Surah Al-Lail adalah salah satu surah Makkiyah, yang diturunkan di Mekah sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surah ini, yang berarti "Malam", mengandung 21 ayat dan berfokus pada tema-tema fundamental keimanan, terutama dualitas antara kebaikan dan keburukan, serta balasan yang setimpal bagi setiap pilihan yang diambil manusia dalam hidupnya. Al-Qur'an seringkali menggunakan fenomena alam sebagai perumpamaan dan saksi atas kebenaran ajaran-ajaran-Nya, dan Surah Al-Lail tidak terkecuali. Dengan bersumpah atas malam ketika ia menutupi (bumi), siang ketika ia terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, Allah ﷻ menegaskan kebenaran tentang berbagai upaya manusia yang berbeda dan hasil akhirnya.
Dalam surah yang mulia ini, Allah ﷻ menyoroti dua golongan manusia utama: mereka yang dermawan, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, serta mereka yang kikir, merasa serba cukup, dan mendustakan kebaikan. Ayat-ayat dalam surah ini secara tegas menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan janji Allah ﷻ adalah mutlak adanya. Bagi mereka yang memilih jalan kebaikan, Allah ﷻ akan mempermudah jalan menuju kebahagiaan dan kemudahan. Sebaliknya, bagi mereka yang memilih jalan keburukan, Allah ﷻ akan mempersulit jalan mereka menuju kesengsaraan.
Artikel ini akan mengkaji secara mendalam Surah Al-Lail, dengan fokus utama pada Ayat 6: وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ (Wa saddaqa bil-ḥusnā), yang berarti "dan membenarkan adanya kebaikan (balasan terbaik)." Ayat ini adalah poros yang menghubungkan tindakan kebaikan dengan janji kemudahan dari Allah ﷻ. Kita akan mengupas konteks ayat ini dalam keseluruhan surah, tafsir para ulama, implikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari, serta relevansinya bagi umat Muslim di era modern.
Sebelum menyelam ke dalam Ayat 6, penting untuk memahami konteks keseluruhan Surah Al-Lail. Surah ini dibuka dengan serangkaian sumpah yang kuat oleh Allah ﷻ:
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
Wal-laili izā yagśyā
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
Wan-nahāri izā tajallā
dan siang apabila terang benderang,
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ
Wa mā khalaqaz-z̲akara wal-uns̲ā
dan penciptaan laki-laki dan perempuan.
Sumpah-sumpah ini bukanlah sumpah biasa; ini adalah penegasan ilahi atas kebenaran yang akan disampaikan. Malam dan siang adalah dua entitas yang saling melengkapi dan tak terpisahkan, melambangkan dualitas dalam segala aspek kehidupan: terang dan gelap, istirahat dan aktivitas, harapan dan keputusasaan. Penciptaan laki-laki dan perempuan juga menggambarkan dualitas esensial dalam keberadaan manusia, menunjukkan bahwa Allah ﷻ menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, dan dari pasangan inilah kehidupan terus berlanjut dan berbagai peran dimainkan.
Setelah serangkaian sumpah ini, Allah ﷻ menyatakan sebuah kebenaran universal:
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
Inna sa’yakum lasyattā
Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan.
Ayat ini adalah inti dari sumpah-sumpah sebelumnya. Meskipun semua manusia hidup di bawah siang dan malam yang sama, dan meskipun mereka semua diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, namun upaya dan tujuan hidup mereka sangat berbeda. Ada yang berusaha untuk kebaikan, ada pula yang untuk keburukan. Ada yang mencari keridaan Allah, ada pula yang mencari kesenangan dunia semata. Perbedaan ini adalah hakikat hidup di dunia, yang pada akhirnya akan menentukan hasil akhir setiap individu.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia itu berbeda, Surah Al-Lail kemudian membagi manusia menjadi dua kategori besar, dengan masing-masing konsekuensi yang jelas. Allah ﷻ berfirman:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
Fa ammā man a’ṭā wattaqā
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ
Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā
dan membenarkan adanya kebaikan (balasan terbaik),
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
Fa sanuyassiruhū lil-yusrā
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Di sisi lain, golongan kedua dijelaskan:
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
Wa ammā mam bakhila wastaghnā
Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup,
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ
Wa każżaba bil-ḥusnā
serta mendustakan kebaikan,
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ
Fa sanuyassiruhū lil-’usra
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.
