam dalam Al-Quran. Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa, dalam khotbahnya kepada Bani Israil, menyatakan bahwa ia adalah orang yang paling berilmu di antara mereka. Allah SWT kemudian menegurnya melalui wahyu, memberitahu bahwa ada seorang hamba-Nya di pertemuan dua lautan yang lebih berilmu darinya. Dengan semangat mencari ilmu, Nabi Musa memulai perjalanannya.

Awal Pertemuan dan Syarat Perjalanan (Ayat 70-74)

Perjalanan Nabi Musa ditemani oleh seorang pemuda pembantunya, Yusya' bin Nun. Mereka menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan hingga akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Di sanalah mereka bertemu dengan Khidir, hamba Allah yang istimewa. Nabi Musa segera menyampaikan niatnya:

QS. Al-Kahfi (18): 66

"Musa berkata kepadanya (Khidir), 'Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu kebenaran yang telah diajarkan kepadamu?'"

Khidir, yang mengetahui bahwa Musa tidak akan mampu bersabar atas tindakan-tindakannya yang tampak aneh dan tidak masuk akal dari sudut pandang syariat Musa, memberikan syarat penting:

QS. Al-Kahfi (18): 67-70

"Dia (Khidir) menjawab, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Bagaimana kamu akan sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?' Musa berkata, 'Insya Allah kamu akan mendapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia (Khidir) berkata, 'Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'"

Janji ini menjadi kunci seluruh interaksi mereka. Nabi Musa, dengan tekadnya untuk menuntut ilmu, menyanggupi syarat tersebut, menunjukkan kerendahan hati seorang nabi besar di hadapan ilmu yang lebih tinggi dari dirinya.

Peristiwa Perahu, Anak Muda, dan Tembok (Ayat 75-82)

Perjalanan Musa dan Khidir diwarnai oleh tiga peristiwa yang secara lahiriah tampak kontroversial dan melanggar syariat, namun di baliknya tersimpan hikmah yang luar biasa:

1. Melubangi Perahu

Mereka memulai perjalanan di atas perahu. Di tengah perjalanan, Khidir tiba-tiba melubangi perahu tersebut. Nabi Musa yang terkejut dan marah langsung menegur:

QS. Al-Kahfi (18): 71-72

"Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melubanginya. Musa berkata, 'Mengapa engkau melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.' Khidir berkata, 'Bukankah sudah kukatakan, bahwa sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku?'"

Musa menyadari kesalahannya dan meminta maaf, berjanji untuk tidak mengulangi lagi.

2. Membunuh Anak Muda

Setelah peristiwa perahu, mereka melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang anak muda. Tanpa ragu, Khidir membunuh anak muda itu. Kali ini, reaksi Musa lebih keras:

QS. Al-Kahfi (18): 74

"Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata, 'Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan perbuatan yang mungkar.'"

Sekali lagi, Khidir mengingatkan Musa akan janjinya, dan Musa kembali meminta maaf, berjanji bahwa jika ia melanggar lagi, ia boleh tidak ditemani oleh Khidir.

3. Memperbaiki Tembok yang Rusak

Perjalanan berlanjut ke sebuah kota. Mereka meminta makanan dari penduduknya, namun penduduk kota menolak menjamu mereka. Di kota itu, Khidir menemukan sebuah tembok yang hampir roboh, lalu ia memperbaikinya tanpa meminta upah. Musa heran dan berkata:

QS. Al-Kahfi (18): 77

"Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapati di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkannya. Musa berkata, 'Jikalau engkau mau, niscaya engkau dapat meminta upah untuk itu.'"

Pada titik ini, Khidir menyatakan bahwa perpisahan mereka telah tiba.

Hikmah di Balik Peristiwa (Ayat 78-82)

Sebelum berpisah, Khidir menjelaskan makna di balik setiap tindakannya, yang hanya diketahui melalui ilmu ladunni (ilmu langsung dari Allah) yang dianugerahkan kepadanya:

Khidir menutup penjelasannya dengan menegaskan:

QS. Al-Kahfi (18): 82

"... dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya."

Kisah ini mengajarkan beberapa pelajaran fundamental:

Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak mudah menghakimi sesuatu hanya dari apa yang terlihat, melainkan berusaha mencari hikmah di baliknya, dan yang terpenting, memiliki kepercayaan penuh kepada kebijaksanaan Allah SWT.

