Surah Al-Fil adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang memiliki makna dan pelajaran yang sangat mendalam. Terdiri dari lima ayat, surah ini mengisahkan tentang peristiwa luar biasa yang terjadi di Mekah menjelang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, yaitu serangan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, seorang raja dari Yaman, yang berniat menghancurkan Ka'bah. Namun, rencana jahatnya digagalkan oleh kuasa Allah SWT melalui kawanan burung Ababil yang melempar batu-batu kecil. Peristiwa ini bukan sekadar cerita sejarah, melainkan sebuah manifestasi nyata dari perlindungan ilahi dan kehancuran kesombongan. Dalam konteks ini, Ayat 4 dari Surah Al-Fil memegang peranan sentral dalam menggambarkan detail mukjizat tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas arti Surah Al-Fil Ayat 4, dari segi bahasa, penafsiran, hingga pelajaran yang dapat diambil.
Surah Al-Fil (bahasa Arab: الفيل) berarti 'Gajah', dinamakan demikian karena surah ini mengabadikan kisah Pasukan Bergajah. Surah ini termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yaitu surah-surah yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal dengan penekanan pada tauhid (keesaan Allah), hari kiamat, kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran, dan tantangan terhadap kaum musyrikin Mekah. Surah Al-Fil, meskipun pendek, sarat dengan pesan-pesan fundamental tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas dan perlindungan-Nya terhadap rumah suci-Nya, Ka'bah.
Peristiwa Gajah, atau dalam sejarah Islam dikenal sebagai 'Am al-Fil (Tahun Gajah), adalah kejadian monumental yang terjadi sekitar 50-55 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini menjadi penanda tahun dalam kalender Arab saat itu karena dampaknya yang luar biasa dan tak terlupakan. Ka'bah, sebagai pusat peribadatan yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail AS, telah menjadi kiblat bagi bangsa Arab dan simbol kesucian bagi mereka, meskipun pada masa itu banyak berhala yang diletakkan di sekitarnya.
Abrahah al-Ashram adalah seorang penguasa Kristen dari Yaman, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Ethiopia). Ia melihat betapa besar pengaruh Ka'bah di Mekah terhadap bangsa Arab, yang setiap tahun berbondong-bondong datang untuk berhaji. Abrahah merasa iri dan berambisi untuk mengalihkan perhatian orang-orang dari Ka'bah ke gereja megah yang telah ia bangun di Yaman, yang ia namakan Al-Qulais. Tujuannya jelas: untuk menjadi pusat ziarah dan peribadatan baru di Semenanjung Arab, sehingga kekuasaan dan pengaruhnya semakin kuat.
Ketika salah satu orang Arab dari Bani Kinanah, sebagai bentuk protes dan penghinaan terhadap gereja Al-Qulais, mengotori gereja tersebut, Abrahah naik pitam. Ia bersumpah akan menghancurkan Ka'bah sebagai balas dendam. Dengan tekad bulat, ia mempersiapkan pasukan besar yang dilengkapi dengan gajah-gajah perang, sebuah pemandangan yang belum pernah terlihat sebelumnya di Semenanjung Arab. Gajah-gajah ini dimaksudkan untuk menghancurkan Ka'bah dengan merobohkannya satu per satu, menjadi simbol kekuatan dan keangkuhan Abrahah.
Pasukan Abrahah memulai perjalanannya dari Yaman menuju Mekah. Di tengah perjalanan, mereka melewati berbagai kabilah Arab. Beberapa kabilah berusaha melawan, namun dengan mudah dikalahkan oleh pasukan Abrahah yang jauh lebih kuat dan dilengkapi gajah-gajah. Salah satu tokoh yang mencoba menghalangi adalah Dhu Nafar, seorang pemimpin Himyar, namun ia ditangkap. Kemudian, pasukan Abrahah bertemu dengan Nufail bin Habib Al-Khath'ami, yang juga ditangkap dan dipaksa menjadi penunjuk jalan.
