Al Lail 8: Menggali Makna Surat Al Lail Ayat 8
Surat Al-Lail, salah satu mutiara Al-Qur'an dari juz ke-30, merupakan surat Makkiyah yang diturunkan di Mekkah. Surat ini terdiri dari 21 ayat dan dinamai "Al-Lail" (Malam) karena Allah SWT bersumpah dengan malam pada ayat pertamanya. Inti sari dari surat ini adalah pengelompokan manusia menjadi dua golongan berdasarkan amal perbuatannya di dunia, serta konsekuensi yang akan mereka hadapi di akhirat. Allah SWT secara jelas menguraikan bahwa setiap manusia memiliki tujuan dan usaha yang berbeda, dan hasil dari usaha tersebut akan sangat bervariasi.
Dalam Surat Al-Lail, Allah SWT menggambarkan dua jalur yang bertolak belakang: jalan kemudahan bagi mereka yang bertakwa dan beramal saleh, serta jalan kesukaran bagi mereka yang kikir, merasa cukup, dan mendustakan kebenaran. Pembahasan ini adalah fondasi utama untuk memahami makna mendalam dari ayat-ayatnya, khususnya ayat ke-8 yang menjadi fokus utama kita, yaitu "Wa ammā man bakhila wastaghnā" (Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup).
Ayat ke-8 dari Surat Al-Lail ini merupakan bagian integral dari serangkaian ayat yang membahas sifat-sifat golongan kedua manusia, yaitu mereka yang menolak kebaikan dan memilih jalan kesesatan. Untuk memahami sepenuhnya kedalaman makna ayat ini, kita perlu meninjau konteks seluruh surat, bagaimana Allah SWT memulai dengan sumpah-sumpah kosmik, dan bagaimana Dia membandingkan dua jenis usaha manusia yang berbeda secara fundamental.
Konteks Surat Al-Lail Secara Keseluruhan
Sebelum menyelami makna spesifik dari Al Lail 8, sangat penting untuk memahami benang merah yang menghubungkan seluruh surat ini. Surat Al-Lail, seperti banyak surat Makkiyah lainnya, berfokus pada dasar-dasar akidah, tauhid, dan gambaran tentang hari akhir, serta balasan atas amal perbuatan manusia. Allah SWT menggunakan sumpah-sumpah yang agung untuk menarik perhatian manusia pada kebenaran yang akan disampaikan.
Sumpah-Sumpah Kosmik (Ayat 1-4)
Surat ini dibuka dengan sumpah Allah SWT pada tiga fenomena alam yang sangat kontras dan memiliki makna mendalam:
Sumpah demi malam yang menyelubungi segala sesuatu, dan demi siang yang menyingkapkannya, serta demi penciptaan dua jenis yang berpasangan (laki-laki dan perempuan), adalah untuk menegaskan satu kebenaran fundamental: "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." Ini adalah inti dari surat ini. Allah SWT ingin manusia memahami bahwa meskipun kita hidup di dunia yang sama, pilihan dan arah usaha kita berbeda-beda, dan perbedaan ini akan berujung pada hasil yang sangat kontras di akhirat. Sumpah ini juga menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta.
- Malam dan Siang: Melambangkan dualitas dalam kehidupan: kegelapan dan terang, istirahat dan aktivitas, kesesatan dan petunjuk.
- Laki-laki dan Perempuan: Melambangkan dualitas dalam penciptaan makhluk hidup, dan bagaimana dari dua yang berlawanan ini lahirlah kehidupan dan keberlangsungan.
- Usaha yang Berbeda: Puncak dari sumpah ini, yaitu penegasan bahwa setiap manusia memiliki jalan dan tujuan yang berbeda dalam hidup, yang pada akhirnya akan menentukan takdir mereka.
Dua Golongan Manusia (Ayat 5-10)
Setelah sumpah tersebut, Allah SWT kemudian membagi manusia ke dalam dua golongan besar:
Golongan Pertama: Jalan Kemudahan (Ayat 5-7)
Ayat-ayat ini menggambarkan sifat-sifat orang yang memilih jalan kebaikan:
- Memberikan (Berinfak): Mereka adalah orang-orang yang murah hati, tidak kikir, dan suka berbagi harta mereka di jalan Allah SWT. Ini mencakup sedekah, zakat, infak, dan segala bentuk sumbangan untuk kebaikan.
