Surah Ad-Dhuha, surat ke-93 dalam Al-Qur'an, adalah penawar bagi hati yang sedang gundah. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di masa-masa sulitnya ketika wahyu seolah terhenti, surat ini penuh dengan pesan kasih sayang dan kepastian dari Allah SWT. Fokus utama dari surat ini adalah meyakinkan Nabi (dan kita semua) bahwa Allah tidak pernah meninggalkan dan membenci hamba-Nya.
Surah Ad-Dhuha dimulai dengan sumpah Allah menggunakan waktu Dhuha (pagi hari saat matahari meninggi) sebagai saksi atas keindahan dan kemuliaan situasi tersebut. Setelah sumpah pembuka, ayat-ayat berikutnya mulai memberikan penegasan. Untuk memahami makna mendalam pada ayat ketiga, penting untuk melihat dua ayat sebelumnya sebagai fondasi.
Ayat 2: "Demi malam apabila telah sunyi (gelap),"
Ayat 3: "Tuhanmu tiada meninggalkan kamu (Muhammad) dan tiada (pula) murka kepada kamu,"
Ayat ketiga, "مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ (Mā waddaʿaka rabbuka wa mā qalā)," adalah inti penenangan yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya. Ayat ini memiliki dua klausa utama yang saling menguatkan:
Kata "ودع" (wadda'a) berarti meninggalkan, berpisah, atau mengabaikan. Dalam konteks turunnya wahyu yang terhenti sementara—sebuah periode yang mungkin menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi Nabi Muhammad SAW—Allah menegaskan bahwa Dia tidak pernah meninggalkan kekasih-Nya dalam kesendirian atau kebingungan.
Pesan ini memiliki dampak psikologis yang luar biasa. Ketika merasa terputus dari sumber kekuatan, kepastian bahwa "Aku tidak ditinggalkan" menjadi jangkar yang kokoh. Bagi seorang Nabi, pengabaian dari Allah adalah ketakutan terbesar. Ayat ini membatalkan ketakutan tersebut secara mutlak.
Kata "قلى" (qalā) memiliki akar makna benci, murka, atau tidak menyukai. Setelah meniadakan pengabaian, Allah meniadakan kemungkinan kemurkaan. Jika Allah tidak meninggalkan, maka penyebab ditinggalkan itu pasti bukan karena murka atau ketidakpuasan atas amal perbuatan Nabi.
Penegasan ganda ini menunjukkan kesempurnaan hubungan antara pencipta dan hamba-Nya yang paling utama. Ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi pernyataan status bahwa kedudukan Nabi di sisi Allah selalu terjaga, terlepas dari kondisi eksternal atau jeda dalam komunikasi ilahi.
Meskipun ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, pemahaman **arti Surah Ad-Dhuha ayat 3** berlaku universal bagi setiap Muslim yang menghadapi kesulitan.
Setiap Muslim pasti mengalami fase "wahyu terhenti" dalam kehidupan spiritualnya—yaitu, ketika hati terasa kering, ibadah terasa hambar, atau doa terasa tidak sampai. Dalam momen-momen seperti itu, syaitan sering membisikkan keraguan: "Allah telah meninggalkanmu," atau "Amalmu tidak diterima."
Ayat ini adalah pengingat bahwa kesulitan, kesunyian spiritual, atau kegagalan sesaat bukanlah indikator bahwa Allah telah berpaling. Justru, jeda tersebut bisa jadi adalah persiapan untuk sebuah kebaikan yang lebih besar, sebagaimana jeda turunnya wahyu disusul dengan janji kemuliaan di ayat-ayat selanjutnya (seperti "Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang pertama," QS. Ad-Dhuha: 4).
Intinya, ayat ini mengajarkan kita untuk meyakini dua hal fundamental dalam iman: Kehadiran Tuhan yang Abadi (tidak ditinggalkan) dan Penerimaan Tuhan yang Mutlak (tidak dimurkai). Ketika dua kepastian ini tertanam kuat, seorang mukmin dapat melewati masa-masa sulit dengan sabar, mengetahui bahwa ada tujuan dan rahmat yang sedang disiapkan oleh Rabbul 'Alamin.
Surah Ad-Dhuha, khususnya ayat ketiga, berfungsi sebagai balsem mujarab. Ia menutup pintu bagi rasa putus asa dan membuka jendela optimisme berdasarkan janji ilahi yang pasti. Memahami dan meresapi arti Surah Ad-Dhuha ayat 3 membantu kita tetap teguh, menyadari bahwa dalam kegelapan tersembunyi janji fajar, dan di balik keheningan, terdapat percakapan penuh kasih antara hamba dan Tuhannya.