Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Quran, adalah sebuah permata kebijaksanaan ilahi yang mengandung pelajaran mendalam bagi umat manusia di setiap zaman. Dengan empat kisah utamanya—kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), kisah Musa dan Khidr, kisah Dzulqarnain, serta kisah dua pemilik kebun—surah ini menjadi sebuah panduan komprehensif tentang bagaimana menghadapi berbagai ujian kehidupan: ujian keimanan, ujian kekayaan, ujian ilmu, dan ujian kekuasaan. Setiap narasi ini, yang dianyam dengan benang-benang takdir dan kehendak Allah, mengajarkan kita tentang kesabaran, kerendahan hati, pentingnya mencari ilmu, dan kebergantungan total kepada Sang Pencipta. Mempelajari Surah Al-Kahfi bukan hanya sekadar membaca ayat-ayat, melainkan meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya, menjadikannya perisai spiritual di tengah gelombang fitnah dunia.
Surah ini sering dianjurkan untuk dibaca pada hari Jumat karena keutamaannya dalam melindungi dari fitnah Dajjal, tanda-tanda besar hari Kiamat. Ini menunjukkan betapa relevannya pesan-pesan Surah Al-Kahfi bagi kehidupan kita, khususnya dalam menghadapi era di mana kebenaran sering kali bercampur dengan kebatilan, dan di mana godaan materi serta kekuasaan menjadi sangat kuat. Melalui kisah-kisah ini, Allah SWT menegaskan kembali kekuasaan-Nya yang tak terbatas, ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu, dan rahmat-Nya yang senantiasa menyertai hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakal. Mari kita menyelami lebih dalam setiap kisah dalam Surah Al-Kahfi ini, menggali pelajaran-pelajaran berharga yang ditawarkannya untuk memperkuat iman dan membimbing langkah kita di jalan yang lurus.
Kisah Ashabul Kahfi, atau Penghuni Gua, adalah titik awal yang membuka pintu hikmah dalam Surah Al-Kahfi. Kisah ini menceritakan tentang sekelompok pemuda beriman yang hidup di sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja zalim bernama Decius (Daqyanus), yang memaksa rakyatnya untuk menyembah berhala dan menindas siapa pun yang berpegang teguh pada tauhid, mengesakan Allah. Di tengah masyarakat yang mayoritas telah berpaling dari kebenaran, para pemuda ini—yang jumlahnya disebutkan dalam Al-Quran tanpa spesifikasi angka pasti, namun umumnya diyakini antara tiga sampai tujuh orang—memilih untuk tetap teguh pada keyakinan mereka kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka adalah contoh nyata dari keberanian iman di hadapan tirani dan kemusyrikan.
Mereka bukan orang biasa; mereka adalah pemuda-pemuda terpandang dari kalangan bangsawan atau orang-orang berada, yang seharusnya bisa hidup nyaman dengan mengikuti arus. Namun, kecintaan mereka kepada Allah dan keyakinan mereka pada kebenaran jauh lebih besar dari segala kenikmatan duniawi. Mereka melihat dengan jelas kesesatan raja dan kaumnya, dan hati mereka menolak untuk tunduk pada penyembahan berhala. Inilah sebuah ujian keimanan yang sangat berat: memilih antara keselamatan duniawi dan kesetiaan abadi kepada Sang Pencipta. Tanpa ragu, mereka memilih yang terakhir.
Diskusi di antara mereka mencerminkan kedalaman iman dan pemahaman mereka tentang Allah. Mereka saling menguatkan, menegaskan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan langit dan bumi, dan bahwa mereka tidak akan pernah menyeru ilah lain selain Dia. Ini adalah deklarasi tauhid yang jelas dan tanpa kompromi. Mereka menyadari bahwa tinggal di tengah masyarakat yang sesat hanya akan membahayakan iman mereka, dan bahwa mereka harus mencari jalan untuk melindungi keyakinan mereka dari fitnah. Sebuah keputusan yang berani dan penuh risiko.
Setelah tekad mereka bulat, para pemuda itu memutuskan untuk melarikan diri dari kota dan mencari tempat persembunyian. Mereka tidak tahu ke mana harus pergi, tidak punya rencana detail, hanya tawakal sepenuhnya kepada Allah. Mereka meninggalkan segala kemewahan dan kenyamanan hidup, memilih ketidakpastian demi menjaga iman. Ini adalah puncak dari pengorbanan dan kebergantungan total kepada Allah.
