Makna Mendalam Ayat ke-6 Surah Al-Fatihah: Memohon Jalan yang Lurus

Jalan Lurus Menuju Petunjuk Ilahi Ilustrasi simbolis sebuah jalan yang lurus dan terang benderang yang menanjak ke atas, menuju sebuah cahaya bintang di langit. Melambangkan pencarian dan penerimaan petunjuk ilahi, petunjuk ke Jalan yang Lurus.

Surah Al-Fatihah, yang juga dikenal sebagai Umm Al-Kitab (Induk Kitab) atau Umm Al-Quran (Induk Al-Quran), adalah surah pertama dalam mushaf Al-Quran yang agung. Ia merupakan inti sari dari seluruh ajaran Islam, sebuah ringkasan komprehensif yang mencakup tauhid, iman, ibadah, seruan, janji, ancaman, kisah, serta petunjuk. Setiap Muslim diwajibkan untuk membacanya dalam setiap rakaat shalat, setidaknya 17 kali sehari semalam, menunjukkan betapa sentralnya surah ini dalam kehidupan spiritual seorang mukmin.

Di antara ayat-ayatnya yang penuh hikmah, Ayat ke-6 memiliki kedudukan yang sangat istimewa dan mendalam. Ayat ini merupakan puncak dari interaksi antara hamba dan Tuhannya dalam Surah Al-Fatihah. Setelah memuji, mengagungkan, dan menyatakan ikrar penghambaan serta permohonan pertolongan, seorang Muslim kemudian memanjatkan doa paling fundamental dan krusial:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

"Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm"

Yang artinya: "Tunjukilah kami jalan yang lurus."

Ayat pendek ini, yang hanya terdiri dari tiga kata dalam bahasa Arab, menyimpan samudra makna yang tidak akan pernah habis digali. Ia adalah inti dari setiap permohonan, fondasi setiap usaha, dan tujuan akhir setiap perjalanan spiritual seorang hamba. Memahami "arti ayat ke 6 surat Al Fatihah" bukan hanya sekadar mengetahui terjemahannya, melainkan menyelami kedalaman filosofis, teologis, dan praktis dari permohonan agung ini.

Surah Al-Fatihah: Pintu Gerbang Permohonan

Sebelum kita mendalami Ayat ke-6, penting untuk memahami konteksnya dalam Surah Al-Fatihah secara keseluruhan. Surah ini memiliki struktur dialogis yang unik antara Allah SWT dan hamba-Nya:

Ayat ke-6, "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm", menjadi jembatan vital antara pengakuan dan permohonan. Seolah-olah, setelah seorang hamba menyadari kebesaran Allah dan bersumpah setia kepada-Nya, permohonan paling logis dan esensial yang muncul adalah petunjuk untuk tetap berada di jalan yang diridhai-Nya.

Eksplorasi Leksikal Ayat ke-6

Untuk memahami sepenuhnya makna ayat ini, mari kita bedah setiap katanya:

1. Ihdina (اهدنا) - Tunjukilah Kami

Kata "Ihdina" berasal dari akar kata Arab 'h-d-y' (هدى) yang berarti 'membimbing', 'menunjukkan jalan', atau 'memberi petunjuk'. Kata ini merupakan bentuk perintah (fi'il amr) dari kata kerja yang mengandung makna permohonan. Penggunaan bentuk perintah di sini menunjukkan permohonan yang tulus dan mendesak dari hamba kepada Tuhannya.

Kata 'hidayah' (petunjuk) dalam Al-Quran memiliki beberapa tingkatan dan jenis:

Ketika kita memohon "Ihdina," kita sejatinya memohon semua jenis hidayah ini, terutama Hidayah Taufiq, untuk senantiasa diberikan petunjuk dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam keyakinan, perkataan, maupun perbuatan.

Tambahan pula, penggunaan kata ganti 'na' (نا) yang berarti "kami" menunjukkan bahwa permohonan ini bersifat kolektif. Ini bukan hanya doa individual, melainkan doa seluruh umat, bahkan seluruh manusia. Kita memohon petunjuk untuk diri sendiri dan juga untuk saudara-saudara seiman, bahkan untuk seluruh umat manusia agar dibimbing menuju kebenaran. Ini menumbuhkan rasa persaudaraan dan kepedulian universal.