Ayat-ayat ini membentuk kontras yang sangat tajam dan jelas. Mereka yang berbuat baik akan dimudahkan jalannya, dan mereka yang berbuat buruk akan dipersulit jalannya. Ayat 6, وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ, adalah jembatan penghubung antara tindakan 'memberi dan bertakwa' dengan janji 'kemudahan' dari Allah ﷻ. Tanpa pembenaran dan keyakinan akan balasan terbaik (al-husna), tindakan lahiriah semata mungkin tidak akan memiliki nilai yang sama di sisi Allah ﷻ.
Ayat keenam dari Surah Al-Lail, وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ, mungkin terlihat sederhana dalam susunan katanya, namun mengandung makna yang sangat dalam dan fundamental bagi keimanan seorang Muslim. Mari kita bedah setiap komponennya.
Para mufasir (ahli tafsir) memiliki beberapa penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan ٱلْحُسْنَىٰ dalam ayat ini, meskipun semua tafsiran pada dasarnya saling melengkapi dan mengarah pada satu kesimpulan pokok:
Keseluruhan tafsiran ini menunjukkan bahwa ٱلْحُسْنَىٰ adalah konsep yang komprehensif, mencakup iman, amal saleh, dan keyakinan akan balasan dari Allah ﷻ. Intinya adalah bahwa orang yang membenarkan al-husna adalah orang yang memiliki iman yang kuat terhadap Allah ﷻ, hari akhir, dan seluruh kebenaran yang datang dari-Nya.
Ayat 6 tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian integral dari serangkaian ayat yang saling terkait. Ayat ini adalah elemen kunci yang melengkapi gambaran "orang yang bertakwa".
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ (Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,)
Ini adalah tindakan lahiriah: memberi (infak, sedekah) dan bertakwa (menjauhi larangan dan melaksanakan perintah Allah).
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ (dan membenarkan adanya kebaikan (balasan terbaik),)
Ini adalah tindakan batiniah: keyakinan hati yang menjadi motivasi di balik tindakan lahiriah. Tanpa keyakinan ini, infak dan takwa bisa jadi hanya bersifat pamer atau tanpa dasar yang kuat.
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ (maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.)
Ini adalah balasan dari Allah ﷻ: kemudahan dalam segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat, yang merupakan hasil dari kombinasi tindakan lahiriah dan batiniah tersebut.
Kontrasnya juga sangat jelas dengan golongan yang lain:
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ (Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup,)
Ini adalah tindakan lahiriah: kikir (tidak mau berinfak) dan merasa cukup (tidak merasa butuh kepada Allah ﷻ).
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ (serta mendustakan kebaikan,)
Ini adalah tindakan batiniah: menolak atau tidak meyakini balasan terbaik dari Allah ﷻ atau kebenaran Islam secara umum.
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ (maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.)
Ini adalah balasan dari Allah ﷻ: kesulitan dalam segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat, yang merupakan konsekuensi dari kekikiran dan pendustaan.
Dari sini terlihat bahwa keyakinan terhadap ٱلْحُسْنَىٰ adalah faktor penentu yang membedakan antara mereka yang akan dimudahkan dan mereka yang akan dipersulit. Ini adalah poros iman yang mendorong amal saleh dan memastikan niat yang benar.
Ayat 6 Surah Al-Lail mengandung banyak pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan seorang Muslim. Pelajaran-pelajaran ini mencakup aspek akidah (keyakinan), ibadah (praktik keagamaan), dan akhlak (moralitas).
Ayat ini menegaskan bahwa iman bukan hanya sekadar pengakuan lisan. Ini adalah keyakinan yang tertanam kuat dalam hati dan termanifestasi dalam tindakan. "Membenarkan al-husna" berarti memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan akan kebenaran janji Allah ﷻ, termasuk balasan Surga, ganjaran atas amal baik, dan kebenaran ajaran Islam secara keseluruhan. Keyakinan ini menjadi fondasi yang menggerakkan seseorang untuk berbuat baik. Tanpa keyakinan ini, amal akan hampa atau mudah goyah.