Dengan izin dan petunjuk Allah, mereka menemukan sebuah gua di gunung. Gua ini bukan sembarang gua; Allah lah yang menuntun mereka ke sana, menjadikannya tempat perlindungan yang sempurna. Ketika mereka masuk ke dalam gua, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus, memohon rahmat dan petunjuk-Nya: "Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini." Doa ini menunjukkan bahwa meskipun mereka telah membuat keputusan besar, mereka tetap merasa lemah dan membutuhkan bimbingan serta pertolongan Allah.
Dan Allah pun mengabulkan doa mereka dengan cara yang menakjubkan. Dia membuat mereka tertidur lelap di dalam gua selama beratus-ratus tahun. Ini bukan tidur biasa, melainkan tidur yang diatur secara ilahi. Al-Quran menggambarkan bagaimana matahari, ketika terbit, cenderung ke kanan gua mereka, dan ketika terbenam, cenderung ke kiri, sehingga sinar matahari tidak langsung mengenai mereka. Ini adalah salah satu bukti kekuasaan Allah dalam melindungi hamba-hamba-Nya. Mereka tidur dengan posisi yang berubah-ubah, agar tubuh mereka tidak rusak, seolah-olah mereka masih terjaga.
Selama tidur panjang mereka, Allah menjaga mereka dengan sempurna. Anjing penjaga mereka juga ikut tidur di depan gua, membentangkan kedua lengannya. Ini adalah pemandangan yang menunjukkan betapa damainya kondisi mereka di bawah penjagaan Allah, sebuah ketenangan yang tak bisa diganggu oleh apa pun dari luar. Jika ada yang melihat mereka, pasti akan lari ketakutan karena penampilan mereka yang tidak biasa, seolah-olah mereka baru saja terjaga. Ini adalah mekanisme perlindungan lain dari Allah agar tidak ada yang mendekati mereka.
Setelah tiga ratus sembilan tahun lamanya (disebutkan dalam Al-Quran), Allah membangunkan mereka. Mereka terbangun tanpa menyadari berapa lama waktu yang telah berlalu. Mereka mengira hanya tidur sehari atau sebagian hari. Ini menunjukkan betapa nyenyaknya tidur mereka, seolah-olah waktu berhenti berputar bagi mereka. Perdebatan kecil terjadi di antara mereka tentang durasi tidur, namun mereka akhirnya menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Allah. Fokus utama mereka adalah mencari makanan.
Salah seorang dari mereka, bernama Yamlikha, diutus ke kota untuk membeli makanan. Ia membawa uang perak kuno dari zaman mereka. Ketika Yamlikha sampai di kota, ia terkejut melihat perubahan yang drastis. Bangunan-bangunan telah berubah, orang-orang berpakaian berbeda, dan bahasa yang diucapkan pun terasa asing baginya. Ketika ia mencoba membayar dengan uang lamanya, orang-orang keheranan. Mereka menduga ia menemukan harta karun kuno. Berita tentang pemuda dengan uang kuno ini sampai ke telinga raja yang baru, seorang raja yang saleh dan beriman.
Kisah Ashabul Kahfi adalah sumber pelajaran yang tak ada habisnya tentang kekuasaan dan rahmat Allah.
Kisah kedua dalam Surah Al-Kahfi adalah tentang perjalanan Nabi Musa AS dalam mencari ilmu. Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa, salah satu nabi Ulul Azmi, ditanya tentang siapa orang yang paling berilmu di muka bumi. Dengan keyakinan yang mungkin muncul dari posisinya sebagai nabi yang dianugerahi Taurat dan mukjizat, Musa menjawab bahwa dialah orang yang paling berilmu. Namun, Allah kemudian menegurnya dan memberitahunya bahwa ada seorang hamba Allah di persimpangan dua laut yang memiliki ilmu yang lebih tinggi, ilmu ladunni, ilmu yang langsung diberikan oleh Allah.