2. As-Sirat (الصراط) - Jalan

Kata "As-Sirat" adalah kata yang sangat spesifik untuk "jalan." Dalam bahasa Arab, ada beberapa kata untuk "jalan," seperti tariq, sabil, syari', namun "Sirat" memiliki konotasi yang unik. Kata ini, yang selalu diikuti dengan artikel definisi "Al-" (ال), menunjukkan bahwa ini bukan sembarang jalan, melainkan 'Jalan Yang Satu', 'Jalan Yang Spesifik', 'Jalan Yang Unik', dan 'Jalan Yang Lurus' yang tidak ada keraguan padanya. Tidak ada jalan lain yang sama dengannya.

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa "Sirat" adalah jalan yang luas, jelas, terang, mudah dilalui, dan mengantarkan langsung ke tujuan. Ini berbeda dengan 'sabil' yang bisa bercabang dan mengarah ke berbagai arah, baik benar maupun salah. "Sirat" secara khusus merujuk pada satu-satunya jalan yang benar, jalan yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Penggunaan "As-Sirat" mengimplikasikan bahwa kebenaran itu satu, tidak berbilang. Meskipun ada banyak jalan menuju kesesatan, hanya ada satu jalan menuju kebenaran mutlak yang datang dari Allah. Ini adalah jalan yang diserukan oleh semua nabi dan rasul dari Adam hingga Muhammad SAW.

3. Al-Mustaqim (المستقيم) - Yang Lurus

Kata "Al-Mustaqim" berasal dari akar kata 'q-w-m' (قوم) yang berarti 'berdiri', 'tegak', 'lurus'. Ketika dilekatkan pada "As-Sirat," ia semakin menegaskan sifat jalan tersebut: lurus, tidak berliku, tidak bercabang, tidak bengkok, dan tidak menyimpang. Ia adalah jalan yang paling pendek dan paling efisien menuju tujuan.

Sifat "lurus" ini penting karena ia menyiratkan:

Dengan demikian, frasa "As-Sirat Al-Mustaqim" adalah sebuah konsep yang sangat kuat dan komprehensif, merujuk kepada satu-satunya jalan yang benar, yang jelas, yang tidak berliku, yang tegak, dan yang mengantarkan langsung kepada keridhaan Allah SWT dan kebahagiaan abadi.

Apakah "As-Sirat Al-Mustaqim" Itu?

Para ulama tafsir telah memberikan banyak penjelasan tentang makna konkret dari "As-Sirat Al-Mustaqim," namun semuanya bermuara pada satu inti:

1. Islam itu Sendiri

Banyak mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basri, menafsirkan As-Sirat Al-Mustaqim sebagai Islam. Islam adalah jalan yang lurus karena ia adalah agama yang dibawa oleh seluruh nabi, agama tauhid, yang mengakui keesaan Allah, dan yang menyeru kepada ketaatan mutlak kepada-Nya. Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, dari akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalat (hubungan sosial), hingga akhlak (moral).

2. Al-Quran dan As-Sunnah

Penafsiran lain yang sangat kuat, datang dari Ali bin Abi Thalib, adalah bahwa As-Sirat Al-Mustaqim adalah Al-Quran. Al-Quran adalah tali Allah yang terulur, cahaya yang menerangi, dan petunjuk yang tidak pernah menyesatkan. Mengikuti Al-Quran berarti mengikuti jalan yang lurus. Demikian pula, As-Sunnah (teladan Nabi Muhammad SAW) adalah penjelas dan aplikasi praktis dari Al-Quran. Mengikuti keduanya berarti berjalan di atas As-Sirat Al-Mustaqim. Keduanya adalah sumber utama hukum dan pedoman hidup bagi Muslim.

3. Jalan Para Nabi, Siddiqin, Syuhada, dan Shalihin

Penjelasan yang paling lengkap dan sering dikutip adalah dari Ayat ke-7 Surah Al-Fatihah itu sendiri, yang menjadi penjelas bagi Ayat ke-6. Ayat ke-7 berbunyi: "Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat."

Ayat ini secara eksplisit mendefinisikan siapa saja yang berada di atas As-Sirat Al-Mustaqim, yaitu mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah. Surah An-Nisa ayat 69 menjelaskan lebih lanjut siapa mereka:

"Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

Dengan demikian, As-Sirat Al-Mustaqim adalah jalan yang ditempuh oleh para nabi (yang membawa risalah kebenaran), para shiddiqin (orang-orang yang sangat benar dan tulus imannya), para syuhada (orang-orang yang mengorbankan jiwa di jalan Allah), dan para shalihin (orang-orang saleh yang mengamalkan kebaikan dalam hidup mereka). Ini adalah jalan yang dibimbing oleh wahyu, ditegakkan oleh keteladanan, dan diperkuat oleh amal saleh.