Seorang Muslim tidak hanya memberi karena terpaksa atau ingin dilihat orang lain, tetapi karena ia benar-benar percaya bahwa Allah ﷻ akan membalas kebaikannya dengan balasan yang jauh lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat. Keyakinan ini memberi kekuatan dan motivasi yang tak terbatas dalam menghadapi berbagai cobaan dan tantangan hidup.
Ayat ini mengajarkan bahwa motivasi di balik amal saleh haruslah murni karena Allah ﷻ dan keyakinan akan janji-Nya. Infak dan ketakwaan yang dipuji adalah yang dilakukan dengan keyakinan akan balasan terbaik dari Allah ﷻ. Ini menyingkirkan motivasi-motivasi duniawi seperti pamer, mencari pujian, atau mendapatkan keuntungan materi semata.
Ketika seseorang membenarkan al-husna, ia beramal dengan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan dari manusia. Ia tahu bahwa ganjaran sejati datang dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang janji-Nya tidak pernah ingkar. Hal ini menciptakan mentalitas memberi yang tulus dan semangat ibadah yang konsisten, tidak peduli apa pun respons dari orang lain.
Sebagaimana telah dibahas dalam tafsiran, ٱلْحُسْنَىٰ dapat diartikan sebagai Surga, kalimat tauhid, janji penggantian dari Allah, atau syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa konsep kebaikan dalam Islam sangat luas dan menyeluruh. Membenarkan al-husna berarti membenarkan seluruh aspek kebaikan yang telah Allah ﷻ tetapkan, baik dalam bentuk akidah maupun syariat.
Dengan demikian, membenarkan al-husna adalah sebuah sikap hidup yang holistik, di mana iman dan amal saleh berjalan beriringan.
Salah satu janji terindah dalam Al-Qur'an adalah kemudahan bagi mereka yang memilih jalan kebaikan. Ayat 7 menyatakan: فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ (maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah). Kemudahan ini bukan berarti hidup tanpa cobaan atau kesulitan. Sebaliknya, kemudahan ini dapat dimaknai dalam beberapa bentuk:
Janji kemudahan ini adalah motivasi besar bagi seorang Muslim untuk terus istiqamah di jalan kebaikan, bahkan ketika menghadapi rintangan.
Sebaliknya, Surah Al-Lail juga memberikan peringatan keras bagi mereka yang mendustakan al-husna. Ayat 9 dan 10 menyatakan: وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ (serta mendustakan kebaikan, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar). "Jalan yang sukar" (ٱلْعُسْرَىٰ) adalah kebalikan dari "jalan yang mudah" (ٱلْيُسْرَىٰ). Ini berarti:
Peringatan ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya memilih jalan yang benar dan tidak mendustakan kebaikan yang datang dari Allah ﷻ.
Meskipun Surah Al-Lail diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, pesan-pesannya tetap sangat relevan dan mendalam bagi kehidupan modern yang kompleks ini. Terutama Ayat 6, yang menekankan pentingnya keyakinan terhadap "al-husna", memiliki aplikasi praktis yang luas.
Dunia modern seringkali didominasi oleh materialisme dan konsumerisme, di mana nilai seseorang seringkali diukur dari kekayaan, status sosial, dan kepemilikan materi. Dalam konteks ini, ajaran Al-Lail Ayat 6 menjadi pengingat yang krusial. "Membenarkan al-husna" mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah apa yang kita kumpulkan di dunia, melainkan apa yang kita infakkan di jalan Allah dan bekal yang kita persiapkan untuk akhirat.
Sikap "merasa cukup" (اسْتَغْنَىٰ) yang dikritik dalam ayat-ayat berikutnya seringkali termanifestasi dalam kepuasan diri yang berlebihan terhadap harta duniawi, sehingga melupakan kebutuhan untuk berinfak dan berbuat baik. Ayat 6 mendorong kita untuk melihat melampaui fatamorgana duniawi dan berinvestasi pada sesuatu yang abadi.
Banyak orang di era modern, meskipun memiliki segala fasilitas, merasakan kekosongan spiritual dan krisis makna hidup. Hal ini seringkali terjadi karena fokus yang berlebihan pada pencapaian duniawi tanpa tujuan yang lebih tinggi. "Membenarkan al-husna" memberikan tujuan yang jelas: mencari keridaan Allah ﷻ dan Surga-Nya.