Pelajaran pertama di sini adalah tentang kerendahan hati dalam ilmu. Sekalipun seorang nabi besar seperti Musa, Allah tetap mengajarkan bahwa selalu ada yang lebih berilmu, dan bahwa ilmu Allah itu tak terbatas. Rasa ingin tahu dan keinginan Musa untuk belajar mendorongnya untuk melakukan perjalanan yang berat demi mencari hamba Allah tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Nabi Khidr (meskipun namanya tidak disebutkan eksplisit dalam Al-Quran, namun demikianlah yang dikenal dalam tradisi Islam). Musa meminta kepada Allah agar dipertemukan dengan hamba-Nya itu, dan Allah pun memberinya petunjuk: ia akan menemukan orang tersebut di tempat di mana ikan bakar yang mereka bawa hidup kembali.
Nabi Musa berangkat bersama muridnya, Yusha' bin Nun. Perjalanan mereka tidak mudah. Mereka menghadapi kesulitan dan kelelahan, namun Musa tetap bertekad untuk mencapai tujuannya. Ini menunjukkan semangat gigih seorang pencari ilmu, sebuah teladan bagi kita semua untuk tidak mudah menyerah dalam menuntut ilmu, apalagi ilmu agama yang membawa kita lebih dekat kepada Allah. Ketika mereka sampai di persimpangan dua laut, ikan bakar yang mereka bawa memang hidup kembali dan melompat ke laut. Namun, Yusha' lupa memberitahu Musa tentang kejadian ini, sebuah kelalaian yang menjadi ujian kesabaran pertama Musa.
Setelah kembali ke tempat ikan itu hidup, mereka akhirnya bertemu dengan Khidr. Musa segera menyatakan niatnya untuk mengikuti Khidr agar bisa diajarkan ilmu yang telah diberikan Allah kepadanya. Khidr menjawab bahwa Musa tidak akan sanggup bersabar bersamanya, karena Musa tidak akan memahami tindakan-tindakan Khidr yang akan terlihat aneh dan tidak masuk akal dari sudut pandang syariat. Khidr mengingatkan Musa bahwa ia memiliki ilmu dari Allah yang tidak diketahui Musa, dan Musa memiliki ilmu dari Allah yang tidak diketahui Khidr.
Musa berjanji akan bersabar dan tidak akan bertanya tentang apa pun sampai Khidr sendiri yang menjelaskannya. Ini adalah janji yang sulit bagi seorang nabi dengan akal dan hikmah yang tinggi seperti Musa. Mereka pun memulai perjalanan bersama, dan segera menghadapi tiga peristiwa yang menguji kesabaran Musa:
1. Melubangi Perahu: Mereka menaiki sebuah perahu nelayan, dan di tengah perjalanan, Khidr dengan sengaja melubangi perahu itu. Musa sontak tidak bisa menahan diri dan menegur Khidr, "Mengapa engkau melubanginya, yang akibatnya engkau menenggelamkan penumpang-penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar." Khidr mengingatkan Musa akan janjinya untuk tidak bertanya. Musa pun meminta maaf, berjanji tidak akan mengulanginya.
2. Membunuh Seorang Anak Muda: Setelah meninggalkan perahu, mereka melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan seorang anak muda. Tanpa alasan yang jelas bagi Musa, Khidr membunuh anak itu. Musa kembali terkejut dan menegur Khidr dengan lebih keras, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar." Khidr sekali lagi mengingatkan Musa akan janjinya. Musa kembali meminta maaf dan berjanji bahwa jika ia bertanya lagi, ia akan memisahkan diri dari Khidr.
3. Memperbaiki Dinding Hampir Roboh: Mereka tiba di sebuah desa yang pelit, yang penduduknya tidak mau menjamu mereka. Di sana, Khidr menemukan sebuah dinding yang hampir roboh, dan alih-alih meminta upah atau membiarkannya, Khidr malah memperbaikinya. Musa tidak bisa menahan diri lagi, "Sekiranya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu." Teguran ini, meskipun tidak sekasar sebelumnya, melanggar batas janji Musa. Pada titik ini, Khidr menyatakan bahwa waktu mereka untuk berpisah telah tiba.
