Al-Fatihah, surat pembuka dalam Al-Qur'an, adalah permata yang tak ternilai. Setiap ayatnya adalah lautan hikmah, dan ayat ketujuh khususnya, memegang peranan krusial dalam membentuk pandangan dunia dan spiritualitas seorang Muslim. Ayat ini, yang berbunyi, "غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ", yang berarti "Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat", adalah puncak dari doa seorang hamba yang memohon hidayah kepada Allah. Setelah memohon jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim) dan jalan orang-orang yang diberi nikmat, ayat ini secara eksplisit mengidentifikasi dua jalur yang harus dihindari.
Pentingnya ayat ini tidak bisa diremehkan. Seorang Muslim wajib membacanya minimal 17 kali sehari dalam shalat fardhu. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan bahaya penyimpangan dari jalan yang benar harus selalu hadir dalam setiap langkah dan keputusan hidup. Permohonan untuk tidak digolongkan sebagai "mereka yang dimurkai" atau "mereka yang sesat" adalah inti dari perlindungan spiritual dan intelektual yang kita cari dari Allah.
Artikel ini akan mengupas tuntas makna mendalam dari Al-Fatihah Ayat 7. Kita akan menjelajahi siapa saja yang dimaksud dengan "mereka yang dimurkai" dan "mereka yang sesat" berdasarkan tafsir klasik dan kontemporer, mengidentifikasi ciri-ciri mereka, serta menarik pelajaran berharga yang relevan untuk kehidupan kita di era modern ini. Tujuan utama adalah untuk memperkuat pemahaman kita tentang Shiratal Mustaqim, jalan yang penuh berkah, dan bagaimana kita dapat senantiasa berada di atasnya.
Untuk memahami inti dari ayat ini, mari kita ulas kembali ayat-ayat sebelumnya dalam Al-Fatihah yang menjadi konteksnya:
1. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.2. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.3. الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.4. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Penguasa hari Pembalasan.5. إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.6. اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus.7. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat keenam adalah inti dari permohonan hamba kepada Tuhannya: "Tunjukilah kami jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim)." Ini bukan sekadar permintaan, melainkan pengakuan akan ketergantungan mutlak kepada Allah untuk hidayah. Kemudian, ayat ketujuh datang sebagai penjelasan detail mengenai Shiratal Mustaqim. Pertama, ia dijelaskan secara positif: "jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka." Setelah itu, dijelaskan secara negatif, yaitu dengan menyebutkan siapa yang bukan bagian dari jalan itu: "bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." Pendekatan ini sangat efektif dalam pendidikan, karena dengan mengetahui apa yang harus dihindari, kita dapat lebih jelas melihat apa yang harus diikuti.
Frasa "غير المغضوب عليهم" (Ghairil Maghdubi 'alaihim) berarti "bukan (jalan) mereka yang dimurkai." Mayoritas mufasir (ahli tafsir) sepakat bahwa kelompok yang "dimurkai" dalam ayat ini adalah mereka yang mengetahui kebenaran, namun sengaja menolak dan mengingkarinya, bahkan memusuhi dan melanggar perintah Allah dengan kesadaran penuh. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu, namun tidak mengamalkannya, bahkan menyimpang darinya.
Secara historis, banyak ulama menunjuk Bani Israil (khususnya Yahudi) sebagai contoh utama kelompok yang dimurkai. Al-Qur'an berulang kali menceritakan bagaimana Allah memberikan berbagai nikmat dan petunjuk kepada mereka, termasuk Taurat dan para nabi, namun mereka seringkali menolak, melanggar janji, membunuh nabi, dan menyimpangkan ajaran. Beberapa ayat Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan murka Allah atas mereka:
QS. Al-Baqarah (2): 61: "...mereka ditimpa kehinaan dan kemiskinan, dan mereka kembali dengan kemurkaan dari Allah..."
QS. Al-Ma'idah (5): 60: "Katakanlah (Muhammad), 'Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk balasannya dari itu di sisi Allah? Yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan orang yang menyembah Tagut.' Mereka itu lebih buruk kedudukannya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus."
Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa Bani Israil secara spesifik adalah kelompok yang telah menerima ilmu dan petunjuk yang jelas, namun memilih untuk mengingkari, melanggar, dan menentangnya. Mereka tahu kebenaran tetapi menolak menerimanya karena kesombongan, kedengkian, atau kecintaan terhadap dunia. Mereka lebih mementingkan keuntungan jangka pendek dan hawa nafsu dibandingkan dengan kebenaran abadi dari Allah.