Ketika pasukan Abrahah mendekati Mekah, mereka merampas harta benda penduduk, termasuk unta-unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad ﷺ, yang saat itu adalah pemimpin Quraisy. Abdul Muththalib kemudian pergi menemui Abrahah untuk meminta unta-untanya dikembalikan. Dialog antara Abdul Muththalib dan Abrahah sangat terkenal:
Jawaban Abdul Muththalib mencerminkan keyakinan yang mendalam, meskipun saat itu kaum Quraisy masih menyembah berhala. Mereka tahu Ka'bah memiliki sejarah suci dan mereka tidak sanggup melindunginya dari pasukan besar Abrahah. Oleh karena itu, penduduk Mekah mengungsi ke bukit-bukit di sekitar kota, menyerahkan urusan Ka'bah sepenuhnya kepada Allah SWT.
Untuk memahami konteks Ayat 4, ada baiknya kita membaca seluruh Surah Al-Fil:
Ayat 4 adalah inti dari penjelasan mukjizat yang terjadi, secara spesifik menjelaskan bagaimana kehancuran pasukan Abrahah itu terjadi. Mari kita bedah setiap komponen ayat ini.
Setiap kata dalam Al-Qur'an memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Memahami arti Surah Al-Fil Ayat 4 membutuhkan pemahaman terhadap struktur bahasa Arab dan makna leksikalnya.
Dengan demikian, arti Surah Al-Fil Ayat 4 secara linguistik menggambarkan burung-burung Ababil yang secara aktif melemparkan batu-batu yang terbuat dari tanah liat yang terbakar (atau material serupa yang sangat keras dan panas) kepada pasukan gajah.
Para ulama tafsir telah membahas ayat ini secara mendalam, memperkaya pemahaman kita tentang peristiwa ini.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "sijjil" merujuk pada "tanah liat yang membatu", yaitu tanah liat yang dibakar hingga menjadi keras. Beliau mengutip riwayat dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair yang mengatakan bahwa "sijjil" adalah tanah liat yang telah dibakar. Ibnu Katsir menekankan bahwa batu-batu ini, meskipun kecil, memiliki efek yang sangat dahsyat. Setiap batu mampu menembus kepala pasukan gajah dan keluar dari bagian bawah tubuh mereka, menyebabkan kematian seketika. Burung-burung Ababil membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cengkeramannya.
Ibnu Katsir juga menyoroti keajaiban kejadian ini. Pasukan Abrahah, yang begitu besar dan perkasa dengan gajah-gajahnya, tidak dapat dikalahkan oleh manusia, tetapi dihancurkan oleh makhluk yang paling kecil dan lemah, yaitu burung. Ini menunjukkan kekuasaan Allah yang mutlak, bahwa Dia dapat mengalahkan yang kuat dengan yang lemah, dan yang besar dengan yang kecil, ketika Dia berkehendak.
Imam Al-Thabari dalam Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an-nya juga mengupas makna "sijjil" dengan detail. Beliau mengumpulkan berbagai pendapat dari para sahabat dan tabi'in. Salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, melalui Ikrimah, menyatakan bahwa "sijjil" adalah tanah yang keras dan padat yang telah dibakar. Penafsiran ini konsisten dengan penggunaan kata "sijjil" di ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, misalnya saat menjelaskan azab kaum Nabi Luth.
Al-Thabari juga menjelaskan bahwa kehancuran yang ditimbulkan oleh batu-batu ini sangat spesifik dan mengerikan. Setiap orang yang terkena batu tersebut akan hancur badannya, sebagian riwayat menyebutkan kulitnya meleleh dan dagingnya rontok. Kekuatan batu-batu ini bukan karena ukurannya, tetapi karena kehendak ilahi yang menyertainya.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, menyoroti aspek keajaiban dan kemukjizatan. Beliau mengutip riwayat bahwa burung-burung itu membawa batu panas yang meninggalkan luka bakar pada tubuh. Al-Qurtubi juga membahas tentang asal-usul burung Ababil, apakah mereka berasal dari langit atau dari daratan. Mayoritas ulama cenderung pada pandangan bahwa mereka adalah ciptaan khusus Allah untuk peristiwa ini.