Sebelum berpisah, Khidr menjelaskan alasan di balik setiap tindakannya, yang semuanya merupakan kehendak Allah dan memiliki hikmah tersembunyi yang tidak terlihat oleh Musa pada pandangan pertama:
Kisah ini merupakan salah satu narasi paling kaya akan pelajaran dalam Al-Quran, terutama mengenai hakikat ilmu dan kehendak Allah:
Kisah ketiga dalam Surah Al-Kahfi adalah tentang Dhul-Qarnayn, seorang raja yang saleh dan perkasa yang dianugerahi kekuasaan besar oleh Allah. Al-Quran tidak secara spesifik menyebutkan identitas Dhul-Qarnayn, meskipun banyak ulama menafsirkan bahwa ia adalah Cyrus Agung dari Persia atau Alexander Agung. Namun, yang terpenting bukanlah identitasnya, melainkan pelajaran yang terkandung dari perjalanannya dan bagaimana ia menggunakan kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Dhul-Qarnayn adalah prototipe pemimpin ideal yang menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan, keadilan, dan menyebarkan ajaran Allah.
Allah berfirman bahwa Dia telah memberinya kekuasaan di muka bumi dan menganugerahinya sarana untuk mencapai segala sesuatu. Ini berarti Allah memberinya kekuatan fisik, strategi militer, pengetahuan, dan sumber daya untuk menaklukkan wilayah dan membangun peradaban. Dengan anugerah ini, Dhul-Qarnayn melakukan tiga perjalanan penting, yang masing-masing memiliki hikmah tersendiri:
Perjalanan pertama Dhul-Qarnayn adalah ke arah barat. Ia terus berjalan hingga mencapai tempat terbenamnya matahari. Al-Quran menggambarkan bahwa ia melihat matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Ini adalah gambaran visual yang sesuai dengan persepsi manusia dari sudut pandangnya, bukan berarti matahari benar-benar terbenam di dalam lumpur. Ini menunjukkan batas pandang dan pemahaman manusia terhadap fenomena alam.
Di tempat itu, ia menemukan suatu kaum. Allah kemudian memberinya pilihan: apakah ia akan menyiksa mereka atau memperlakukan mereka dengan baik. Pilihan ini adalah ujian bagi kekuasaannya. Bagaimana seorang pemimpin menggunakan otoritasnya terhadap mereka yang ada di bawah kendalinya? Dhul-Qarnayn menjawab dengan bijaksana, "Adapun orang yang berbuat zalim, kami akan menghukumnya, lalu ia akan dikembalikan kepada Tuhannya, kemudian Dia akan mengazabnya dengan azab yang sangat pedih. Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, baginya (ada) balasan yang terbaik, dan akan kami perintahkan kepadanya (sesuatu) yang mudah dari urusan kami."
Keputusan Dhul-Qarnayn menunjukkan prinsip keadilan ilahi: balasan sesuai amal perbuatan. Ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menzalimi, melainkan untuk menegakkan keadilan. Orang zalim akan dihukum sesuai kejahatannya, dan orang baik akan diberi balasan yang pantas. Ini adalah teladan bagi setiap pemimpin untuk berlaku adil, tidak sewenang-wenang, dan selalu mengingat bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawabannya.
Selanjutnya, Dhul-Qarnayn melakukan perjalanan ke arah timur. Ia terus berjalan hingga mencapai tempat terbitnya matahari. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang Allah belum menjadikan bagi mereka penutup dari (cahaya) matahari. Ini bisa diartikan bahwa kaum tersebut hidup di daerah yang sangat terbuka, tanpa tempat berlindung dari panas matahari, atau mereka adalah kaum yang primitif tanpa peradaban yang memadai. Intinya, mereka adalah kaum yang membutuhkan bimbingan dan perlindungan.
Al-Quran tidak merinci interaksi Dhul-Qarnayn dengan kaum ini sebagaimana ia berinteraksi dengan kaum di barat. Namun, disebutkan bahwa "demikianlah; dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya." Ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui detail setiap tindakan Dhul-Qarnayn dan apa yang ia lakukan untuk kaum tersebut. Prinsip yang sama berlaku: Dhul-Qarnayn menggunakan kekuasaannya untuk mengatur, membimbing, dan membawa kebaikan bagi mereka, sesuai dengan petunjuk Allah. Ia tidak menzalimi atau mengeksploitasi mereka, melainkan menggunakan kekuasaannya untuk kemaslahatan.
Perjalanan ketiga Dhul-Qarnayn adalah yang paling terkenal dan penuh hikmah. Ia terus berjalan hingga mencapai tempat di antara dua gunung. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang hampir tidak bisa memahami perkataan. Ini menunjukkan bahwa mereka adalah kaum yang terisolasi dan mungkin memiliki bahasa atau dialek yang sangat berbeda.
