Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan besar dan sering dibaca, terutama pada hari Jumat. Di antara banyak pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya, kisah-kisah yang dinarasikan dalam surah ini menawarkan pemahaman mendalam tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk hakikat ilmu, kesabaran, kekuasaan, dan keimanan. Ayat 75 hingga 110 secara khusus menyoroti tiga narasi utama: kelanjutan dan puncak penjelasan dari kisah Nabi Musa dan Khidir, kisah Raja Dzulqarnain yang agung, serta penutup surah yang penuh peringatan tentang Hari Kiamat dan pentingnya tauhid.
Bagian ini tidak hanya memaparkan peristiwa-peristiwa dramatis, tetapi juga menyingkap tabir di balik takdir Ilahi yang terkadang di luar jangkauan pemahaman manusia. Dengan menyelami ayat-ayat ini, kita diajak untuk merenungi kebijaksanaan Allah yang maha luas, keterbatasan pengetahuan kita, serta pentingnya selalu berpegang teguh pada petunjuk-Nya dalam menghadapi fitnah dan ujian dunia. Mari kita telaah setiap segmen dari ayat-ayat mulia ini untuk menggali pelajaran-pelajaran yang relevan bagi kehidupan kita.
Kisah Nabi Musa dan Khidir dimulai jauh sebelum ayat 75, tepatnya pada ayat 60. Ini adalah kisah epik tentang pencarian ilmu yang melampaui batas pengetahuan rasional, sebuah perjalanan yang menguji kesabaran dan keimanan seorang Nabi agung. Setelah tiga insiden aneh yang dilakukan oleh Khidir—melubangi perahu, membunuh seorang anak muda, dan mendirikan tembok yang hampir roboh—Nabi Musa tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya, meskipun sudah berjanji untuk tidak melakukannya. Pada titik inilah, ayat 75 menjadi jembatan menuju penjelasan-penjelasan yang sangat penting.
Khidir, dengan izin Allah, menyingkapkan hikmah di balik setiap perbuatannya yang tampak janggal dan tidak adil di mata Musa. Ini adalah momen krusial yang mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua peristiwa buruk yang terjadi di dunia ini adalah kejahatan murni; seringkali ada kebaikan tersembunyi yang hanya diketahui oleh Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya.
Nabi Musa tidak dapat menahan diri dan berkata kepada Khidir:
قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
"Dia (Khidir) berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku?”" (QS. Al-Kahfi: 75)
Ini adalah pengulangan teguran Khidir, yang menunjukkan betapa sulitnya bagi manusia, bahkan seorang nabi sekalipun, untuk bersabar ketika menyaksikan sesuatu yang tampaknya bertentangan dengan syariat atau akal sehat. Kemudian, Khidir menjelaskan tindakan pertamanya:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
"Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; maka aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu." (QS. Al-Kahfi: 79)
Penjelasan ini mengungkapkan kebijaksanaan ilahi yang tersembunyi. Khidir tidak merusak perahu karena kebencian, melainkan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Raja zalim yang disebutkan itu akan merampas setiap perahu yang utuh. Dengan melubangi perahu, Khidir membuat perahu itu "cacat" sehingga raja itu tidak tertarik untuk mengambilnya. Setelah raja berlalu, perahu itu dapat diperbaiki kembali oleh pemiliknya yang miskin, dan mereka dapat melanjutkan mata pencarian mereka.
Kemudian Khidir melanjutkan penjelasannya tentang tindakan keduanya:
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
"Dan adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Maka kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya)." (QS. Al-Kahfi: 80-81)
Ayat ini adalah salah satu yang paling sulit diterima oleh akal sehat manusia, bahkan bagi Nabi Musa sekalipun. Membunuh seorang anak yang belum berdosa tampaknya adalah tindakan yang tidak masuk akal dan kejam. Namun, Khidir mengungkapkan perspektif ilahi: anak itu ditakdirkan untuk tumbuh menjadi sosok yang akan menyesatkan dan menjerumuskan kedua orang tuanya yang beriman ke dalam kekafiran dan kekejian. Untuk melindungi keimanan orang tuanya, Allah memerintahkan agar anak itu diambil nyawanya, dan sebagai gantinya, Dia akan menganugerahkan anak lain yang lebih baik, lebih suci, dan lebih berbakti.