Perlu dicatat bahwa penyebutan Bani Israil sebagai contoh tidak berarti semua individu dari umat tersebut tergolong demikian, melainkan merujuk pada pola umum penyimpangan yang diperlihatkan oleh sebagian besar mereka dalam sejarah, sebagaimana dicatat dalam Al-Qur'an. Ini adalah peringatan bagi setiap umat, termasuk umat Islam, agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Meskipun Bani Israil adalah contoh historis yang menonjol, konsep "mereka yang dimurkai" lebih luas dari sekadar satu etnis atau agama. Ini adalah deskripsi tentang kondisi spiritual dan moral yang bisa menimpa siapa saja, bahkan seorang Muslim sekalipun, jika ia memiliki ilmu namun enggan mengamalkannya. Ciri-ciri umum yang dapat kita ambil dari kelompok ini antara lain:
Inti dari kelompok yang dimurkai adalah penyimpangan yang disengaja dan berlandaskan pengetahuan yang diabaikan atau ditolak. Mereka tahu mana yang benar, tetapi memilih jalan yang salah. Ini adalah bahaya besar karena mereka tidak bisa lagi berdalih ketidaktahuan.
Frasa "ولا الضَّالِّينَ" (Waladh Dhaallin) berarti "dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." Mayoritas ulama tafsir mengidentifikasi kelompok ini sebagai mereka yang tersesat dari jalan yang benar karena kebodohan, salah tafsir, atau niat baik yang tidak didasari ilmu yang benar. Mereka mungkin tulus dalam mencari kebenaran dan beribadah, namun tanpa bimbingan yang tepat, mereka berakhir di jalan yang salah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki niat untuk beramal, tetapi amalan mereka tidak sesuai dengan tuntunan ilahi yang sahih.
Secara historis, banyak ulama menunjuk kaum Nasrani (Kristen) sebagai contoh utama kelompok yang sesat. Hal ini bukan dalam konteks menafikan aspek keimanan mereka atau menuduh niat buruk, melainkan dalam konteks perbandingan dengan ajaran tauhid murni yang dibawa oleh Islam. Al-Qur'an menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang, meskipun memiliki niat ibadah dan ketaatan yang tulus, namun tersesat dalam keyakinan-keyakinan tertentu seperti trinitas, pengkultusan individu, atau praktik-praktik yang menyimpang dari tauhid murni yang diajarkan oleh Nabi Isa (Yesus). Mereka beribadah dengan penuh semangat, tetapi amalannya tidak bersandar pada ilmu yang benar dari wahyu yang belum terdistorsi.
QS. Al-Ma'idah (5): 77: "Katakanlah (Muhammad), 'Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu, dan banyak (manusia) yang disesatkan, dan mereka sendiri telah tersesat dari jalan yang lurus.'"
Ayat ini menunjukkan bahwa ada penyimpangan dalam akidah mereka yang terjadi karena "berlebih-lebihan" atau melampaui batas dalam beragama (ghuluw), yang pada akhirnya menyebabkan mereka tersesat. Mereka tidak menolak kebenaran secara sengaja seperti kelompok yang dimurkai, melainkan menyimpang karena kesalahan pemahaman, penafsiran, atau inovasi yang tidak berdasar.
Di sini juga penting untuk memahami bahwa "Nasrani" sebagai contoh merujuk pada pola penyimpangan dari ajaran asli tauhid, bukan vonis mutlak atas setiap individu. Pelajaran pentingnya adalah bahaya dari ibadah yang tidak dilandasi ilmu yang benar.
Sama seperti kelompok yang dimurkai, "mereka yang sesat" juga merupakan deskripsi tentang kondisi spiritual dan intelektual yang lebih luas, yang dapat menimpa siapa saja yang beribadah atau beramal tanpa ilmu yang benar. Ciri-ciri umum yang dapat kita pelajari dari kelompok ini antara lain:
Inti dari kelompok yang sesat adalah penyimpangan yang terjadi karena ketidaktahuan, salah tafsir, atau kurangnya bimbingan ilmu yang benar. Mereka mungkin memiliki niat yang baik dan semangat yang tinggi, tetapi berakhir di jalan yang salah karena kurangnya cahaya ilmu.