Kaum tersebut mengadu kepada Dhul-Qarnayn tentang Yajuj dan Majuj (Gog dan Magog), dua kaum perusak yang selalu membuat kerusakan di bumi. Mereka meminta bantuan Dhul-Qarnayn untuk membangunkan penghalang antara mereka dan Yajuj dan Majuj, dengan imbalan upah. Permintaan ini adalah ujian lain bagi Dhul-Qarnayn: apakah ia akan membangun penghalang itu demi upah atau demi Allah?
Dhul-Qarnayn menjawab, "Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka." Jawabannya menunjukkan kedermawanannya, kerendahan hatinya, dan kesalehannya. Ia tidak membutuhkan upah manusia karena kekayaan dan kekuasaan yang diberikan Allah sudah lebih dari cukup. Ia melakukan pekerjaan ini semata-mata karena Allah dan untuk melindungi kaum yang tertindas.
Dengan bantuan kaum tersebut, Dhul-Qarnayn memerintahkan untuk mengumpulkan potongan-potongan besi dan menuangkannya dengan tembaga cair. Ia membangun sebuah dinding yang sangat kokoh, tingginya sejajar dengan kedua puncak gunung, sehingga Yajuj dan Majuj tidak dapat memanjatnya atau melubanginya. Dinding ini menjadi benteng pertahanan yang kuat, memberikan keamanan bagi kaum yang lemah dari gangguan perusak.
Setelah pembangunan selesai, Dhul-Qarnayn tidak membanggakan diri atas pencapaiannya. Sebaliknya, ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu benar." Pernyataan ini menunjukkan kesadarannya yang mendalam bahwa segala kekuasaan, kemampuan, dan pencapaiannya berasal dari Allah. Ia juga memahami bahwa benteng itu hanya bersifat sementara, dan pada waktunya, sesuai kehendak Allah, ia akan hancur—mengisyaratkan kemunculan Yajuj dan Majuj di akhir zaman sebagai salah satu tanda Kiamat. Hal ini juga menegaskan kembali bahwa segala sesuatu tunduk pada kehendak Allah, Sang Maha Pengatur.
Kisah Dhul-Qarnayn dalam Surah Al-Kahfi adalah sebuah mahakarya yang mengajarkan tentang kekuasaan, kepemimpinan, dan keadilan:
Kisah keempat dalam Surah Al-Kahfi adalah perumpamaan tentang dua orang laki-laki, umumnya ditafsirkan sebagai dua saudara atau dua teman, yang Allah berikan rezeki yang berbeda. Kisah ini adalah tentang ujian kekayaan dan bagaimana manusia merespons anugerah Allah.
Salah satu dari mereka adalah seorang yang Allah karuniai dua kebun anggur yang subur, dikelilingi dengan pohon kurma, dan di antara keduanya dialiri sungai. Kebunnya menghasilkan buah-buahan yang melimpah ruah tanpa henti. Ia memiliki segala yang ia inginkan secara materi, kekayaan yang melimpah ruah, sebuah simbol kesuksesan duniawi. Ini adalah anugerah besar dari Allah, namun sayangnya, ia gagal dalam mengelola anugerah tersebut dengan rasa syukur.
Saudaranya yang lain adalah orang yang hidup dalam kesederhanaan, dengan rezeki yang tidak sebanyak pemilik kebun. Ia adalah orang yang beriman dan bertawakal kepada Allah, meskipun ia tidak memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Kontras antara keduanya sangat mencolok: satu kaya raya dan cenderung sombong, yang lain sederhana namun teguh imannya kepada Allah.
Pemilik kebun yang kaya raya ini menjadi sangat sombong dan angkuh. Ia masuk ke kebunnya dengan perasaan bangga dan takjub pada dirinya sendiri. Ia berkata kepada saudaranya, "Hartaku lebih banyak daripada hartamu, dan pengikutku lebih kuat." Perkataan ini menunjukkan puncak kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap bahwa kekayaannya adalah hasil dari usahanya sendiri semata, tanpa menghubungkannya dengan karunia Allah. Ia lupa bahwa semua itu adalah pinjaman dari Allah dan bisa diambil kapan saja.