- Bertakwa: Mereka memiliki rasa takut kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Takwa adalah inti dari setiap amal saleh.
- Membenarkan Kebaikan (Al-Husna): Mereka percaya akan janji Allah tentang pahala terbaik, yaitu surga, dan segala kebenaran yang dibawa oleh Islam (tauhid, hari akhir, kenabian).
Bagi golongan ini, janji Allah SWT sangat jelas: "Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (fasannuyassiruhu lil-yusra)." Kemudahan ini bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Hidup mereka akan terasa lebih berkah, urusan mereka dipermudah, dan di akhirat mereka akan dimasukkan ke surga dengan mudah.
Golongan Kedua: Jalan Kesukaran (Ayat 8-10)
Sebagai kontras yang tajam, Allah SWT kemudian menjelaskan golongan kedua, yang perilakunya sangat berlawanan dengan golongan pertama. Di sinilah ayat ke-8 muncul sebagai pembuka deskripsi golongan ini.
Ayat 8, 9, dan 10 ini adalah cerminan terbalik dari ayat 5, 6, dan 7. Setiap poin kebaikan pada golongan pertama dibalikkan menjadi sifat negatif pada golongan kedua. Inilah yang akan kita selami lebih dalam.
Analisis Mendalam Al Lail 8: "Wa Ammā Man Bakhila Wastaghnā"
Ayat ke-8 ini adalah fondasi untuk memahami karakter golongan manusia yang akan menghadapi jalan kesukaran. Mari kita bedah setiap frasa dalam ayat ini.
1. "Wa Ammā Man Bakhila" (Dan adapun orang yang kikir)
Kata "bakhila" (بَخِلَ) berasal dari akar kata yang berarti kikir, pelit, atau enggan mengeluarkan harta atau kebaikan. Ini adalah sifat yang sangat dicela dalam Islam dan merupakan kebalikan total dari sifat "a'ṭā" (memberi) yang disebutkan untuk golongan pertama.
Definisi dan Manifestasi Kikir
- Kikir Harta: Ini adalah bentuk kekikiran yang paling umum, yaitu enggan mengeluarkan sebagian hartanya untuk zakat, sedekah, infak, atau membantu orang yang membutuhkan, padahal ia mampu. Mereka mengumpulkan harta semata-mata untuk diri sendiri, tanpa memikirkan hak orang lain di dalamnya atau tanggung jawab sosial.
- Kikir Ilmu: Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan namun enggan membagikannya kepada orang lain, menyembunyikannya, atau tidak mau mengajarkannya. Ilmu yang tidak diamalkan atau tidak disebarkan akan menjadi bumerang bagi pemiliknya.
- Kikir Tenaga/Waktu: Enggan membantu orang lain dengan tenaga atau waktu mereka, padahal mereka memiliki kesempatan dan kemampuan. Misalnya, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau menunda-nunda membantu yang membutuhkan.
- Kikir Doa: Terkadang, seseorang enggan mendoakan kebaikan untuk orang lain, bahkan untuk sesama muslim. Ini adalah bentuk kekikiran spiritual.
Kekikiran bukan hanya sekadar masalah materi, melainkan juga masalah hati dan spiritual. Orang yang kikir biasanya memiliki pandangan dunia yang sempit, takut miskin, dan sangat mencintai harta benda. Mereka lupa bahwa harta adalah amanah dari Allah dan di dalamnya ada hak orang lain. Kekikiran ini menghalangi mereka dari keberkahan dan pahala yang besar.
Al-Qur'an dan Hadis banyak mencela sifat kikir. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 180: "Dan janganlah orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat..." Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak kekikiran di hadapan Allah.