Secara umum, As-Sirat Al-Mustaqim adalah jalan yang mengintegrasikan keyakinan yang benar (aqidah), ibadah yang murni (ibadah), muamalah yang adil (hubungan sosial), dan akhlak yang mulia (moralitas). Ini adalah jalan yang berada di tengah-tengah, menjauhkan diri dari ekstremisme dalam bentuk apapun, baik ekstrem dalam kelalaian maupun ekstrem dalam berlebihan.

Mengapa Kita Memohon Petunjuk Jika Sudah Merasa Terbimbing?

Pertanyaan ini sering muncul. Jika seorang Muslim sudah beriman dan mengikuti Islam, mengapa ia masih harus memohon "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" berkali-kali dalam shalatnya? Ada beberapa alasan mendalam untuk ini:

1. Manusia Rentan Terhadap Kesalahan dan Kelalaian

Sifat dasar manusia adalah lupa dan berbuat salah. Meskipun seseorang telah menerima Islam, jiwanya masih berpotensi untuk menyimpang, tergoda oleh hawa nafsu, bisikan setan, atau godaan dunia. Hati manusia itu berbolak-balik. Oleh karena itu, kita selalu membutuhkan bimbingan dan pengokohan dari Allah agar tetap teguh di jalan-Nya.

2. Petunjuk yang Berkesinambungan dan Progresif

Hidayah bukanlah sesuatu yang statis, yang sekali didapat lalu selesai. Sebaliknya, hidayah adalah proses yang dinamis dan berkesinambungan. Kita membutuhkan petunjuk dalam setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap aspek kehidupan. Apakah dalam memilih pekerjaan, menentukan pasangan hidup, mendidik anak, berinteraksi dengan sesama, atau bahkan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, kita senantiasa memerlukan bimbingan Ilahi untuk mengambil pilihan yang terbaik dan paling sesuai dengan kehendak-Nya.

Selain itu, hidayah juga bersifat progresif. Seseorang bisa saja sudah berada di "jalan yang lurus", namun ia masih bisa meminta agar diperdalam lagi hidayahnya, diperluas lagi pemahamannya, dan dikuatkan lagi langkahnya di jalan tersebut. Seperti seorang pelaut yang sudah berada di jalur yang benar, namun masih terus membutuhkan kompas dan peta untuk memastikan ia tidak menyimpang dan terus maju menuju tujuannya.

3. Perlindungan dari Penyimpangan

Dunia ini penuh dengan berbagai "jalan" lain yang menyesatkan, baik berupa ideologi sesat, ajaran menyimpang, nafsu syahwat, atau godaan materi. Memohon "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" adalah permohonan perlindungan agar kita tidak terjerumus ke dalam jalan-jalan tersebut. Ini adalah benteng spiritual yang kita bangun setiap saat untuk menjaga diri dari kesesatan.

Allah SWT sendiri berfirman dalam Surah Az-Zumar ayat 23, "Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya." Ini menunjukkan bahwa petunjuk adalah anugerah yang harus terus diminta.

4. Penguatan Iman dan Ketaatan

Setiap kali kita mengucapkan doa ini, kita memperbarui komitmen kita kepada Allah dan memperkuat iman kita. Ini adalah pengingat konstan bahwa tujuan hidup kita adalah mencari keridhaan-Nya dan bahwa kita sepenuhnya bergantung pada-Nya untuk mencapai tujuan itu. Dengan terus memohon petunjuk, kita mengakui kelemahan kita dan kebutuhan kita yang tak terbatas akan kekuatan dan kebijaksanaan Ilahi.

5. Doa Paling Utama dalam Shalat

Fakta bahwa doa ini diulang minimal 17 kali sehari dalam shalat fardhu menunjukkan betapa fundamental dan sentralnya permohonan ini dalam kehidupan seorang Muslim. Shalat adalah mi'raj (perjalanan spiritual) seorang hamba kepada Rabbnya, dan di dalam mi'raj itu, doa untuk tetap berada di jalan yang lurus adalah yang paling utama. Tanpa petunjuk ini, semua ibadah dan usaha bisa menjadi sia-sia atau salah arah.

Keterkaitan Ayat 6 dengan Ayat 7: Definisi Jalan Lurus

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Ayat ke-7 Surah Al-Fatihah secara langsung memberikan definisi operasional dari As-Sirat Al-Mustaqim. Ayat ke-7 berbunyi:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

"Siratal-ladhina an'amta 'alayhim ghayril-maghdubi 'alayhim wa laḍ-ḍāllīn"

Yang artinya: "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat."