Kesombongannya tidak berhenti di situ. Ia bahkan meragukan hari Kiamat dan kebangkitan kembali. Ia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak yakin hari Kiamat itu akan datang; dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan memperoleh tempat kembali yang lebih baik dari ini." Ini adalah pernyataan kufur yang jelas, menolak kekuasaan Allah atas dunia dan akhirat. Ia terlalu terpukau dengan keindahan dan kemewahan dunianya, hingga ia melupakan penciptanya, Allah SWT.
Ia menganggap bahwa jika pun ada kehidupan setelah kematian, Allah akan tetap memberinya yang terbaik, seolah-olah kekayaannya di dunia ini adalah bukti bahwa ia adalah hamba yang paling dicintai Allah. Ini adalah pemikiran yang salah kaprah dan sangat berbahaya, mencerminkan pemahaman yang dangkal tentang keadilan dan rahmat Allah.
Saudaranya yang beriman, meskipun lebih miskin, mencoba menasihatinya dengan lembut dan penuh hikmah. Ia berkata, "Mengapa engkau kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (berkeyakinan): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku."
Nasihat ini sangat mendalam. Ia mengingatkan saudaranya tentang asal usulnya yang lemah, diciptakan dari tanah dan setetes mani, sebuah pengingat akan kebesaran Allah dan kehinaan manusia tanpa-Nya. Ia juga menegaskan kembali keyakinan tauhidnya, menolak segala bentuk kesyirikan, dan tidak pernah mengklaim kekuasaan atau kekuatan apa pun bagi dirinya sendiri, melainkan selalu mengaitkannya dengan Allah.
Ia melanjutkan nasihatnya, "Dan mengapa tidakkah ketika engkau masuk ke kebunmu, engkau mengucapkan 'Maa syaa Allah, laa quwwata illa billah' (Sungguh atas kehendak Allah, semua ini terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)?" Ini adalah etika bersyukur dan mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah. Ia juga memperingatkan saudaranya bahwa Allah Mahakuasa untuk menghancurkan kebunnya, dan bahwa kekayaan duniawi hanyalah ujian sementara.
Tidak lama setelah nasihat itu diberikan, azab Allah pun datang. Kebun yang indah dan subur itu hancur luluh. Buah-buahannya binasa, pohon-pohonnya tumbang, dan segala usaha yang telah ia tanam menjadi sia-sia. Ia menyaksikan kehancuran kebunnya dengan penyesalan yang mendalam. Ia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda penyesalan yang teramat sangat) dan berkata, "Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku."
Penyesalan itu datang terlambat. Kekayaannya yang ia banggakan lenyap dalam sekejap. Tidak ada seorang pun dari pengikutnya yang bisa menolongnya dari azab Allah, dan ia pun tidak bisa menolong dirinya sendiri. Ini adalah gambaran nyata dari kehinaan manusia tanpa pertolongan Allah dan betapa fana-nya kekayaan duniawi.
Kisah ini adalah peringatan keras bagi kita semua tentang bahaya kekayaan jika tidak dikelola dengan benar dan disyukuri kepada Allah:
Selain keempat kisah utama yang telah diuraikan di atas, Surah Al-Kahfi secara keseluruhan mengandung banyak sekali hikmah dan pelajaran yang saling terkait, membentuk sebuah panduan holistik bagi kehidupan seorang Muslim. Surah ini bukan hanya sekumpulan cerita, melainkan sebuah peta jalan untuk menavigasi kompleksitas dunia ini dengan iman yang kokoh dan kebijaksanaan ilahi.
Para ulama banyak yang menyimpulkan bahwa empat kisah utama dalam Surah Al-Kahfi merepresentasikan empat ujian atau fitnah terbesar yang akan dihadapi manusia dalam hidup, terutama di akhir zaman, dan bagaimana cara menghadapinya dengan pertolongan Allah:
Sepanjang Surah Al-Kahfi, ada penekanan kuat pada pentingnya mengingat Allah (dzikrullah) dan tidak melupakan-Nya. Misalnya, dalam kisah Musa dan Khidr, ketika Yusha' bin Nun lupa memberitahu Musa tentang ikan yang hidup kembali, Allah menyatakannya sebagai kelalaian yang disebabkan oleh setan. Ini menunjukkan betapa mudahnya kita melupakan hal-hal penting jika kita tidak senantiasa mengingat Allah. Selain itu, ada anjuran untuk selalu mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) ketika berjanji atau berencana, sebagai bentuk pengakuan bahwa segala sesuatu bergantung pada kehendak Allah.
