Mengungkap Makna Mendalam Surah Al-Fatihah Ayat 7

Jalan yang Lurus: Memahami Hidayah dan Peringatan dalam Doa Teragung

Pengantar: Al-Fatihah, Induk Kitab dan Doa Agung

Surah Al-Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) atau Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), adalah surah pembuka dalam Al-Qur'an yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Setiap Muslim wajib membacanya dalam setiap rakaat salat, menjadikannya lantunan doa yang paling sering diucapkan oleh miliaran manusia di seluruh dunia setiap harinya. Keistimewaan ini tidak hanya terletak pada frekuensi pengulangannya, tetapi juga pada kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, yang mencakup ringkasan seluruh ajaran Islam.

Al-Fatihah adalah dialog langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dimulai dengan pujian kepada Allah (ayat 1-3), pengakuan atas kekuasaan-Nya dan permohonan bantuan (ayat 4-5), lalu berpuncak pada permohonan hidayah, yaitu jalan yang lurus (ayat 6-7). Ayat ketujuh, khususnya, adalah inti dari permohonan hidayah tersebut, membedakan antara jalan yang benar dan jalan-jalan yang menyimpang.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami makna mendalam dari ayat terakhir Surah Al-Fatihah, yaitu ayat 7:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

"(Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."

Permohonan ini bukan sekadar ucapan lisan, melainkan sebuah ikrar spiritual, sebuah komitmen untuk mengikuti kebenaran dan menjauhi kesesatan. Memahami ayat ini secara komprehensif akan membuka wawasan kita tentang hakikat hidayah, siapa saja yang layak disebut sebagai "orang-orang yang diberi nikmat", serta siapa pula yang termasuk dalam kategori "dimurkai" dan "sesat", agar kita dapat senantiasa mengarahkan langkah pada ridha Allah SWT.

Ayat 7: Lafaz, Transliterasi, dan Terjemahan

Sebelum kita menggali lebih jauh makna dari ayat ketujuh Surah Al-Fatihah, penting untuk memahami lafaz aslinya dalam bahasa Arab, transliterasinya untuk membantu pelafalan, serta terjemahan harfiahnya dalam bahasa Indonesia.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Transliterasi:

Shirathalladzīna an'amta 'alaihim ghairil-maghḍūbi 'alaihim wa laḍ-ḍāllīn.

Terjemahan Kementerian Agama RI:

"(Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."

Ayat ini berfungsi sebagai penjelasan atau tafsir dari "jalan yang lurus" yang dimohonkan pada ayat keenam. Ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus itu bukanlah konsep abstrak, melainkan sebuah jalur yang telah ditempuh oleh golongan tertentu, dan bukan pula jalur yang ditempuh oleh golongan lain yang menyimpang.

Jalan yang Lurus

Shirathalladzīna An'amta 'Alaihim: Jalan Orang-Orang yang Diberi Nikmat

Bagian pertama dari ayat ketujuh ini adalah identifikasi positif terhadap "jalan yang lurus": yaitu jalan orang-orang yang telah Allah anugerahi nikmat. Ini adalah gambaran dari jalur kebahagiaan sejati, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Namun, siapa sajakah mereka yang dimaksud dengan "orang-orang yang diberi nikmat" ini?

Al-Qur'an sendiri memberikan penjelasan langsung di Surah An-Nisa ayat 69:

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para pencinta kebenaran, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.

(QS. An-Nisa: 69)

Ayat ini dengan jelas mengidentifikasi empat golongan utama yang termasuk dalam kategori "orang-orang yang diberi nikmat" oleh Allah:

1. An-Nabiyyīn (Para Nabi)

Mereka adalah manusia pilihan yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Para nabi adalah teladan sempurna dalam ketaatan, kesabaran, kebenaran, dan kepemimpinan. Mereka adalah pembawa cahaya hidayah, yang misi utamanya adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan syirik dan kesesatan menuju cahaya tauhid dan petunjuk Ilahi.

2. Ash-Shiddīqīn (Para Pencinta Kebenaran/Orang-Orang yang Jujur dan Membenarkan)

Golongan ini adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya setelah para nabi. Mereka adalah orang-orang yang membenarkan dan mempercayai sepenuhnya kebenaran risalah para nabi tanpa keraguan sedikitpun, dan mereka mengamalkan kebenaran itu dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik perkataan maupun perbuatan.