Beliau juga mencatat bahwa peristiwa ini adalah bukti nyata akan perlindungan Allah terhadap Ka'bah, yang merupakan rumah-Nya, dan sebagai tanda kenabian Muhammad ﷺ yang akan segera lahir. Kehancuran pasukan gajah ini menjadi peringatan bagi setiap orang yang sombong dan berani menentang kehendak Allah.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah memberikan penafsiran yang lebih kontekstual dan relevan dengan zaman modern, tanpa mengurangi esensi tafsir klasik. Beliau menjelaskan bahwa "sijjil" adalah batu yang berasal dari tanah liat yang dibakar, serupa dengan tembikar. Batu-batu ini, meskipun kecil, memiliki dampak yang luar biasa, menyebabkan penyakit seperti cacar atau campak yang mematikan, sehingga tubuh mereka rontok seperti daun yang dimakan ulat.
Quraish Shihab juga menekankan bahwa peristiwa ini adalah bukti nyata dari kemahakuasaan Allah dan perlindungan-Nya terhadap nilai-nilai kebenaran, simbol agama, dan orang-orang yang beriman. Kisah ini mengajarkan bahwa kekuatan materi tidak akan pernah mampu menandingi kekuatan ilahi.
Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia juga menafsirkan "sijjil" sebagai tanah yang bercampur batu dan dibakar hingga keras. Tafsir ini menekankan bahwa ini adalah sebuah mukjizat dan tanda kekuasaan Allah yang maha dahsyat. Burung-burung Ababil, meskipun kecil, diperintahkan Allah untuk membawa batu-batu kecil yang mematikan, yang mampu menembus helm, kepala, dan seluruh tubuh pasukan, membuat mereka bergelimpangan seperti daun yang habis dimakan ulat atau sisa makanan ternak.
Tafsir ini juga menyoroti bahwa peristiwa ini adalah pelajaran bagi kaum Quraisy, yang seringkali lupa akan nikmat Allah dan kebesaran-Nya, serta menjadi bukti kenabian Muhammad ﷺ yang telah diperlihatkan Allah tanda-tanda kebesaran-Nya bahkan sebelum beliau lahir.
Ayat 4 tidak bisa dipahami secara terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari narasi Surah Al-Fil:
Dengan demikian, Ayat 4 adalah jembatan yang menghubungkan tindakan ilahi (mengutus burung) dengan hasil akhirnya (kehancuran total), sekaligus memberikan detail spesifik tentang mekanisme azab tersebut.
Ayat 4 Surah Al-Fil membawa pesan-pesan teologis dan filosofis yang mendalam, bukan hanya sebagai deskripsi peristiwa, tetapi sebagai pelajaran abadi bagi umat manusia.
Ayat ini adalah bukti nyata dari kekuasaan Allah yang tidak terbatas (Qudratullah). Abrahah datang dengan kekuatan militer yang tidak tertandingi pada masanya, dengan gajah-gajah yang belum pernah terlihat di Jazirah Arab. Logika manusia mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menghentikan pasukan tersebut, apalagi penduduk Mekah yang tidak memiliki tentara atau senjata yang memadai. Namun, Allah menunjukkan bahwa kekuatan-Nya jauh melampaui segala kekuatan makhluk. Dia tidak membutuhkan pasukan malaikat atau bencana alam dahsyat untuk mengalahkan mereka; cukup dengan makhluk-makhluk kecil (burung) dan benda-benda kecil (batu) untuk menghancurkan kesombongan yang paling besar.