"Dan janganlah engkau berkata tentang sesuatu, 'Aku pasti akan melakukannya besok pagi,' kecuali (dengan mengucapkan), 'Insya Allah.' Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.'" (QS. Al-Kahfi: 23-24)
Ayat ini adalah pengingat konstan bahwa segala rencana dan kemampuan kita terbatas. Kekuatan dan kendali sejati hanya milik Allah. Mengucapkan Insya Allah adalah bentuk kerendahan hati dan penyerahan diri kepada kekuasaan Allah. Juga, ketika kita lupa atau berbuat salah, kita dianjurkan untuk segera mengingat Allah dan memohon ampunan-Nya (istighfar).
Surah Al-Kahfi secara berulang kali mengingatkan kita tentang kefanaan kehidupan dunia dan keabadian akhirat. Kisah dua pemilik kebun adalah contoh paling jelas bagaimana kemewahan dunia bisa hancur dalam sekejap mata. Allah menggambarkan kehidupan dunia ini bagaikan hujan yang turun dari langit, lalu tumbuh-tumbuhan menjadi subur karenanya, kemudian mengering dan diterbangkan angin.
"Dan buatlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air hujan yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Kahfi: 45)
Ayat ini menekankan bahwa kekayaan, kedudukan, dan segala kenikmatan dunia hanyalah sementara, bagaikan bunga yang mekar sesaat lalu layu dan musnah. Sebaliknya, Allah mendorong kita untuk berinvestasi pada amal saleh dan keimanan, karena itulah yang akan kekal di sisi Allah.
"Harta dan anak-anak hanyalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al-Kahfi: 46)
Ini adalah seruan untuk mengalihkan fokus dari pengejaran dunia semata kepada persiapan untuk kehidupan abadi di akhirat, di mana balasan Allah jauh lebih besar dan kekal.
Kisah Musa dan Khidr adalah inti dari pelajaran tentang kesabaran. Musa, meskipun seorang nabi, harus belajar bersabar untuk memahami hikmah di balik tindakan Khidr. Ini mengajarkan kita bahwa dalam menuntut ilmu, kita harus sabar dan rendah hati. Tidak semua pengetahuan akan segera kita pahami, dan terkadang ada hikmah yang lebih besar yang tersembunyi dari pandangan kita. Sama halnya dalam menghadapi takdir Allah, banyak kejadian yang mungkin terlihat tidak adil atau menyakitkan, namun di baliknya terdapat rencana dan kebijaksanaan Allah yang sempurna. Kesabaran dan keikhlasan adalah kunci untuk menerima takdir dan melihat kebaikan di baliknya.
Setiap kisah dalam Surah Al-Kahfi menunjukkan bagaimana Allah akan menolong hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakal. Ashabul Kahfi dilindungi dari raja zalim dan tidur selama ratusan tahun. Musa diberi ilmu melalui Khidr. Dhul-Qarnayn diberi kekuasaan untuk membantu yang lemah. Bahkan dalam kisah dua pemilik kebun, meskipun yang kaya dihukum, saudaranya yang beriman tetap teguh dan mendapatkan pelajaran berharga.
Ini menegaskan janji Allah bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Pertolongan Allah bisa datang dalam bentuk yang tak terduga, bahkan melalui hal-hal yang di luar nalar manusia. Kuncinya adalah keyakinan penuh kepada Allah dan penyerahan diri total kepada-Nya.
Meskipun Dajjal tidak disebutkan secara langsung dalam kisah-kisah di Al-Kahfi, Rasulullah SAW mengaitkan Surah ini dengan perlindungan dari fitnah Dajjal. Ini karena Surah Al-Kahfi secara implisit mengajarkan bagaimana menghadapi godaan-godaan besar yang akan dibawa Dajjal, yaitu godaan terhadap iman, harta, ilmu, dan kekuasaan. Membaca dan menghafal sepuluh ayat pertama atau sepuluh ayat terakhir dari Surah Al-Kahfi dianjurkan sebagai perisai dari Dajjal. Ini menunjukkan relevansi surah ini dalam konteks akhir zaman dan pentingnya memahami pesannya sebagai persiapan menghadapi ujian terbesar umat manusia.