Dengan meyakini balasan terbaik dari Allah ﷻ, hidup seorang Muslim memiliki arah dan makna yang kuat. Setiap tindakan, baik kecil maupun besar, dapat menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah ﷻ. Ini membantu mengisi kekosongan spiritual dan memberikan kedamaian batin di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Janji kemudahan (الْيُسْرَىٰ) bagi mereka yang membenarkan al-husna juga sangat penting dalam menghadapi tekanan hidup modern. Kecemasan, stres, dan depresi semakin merajalela. Namun, bagi mereka yang memiliki iman yang kuat dan keyakinan pada janji Allah ﷻ, kesulitan-kesulitan ini dapat dihadapi dengan ketenangan dan kesabaran.
Keyakinan bahwa Allah ﷻ akan mempermudah jalan adalah sumber optimisme dan harapan. Ketika dihadapkan pada masalah, seorang mukmin tidak menyerah putus asa, melainkan bersandar pada Allah ﷻ, terus berusaha, dan yakin bahwa ada kemudahan setelah kesulitan. Hal ini selaras dengan janji Allah ﷻ dalam Surah Al-Insyirah: فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan).
Dalam masyarakat yang seringkali diwarnai kesenjangan ekonomi, ajaran tentang infak dan ketakwaan yang diikuti dengan membenarkan al-husna sangat relevan. Ayat 6 tidak hanya mendorong kedermawanan individual, tetapi juga memupuk rasa tanggung jawab sosial. Ketika seseorang percaya bahwa setiap sedekah akan dibalas berkali-kali lipat oleh Allah ﷻ, ia akan lebih termotivasi untuk berbagi dengan sesama, membantu yang membutuhkan, dan berkontribusi pada kebaikan masyarakat.
Ini membantu mengurangi kesenjangan, menumbuhkan empati, dan menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan berkeadilan, jauh dari sikap kikir dan merasa cukup yang dikecam dalam surah ini.
Meskipun tidak ada riwayat spesifik yang secara mutlak mengaitkan Surah Al-Lail Ayat 6 dengan satu insiden tunggal, namun para ulama tafsir sering mengaitkan keseluruhan awal Surah Al-Lail, khususnya ayat-ayat yang berbicara tentang orang yang memberi dan bertakwa, dengan kisah-kisah orang-orang saleh di masa awal Islam.
Salah satu riwayat yang populer, meskipun ada perbedaan pendapat tentang keabsahannya untuk seluruh surah, adalah tentang Abu Bakar As-Siddiq. Diriwayatkan bahwa surah ini turun terkait dengan Abu Bakar yang memerdekakan budak-budak yang disiksa karena keislaman mereka, tanpa mengharapkan balasan apa pun dari mereka. Beliau membeli budak-budak yang lemah, wanita, atau orang tua yang disiksa oleh majikan mereka karena masuk Islam, lalu memerdekakan mereka semata-mata karena Allah ﷻ, bukan karena ada jasa atau utang budi yang ia harapkan dari mereka. Orang-orang kafir Quraisy mencela Abu Bakar dan mengatakan bahwa ia melakukan itu untuk mendapatkan balasan dari orang-orang tersebut.
Dalam konteks inilah, ayat-ayat tersebut relevan: فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ (Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya kebaikan (balasan terbaik),) Ini adalah gambaran sempurna dari tindakan Abu Bakar. Ia memberi (memerdekakan budak) dan bertakwa (karena Allah), serta ia membenarkan al-husna (yakni ia yakin akan balasan terbaik dari Allah ﷻ di akhirat). Oleh karena itu, Allah ﷻ menjanjikan kepadanya: فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ (maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah).
Sebaliknya, ada juga riwayat yang menyebutkan tentang Umayyah bin Khalaf atau beberapa tokoh musyrikin Mekah lainnya yang kikir dan mendustakan kebenaran. Mereka adalah contoh dari مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ (orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan kebaikan). Bagi mereka, Allah ﷻ berjanji: فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ (maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar).