Ini mengajarkan kita bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, mampu melakukan apa pun yang Dia kehendaki, bahkan melalui cara-cara yang paling tidak terduga dan tidak konvensional di mata manusia. Konsep ini memperkuat keimanan bahwa Allah adalah Al-Qawiy (Yang Maha Kuat) dan Al-Jabbar (Yang Maha Perkasa).
Peristiwa Gajah adalah manifestasi jelas dari perlindungan Allah terhadap Ka'bah, Baitullah (Rumah Allah). Ka'bah adalah simbol tauhid dan arah kiblat bagi umat Islam. Meskipun pada saat itu banyak berhala di sekitarnya, Ka'bah tetap memiliki kesucian dan kehormatan di sisi Allah. Niat Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah adalah serangan langsung terhadap simbol agama dan keesaan Allah.
Melalui Ayat 4, kita melihat bagaimana Allah sendiri yang bertindak sebagai Pelindung rumah-Nya. Penduduk Mekah mengungsi dan tidak mampu membela Ka'bah, namun Allah tidak membiarkannya dihancurkan. Ini adalah pelajaran abadi bahwa Allah akan melindungi apa yang Dia kehendaki untuk dilindungi, terutama simbol-simbol kebenaran dan agama-Nya. Ini memberikan ketenangan bagi orang-orang beriman bahwa mereka memiliki Pelindung yang Maha Kuasa.
Abrahah adalah representasi dari kesombongan, keangkuhan, dan ambisi yang melampaui batas. Ia tidak hanya ingin menegaskan kekuasaannya, tetapi juga menantang simbol spiritual yang dihormati oleh bangsa Arab. Ayat 4 menggambarkan kehancuran yang sangat memalukan bagi pasukan yang sombong itu. Mereka tidak mati dalam pertempuran yang gagah berani, tetapi hancur berantakan oleh batu-batu kecil yang dilemparkan oleh burung-burung, menjadi seperti sampah yang dimakan ulat.
Pesan moralnya sangat jelas: kesombongan dan keangkuhan pasti akan dihancurkan oleh Allah. Tidak peduli seberapa besar kekuatan material yang dimiliki seseorang atau suatu kaum, jika mereka menentang kehendak Allah dan berlaku zalim, maka kehancuran akan menimpa mereka. Ini adalah peringatan bagi setiap penguasa, individu, atau komunitas agar tidak pernah melampaui batas dan senantiasa rendah hati di hadapan kekuasaan ilahi.
Peristiwa ini adalah salah satu 'ayatullah' atau tanda-tanda kebesaran Allah yang jelas. Ia berfungsi sebagai pengingat akan keunikan dan keajaiban ciptaan-Nya. Tidak hanya kekuatan burung Ababil dan batu 'sijjil' yang luar biasa, tetapi juga waktu kejadiannya yang berdekatan dengan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini menjadi semacam prolog bagi kenabian, mempersiapkan jalan bagi risalah Islam dan menunjukkan bahwa Allah mendukung apa yang akan datang.
Bagi kaum Quraisy pada saat itu, peristiwa Gajah adalah bukti yang tak terbantahkan tentang adanya kekuatan yang lebih tinggi dari segala kekuatan manusia. Ini menjadi fondasi bagi mereka untuk nantinya menerima kenabian Muhammad, karena mereka telah menyaksikan sendiri bagaimana Allah melindungi rumah-Nya dari musuh yang paling kuat.
Dari arti Surah Al-Fil Ayat 4 dan keseluruhan kisahnya, kita dapat memetik banyak pelajaran berharga yang relevan sepanjang masa.
Kisah ini menunjukkan pentingnya tawakal (berserah diri) kepada Allah setelah melakukan upaya semaksimal mungkin. Abdul Muththalib, meskipun seorang pemimpin, tidak punya kekuatan untuk melawan Abrahah. Ia mengembalikan urusan Ka'bah kepada Pemiliknya. Penduduk Mekah mengungsi ke bukit-bukit, meninggalkan rumah mereka, tetapi hati mereka mungkin berdoa dan berserah diri. Pertolongan Allah datang dari arah yang tak disangka-sangka, menunjukkan bahwa ketika manusia merasa tak berdaya, kekuatan Allah justru muncul.