2. "Wastaghnā" (Dan merasa dirinya cukup)
Kata "istaghnā" (ٱسۡتَغۡنَىٰ) berasal dari akar kata "ghani" (kaya, cukup). Ketika ditambahkan awalan "ista", ia mengandung makna "merasa diri cukup" atau "tidak membutuhkan". Dalam konteks ayat ini, "merasa cukup" tidak hanya berarti kaya harta, tetapi lebih kepada kesombongan spiritual dan keengganan untuk mengakui ketergantungan kepada Allah SWT atau bimbingan-Nya.
Makna "Merasa Cukup" dalam Konteks Surat Al-Lail
- Merasa Cukup dengan Harta: Seseorang yang merasa bahwa kekayaan dan kekuasaannya sudah cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya, sehingga ia tidak merasa perlu untuk bersedekah, bersyukur, atau mencari pertolongan Allah. Ia mengira hartanya akan menyelamatkannya dari segala kesulitan.
- Merasa Cukup dengan Diri Sendiri: Ini adalah bentuk kesombongan yang lebih dalam, di mana seseorang merasa bahwa ia tidak memerlukan bimbingan agama, nasihat, atau bahkan petunjuk dari Allah. Ia mengandalkan akal dan kekuatannya sendiri sepenuhnya, menolak kebenaran, dan merasa superior.
- Tidak Merasa Butuh Allah: Ini adalah puncak dari sifat istaghna. Orang yang istaghna merasa dirinya tidak butuh akan rahmat, ampunan, dan petunjuk Allah. Ia menolak iman, menolak ibadah, dan hidup seolah-olah ia adalah penguasa atas dirinya sendiri dan alam semesta.
Sifat "istaghna" ini sangat berbahaya karena ia menghalangi seseorang dari mencari kebenaran dan mengakui kelemahan dirinya di hadapan Pencipta. Orang yang istaghna seringkali menolak dakwah, meremehkan ajaran agama, dan tidak merasa perlu bertobat atau memperbaiki diri. Mereka hidup dalam ilusi kemandirian, padahal setiap makhluk sangat bergantung kepada Allah SWT.
Sifat kikir dan merasa cukup ini seringkali berjalan beriringan. Kekikiran lahir dari kecintaan yang berlebihan pada dunia dan harta, yang kemudian diperparah dengan perasaan merasa cukup dan tidak butuh kepada Allah atau sesama. Orang yang merasa kaya dan tidak butuh apa-apa, cenderung akan kikir dan enggan berbagi.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa "man bakhila wastaghna" merujuk kepada orang yang kikir dengan apa yang ia miliki dan merasa tidak butuh kepada pahala Allah. Ini adalah ekspresi dari hati yang tertutup dan jiwa yang sombong, yang menolak kebaikan dan meremehkan janji-janji Allah.
Al Lail 9-10: Konsekuensi Mendustakan Kebaikan dan Jalan Kesukaran
Setelah ayat ke-8 yang menguraikan sifat-sifat negatif, Allah SWT melanjutkan dengan menjelaskan perilaku dan konsekuensi yang akan menimpa golongan ini.
3. "Wa Kadzdzaba Bil-Husnā" (Serta mendustakan kebaikan)
Frasa "wa kadzdzaba bil-ḥusnā" (وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ) berarti "dan mendustakan kebaikan". Ini adalah sifat ketiga yang melengkapi karakter golongan kedua ini. "Al-Husna" (kebaikan, yang terbaik) di sini memiliki beberapa tafsiran yang saling melengkapi:
- Kalimat Tauhid "La ilaha illallah": Sebagian ulama menafsirkan "al-husna" sebagai kalimat syahadat, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Orang yang mendustakan "al-husna" berarti menolak tauhid, menolak keesaan Allah, dan ajaran Islam secara keseluruhan.
- Pahala Terbaik (Surga): Ini adalah tafsiran yang paling umum, yang konsisten dengan ayat sebelumnya di mana golongan pertama membenarkan "al-husna" (pahala terbaik/surga). Jadi, golongan kedua ini mendustakan adanya pahala, surga, dan hari pembalasan, sehingga mereka tidak termotivasi untuk berbuat baik.