Akhirnya, Khidir menjelaskan tindakan terakhirnya:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
"Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayah mereka adalah orang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan hartanya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang aku lakukan itu bukanlah dari kemauanku sendiri. Itulah penjelasan dari sesuatu yang engkau tidak sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 82)
Tindakan Khidir untuk mendirikan kembali tembok yang hampir roboh di sebuah kota di mana mereka tidak diterima dan tidak diberi makan, juga menimbulkan keheranan. Penjelasannya jauh lebih menyentuh: tembok itu menaungi harta karun milik dua anak yatim. Ayah mereka adalah seorang yang saleh, dan sebagai rahmat dari Allah, Dia menghendaki agar harta itu tetap tersembunyi sampai anak-anak itu dewasa dan mampu mengelolanya sendiri. Jika tembok itu roboh, harta itu mungkin akan ditemukan dan diambil oleh orang lain. Khidir menekankan bahwa semua tindakannya adalah perintah dari Allah, bukan atas kehendak pribadinya.
Kisah Musa dan Khidir secara keseluruhan adalah sebuah epilog tentang kerendahan hati dalam mencari ilmu, kesabaran dalam menghadapi takdir, dan pemahaman bahwa kebijaksanaan Allah jauh melampaui kapasitas pemahaman manusia. Apa yang terlihat buruk di permukaan bisa jadi mengandung kebaikan yang besar, dan apa yang terlihat baik bisa jadi menyembunyikan bahaya. Ini adalah pengingat untuk selalu berprasangka baik kepada Allah dan menerima segala ketentuan-Nya.
Setelah kisah tentang ilmu gaib dan takdir, Al-Qur'an melanjutkan dengan kisah Dzulqarnain, seorang raja perkasa yang dianugerahi kekuasaan besar dan berkelana ke ujung-ujung bumi. Kisah ini adalah jawaban atas pertanyaan kaum Quraisy yang ingin menguji kenabian Muhammad ﷺ, menanyakan tentang Dzulqarnain. Al-Qur'an menyajikannya bukan sekadar sebagai narasi sejarah, melainkan sebagai sumber pelajaran tentang kepemimpinan yang adil, penggunaan kekuasaan, dan pembangunan peradaban.
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari kisahnya.”" (QS. Al-Kahfi: 83)
Dzulqarnain adalah seorang raja yang diberi kekuasaan yang besar di bumi. Allah memberinya sarana (sebab) untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya, baik berupa ilmu, kekuatan, kekuasaan, maupun peralatan. Ini adalah cerminan dari karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dan bijaksana.
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
"Hingga apabila dia sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana didapatinya suatu kaum (kafir). Kami berfirman, “Wahai Dzulqarnain! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka.”" (QS. Al-Kahfi: 86)
Dzulqarnain memulai perjalanannya menuju barat. Ungkapan "tempat terbenam matahari" secara tafsir bukan berarti ia mencapai ujung bumi secara harfiah, melainkan ia mencapai wilayah paling barat yang dihuni manusia yang bisa ia jangkau pada masanya. Di sana, ia menemukan matahari seolah-olah terbenam di mata air yang berlumpur hitam (fenomena optik di cakrawala). Di tempat itu, ia menjumpai suatu kaum. Allah memberinya pilihan: apakah akan menghukum mereka yang zalim dan kafir, atau memperlakukan mereka dengan baik.
قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاء الْحُسْنَىٰ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
"Dia (Dzulqarnain) berkata, “Barangsiapa berbuat zalim, kami akan menghukumnya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat pedih. Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia akan mendapat (balasan) yang terbaik sebagai pahala, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.”" (QS. Al-Kahfi: 87-88)
Jawaban Dzulqarnain menunjukkan kebijaksanaan dan keadilannya. Ia membedakan antara orang yang zalim dan yang beriman. Ia akan menghukum orang-orang zalim di dunia, dan azab Allah menanti mereka di akhirat. Sementara itu, bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, ia akan memberikan balasan yang baik dan kemudahan dalam urusan mereka.
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا
"Hingga apabila dia sampai di tempat terbit matahari, dia mendapatinya (matahari) menyinari suatu kaum yang tidak Kami buatkan untuk mereka suatu pelindung dari (cahaya) matahari itu." (QS. Al-Kahfi: 90)
Setelah itu, Dzulqarnain melanjutkan perjalanannya ke timur, hingga mencapai "tempat terbit matahari" (lagi-lagi, wilayah paling timur yang ia jangkau). Di sana, ia menemukan suatu kaum yang hidup tanpa pelindung dari teriknya matahari. Ini bisa diartikan mereka hidup di daerah terbuka tanpa tempat berlindung, atau tanpa pakaian yang memadai, atau bahkan tanpa pengetahuan tentang cara berlindung dari panasnya matahari. Al-Qur'an tidak merinci bagaimana Dzulqarnain memperlakukan kaum ini, namun mengisyaratkan bahwa Allah mengetahui kondisi mereka dan bagaimana Dzulqarnain menangani mereka dengan kebijaksanaan.
حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ حَتَّى إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انفُخُوا حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا فَمَا اسْطَاعُوا أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا
"Hingga apabila dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di belakang (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan. Mereka berkata, “Wahai Dzulqarnain! Sungguh, Ya’juj dan Ma’juj sering berbuat kerusakan di bumi. Maka bersediakah engkau kami beri imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?” Dia (Dzulqarnain) berkata, “Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (dari imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku buatkan tembok penghalang antara kamu dan mereka.” Berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga ketika (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Dzulqarnain) berkata, “Tiup (api itu)!” Hingga ketika besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).” Maka mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya." (QS. Al-Kahfi: 93-97)
Perjalanan ketiga Dzulqarnain membawanya ke suatu tempat di antara dua gunung. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi (atau memiliki bahasa yang sangat berbeda) dan menderita akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog). Kaum ini meminta Dzulqarnain untuk membangun penghalang (sadd) sebagai imbalan. Dzulqarnain, dengan keikhlasan dan ketawakalannya, menolak imbalan tersebut. Ia menyatakan bahwa apa yang telah Allah berikan kepadanya lebih baik, namun ia meminta bantuan tenaga dan material dari mereka.
Proses pembangunan penghalang itu sangatlah monumental. Dzulqarnain memerintahkan untuk mengumpulkan potongan-potongan besi, yang kemudian ditumpuk hingga setinggi puncak kedua gunung. Lalu, ia memerintahkan untuk meniup api pada tumpukan besi tersebut hingga menjadi merah membara, dan di atasnya dituangkan tembaga cair. Hasilnya adalah tembok (radm) yang sangat kokoh, sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu mendakinya maupun melubanginya.
قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا
"Dia (Dzulqarnain) berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu benar.”" (QS. Al-Kahfi: 98)
Setelah pembangunan selesai, Dzulqarnain dengan rendah hati mengakui bahwa itu adalah rahmat dari Allah. Ia juga memberikan peringatan penting: suatu saat nanti, pada hari yang telah dijanjikan Allah, tembok itu akan hancur luluh, dan janji Allah itu pasti benar. Ini merujuk pada salah satu tanda-tanda besar Kiamat, yaitu keluarnya Ya'juj dan Ma'juj.
Kisah Dzulqarnain mengajarkan bahwa kekuasaan sejati datang dari Allah, dan penggunaannya haruslah untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, serta membangun peradaban yang bermanfaat bagi umat manusia. Ia adalah teladan seorang penguasa yang beriman, cerdas, berani, dan ikhlas dalam menjalankan amanahnya.
Setelah menuturkan kisah-kisah penuh hikmah, Surah Al-Kahfi menutup dengan serangkaian ayat yang merangkum pelajaran-pelajaran utama, terutama tentang Hari Kiamat, balasan amal perbuatan, dan inti ajaran Islam: tauhid (keesaan Allah) dan amal saleh. Ayat-ayat ini menjadi puncak pengingat dan peringatan bagi setiap insan.
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَافِرِينَ عَرْضًا الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ عَن ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِن دُونِي أَوْلِيَاءَ إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا
"Pada hari itu Kami biarkan sebagian mereka (Ya’juj dan Ma’juj) bercampur baur dengan sebagian yang lain, dan (apabila) sangkakala ditiup (sekali lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya. Dan Kami perlihatkan (neraka) Jahanam dengan jelas pada hari itu kepada orang-orang kafir, (yaitu) orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda (kekuasaan)-Ku dan mereka tidak sanggup mendengar (kebenaran). Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir." (QS. Al-Kahfi: 99-102)
Ayat-ayat ini secara tegas menggambarkan peristiwa besar Hari Kiamat. Pada hari itu, Ya'juj dan Ma'juj akan keluar, bercampur baur dan membuat kerusakan di muka bumi, sesuai dengan janji Allah yang telah disampaikan oleh Dzulqarnain. Kemudian, sangkakala akan ditiup, menandakan kebangkitan dan pengumpulan seluruh manusia untuk dihisab. Neraka Jahanam akan diperlihatkan dengan jelas kepada orang-orang kafir, mereka yang selama hidupnya di dunia sengaja menutupi mata hati mereka dari ayat-ayat Allah dan menolak mendengar kebenaran.
Allah mengecam tindakan orang-orang kafir yang menyangka dapat menjadikan hamba-hamba Allah sebagai penolong selain Allah. Ini adalah teguran keras terhadap praktik syirik (menyekutukan Allah). Allah menegaskan bahwa neraka Jahanam telah dipersiapkan sebagai tempat kembali yang buruk bagi mereka yang ingkar.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا
"Katakanlah (Muhammad), “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur pula terhadap) pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia seluruh amalnya, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan (amal) bagi mereka pada hari Kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan." (QS. Al-Kahfi: 103-106)
Ayat-ayat ini memberikan definisi yang sangat jelas tentang siapa "orang yang paling merugi" itu. Mereka adalah orang-orang yang beramal dengan sungguh-sungguh di dunia, bahkan mereka merasa telah berbuat kebaikan dan kebenaran, tetapi ternyata semua amal mereka sia-sia. Mengapa demikian? Karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan mengingkari adanya hari pertemuan dengan-Nya (akhirat). Akibatnya, semua usaha dan amal mereka tidak memiliki nilai di sisi Allah, dan pada Hari Kiamat, mereka tidak akan memiliki timbangan amal kebaikan sedikit pun.