Meskipun Asbabun Nuzul ini tidak selalu definitif untuk setiap ayat, namun ia memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana prinsip-prinsip Al-Qur'an terwujud dalam kehidupan nyata di zaman Nabi ﷺ. Kisah Abu Bakar khususnya, menjadi teladan agung tentang apa arti "memberi, bertakwa, dan membenarkan al-husna" dalam praktiknya.
"Keyakinan akan al-husna bukan sekadar teori, melainkan kekuatan pendorong yang mengubah niat menjadi tindakan nyata, dan mengantarkan jiwa pada kedamaian abadi."
Konsep yang terkandung dalam Surah Al-Lail Ayat 6—yaitu hubungan antara amal saleh yang didasari iman dengan balasan kemudahan dan kebaikan—banyak diulang dan dipertegas dalam ayat-ayat Al-Qur'an lainnya. Hal ini menunjukkan betapa sentralnya ajaran ini dalam Islam.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah An-Nahl Ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini secara eksplisit menjanjikan "kehidupan yang baik" (حَيَوٰةً طَيِّبَةً) di dunia bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, serta balasan yang lebih baik di akhirat. Konsep "kehidupan yang baik" ini sangat selaras dengan "jalan yang mudah" (الْيُسْرَىٰ) dalam Al-Lail, yang mencakup kedamaian batin, kelancaran urusan, dan keberkahan.
Dalam Surah Al-Isra Ayat 7, Allah ﷻ berfirman:
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.
Ayat ini menegaskan prinsip kausalitas spiritual: setiap kebaikan yang dilakukan akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk kebaikan pula, dan setiap keburukan akan berbalik merugikan pelakunya. Ini mendukung semangat "membenarkan al-husna", karena keyakinan ini mendorong seseorang untuk berbuat baik demi kebaikan dirinya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Surah At-Talaq menyebutkan:
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Ayat-ayat ini secara langsung berbicara tentang janji kemudahan dan kelapangan rezeki bagi orang-orang yang bertakwa. Ini adalah manifestasi konkret dari "jalan yang mudah" yang dijanjikan dalam Al-Lail. Takwa, yang merupakan bagian dari "memberi dan bertakwa" dalam Al-Lail, adalah kunci untuk mendapatkan pertolongan dan rezeki dari Allah ﷻ dari arah yang tidak terduga.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Hadid Ayat 18:
إِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (balasannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak lagi mulia.
Ayat ini secara spesifik berbicara tentang ganjaran bagi orang-orang yang bersedekah. Istilah "pinjaman yang baik" (قَرْضًا حَسَنًا) merujuk pada infak yang dilakukan dengan ikhlas. Balasan yang "dilipatgandakan" dan "pahala yang mulia" adalah bagian dari "al-husna" yang dijanjikan Allah ﷻ. Ayat ini memperkuat motivasi untuk berinfak dengan keyakinan penuh akan balasan-Nya.
Dari perbandingan ini, jelas bahwa pesan Surah Al-Lail Ayat 6 adalah bagian dari ajaran universal Al-Qur'an yang konsisten: iman yang benar harus disertai dengan amal saleh, dan Allah ﷻ akan membalasnya dengan kebaikan dan kemudahan yang tak terhingga.
Membaca dan memahami ayat Al-Qur'an belumlah cukup tanpa mengimplementasikan maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Semangat Surah Al-Lail Ayat 6 dapat diamalkan melalui beberapa cara:
Langkah pertama adalah memperkuat keyakinan kita terhadap hari akhirat, Surga, Neraka, dan semua janji Allah ﷻ. Renungkanlah keindahan Surga dan pedihnya siksa neraka, agar hati tergerak untuk beramal saleh dan menjauhi maksiat. Baca dan pelajari lebih dalam tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ, agar kita semakin yakin akan keadilan dan kemurahan-Nya.
Keimanan ini harus menjadi dasar setiap keputusan dan tindakan. Ketika kita dihadapkan pada pilihan antara keuntungan dunia sesaat dan keridaan Allah ﷻ, keyakinan akan al-husna akan memandu kita memilih yang terakhir.
Berinfak tidak hanya berarti mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Ia bisa berupa sedekah kecil, membantu sesama dengan tenaga, waktu, atau ilmu, memberikan senyuman, atau bahkan menyingkirkan duri dari jalan. Yang terpenting adalah keistiqamahan dan keikhlasan.