Ayat ini membagi manusia menjadi tiga kategori dalam hubungannya dengan hidayah:

  1. Orang-orang yang Diberi Nikmat (An'amta 'alayhim): Mereka adalah kelompok ideal yang kita mohon untuk berada di jalan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam An-Nisa ayat 69, mereka adalah para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Ciri khas mereka adalah mereka mengetahui kebenaran dan mengamalkannya dengan tulus dan konsisten. Mereka adalah teladan sempurna yang patut diikuti. Mereka adalah orang-orang yang diberi taufik oleh Allah untuk memahami Islam dengan benar, beramal sesuai syariat-Nya, dan konsisten di atasnya.
  2. Orang-orang yang Dimurkai (Al-Maghdubi 'alayhim): Mereka adalah kelompok yang mengetahui kebenaran namun menolaknya atau bertindak berlawanan dengannya. Mereka memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya, atau bahkan menentangnya karena kesombongan, kedengkian, atau nafsu dunia. Secara historis, kelompok ini sering dihubungkan dengan orang-orang Yahudi dalam konteks Al-Quran, namun secara umum mencakup siapa saja yang memiliki ciri-ciri tersebut, dari umat manapun. Mereka adalah orang-orang yang diberi nikmat pengetahuan, namun menyalahgunakannya.
  3. Orang-orang yang Sesat (Ad-Dhāllīn): Mereka adalah kelompok yang tersesat dari jalan kebenaran karena ketidaktahuan, kurangnya petunjuk, atau mengikuti hawa nafsu tanpa dasar ilmu. Mereka memiliki niat untuk mencari kebenaran, namun tidak berhasil menemukannya atau salah menafsirkannya. Secara historis, kelompok ini sering dihubungkan dengan orang-orang Nasrani dalam konteks Al-Quran, namun secara umum mencakup siapa saja yang tersesat tanpa ilmu, dari umat manapun. Mereka adalah orang-orang yang beramal tanpa petunjuk yang benar.

Dengan demikian, doa "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" adalah doa yang sangat spesifik: "Ya Allah, bimbinglah kami ke jalan yang dilalui oleh para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin, dan jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang sesat." Ini adalah permohonan untuk dibimbing kepada ilmu yang benar dan amal yang tulus.

Implikasi Praktis dan Manfaat Spiritual Permohonan Ini

Memohon "Jalan yang Lurus" bukan hanya sekadar ucapan lisan, melainkan memiliki implikasi mendalam dan manfaat spiritual yang luas dalam kehidupan seorang Muslim:

1. Penanaman Humilitas dan Ketergantungan pada Allah

Ketika kita memohon petunjuk, kita mengakui bahwa kita lemah, terbatas, dan sangat bergantung pada Allah untuk setiap langkah hidup kita. Ini menumbuhkan rasa rendah hati dan menghilangkan kesombongan yang dapat menghalangi hidayah.

2. Motivasi untuk Mencari Ilmu dan Bertindak

Permohonan ini mendorong kita untuk aktif mencari ilmu yang benar (dari Al-Quran dan Sunnah), karena ilmu adalah pelita yang menerangi jalan. Setelah mendapatkan ilmu, kita didorong untuk mengamalkannya, karena amal adalah wujud konkret dari berjalan di atas jalan lurus.

3. Konsistensi (Istiqamah) di Atas Kebenaran

As-Sirat Al-Mustaqim menuntut konsistensi atau istiqamah. Memohon petunjuk adalah doa agar kita diberi kekuatan untuk tetap teguh di jalan itu, tidak mudah goyah oleh godaan, cobaan, atau keraguan. Istiqamah adalah ujian sejati keimanan.

4. Membentuk Karakter dan Akhlak Mulia

Jalan yang lurus juga merupakan jalan yang mengajarkan akhlak mulia. Berjalan di atasnya berarti mengadopsi sifat-sifat kebenaran, keadilan, kejujuran, kasih sayang, sabar, dan tawakal. Ini akan membentuk karakter Muslim yang sejati.

5. Persatuan Umat

Karena kita memohon petunjuk untuk "kami" (kolektif), doa ini mengingatkan kita akan pentingnya persatuan umat di atas satu jalan yang benar. Ini mendorong kerja sama, saling menasihati dalam kebaikan, dan menjauhi perpecahan yang menyesatkan.

6. Penawar Kebingungan dan Kegelisahan

Di dunia yang penuh dengan berbagai ideologi, filosofi, dan gaya hidup yang seringkali bertentangan, memiliki "Jalan yang Lurus" sebagai pedoman akan memberikan kejelasan, arah, dan tujuan. Ini menenangkan hati dari kebingungan dan kegelisahan, memberikan rasa damai dan keyakinan akan tujuan hidup.