Balasan mereka adalah neraka Jahanam, bukan hanya karena kekafiran mereka, tetapi juga karena sikap mereka yang meremehkan dan mengolok-olok ayat-ayat Allah serta rasul-rasul-Nya. Ini adalah peringatan keras bahwa niat yang baik saja tidak cukup; amal harus dilandasi oleh iman yang benar kepada Allah dan hari akhir.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
"Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, untuk mereka disediakan Surga Firdaus sebagai tempat tinggal. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana." (QS. Al-Kahfi: 107-108)
Setelah menjelaskan nasib orang-orang kafir dan merugi, Allah beralih untuk menjelaskan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Bagi mereka, Allah menyiapkan Surga Firdaus, tingkatan surga yang paling tinggi dan indah, sebagai tempat tinggal abadi. Mereka akan kekal di dalamnya, tidak akan merasa bosan atau ingin pindah ke tempat lain, karena segala kenikmatan dan kebahagiaan yang mereka inginkan telah terpenuhi di sana.
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
"Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”" (QS. Al-Kahfi: 109)
Ayat yang agung ini menggambarkan kebesaran ilmu dan hikmah Allah yang tidak terbatas. Jika seluruh lautan di dunia dijadikan tinta, dan seluruh pohon dijadikan pena, untuk menuliskan kalimat-kalimat (ilmu, hukum, takdir, dan tanda-tanda kebesaran) Allah, niscaya lautan itu akan habis dan pena akan patah sebelum semua kalimat Allah selesai tertulis. Bahkan jika didatangkan lautan lain sebagai tambahannya, itu tetap tidak akan cukup. Ini adalah perumpamaan yang luar biasa untuk menunjukkan bahwa pengetahuan Allah itu tak terbatas, melampaui segala sesuatu yang dapat dibayangkan manusia.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)
Ayat penutup ini adalah intisari dari seluruh ajaran yang telah disampaikan dalam surah ini dan seluruh Al-Qur'an. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk menyatakan bahwa beliau hanyalah manusia biasa seperti yang lain, dengan satu perbedaan mendasar: beliau menerima wahyu dari Allah. Wahyu tersebut berisi pesan inti bahwa Tuhan yang hakiki hanyalah satu (Allah Yang Maha Esa). Oleh karena itu, bagi siapa saja yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya (yakni mengharapkan keridaan Allah dan kehidupan akhirat yang baik), maka ia harus memenuhi dua syarat utama:
Ayat-ayat 75 hingga 110 dari Surah Al-Kahfi adalah samudra hikmah yang tak pernah kering. Dari kisah Musa dan Khidir, kita belajar tentang hakikat ilmu ilahi yang melampaui akal manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir, serta adanya kebaikan tersembunyi di balik musibah. Ini mengajarkan kita untuk tidak mudah menghakimi peristiwa hanya dari kacamata lahiriah dan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah.
Melalui kisah Dzulqarnain, kita diajari tentang kepemimpinan yang adil dan berintegritas, penggunaan kekuasaan untuk kemaslahatan umat, pemanfaatan ilmu dan teknologi, serta pentingnya kerja sama dalam membangun pertahanan. Kisah ini juga mengingatkan kita akan keberadaan Ya'juj dan Ma'juj sebagai salah satu tanda Kiamat, serta betapa rendah hatinya seorang penguasa yang mengembalikan segala keberhasilan kepada Allah.
Bagian penutup surah ini adalah peringatan yang tegas tentang Hari Kiamat, di mana setiap jiwa akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kita diajak untuk merenungi siapa sebenarnya orang yang paling merugi, yaitu mereka yang beramal tanpa landasan iman yang benar, serta diingatkan akan janji Surga Firdaus bagi orang-orang beriman dan beramal saleh. Akhirnya, surah ini ditutup dengan pesan universal tentang keesaan Allah dan pentingnya beribadah hanya kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun.
Secara keseluruhan, bagian Surah Al-Kahfi ini memberikan petunjuk yang komprehensif tentang bagaimana seorang mukmin harus menjalani hidup di dunia yang penuh fitnah ini: dengan ilmu, kesabaran, keadilan, keikhlasan, dan senantiasa berpegang teguh pada tauhid. Ini adalah peta jalan bagi mereka yang mencari kebenaran, petunjuk, dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.