3. Asy-Syuhadā' (Para Syuhada)

Secara harfiah, syuhada berarti "saksi" atau "orang yang bersaksi". Dalam konteks Islam, syuhada merujuk pada mereka yang gugur di jalan Allah SWT, dalam upaya menegakkan agama-Nya atau membela kebenaran. Namun, makna syahid tidak terbatas pada medan perang saja. Rasulullah SAW menyebutkan banyak kategori syahid lainnya, seperti orang yang meninggal karena tenggelam, terbakar, wabah penyakit, atau membela harta dan kehormatan diri.

4. Ash-Shālihīn (Orang-Orang Saleh)

Golongan ini mencakup mayoritas umat Muslim yang beriman dan beramal saleh. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, melakukan kebaikan secara konsisten, dan memperbaiki diri serta masyarakat di sekitarnya.

Dengan demikian, ketika kita memohon "jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat", kita sejatinya memohon agar ditunjukkan dan dimampukan untuk mengikuti jejak para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah permohonan untuk hidup dalam ketaatan, kejujuran, pengorbanan, dan kebaikan.

Tangan Berdoa

Ghairil Maghdhūbi 'Alaihim: Bukan Jalan Mereka yang Dimurkai

Setelah mengidentifikasi jalan yang benar, ayat 7 Surah Al-Fatihah kemudian memberikan peringatan tegas dengan menunjukkan dua jenis jalan yang harus dihindari. Bagian pertama dari peringatan ini adalah "bukan jalan mereka yang dimurkai".

Secara umum, "orang-orang yang dimurkai" adalah mereka yang mengetahui kebenaran namun sengaja menolaknya, mengingkarinya, dan melanggarnya. Mereka memiliki ilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu tersebut; bahkan cenderung menentang kebenaran yang mereka ketahui.

Siapa Mereka yang Dimurkai?

Para ulama tafsir secara umum sepakat bahwa "mereka yang dimurkai" ini secara khusus merujuk kepada kaum Yahudi. Kesimpulan ini didasarkan pada banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW yang menggambarkan sifat-sifat kaum Yahudi dan murka Allah atas mereka.

Implikasi dan Pelajaran bagi Kita

Permohonan untuk dijauhkan dari jalan mereka yang dimurkai memiliki implikasi mendalam bagi setiap Muslim:

  1. Bahaya Ilmu Tanpa Amal: Jalan yang dimurkai adalah peringatan keras tentang bahaya memiliki ilmu atau pengetahuan tentang kebenaran tetapi tidak mengamalkannya, atau bahkan menentangnya. Ilmu yang tidak diikuti dengan amal saleh dapat menjadi bumerang bagi pemiliknya.
  2. Kesombongan dan Kedengkian: Kisah kaum Yahudi mengingatkan kita akan bahaya kesombongan, merasa diri paling benar, dan kedengkian terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain. Sifat-sifat ini dapat membutakan hati dari menerima kebenaran.
  3. Menjauhi Pengkhianatan dan Pembangkangan: Kita diajari untuk selalu menepati janji kepada Allah dan tidak membangkang terhadap perintah-Nya, bahkan dalam keadaan sulit.
  4. Pentingnya Ketaatan dan Ketundukan: Sejatinya, Islam adalah penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah. Jalan yang dimurkai adalah kebalikan dari penyerahan diri ini, yaitu perlawanan dan pembangkangan.

Dalam konteks modern, kita juga dapat melihat fenomena "orang-orang yang dimurkai" sebagai mereka yang tahu mana yang benar dan salah secara moral, etika, atau ilmiah, tetapi sengaja memilih jalan yang salah demi keuntungan pribadi, kekuasaan, atau hawa nafsu. Mereka adalah para manipulator, penipu, dan koruptor yang merusak tatanan sosial meskipun tahu akan dampak buruk perbuatan mereka. Berdoa agar dijauhkan dari jalan ini berarti memohon agar Allah melindungi kita dari godaan untuk menolak kebenaran yang telah kita ketahui dan memalingkan hati dari petunjuk-Nya.

Tanda Larangan

Wa Laḍ-Ḍāllīn: Dan Bukan Pula Jalan Mereka yang Sesat

Bagian kedua dari peringatan ini adalah "dan bukan pula jalan mereka yang sesat". Jika "orang-orang yang dimurkai" adalah mereka yang tahu kebenaran tetapi menolaknya, maka "orang-orang yang sesat" adalah mereka yang tidak tahu kebenaran atau salah dalam memahaminya, meskipun terkadang mereka melakukannya dengan niat baik.

Siapa Mereka yang Sesat?