Kisah Dzulqarnayn: Kekuatan, Keadilan, dan Pembangunan

Setelah kisah Musa dan Khidir yang membahas tentang dimensi ilmu dan takdir, Surah Al-Kahfi melanjutkan dengan kisah Dzulqarnayn. Kisah ini seringkali dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrikin Mekah kepada Nabi Muhammad SAW atas saran kaum Yahudi, mengenai seorang raja besar yang menguasai timur dan barat, serta membangun benteng.

Allah SWT berfirman:

QS. Al-Kahfi (18): 83

"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnayn. Katakanlah, 'Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari ceritanya.'"

Kisah Dzulqarnayn menampilkan potret kepemimpinan yang adil, visioner, dan bertakwa, yang dianugerahi kekuasaan dan sarana oleh Allah untuk melakukan perjalanan besar dan membantu kaum yang tertindas.

Siapakah Dzulqarnayn?

Identitas Dzulqarnayn (yang berarti "pemilik dua tanduk" atau "pemilik dua zaman/kekuatan") telah menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama dan sejarawan. Beberapa teori populer antara lain:

Yang terpenting bukanlah identitas historisnya secara pasti, melainkan sifat-sifat dan pelajaran yang dapat kita ambil dari kisahnya. Dzulqarnayn adalah hamba Allah yang diberikan kekuatan, kekuasaan, dan hikmah untuk menjalankan keadilan di muka bumi.

Perjalanan ke Barat (Ayat 86-87)

Allah memberikan Dzulqarnayn sarana (kekuatan, pengetahuan, tentara) untuk mencapai tujuannya. Perjalanan pertamanya membawanya ke barat:

QS. Al-Kahfi (18): 86

"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia dapati di situ segolongan umat. Kami berkata, 'Hai Dzulqarnayn, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka.'"

Ungkapan "terbenam di laut yang berlumpur hitam" adalah gambaran visual dari perspektif pengamat di tempat itu, bukan makna harfiah bahwa matahari benar-benar masuk ke dalam lumpur. Itu menunjukkan tempat terjauh ke barat yang bisa ia capai, di mana air laut tampak gelap dan keruh saat matahari terbenam. Di sana, Dzulqarnayn menghadapi pilihan: menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau berlaku adil. Dengan kebijaksanaan dan keadilannya, ia memilih yang terakhir:

QS. Al-Kahfi (18): 87

"Dia berkata, 'Adapun orang yang berbuat zalim, maka kami kelak akan menyiksanya dengan siksaan yang pedih, kemudian ia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksaan yang tidak terhingga. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami perintahkan kepadanya (perintah-perintah) yang mudah dari urusan kami.'"

Ini menunjukkan prinsip keadilan Dzulqarnayn: memberi hukuman kepada yang zalim dan pahala kepada yang berbuat baik, dengan mengaitkan setiap balasan kepada hari akhirat.

Perjalanan ke Timur (Ayat 88-91)

Setelah perjalanannya ke barat, Dzulqarnayn melanjutkan ke timur:

QS. Al-Kahfi (18): 90

"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari, dia mendapatinya (matahari) menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu pelindung dari (cahaya) matahari itu."

Di wilayah timur, Dzulqarnayn bertemu dengan kaum yang hidup tanpa tempat berlindung dari sengatan matahari, mungkin karena primitif atau karena kondisi geografis. Al-Quran tidak merinci interaksinya dengan kaum ini, hanya menyatakan bahwa Dzulqarnayn telah menguasai segala sesuatu (ilmu dan sarana) tentang kaum itu.

Perjalanan ke Dua Gunung (Ya'juj dan Ma'juj) (Ayat 92-98)

Perjalanan terakhir Dzulqarnayn adalah yang paling signifikan, membawanya ke antara dua gunung:

QS. Al-Kahfi (18): 92-93

"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan."

Kaum ini mengeluhkan kepada Dzulqarnayn tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog), dua bangsa perusak yang sering membuat kerusakan di muka bumi dan meneror mereka. Mereka menawarkan upah agar Dzulqarnayn membangunkan benteng pelindung bagi mereka:

QS. Al-Kahfi (18): 94

"Mereka berkata, 'Hai Dzulqarnayn, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberimu upah agar engkau membuatkan dinding antara kami dan mereka?'"

Dzulqarnayn menolak upah, tetapi dengan penuh kedermawanan dan kekuatan, ia menawarkan untuk membangun benteng dengan syarat mereka membantunya dengan tenaga. Ini menunjukkan sifat seorang pemimpin yang tidak tamak dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meminta mereka membawa potongan-potongan besi dan tembaga, kemudian dengan metode yang sangat inovatif di masanya, ia membangun benteng yang kokoh:

QS. Al-Kahfi (18): 96-97

"Dia berkata, 'Berilah aku potongan-potongan besi.' Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung, berkatalah Dzulqarnayn, 'Tiupkanlah api itu.' Hingga apabila besi itu sudah menjadi merah seperti api, dia pun berkata, 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi yang panas itu.' Maka mereka tidak dapat mendakinya dan tidak dapat pula melubanginya."