Niatkan setiap infak semata-mata karena Allah ﷻ, membenarkan janji-Nya bahwa Dia akan membalasnya dengan balasan terbaik. Jangan takut harta berkurang karena berinfak; justru sebaliknya, Allah ﷻ akan menggantinya dengan keberkahan yang tak terduga.
Takwa adalah melaksanakan perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangan-Nya. Ini mencakup shalat lima waktu, puasa Ramadhan, membayar zakat, berhaji jika mampu, menjaga lisan dari ghibah dan fitnah, menjaga pandangan, dan berlaku adil dalam setiap interaksi.
Ketakwaan juga berarti berusaha meningkatkan kualitas ibadah, seperti shalat yang khusyuk, membaca Al-Qur'an dengan tadabbur, dan berzikir. Ketika takwa menjadi gaya hidup, pintu-pintu kemudahan akan terbuka.
Orang yang membenarkan al-husna adalah orang yang optimis dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah ﷻ. Ia yakin bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahannya, dan setiap ujian adalah cara Allah ﷻ untuk mengangkat derajatnya atau menghapus dosanya.
Sikap ini membantu seseorang melewati badai kehidupan dengan ketenangan dan harapan, karena ia tahu bahwa Allah ﷻ tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang bertakwa.
Sikap kikir (bakhil) dan merasa cukup (istaghna) adalah sifat-sifat yang dikecam dalam Surah Al-Lail. Hindari sifat-sifat ini dengan selalu merasa butuh kepada Allah ﷻ, menyadari bahwa semua harta adalah titipan-Nya, dan meyakini bahwa memberi tidak akan mengurangi harta, melainkan menambah keberkahannya.
Jangan merasa bahwa semua pencapaian adalah hasil usaha sendiri semata, sehingga lupa bersyukur dan berbagi. Ingatlah bahwa Allah ﷻ adalah sumber segala nikmat dan kekayaan.
Lakukan muhasabah, yaitu evaluasi diri, secara rutin. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya sudah membenarkan al-husna dengan sepenuh hati?" "Apakah infak dan ketakwaan saya sudah didasari niat yang ikhlas?" "Apakah saya sudah menempuh jalan yang mudah, atau justru mempersulit diri dengan mendustakan janji Allah ﷻ?"
Muhasabah membantu kita untuk terus memperbaiki diri, mengoreksi niat, dan meluruskan kembali jalan kita menuju keridaan Allah ﷻ.
Surah Al-Lail, khususnya Ayat 6, adalah mercusuar harapan dan motivasi bagi setiap Muslim. Ia mengingatkan kita akan hakikat kehidupan di dunia ini sebagai arena ujian, di mana setiap usaha akan dinilai dan dibalas. Pesan inti dari ayat ini adalah bahwa kesuksesan sejati diukur bukan dari tumpukan harta atau kekuasaan duniawi, melainkan dari kedalaman iman dan keikhlasan amal.
Ayat وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ (dan membenarkan adanya kebaikan/balasan terbaik) adalah kunci untuk membuka pintu kemudahan dan kebahagiaan. Keyakinan inilah yang membedakan antara amal yang diterima dan yang ditolak, antara hati yang tenang dan yang resah, serta antara jalan yang lapang dan yang sempit.
Marilah kita senantiasa memupuk keyakinan kita terhadap janji-janji Allah ﷻ. Marilah kita jadikan ٱلْحُسْنَىٰ sebagai tujuan utama dalam setiap langkah, niat, dan perbuatan. Dengan memberi di jalan Allah, bertakwa kepada-Nya, dan membenarkan sepenuhnya balasan terbaik dari-Nya, kita sesungguhnya sedang membangun jembatan menuju Surga, menuju kehidupan yang penuh kemudahan, kedamaian, dan keberkahan abadi. Allah ﷻ tidak pernah mengingkari janji-Nya. Janji kemudahan bagi mereka yang memilih jalan kebaikan adalah janji yang pasti dan akan terwujud bagi siapa pun yang memenuhi syarat-syaratnya.
Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita semua untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang dermawan, bertakwa, dan membenarkan al-husna, sehingga kita termasuk golongan yang dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Amin.