Para ulama tafsir juga secara umum sepakat bahwa "mereka yang sesat" ini secara khusus merujuk kepada kaum Nasrani (Kristen).

Implikasi dan Pelajaran bagi Kita

Permohonan untuk dijauhkan dari jalan mereka yang sesat juga memiliki pelajaran penting:

  1. Bahaya Keikhlasan yang Keliru: Jalan yang sesat menunjukkan bahwa niat baik atau keikhlasan saja tidak cukup tanpa bimbingan ilmu yang benar. Seseorang bisa saja tulus dalam beribadah, tetapi jika caranya salah atau akidahnya menyimpang, ia tetap berada dalam kesesatan.
  2. Pentingnya Ilmu dan Verifikasi: Kita diajari untuk selalu mencari ilmu yang benar dan merujuk kepada sumber-sumber yang autentik (Al-Qur'an dan Sunnah) dalam memahami agama. Jangan sampai kita mengikuti sesuatu secara buta tanpa mengetahui dasar kebenarannya.
  3. Menghindari Ghuluw (Berlebihan) dalam Agama: Islam adalah agama yang moderat. Berlebihan dalam beragama, baik dalam memuja atau mengagungkan sesuatu, dapat menjerumuskan pada kesesatan, seperti yang terjadi pada kaum Nasrani terhadap Nabi Isa AS.
  4. Larangan Menjadikan Manusia Sebagai Tuhan: Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga tauhid murni dan tidak mempertuhankan siapa pun selain Allah, baik itu nabi, wali, ulama, atau pemimpin.

Dalam konteks kehidupan modern, "orang-orang yang sesat" dapat diartikan sebagai mereka yang memiliki niat baik untuk melakukan kebaikan, namun tersesat karena kurangnya ilmu, mudah terpengaruh oleh hoax atau informasi palsu, mengikuti ideologi yang bertentangan dengan fitrah dan kebenaran, atau terlalu fanatik pada suatu ajaran tanpa dasar yang kuat. Mereka mungkin bersemangat dalam melakukan sesuatu, tetapi arahnya keliru. Berdoa agar dijauhkan dari jalan ini berarti memohon agar Allah senantiasa membimbing kita dengan ilmu yang benar, menjaga hati kita dari kesesatan pemikiran, dan menunjuki kita untuk selalu mengikuti petunjuk-Nya yang murni.

Tanda Kesesatan

Makna Gabungan Ayat 7: Keseimbangan antara Ilmu dan Amal

Penyebutan tiga kategori jalan dalam satu ayat—jalan orang yang diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai, dan bukan pula jalan yang sesat—adalah sebuah hikmah dan pendidikan yang luar biasa dari Allah SWT. Ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus adalah sebuah keseimbangan yang sempurna, yang menghindari kedua ekstrem penyimpangan.

1. Jalan yang Diberi Nikmat: Ilmu dan Amal yang Sempurna

Jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim) yang dijelaskan oleh ayat 7 adalah jalan yang ditempuh oleh mereka yang menggabungkan antara ilmu yang benar dan amal yang tulus. Mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang perintah dan larangan Allah, serta bagaimana cara melaksanakan dan menjauhinya sesuai dengan petunjuk-Nya. Lebih dari itu, mereka mengamalkan ilmu tersebut dengan penuh keikhlasan, ketundukan, dan konsistensi.

Inilah puncak dari permohonan hidayah: agar dibimbing kepada jalan yang seimbang antara ilmu dan amal, antara teori dan praktik, antara keyakinan dan perbuatan.

2. Jalan yang Dimurkai: Ilmu Tanpa Amal

Mereka yang dimurkai adalah gambaran dari kelompok yang memiliki ilmu atau mengetahui kebenaran, tetapi tidak mengamalkannya, bahkan menentangnya. Ilmu mereka tidak membawa kepada kebaikan, melainkan menjadi hujjah (bukti) atas kejahatan mereka. Mereka seperti orang yang memiliki peta harta karun tetapi malah memilih untuk menyimpannya atau bahkan merobeknya. Ini adalah bahaya dari kesombongan intelektual dan penolakan kebenaran karena hawa nafsu atau kepentingan duniawi.

3. Jalan yang Sesat: Amal Tanpa Ilmu

Mereka yang sesat adalah gambaran dari kelompok yang mungkin memiliki niat baik dan semangat untuk beramal, tetapi mereka melakukannya tanpa dasar ilmu yang benar. Amal mereka tidak berdasarkan petunjuk yang sahih dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga perbuatan mereka meskipun terlihat baik, bisa jadi tidak diterima atau bahkan menyebabkan kesesatan. Mereka seperti orang yang ingin mencari harta karun tetapi tidak memiliki peta, sehingga tersesat di jalan yang salah meskipun mereka bersungguh-sungguh berjalan. Ini adalah bahaya dari keikhlasan yang buta dan mengikuti hawa nafsu atau tradisi tanpa verifikasi.