Memahami perbedaan antara kedua kelompok ini adalah kunci untuk memahami pesan Al-Fatihah Ayat 7 secara mendalam. Kedua kelompok ini mewakili dua bentuk penyimpangan utama dari Shiratal Mustaqim, namun dengan akar masalah yang berbeda, yang bisa kita rangkum sebagai berikut:
Seorang Muslim memohon kepada Allah agar tidak jatuh ke dalam salah satu dari dua kategori ini. Kita ingin ilmu yang benar DAN amal yang benar. Kita ingin beramal dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk yang sahih. Islam mengajarkan bahwa pengetahuan harus diikuti dengan tindakan yang benar, dan tindakan harus didasari oleh pengetahuan yang benar. Inilah esensi dari Shiratal Mustaqim.
Permohonan dalam Al-Fatihah Ayat 7 diulang minimal 17 kali sehari dalam shalat fardhu. Pengulangan yang intens ini bukan tanpa makna; ia adalah pengingat konstan akan pentingnya:
Setiap kali kita mengucapkan ayat ini, kita sebenarnya sedang memperbarui komitmen kita untuk tetap berada di atas jalan yang lurus dan memohon perlindungan dari segala bentuk penyimpangan. Ini adalah momen untuk introspeksi dan memohon petunjuk berkelanjutan.
Pemahaman mendalam tentang Al-Fatihah Ayat 7 memberikan banyak pelajaran praktis yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga diri tetap berada di Shiratal Mustaqim:
Untuk menghindari menjadi "orang yang sesat," kita harus senantiasa mencari ilmu agama dari sumber yang autentik, terpercaya, dan sesuai dengan pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Ini berarti belajar dari ulama yang kompeten dan berpegang teguh pada manhaj yang benar. Tanpa ilmu yang benar, niat baik sekalipun bisa mengarah pada kesesatan. Ini mencakup:
Untuk menghindari menjadi "orang yang dimurkai," kita tidak hanya perlu memiliki ilmu, tetapi juga harus mengamalkannya dengan ikhlas dan konsisten. Mengetahui kebenaran tetapi enggan melaksanakannya, atau bahkan menentangnya karena kesombongan atau kecintaan pada dunia, adalah ciri khas kelompok yang dimurkai. Ini mencakup:
Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak hanya mengikuti tradisi atau pendapat orang banyak secara buta tanpa mempertanyakan kebenarannya. Baik menjadi "dimurkai" atau "sesat" seringkali bermula dari ketidakmauan untuk mencari kebenaran yang mandiri dan berdasarkan dalil yang kuat. Kita harus memiliki keberanian intelektual untuk bertanya, mencari, dan memverifikasi apa yang kita yakini, bukan sekadar ikut-ikutan. Fanatisme terhadap kelompok atau individu tertentu tanpa dasar ilmu yang kuat adalah pintu menuju kesesatan.
Islam adalah jalan tengah (wasatiyyah), sebuah agama yang seimbang dan moderat. Ini berarti menghindari ekstremisme di kedua sisi:
Seorang Muslim sejati adalah mereka yang memadukan ilmu dan amal, akal dan wahyu, hati dan syariat, menjadikannya satu kesatuan yang harmonis dalam kehidupannya.
Fakta bahwa doa ini diulang terus-menerus menunjukkan betapa vitalnya memohon hidayah dan perlindungan dari Allah. Kita harus senantiasa sadar bahwa kekuatan untuk tetap di jalan yang benar hanya datang dari Allah. Doa adalah pengakuan akan kelemahan dan ketergantungan kita kepada-Nya. Ia adalah penyerahan total bahwa tanpa bimbingan-Nya, kita akan tersesat. Oleh karena itu, kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh, penuh harapan, dan keyakinan.
Setiap kali membaca ayat ini, kita harus merenungkan dan melakukan muhasabah diri. Apakah ada aspek dalam hidup kita yang mengarah pada ciri-ciri "dimurkai" atau "sesat"? Apakah kita telah mengabaikan ilmu yang kita miliki? Apakah kita beramal tanpa dasar yang kuat? Introspeksi rutin membantu kita memperbaiki diri, mengoreksi arah, dan memohon ampunan atas kesalahan yang mungkin telah kita lakukan, serta memohon kekuatan untuk istiqamah.