- Kebenaran Al-Qur'an dan Risalah Nabi Muhammad SAW: Mendustakan "al-husna" juga bisa berarti menolak kebenaran yang dibawa oleh Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak percaya pada janji-janji Allah atau peringatan-peringatan-Nya.
- Kebaikan dalam Segala Aspek: Secara umum, "al-husna" mencakup segala bentuk kebaikan, kebenaran, dan nilai-nilai positif yang diajarkan oleh Islam. Mendustakannya berarti menolak moralitas, etika, dan keadilan yang bersumber dari wahyu.
Orang yang kikir dan merasa cukup cenderung akan mendustakan kebaikan karena mereka tidak melihat adanya nilai atau manfaat dari kebaikan tersebut. Mereka terlalu fokus pada dunia materi dan ego mereka sendiri, sehingga janji-janji akhirat atau nilai-nilai spiritual tidak berarti apa-apa bagi mereka. Ini adalah puncak dari kekafiran dan kesesatan.
4. "Fasanu Yassiruhū Lil-‘Usrā" (Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar)
Ini adalah konsekuensi langsung dari sifat kikir, merasa cukup, dan mendustakan kebaikan. Frasa "fasanu yassiruhū lil-‘usrā" (فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ) berarti "maka Kami akan menyiapkan/memudahkan baginya jalan kesukaran". Ini adalah kebalikan mutlak dari "fasanu yassiruhū lil-yusrā" (Kami akan menyiapkan baginya jalan kemudahan) yang diberikan kepada golongan pertama.
Makna "Jalan Kesukaran"
Kata "'usrā" (ٱلۡعُسۡرَىٰ) berarti kesulitan, kesukaran, atau penderitaan. "Memudahkan jalan kesukaran" di sini bukanlah berarti Allah SWT secara aktif memaksa mereka untuk mengalami kesulitan, tetapi lebih kepada:
- Konsekuensi Alami dari Pilihan: Ini adalah hasil alami dari pilihan hidup mereka. Ketika seseorang memilih jalan yang salah, menolak petunjuk, dan mengabaikan kebenaran, maka hidupnya akan secara otomatis menjadi sulit. Allah membiarkan mereka dalam pilihan mereka, dan pilihan itu sendiri yang akan membawa mereka ke dalam kesulitan.
- Kesulitan di Dunia: Meskipun mereka mungkin kaya, hati mereka tidak akan pernah tenang. Mereka akan selalu merasa kurang, takut kehilangan harta, dilanda stres, dan jauh dari keberkahan. Hubungan sosial mereka mungkin buruk karena kekikiran mereka. Setiap urusan mereka terasa berat dan tidak lancar.
- Kesulitan di Akhirat: Ini adalah puncak dari "jalan kesukaran". Mereka akan menghadapi kesulitan saat sakaratul maut, di alam kubur (siksa kubur), saat hisab (perhitungan amal) di hari kiamat, hingga akhirnya dimasukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan. Neraka adalah "al-'usra" yang paling besar dan kekal.
- Dosa Demi Dosa: Allah akan memudahkan mereka untuk terus melakukan dosa dan maksiat, sehingga mereka semakin jauh dari jalan yang benar dan semakin dekat dengan azab. Ini adalah bentuk istidraj (membiarkan seseorang terus dalam kesesatan dan nikmat sesaat, sebelum akhirnya dijerumuskan ke azab yang pedih).
Allah SWT maha adil. Dia hanya "memudahkan" apa yang sudah dipilih oleh manusia itu sendiri. Jika seseorang memilih jalan kesesatan dan keburukan, maka Allah tidak akan menghalanginya, bahkan seolah-olah "memuluskan" jalan baginya untuk mencapai tujuan akhir yang telah ia pilih itu, yaitu kesukaran abadi. Ini adalah peringatan keras bagi mereka yang merasa aman dalam dosa-dosa mereka.