Dalam kisah Ashabul Kahfi, para pemuda itu saling menguatkan iman satu sama lain. Dalam kisah dua pemilik kebun, saudara yang beriman berusaha menasihati saudaranya yang sombong. Ini menunjukkan pentingnya ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam, saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran, serta mendukung satu sama lain dalam ketaatan kepada Allah. Seorang Muslim tidak boleh hidup menyendiri dalam menghadapi fitnah, melainkan harus mencari komunitas yang saling menguatkan.
Secara keseluruhan, Surah Al-Kahfi adalah demonstrasi keagungan dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Dari membuat manusia tidur beratus-ratus tahun, mengendalikan alam, menganugerahkan ilmu ladunni, hingga memberikan kekuasaan kepada pemimpin yang saleh—semua itu adalah bukti bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Setiap kejadian dalam surah ini memperkuat keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bergerak sesuai dengan kehendak dan pengaturan Allah, Sang Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan Maha Pengatur.
Kisah-kisah ini mengajarkan kita bahwa manusia, dengan segala keterbatasannya, harus senantiasa bersandar kepada Allah, mencari keridhaan-Nya, dan berpegang teguh pada syariat-Nya. Ini adalah kunci kebahagiaan sejati di dunia dan keselamatan di akhirat.
Surah Al-Kahfi adalah permata Al-Quran yang tidak pernah kehilangan relevansinya. Ia adalah mercusuar yang memancarkan cahaya petunjuk di tengah kegelapan fitnah dunia. Melalui kisah-kisah Ashabul Kahfi, Musa dan Khidr, Dhul-Qarnayn, serta dua pemilik kebun, Allah SWT telah menyajikan pelajaran-pelajaran yang sangat mendalam dan praktis untuk kehidupan kita.
Kita belajar tentang pentingnya keteguhan iman di hadapan tirani, seperti yang ditunjukkan oleh Ashabul Kahfi. Mereka memilih untuk mempertahankan tauhid mereka kepada Allah meskipun harus meninggalkan segala kenyamanan duniawi, dan sebagai balasannya, Allah memberikan perlindungan dan mukjizat yang luar biasa. Kisah ini adalah pengingat bahwa iman adalah aset paling berharga, dan bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
Dari kisah Musa dan Khidr, kita dihadapkan pada hakikat ilmu yang tak terbatas dan hikmah tersembunyi di balik setiap peristiwa. Kisah ini mengajarkan kita kerendahan hati dalam menuntut ilmu, pentingnya kesabaran di hadapan hal-hal yang tidak kita pahami, dan kebergantungan total pada kebijaksanaan Allah. Tidak semua yang terlihat buruk di mata kita adalah buruk sepenuhnya, dan seringkali ada kebaikan besar yang tersembunyi di balik takdir Allah yang Maha Bijaksana.
Kisah Dhul-Qarnayn adalah cerminan bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan. Ia adalah teladan pemimpin yang adil, rendah hati, dan menggunakan anugerah Allah untuk menegakkan kebaikan, menolong yang lemah, dan membangun peradaban yang berlandaskan keadilan. Kisah ini menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan alat untuk kesombongan atau penindasan.
Dan kisah dua pemilik kebun menjadi peringatan keras tentang bahaya kekayaan dan kesombongan. Harta benda adalah ujian, dan jika tidak disyukuri serta dikelola dengan benar, ia dapat menyeret seseorang pada kekufuran dan penyesalan yang mendalam. Kisah ini mengingatkan kita akan kefanaan dunia dan pentingnya berinvestasi pada amal saleh yang kekal di sisi Allah.
Secara keseluruhan, Surah Al-Kahfi adalah pengingat konstan akan keagungan dan kekuasaan Allah (Allah Yang Maha Kuasa) yang tak terbatas, pentingnya tawakal, dzikrullah, dan persiapan untuk akhirat. Ini adalah surah yang membimbing kita melewati empat fitnah besar kehidupan—fitnah iman, ilmu, harta, dan kekuasaan—dengan bekal keteguhan hati dan kebijaksanaan ilahi.
Dengan merenungkan dan mengamalkan pesan-pesan Surah Al-Kahfi, kita akan diperkuat iman kita, hati kita akan menjadi lebih tenang, dan langkah kita akan lebih terarah di jalan kebenaran. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur, sabar, rendah hati, dan senantiasa berpegang teguh pada tali agama-Nya, terhindar dari segala fitnah dunia, hingga tiba saatnya kita kembali kepada-Nya dengan hati yang damai. Aamiin.