Dengan demikian, Al-Fatihah ayat 7 mengajarkan kita bahwa "jalan yang lurus" adalah jalan yang berada di tengah-tengah dua penyimpangan ekstrem: bukan jalan orang yang berilmu tetapi tidak beramal, dan bukan pula jalan orang yang beramal tetapi tanpa ilmu. Jalan yang lurus adalah kombinasi sempurna dari ilmu yang sahih dan amal yang ikhlas, sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Relevansi Ayat 7 dalam Kehidupan Kontemporer

Meskipun Surah Al-Fatihah diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, makna ayat 7 ini tetap sangat relevan dan mendalam dalam menghadapi tantangan kehidupan di era modern. Tiga kategori jalan ini dapat kita refleksikan dalam berbagai fenomena dan masalah yang kita hadapi saat ini.

1. Jalan Orang yang Diberi Nikmat di Era Digital

Di tengah banjir informasi dan disinformasi, "jalan orang yang diberi nikmat" adalah mereka yang mampu menggunakan teknologi dan pengetahuan untuk kebaikan. Mereka adalah inovator yang menciptakan solusi bermanfaat, ilmuwan yang mengembangkan pengetahuan untuk kemanusiaan, aktivis yang memperjuangkan keadilan dengan cara yang benar, dan setiap Muslim yang memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan dakwah yang moderat dan sahih. Mereka adalah generasi yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu dunia, serta mampu menjaga integritas diri di tengah godaan zaman.

2. Jalan Mereka yang Dimurkai di Dunia Modern

Sifat "orang-orang yang dimurkai" dapat terwujud dalam berbagai bentuk di era kontemporer:

Dalam konteks global, ini bisa merujuk pada kekuatan-kekuatan yang mengetahui keadilan tetapi melakukan penindasan, atau mengetahui dampak buruk eksploitasi lingkungan tetapi terus melakukannya demi keuntungan ekonomi.

3. Jalan Mereka yang Sesat di Dunia Modern

Adapun "jalan orang-orang yang sesat" juga memiliki manifestasi kontemporer yang beragam:

Permohonan dalam ayat 7 ini menjadi sangat vital bagi kita agar senantiasa dibimbing oleh Allah untuk tidak menjadi bagian dari golongan-golongan ini. Kita memohon agar diberi kemampuan untuk memilah antara yang benar dan salah, antara yang bermanfaat dan merusak, dan untuk selalu meniti jalan yang diridai-Nya, dengan ilmu dan amal yang seimbang.

Hikmah dan Pelajaran Utama dari Ayat 7

Dari pembahasan mendalam mengenai arti Surah Al-Fatihah ayat 7, kita dapat menarik beberapa hikmah dan pelajaran penting yang relevan untuk kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang Muslim.

1. Urgensi Permohonan Hidayah

Ayat ini menegaskan betapa mendesaknya kebutuhan kita akan hidayah dari Allah. Kita tidak bisa mengandalkan akal atau kekuatan sendiri untuk selalu berada di jalan yang benar. Setiap hari, setiap saat, kita berpotensi terpeleset ke dalam salah satu dari dua jalan penyimpangan tersebut—baik karena kesombongan ilmu (dimurkai) atau karena ketidaktahuan (sesat). Oleh karena itu, permohonan hidayah bukanlah sekadar rutinitas, melainkan doa yang harus dihayati dengan penuh kesadaran dan ketulusan.

2. Keseimbangan antara Ilmu dan Amal

Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah urgensi keseimbangan antara ilmu (pengetahuan) dan amal (praktik). Kita harus berusaha menjadi orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, bukan hanya tahu tetapi tidak melakukan, atau melakukan tanpa tahu dasar kebenarannya. Islam mengajarkan bahwa ilmu tanpa amal adalah kosong, dan amal tanpa ilmu adalah sia-sia atau bahkan sesat. Keduanya harus berjalan beriringan.