Ayat 7 tidak berdiri sendiri; ia adalah kelanjutan logis dan puncak dari seluruh rangkaian Al-Fatihah, menjadikannya sebuah kesatuan doa yang sempurna:
Al-Fatihah dimulai dengan pujian kepada Allah sebagai Rabbul 'Alamin (Tuhan semesta alam), Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan Malik Yaumiddin. Ini adalah pengakuan Tauhid Rububiyah (keesaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Pengatur segala sesuatu) dan sebagian dari Tauhid Asma wa Sifat (keesaan Allah dalam nama dan sifat-Nya). Kemudian dilanjutkan dengan "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in," yang merupakan deklarasi Tauhid Uluhiyah (keesaan Allah dalam peribadatan dan permohonan pertolongan). Ayat ini adalah janji dan ikrar kita kepada Allah.
Setelah pengakuan dan ikrar ini, permohonan "Ihdinas Shiratal Mustaqim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus) menjadi sangat tepat. Mengapa? Karena hanya Allah yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk memberi petunjuk. Setelah mengakui keesaan-Nya dalam penciptaan, pengurusan, nama dan sifat, serta peribadatan dan pertolongan, adalah logis untuk memohon hidayah dari-Nya, sebab Dialah satu-satunya sumber hidayah sejati.
Ayat 7 kemudian menjelaskan apa itu Shiratal Mustaqim dengan dua cara: positif dan negatif. Secara positif, ia adalah "Shiratal ladzina an'amta 'alaihim" (jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka). Siapakah mereka? Al-Qur'an secara eksplisit menjawabnya dalam Surat An-Nisa (4): 69:
"Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin (orang-orang yang sangat jujur dalam iman), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman."
Jadi, jalan yang lurus adalah jalan para nabi yang menyampaikan wahyu, orang-orang yang jujur dan tulus dalam membenarkan dan mengamalkan ajaran nabi, para syuhada yang mengorbankan jiwa di jalan Allah, dan orang-orang saleh yang mengabdikan hidupnya untuk kebaikan dan ketaatan. Ini adalah jalan yang penuh dengan keberkahan, rahmat, dan petunjuk ilahi. Kita memohon kepada Allah untuk digolongkan bersama mereka, meneladani mereka, dan mengikuti jejak langkah mereka.
Setelah menjelaskan secara positif, Allah melanjutkannya dengan penjelasan negatif: "bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." Ini adalah metode pengajaran yang sangat efektif untuk memperjelas batas-batas. Dengan menyebutkan siapa yang bukan bagian dari jalan yang benar, kita dapat lebih memahami esensi dari jalan yang benar itu sendiri dan mengapa kita harus menghindarinya. Kedua kategori ini mewakili spektrum penuh penyimpangan yang mungkin dihadapi manusia, baik karena kesombongan menolak kebenaran (maghdub) maupun karena kebodohan atau salah arah (dhaallin).
Doa ini adalah pengakuan bahwa ada banyak jalan, tetapi hanya satu yang lurus. Dan di antara jalan-jalan yang menyimpang, ada dua jenis utama yang harus kita hindari dengan segala upaya, yaitu jalan orang yang tahu kebenaran tetapi menolaknya, dan jalan orang yang tersesat karena ketidaktahuan atau salah arah. Ini menunjukkan kesempurnaan Al-Fatihah sebagai doa yang komprehensif.
Tidak lengkap membahas penyimpangan tanpa menyebut peran iblis dan bala tentaranya. Iblis telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A'raf (7): 16-17:
"Iblis berkata, 'Karena Engkau telah menyesatkanku, sungguh aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.'"
Strategi Iblis sangat sesuai dengan dua kategori penyimpangan yang disebutkan dalam Al-Fatihah Ayat 7:
Oleh karena itu, doa dalam Al-Fatihah Ayat 7 adalah juga permohonan perlindungan dari godaan Iblis yang senantiasa berusaha menggiring kita ke salah satu dari dua jalan yang menyimpang tersebut. Memahami taktik Iblis membantu kita lebih waspada dan memperkuat permohonan kita kepada Allah.
Di era modern ini, di mana informasi membanjiri kita dari segala arah, ideologi bertebaran, dan tantangan spiritual semakin kompleks, makna Al-Fatihah Ayat 7 menjadi semakin relevan dan mendesak. Bagaimana kita dapat mewujudkan Shiratal Mustaqim dan menghindari jalan yang dimurkai serta yang sesat di tengah kompleksitas dunia saat ini?