Pelajaran bagi kita: dalam menghadapi kesulitan yang terasa mustahil diatasi, setelah segala usaha dilakukan, kita harus berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Allah adalah sebaik-baik Penolong.
Ka'bah adalah simbol kebenaran, meskipun pada masa itu dikelilingi berhala. Allah menunjukkan bahwa Dia akan melindungi kebenaran dan simbol-simbol agama-Nya. Ini memberikan semangat bagi umat Islam bahwa perjuangan untuk menegakkan kebenaran tidak akan sia-sia, karena Allah akan selalu bersama mereka yang memperjuangkan kebenaran, bahkan jika mereka minoritas dan lemah.
Peristiwa ini mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menjaga kemuliaan agama dan simbol-simbolnya, karena pada akhirnya Allah-lah yang menjadi pelindung sejati.
Dunia seringkali mengukur kekuatan dari aspek materi: jumlah tentara, persenjataan, kekayaan. Pasukan Abrahah memiliki semua itu, termasuk gajah yang merupakan "tank" pada zamannya. Namun, mereka hancur oleh sesuatu yang sangat kecil dan sepele di mata manusia. Ini mengajarkan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi dan lebih dahsyat dari sekadar kekuatan fisik dan materi, yaitu kekuatan spiritual dan ilahi.
Pelajaran ini relevan dalam kehidupan sehari-hari; janganlah kita terpedaya oleh gemerlap dan kekuatan materi semata, melainkan carilah kekuatan sejati pada ridha dan pertolongan Allah.
Kisah Abrahah adalah peringatan keras bagi setiap diktator, penguasa zalim, atau siapa pun yang menggunakan kekuasaan untuk menindas, menghancurkan, dan menantang nilai-nilai kebenaran. Sejarah menunjukkan bahwa banyak kekaisaran dan individu yang sombong akhirnya hancur lebur dengan cara yang tidak terduga. Allah tidak menyukai kesombongan dan akan menghancurkan para penindas pada waktu dan cara yang telah Dia tentukan.
Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk kesewenang-wenangan. Akhir dari orang-orang sombong akan selalu memalukan.
Peristiwa Gajah adalah sebuah mukjizat yang terjadi sesaat sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah 'irhas', yaitu tanda-tanda kenabian yang mendahului kemunculan seorang nabi. Allah membersihkan rumah-Nya dari ancaman besar, sebagai persiapan bagi risalah agung yang akan dibawa oleh Nabi terakhir. Ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan yang istimewa, bahkan alam semesta telah menunjukkan tanda-tanda keistimewaannya sebelum kelahirannya.
Bagi orang-orang yang hidup di zaman Nabi, kisah ini menjadi bukti kebenaran risalah Islam dan kenabian Muhammad ﷺ.
Meskipun Surah Al-Fil mengisahkan peristiwa sejarah yang terjadi berabad-abad yang lalu, pesan-pesannya tetap relevan dalam kehidupan modern.
Dalam dunia yang penuh gejolak, krisis ekonomi, politik, dan bahkan pandemi, manusia seringkali merasa kecil dan tidak berdaya. Kisah Al-Fil mengajarkan kita bahwa bahkan dalam menghadapi ancaman terbesar sekalipun, jika kita memohon pertolongan kepada Allah dan memiliki keyakinan, pertolongan-Nya bisa datang dari arah yang tidak terduga.
Ayat 4 mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan hanya ada pada teknologi atau strategi militer, tetapi juga pada kekuatan iman dan intervensi ilahi.
Di era modern, manusia cenderung mengagungkan teknologi dan kekuasaan material. Negara-negara adidaya dengan senjata nuklir, raksasa teknologi dengan algoritma canggih, seringkali merasa tak terkalahkan. Namun, Surah Al-Fil memperingatkan bahwa segala bentuk kesombongan dan keangkuhan yang menentang nilai-nilai kebenaran dan keadilan akan berakhir pada kehancuran yang memalukan.