3. Menjauhi Ekstrem Kiri dan Kanan

Jalan yang lurus adalah jalan tengah (wasathiyyah), yang tidak condong kepada ekstremisme. Ayat ini menggambarkan dua bentuk ekstrem penyimpangan: ekstrem orang yang berilmu tapi membangkang (seperti Yahudi) dan ekstrem orang yang tulus tapi tanpa ilmu dan tersesat (seperti Nasrani). Muslim diajarkan untuk mengambil jalan moderat, yang tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula meremehkan ajaran agama.

4. Mengenal Musuh dan Bahaya Kesesatan

Dengan mengenali ciri-ciri "orang-orang yang dimurkai" dan "orang-orang yang sesat", kita diajarkan untuk lebih waspada terhadap sifat-sifat tersebut yang mungkin ada dalam diri kita atau di sekitar kita. Ini adalah pelajaran untuk melakukan introspeksi diri secara terus-menerus dan memperbaiki kekurangan.

5. Membangun Pribadi yang Bertakwa dan Berakhlak Mulia

Mengikuti jalan orang-orang yang diberi nikmat berarti berusaha menjadi pribadi yang bertakwa, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta berakhlak mulia dalam interaksi dengan sesama manusia. Ini mencakup integritas, kejujuran, kepedulian, dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan.

6. Pentingnya Konsistensi (Istiqamah)

Hidayah bukanlah sesuatu yang didapat sekali lalu selesai, melainkan sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi dan kesabaran. Setiap kali kita membaca Al-Fatihah, kita mengulang permohonan ini, menunjukkan bahwa kita harus senantiasa memohon keteguhan di jalan yang lurus sampai akhir hayat.

Pada akhirnya, Surah Al-Fatihah ayat 7 adalah kompas spiritual bagi setiap Muslim. Ia adalah pengingat harian akan tujuan hidup kita: mencapai ridha Allah dengan meniti jalan yang telah ditunjukkan-Nya, yaitu jalan para kekasih-Nya, dan menjauhi setiap bentuk penyimpangan yang dapat membawa kepada murka atau kesesatan.

Kesimpulan: Komitmen Seumur Hidup pada Jalan yang Lurus

Surah Al-Fatihah ayat 7 bukanlah sekadar rangkaian kata yang diulang-ulang dalam ibadah, melainkan sebuah doa agung yang mencerminkan inti dari ajaran Islam dan aspirasi tertinggi seorang mukmin. Ketika kita mengucapkan "Shirathalladzīna an'amta 'alaihim ghairil-maghḍūbi 'alaihim wa laḍ-ḍāllīn," kita sedang membuat ikrar yang sangat penting, sebuah komitmen seumur hidup untuk senantiasa berjalan di atas petunjuk Ilahi.

Kita memohon kepada Allah SWT agar membimbing kita meniti jejak langkah para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan para shalihin—golongan mulia yang telah Allah anugerahi nikmat keimanan dan ketakwaan. Mereka adalah teladan sempurna yang menggabungkan antara ilmu yang benar dengan amal yang tulus, antara keyakinan yang kokoh dengan akhlak yang mulia. Jalan mereka adalah jalan yang seimbang, moderat, dan penuh berkah.

Pada saat yang sama, kita juga secara tegas memohon perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari dua jalur kesesatan yang berbahaya. Pertama, jalan "mereka yang dimurkai," yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran namun sengaja mengingkarinya karena kesombongan, kedengkian, atau kepentingan duniawi. Ini adalah bahaya dari ilmu tanpa amal, pengetahuan yang tidak membawa pada ketaatan. Kedua, jalan "mereka yang sesat," yaitu orang-orang yang tulus mencari kebaikan namun keliru dalam jalannya karena ketidaktahuan, minimnya ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan tradisi buta. Ini adalah bahaya dari amal tanpa ilmu, keikhlasan yang tidak berlandaskan petunjuk yang sahih.

Dalam setiap rakaat salat, kita diingatkan akan hakikat kehidupan ini: sebuah perjalanan mencari hidayah dan meneguhkan diri di atasnya. Permohonan dalam ayat 7 ini mengajak kita untuk senantiasa introspeksi, mengevaluasi setiap langkah, perkataan, dan perbuatan kita. Apakah kita sedang meniti jalan para kekasih Allah? Atau, apakah kita mulai condong ke arah kesombongan yang menolak kebenaran, atau ke arah ketidaktahuan yang menjerumuskan pada kesesatan?

Semoga dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang arti Surah Al-Fatihah ayat 7 ini, kita semua dapat menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa dibimbing di Shiratal Mustaqim, jalan yang lurus, sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang diberi nikmat, dan dijauhkan dari golongan yang dimurkai dan yang sesat, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin.

🏠 Homepage