Dengan kemudahan akses informasi melalui internet dan media sosial, kita harus menjadi sangat selektif dan kritis dalam memilih sumber ilmu agama. Banyak sekali "ustaz" atau "guru" dadakan yang bermunculan dengan pemahaman yang dangkal, salah tafsir, atau bahkan menyimpang dari ajaran Islam yang autentik. Untuk menghindari "kesesatan" (karena beramal tanpa ilmu yang benar), kita harus:
Untuk menghindari "kemurkaan," kita harus memastikan bahwa ilmu yang kita peroleh tidak hanya berhenti di otak sebagai teori, tetapi meresap ke dalam hati dan terefleksi dalam tindakan nyata. Ilmu tanpa amal adalah pohon tanpa buah. Ini berarti:
Iman adalah benteng utama seorang Muslim. Kelemahan iman dapat menyebabkan kita mudah terombang-ambing antara godaan menjadi "dimurkai" (karena menolak kebenaran) atau "sesat" (karena tidak tahu arah). Perkuat iman dengan:
Meskipun kita harus selektif, kita juga harus memiliki hati yang terbuka terhadap kebenaran. Jangan sampai kesombongan, fanatisme buta, atau prasangka membuat kita menolak kebenaran hanya karena ia datang dari seseorang atau kelompok yang tidak kita sukai, atau karena itu berbeda dengan pemahaman awal kita. Kebenaran adalah milik Allah, dan kita harus menerimanya di mana pun kita menemukannya, selama itu sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih. Ini membutuhkan kerendahan hati dan objektivitas.
Jalan tengah (wasatiyyah) adalah esensi Islam. Ini berarti tidak berlebihan (ghuluw) dan tidak pula meremehkan (tafrith) dalam beragama. Kelompok yang sesat seringkali terjerumus dalam ghuluw (berlebihan, seperti mengkultuskan individu atau melakukan bid'ah), sedangkan kelompok yang dimurkai seringkali meremehkan syariat (tafrith) atau mengingkari kebenaran. Muslim harus mencari keseimbangan yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu jalan yang moderat, tidak terlalu keras dan tidak terlalu longgar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah.
Al-Fatihah Ayat 7 adalah lebih dari sekadar kalimat yang diulang dalam setiap shalat. Ia adalah peta jalan kehidupan seorang Muslim, sebuah peringatan abadi, dan permohonan yang tak putus-putus yang menuntun kita menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya memohon jalan yang lurus, tetapi juga memahami secara konkret apa saja yang bukan jalan yang lurus itu. Dengan demikian, kita dilengkapi dengan wawasan yang komprehensif untuk menavigasi kompleksitas dunia dan mencapai tujuan akhir kita.
Permohonan untuk tidak menjadi "mereka yang dimurkai" adalah permohonan untuk dilindungi dari kesombongan intelektual, dari pengkhianatan terhadap kebenaran yang telah diketahui, dari keengganan untuk tunduk pada perintah Allah, dan dari hidup yang mengutamakan hawa nafsu di atas petunjuk ilahi. Ini adalah permohonan untuk senantiasa memiliki hati yang tunduk, akal yang mau menerima hidayah, dan konsisten dalam mengamalkan ilmu yang benar.
Sementara itu, permohonan untuk tidak menjadi "mereka yang sesat" adalah permohonan untuk dilindungi dari kebodohan, dari salah tafsir yang menyesatkan, dari taklid buta, dan dari amal yang tidak berdasar atau bid'ah. Ini adalah permohonan untuk senantiasa mencari ilmu yang sahih, berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, dan tidak mengikuti jalan bid'ah atau khurafat, meskipun dengan niat yang baik, karena niat baik saja tidak cukup tanpa cara yang benar.
Setiap kali kita mengucapkan "Ghairil Maghdubi 'alaihim wa lad Dhaallin" dalam shalat, biarlah hati kita ikut merenungi maknanya yang agung. Biarlah ia menjadi pemicu untuk terus belajar, beramal, berintrospeksi, dan memperbarui komitmen kita untuk tetap teguh di atas Shiratal Mustaqim, jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, hingga akhir hayat kita. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua menuju kebenaran sejati dan melindungi kita dari segala bentuk penyimpangan.