Perbandingan Kontras Antara Dua Golongan
Surat Al-Lail secara sempurna menggambarkan dualitas kehidupan dan pilihan manusia. Perbandingan antara dua golongan ini sangat jelas:
| Sifat Golongan Pertama (Ayat 5-7) | Sifat Golongan Kedua (Ayat 8-10) |
|---|---|
| Memberi (a'ṭā) | Kikir (bakhila) |
| Bertakwa (wa-taqqā) | Merasa cukup (istaghnā) |
| Membenarkan Al-Husna (surga/tauhid) | Mendustakan Al-Husna (surga/tauhid) |
| Hasil: Jalan Kemudahan (lil-yusrā) | Hasil: Jalan Kesukaran (lil-'usrā) |
Perbandingan ini bukan hanya retorika, melainkan sebuah peringatan keras dan janji yang pasti dari Allah SWT. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ia tempuh, dan pilihan tersebut akan menentukan nasibnya di dunia dan akhirat.
Pelajaran dan Hikmah dari Al Lail 8 dan Surat Al-Lail
Ayat ke-8 dari Surat Al-Lail, bersama dengan seluruh surat, menawarkan banyak pelajaran berharga bagi kehidupan seorang muslim.
1. Pentingnya Kedermawanan dan Menjauhi Kekikiran
Kekikiran adalah penyakit hati yang sangat merugikan. Ia tidak hanya menghalangi pahala, tetapi juga merusak hubungan sosial dan menjauhkan dari keberkahan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berinfak, bersedekah, dan saling membantu. Harta adalah ujian, dan cara kita mengelolanya akan menentukan posisi kita di sisi Allah. Kekikiran adalah ciri khas orang yang meremehkan akhirat.
Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah berkumpul kekikiran dan keimanan di hati seorang hamba selama-lamanya." (HR. An-Nasa'i). Ini menunjukkan bahwa kikir bertentangan dengan fitrah keimanan.
2. Bahaya Kesombongan dan Merasa Cukup
Sifat merasa cukup (istaghna) adalah akar dari kesombongan, baik terhadap Allah maupun sesama manusia. Manusia pada dasarnya lemah dan membutuhkan Allah dalam setiap tarikan napasnya. Mengklaim kemandirian mutlak atau merasa tidak butuh petunjuk adalah bentuk kesesatan yang nyata. Sifat ini akan menghalangi seseorang dari menerima kebenaran dan mencari pertolongan Allah. Mengakui kekurangan dan ketergantungan pada Allah adalah kunci kerendahan hati dan iman.
3. Konsekuensi Mendustakan Kebenaran
Mendustakan kebaikan (al-husna), baik itu kalimat tauhid, janji surga, atau ajaran Nabi, adalah penyebab utama kekufuran dan kesesatan. Keengganan untuk mengakui kebenaran, meskipun bukti-bukti telah jelas, akan membawa seseorang pada jalan yang sulit. Iman adalah pondasi utama, dan mendustakannya berarti menghancurkan seluruh bangunan spiritual.
4. Konsep "Jaza' min Jinsil 'Amal" (Balasan Sesuai Amal)
Surat Al-Lail secara gamblang menunjukkan prinsip "balasan sesuai amal". Orang yang memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan akan dimudahkan jalannya. Sebaliknya, orang yang kikir, sombong, dan mendustakan kebenaran akan dipersulit jalannya. Ini adalah hukum kausalitas ilahi yang tidak pernah meleset. Setiap pilihan memiliki konsekuensinya.
Jika seseorang memilih jalan kesukaran dengan perbuatan-perbuatannya, Allah tidak akan mengubah takdirnya kecuali ia sendiri yang berusaha mengubahnya. Seseorang yang memilih hidup bermalas-malasan, tidak berusaha, dan mengingkari potensi dirinya, secara alami akan mendapati hidupnya sulit. Begitu pula dalam hal spiritual, orang yang enggan beribadah dan selalu menunda-nunda kebaikan, akan sulit merasakan ketenangan batin dan kemudahan dalam urusan akhirat.
5. Peringatan akan Hari Akhir
Ayat-ayat selanjutnya dalam surat Al-Lail (setelah ayat 8-10) semakin memperjelas tentang peringatan keras akan api neraka dan janji surga bagi orang-orang bertakwa. Ini menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan tujuan utama adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi. Pilihan yang kita buat di dunia ini akan menentukan takdir kita di akhirat.