Benteng tersebut menjadi penghalang yang tidak dapat dilalui maupun dilubangi oleh Ya'juj dan Ma'juj. Dzulqarnayn kemudian menyatakan bahwa ini adalah rahmat dari Tuhannya, dan benteng itu akan tetap kokoh hingga datangnya janji Allah (Hari Kiamat), di mana Allah akan menjadikannya hancur:

QS. Al-Kahfi (18): 98

"Dzulqarnayn berkata, 'Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.'"

Hikmah Kisah Dzulqarnayn

Kisah Dzulqarnayn mengajarkan banyak pelajaran penting tentang kepemimpinan, kekuasaan, dan keimanan:

Kisah Dzulqarnayn adalah teladan bagi setiap pemimpin dan individu tentang bagaimana menggunakan anugerah Allah (kekuatan, kekuasaan, harta, ilmu) untuk kemaslahatan umat, dengan selalu mengingat Allah sebagai sumber segala kekuatan dan hikmah.

Ayat-Ayat Penutup (109-110): Esensi Pesan Al-Kahfi

Setelah tiga kisah besar yang penuh makna (Ashabul Kahfi, Musa dan Khidir, serta Dzulqarnayn), Surah Al-Kahfi ditutup dengan dua ayat yang merangkum inti pesan dan menjadi peringatan penting bagi seluruh umat manusia. Ayat-ayat ini membawa kita kembali kepada hakikat ilmu Allah yang maha luas dan tujuan penciptaan manusia.

Tentang Luasnya Ilmu Allah (Ayat 109)

Ayat ini menegaskan betapa tak terbatasnya ilmu Allah, bahkan jika seluruh lautan dijadikan tinta dan pohon-pohon di bumi dijadikan pena, tidak akan cukup untuk menuliskan firman dan ilmu-Nya:

QS. Al-Kahfi (18): 109

"Katakanlah, 'Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'"

Ayat ini adalah perumpamaan yang sangat kuat untuk menggambarkan kemahaluasan ilmu Allah SWT. Bukan hanya kalimat-kalimat yang tercatat dalam Al-Quran, tetapi seluruh kebijaksanaan, takdir, dan pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu di alam semesta. Bahkan jika kita memiliki lautan tinta dan hutan pena, pengetahuan Allah tidak akan habis ditulis. Ini adalah pengingat bagi manusia akan keterbatasan ilmu mereka dan keagungan Pencipta. Pelajaran dari kisah Musa dan Khidir sangat relevan di sini, menunjukkan bahwa ada dimensi ilmu yang melampaui akal dan persepsi manusia.

Tentang Amal Shaleh dan Tauhid (Ayat 110)

Ayat terakhir Surah Al-Kahfi ini adalah penutup yang sangat mendalam, merangkum pesan inti dari seluruh surah, bahkan seluruh ajaran Islam. Ayat ini adalah seruan langsung kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikannya kepada umat manusia:

QS. Al-Kahfi (18): 110

"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.' Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya."

Ada tiga poin krusial dalam ayat ini:

  1. Kenabian dan Kemanusiaan Muhammad SAW: Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyatakan bahwa ia adalah manusia biasa, sama seperti mereka, namun dengan satu perbedaan fundamental: ia menerima wahyu. Ini menolak segala bentuk pengkultusan berlebihan dan menegaskan bahwa risalah Islam dapat dicontoh oleh manusia biasa.
  2. Prinsip Tauhid (Keesaan Allah): Inti dari wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah bahwa Tuhan yang wajib disembah hanyalah Allah Yang Esa. Ini adalah pondasi Islam, menolak syirik (menyekutukan Allah) dalam bentuk apapun.
  3. Syarat Meraih Keridaan Allah (Amal Shaleh dan Tauhid): Bagi siapa pun yang berharap untuk bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan diridai (yaitu, mengharapkan kebahagiaan di akhirat dan surga), ada dua syarat mutlak:
    • Mengerjakan Amal Shaleh: Melakukan perbuatan baik yang sesuai dengan syariat Allah, baik dalam ibadah maupun muamalah (interaksi sosial). Amal shaleh mencakup segala bentuk kebaikan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama.
    • Tidak Mempersekutukan Allah dalam Ibadah: Ini adalah penegasan kembali tauhid. Segala bentuk ibadah, baik shalat, puasa, zakat, haji, doa, kurban, dan lain-lain, harus murni ditujukan hanya kepada Allah SWT. Tidak boleh ada sedikit pun niat atau perbuatan yang menyertakan selain Allah sebagai sekutu dalam ibadah. Syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah jika pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya.