7. Memperbaiki Kualitas Ibadah

Ketika kita shalat dan mengulang doa ini, kita diingatkan untuk senantiasa memperbaiki kualitas ibadah kita, memastikan bahwa setiap gerakan dan bacaan dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

8. Perlindungan dari Fitnah dan Cobaan

Dunia ini adalah medan ujian. Setiap hari kita dihadapkan pada fitnah (godaan) dan cobaan. Permohonan "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" adalah perisai spiritual yang memohon perlindungan Allah dari segala bentuk fitnah yang dapat menggoyahkan iman atau menyesatkan kita dari jalan yang benar.

9. Mempersiapkan Kehidupan Akhirat

Jalan yang lurus di dunia ini adalah prasyarat untuk melewati jembatan Shirat di akhirat kelak menuju surga. Barangsiapa yang teguh di atas As-Sirat Al-Mustaqim di dunia, insya Allah akan dimudahkan jalannya di akhirat. Ini adalah investasi terbesar untuk kehidupan abadi.

10. Menghindari Fanatisme dan Ekstremisme

As-Sirat Al-Mustaqim adalah jalan moderasi, jalan tengah. Memohon untuk dibimbing di jalan ini berarti memohon agar dijauhkan dari segala bentuk ekstremisme, baik ekstrem dalam beragama (ghuluw) maupun ekstrem dalam meremehkan agama (tafrith). Ini adalah jalan yang seimbang antara hak Allah dan hak hamba, antara dunia dan akhirat, antara material dan spiritual.

Peran Al-Quran dan Sunnah sebagai Pemandu Utama

Dalam mencari dan tetap berada di As-Sirat Al-Mustaqim, Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah dua pilar utama yang tak tergantikan. Al-Quran adalah kalamullah, petunjuk langsung dari Sang Pencipta. Sunnah Nabi adalah penjelas, penafsir, dan model aplikasi praktis dari Al-Quran dalam kehidupan nyata.

Tanpa Al-Quran, kita akan buta dalam kegelapan. Tanpa Sunnah, kita akan tersesat dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran. Oleh karena itu, komitmen terhadap keduanya adalah wujud nyata dari permohonan kita kepada "Jalan yang Lurus." Belajar, memahami, menghafal, merenungkan, dan mengamalkan keduanya adalah langkah-langkah konkret untuk menapaki jalan ini.

Setiap Muslim harus menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama pengetahuannya tentang agama, bukan sekadar mengikuti tradisi nenek moyang atau pendapat manusia tanpa dasar yang kuat. Inilah yang akan menjaga seseorang dari tergelincir ke dalam jalan orang-orang yang dimurkai (yang tahu namun enggan mengamalkan) atau jalan orang-orang yang sesat (yang beramal tanpa ilmu).

Jalan Lurus dalam Kehidupan Sehari-hari

Permohonan "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" tidak hanya terbatas pada ibadah ritual. Ia harus terwujud dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari seorang Muslim:

Setiap momen adalah kesempatan untuk memperbaharui komitmen kita kepada As-Sirat Al-Mustaqim. Setiap tantangan adalah ujian apakah kita akan tetap di jalan itu atau menyimpang. Dengan senantiasa memohon petunjuk, kita melatih diri untuk selalu mencari ridha Allah dalam setiap gerak-gerik kita.

Refleksi Akhir: Sebuah Doa untuk Sepanjang Hidup

Ayat ke-6 Surah Al-Fatihah, "Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm," lebih dari sekadar kalimat yang dihafal dan diucapkan. Ia adalah inti dari seluruh eksistensi seorang Muslim. Ia adalah pengakuan atas kebutuhan abadi kita akan bimbingan Ilahi. Ia adalah komitmen untuk menapaki jalan yang telah ditetapkan oleh Allah, jalan yang lurus dan terang, yang mengantarkan kepada kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.

Merenungi makna ayat ini secara mendalam akan mengubah cara pandang kita terhadap hidup. Kita tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi berbagai pilihan dan tantangan, karena kita memiliki Sang Pembimbing yang Maha Bijaksana. Kita tidak lagi khawatir tersesat, karena kita senantiasa memohon untuk ditunjukkan jalan yang benar.

Biarlah doa ini bukan hanya sekadar rutinitas dalam shalat, tetapi menjadi denyut nadi yang mengalir dalam setiap detak jantung, setiap pikiran, dan setiap perbuatan kita. Semoga Allah SWT senantiasa menunjuki kita semua kepada As-Sirat Al-Mustaqim, mengokohkan langkah kita di atasnya, dan mengumpulkan kita bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin di surga-Nya yang abadi. Amin.

🏠 Homepage