Ayat-ayat ini menggarisbawahi bahwa harta tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab. Allah adalah pemilik dunia dan akhirat, dan Dia telah menyediakan petunjuk. Neraka adalah bagi orang-orang celaka yang mendustakan dan berpaling, sedangkan surga adalah bagi orang-orang bertakwa yang berinfak semata-mata karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan dari manusia.
Relevansi Surat Al-Lail di Era Modern
Meskipun diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, pesan-pesan Surat Al-Lail tetap sangat relevan bagi kehidupan manusia di era modern yang serba materialistis dan individualistis ini.
- Materialisme dan Kekikiran: Di zaman yang mementingkan kekayaan dan status sosial, banyak orang terjebak dalam lingkaran materialisme, di mana mereka berlomba-lomba mengumpulkan harta tanpa mempedulikan cara mendapatkannya atau hak orang lain di dalamnya. Kekikiran menjadi sifat yang lumrah, dan semangat berbagi seringkali terkikis. Surat Al-Lail mengingatkan kita akan bahaya sifat ini.
- Individualisme dan Kesombongan: Era modern seringkali mempromosikan individualisme ekstrem, di mana seseorang merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak memerlukan orang lain, apalagi Tuhan. Ini adalah bentuk "istaghna" yang merajalela. Surat ini menegaskan bahwa manusia itu lemah dan sangat butuh bimbingan ilahi.
- Penolakan Kebenaran Ilahi: Di tengah kemajuan sains dan teknologi, sebagian orang mulai meragukan atau bahkan menolak kebenaran agama. Mereka mendustakan Al-Husna (kebaikan ilahi) dengan berbagai alasan, lupa bahwa ada dimensi spiritual yang lebih tinggi dari sekadar materi.
- Tekanan Hidup dan Ketenangan Batin: Banyak orang di kota-kota modern hidup dalam tekanan dan stres, meskipun secara finansial mereka mungkin berkecukupan. Ini bisa jadi karena mereka menempuh "jalan kesukaran" akibat kekikiran, kesombongan, dan penolakan terhadap nilai-nilai spiritual. Ketenangan batin sejati hanya bisa didapatkan melalui ketakwaan dan ketaatan kepada Allah.
- Kesenjangan Sosial: Kekikiran di kalangan orang kaya memperburuk kesenjangan sosial. Surat Al-Lail mendorong infak dan sedekah sebagai solusi untuk mengurangi kesenjangan dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan peduli.
Dengan demikian, Surat Al-Lail bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan petunjuk abadi yang relevan untuk setiap zaman, mengingatkan manusia akan pilihan-pilihan fundamental dalam hidup dan konsekuensinya yang abadi.
Kesimpulan
Surat Al-Lail, dengan fokus utamanya pada dualitas usaha manusia dan balasan yang menyertainya, adalah sebuah peringatan dan motivasi yang kuat. Ayat ke-8, "Wa ammā man bakhila wastaghnā" (Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup), merupakan inti dari gambaran golongan yang memilih jalan kesukaran.
Kekikiran, kesombongan (merasa cukup), dan mendustakan kebenaran (Al-Husna) adalah sifat-sifat yang saling berkaitan dan akan membawa pelakunya pada "jalan kesukaran" di dunia dan akhirat. Sebaliknya, kedermawanan, ketakwaan, dan membenarkan kebaikan akan mengantarkan pada "jalan kemudahan".
Pesan utama dari surat ini sangat jelas: setiap pilihan memiliki konsekuensi. Allah SWT telah memberikan petunjuk yang terang benderang melalui Al-Qur'an, dan manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalannya. Oleh karena itu, mari kita renungkan makna Surat Al-Lail, khususnya ayat ke-8, agar kita terhindar dari sifat-sifat tercela tersebut dan selalu berusaha menempuh jalan kemudahan yang diridai Allah SWT. Semoga kita selalu termasuk golongan yang memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, sehingga dimudahkan segala urusan kita di dunia dan di akhirat.