Pelajaran dari kisah-kisah sebelumnya, seperti orang-orang Kahfi yang teguh menjaga akidah, atau Dzulqarnayn yang selalu mengaitkan kekuasaannya dengan rahmat Allah, semuanya bermuara pada pesan utama ayat ini. Ilmu tanpa amal shaleh dan tauhid adalah sia-sia, dan amal shaleh tidak akan diterima tanpa landasan tauhid yang murni.

Ayat 110 ini menjadi penutup yang sempurna untuk Surah Al-Kahfi, memberikan panduan yang jelas dan tegas tentang jalan menuju kebahagiaan abadi, yaitu dengan mengimani Keesaan Allah dan mengimplementasikannya dalam setiap amal perbuatan.

Kesimpulan: Cahaya Petunjuk dari Surah Al-Kahfi

Surah Al-Kahfi, terutama dari ayat 70 hingga 110 yang telah kita selami bersama, adalah sebuah permadani narasi yang menakjubkan, ditenun dengan benang-benang hikmah ilahiyah yang mendalam. Setiap kisah, setiap dialog, dan setiap peristiwa di dalamnya mengandung pelajaran universal yang relevan bagi kehidupan manusia di setiap zaman dan tempat.

Dari kisah Nabi Musa dan Khidir, kita diajarkan tentang pentingnya kerendahan hati dalam menuntut ilmu, menyadari bahwa di atas setiap orang yang berilmu pasti ada yang lebih berilmu, dan di atas itu semua adalah Ilmu Allah yang tak terbatas. Kita belajar tentang pentingnya kesabaran di hadapan takdir yang tampaknya tidak sesuai dengan logika kita, dan bahwa di balik setiap kesulitan atau peristiwa yang tidak menyenangkan, bisa jadi tersembunyi kebaikan besar yang tidak kita pahami saat ini. Kisah ini adalah pengingat kuat akan batas-batas persepsi manusia dan perlunya kepercayaan mutlak pada kebijaksanaan Allah.

Kemudian, melalui kisah Dzulqarnayn, kita disuguhkan teladan kepemimpinan yang ideal: seorang raja yang diberikan kekuasaan luas, namun menggunakannya semata-mata untuk menegakkan keadilan, membantu kaum yang tertindas, dan mencegah kerusakan. Dzulqarnayn adalah simbol kekuasaan yang disandarkan pada keimanan dan ketaatan kepada Allah, bukan kesombongan atau ketamakan. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa besar wilayah yang dikuasai, melainkan pada seberapa besar manfaat yang diberikan kepada umat manusia, dengan selalu mengembalikan segala keberhasilan kepada rahmat Allah.

Puncak dari segala pelajaran ini dirangkum dalam ayat-ayat penutup (109-110). Ayat 109 sekali lagi menguatkan gambaran tentang kemahaluasan ilmu Allah yang tidak akan pernah habis terangkum oleh daya cipta manusia. Ini menanamkan rasa kagum dan kerendahan hati yang mendalam. Sedangkan ayat 110, sebagai penutup, adalah mahkota dari seluruh pesan Al-Kahfi: ajakan untuk mengimani Tuhan Yang Esa, dan dua pilar utama untuk meraih kebahagiaan abadi di sisi-Nya, yaitu amal shaleh dan kemurnian tauhid, tanpa sedikit pun menyekutukan-Nya.

Surah Al-Kahfi secara keseluruhan berfungsi sebagai penangkal dari empat fitnah besar yang mungkin dihadapi manusia:

Dengan merenungi dan menginternalisasi ajaran dari Surah Al-Kahfi ayat 70-110, kita diharapkan dapat menjadi individu yang lebih bertakwa, lebih bijaksana, lebih sabar, dan lebih bertanggung jawab. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita lampau, melainkan peta jalan spiritual dan moral bagi setiap Muslim untuk menavigasi kompleksitas kehidupan dunia menuju keridaan Allah SWT di akhirat. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mengambil pelajaran dari Al-Quran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai penutup, marilah kita senantiasa berdoa agar Allah SWT memberikan kita ilmu yang bermanfaat, hati yang sabar, amal yang shaleh, dan keimanan yang kokoh, sehingga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat.

🏠 Homepage