Kita harus selalu ingat bahwa di atas segala kekuatan manusia, ada Kekuatan Yang Maha Kuasa.
Ka'bah adalah simbol. Di zaman modern, ada banyak "Ka'bah" dalam bentuk nilai-nilai Islam, kehormatan Nabi ﷺ, dan ajaran-ajaran suci yang seringkali diserang atau dinodai. Kisah ini memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk tidak berputus asa dalam menjaga dan membela kesucian agama mereka, bahkan ketika menghadapi kekuatan yang besar.
Meskipun kita tidak bisa berharap burung Ababil akan datang secara harfiah, semangat untuk berjuang di jalan Allah dengan cara yang benar dan tawakal kepada-Nya adalah pelajaran yang abadi.
Peristiwa Gajah terjadi sebagai mukadimah bagi kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Ini menunjukkan betapa Allah telah mempersiapkan dunia untuk kedatangan risalah terakhir yang dibawa oleh beliau. Ini seharusnya mendorong kita untuk lebih menghargai, mempelajari, dan meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad ﷺ yang datang membawa rahmat bagi semesta alam.
Dengan memahami betapa agungnya peristiwa yang mendahului kelahirannya, kita akan semakin yakin akan kebenaran risalah yang dibawanya.
Meskipun inti kisah Surah Al-Fil jelas, ada beberapa nuansa dan perdebatan kecil di kalangan mufassir yang menambah kekayaan pemahaman.
Apakah burung Ababil itu adalah jenis burung yang sudah dikenal, ataukah makhluk khusus yang diciptakan Allah untuk peristiwa ini? Sebagian ulama berpendapat bahwa "Ababil" bukan nama jenis burung, melainkan deskripsi dari cara mereka datang, yaitu "berbondong-bondong" atau "berkelompok dari segala arah". Ini menunjukkan jumlah yang sangat banyak dan datang secara tiba-tiba.
Namun, sebagian lain berpendapat bahwa mereka adalah makhluk khusus, mungkin menyerupai burung walet atau sejenisnya, dengan kemampuan khusus yang diberikan Allah pada saat itu. Yang jelas adalah bahwa mereka adalah utusan Allah untuk menjalankan perintah-Nya, tidak penting apakah mereka burung biasa atau luar biasa.
Meskipun mayoritas menafsirkan "sijjil" sebagai tanah liat yang dibakar, beberapa riwayat juga menyebutkan bahwa batu-batu itu panas membara atau memiliki kemampuan menembus seperti peluru. Tafsir ini menunjukkan bahwa sifat material "sijjil" bukan hanya keras, tetapi juga memiliki properti unik yang menjadikannya sangat mematikan, jauh melampaui kekuatan batu biasa.
Bagaimana pun sifat tepatnya, poin utamanya adalah bahwa kekuatan destruktifnya berasal dari intervensi ilahi, bukan dari sifat fisik alami batu itu sendiri.
Beberapa mufassir mengaitkan kehancuran pasukan gajah dengan wabah penyakit seperti cacar air atau campak yang menyebar setelah mereka terkena batu. Dengan kata lain, batu-batu itu tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga membawa bibit penyakit yang mematikan, menyebabkan daging mereka membusuk dan rontok seperti daun yang dimakan ulat. Ini adalah penjelasan medis yang masuk akal untuk frasa "ka'asfin ma'kul" (seperti daun yang dimakan ulat) yang menjelaskan dampak biologis pada tubuh mereka.
Pendekatan ini tidak bertentangan dengan tafsir klasik, melainkan memberikan penjelasan ilmiah yang mungkin tentang bagaimana batu-batu itu bekerja secara biologis, tentu saja, atas izin Allah.
Arti Surah Al-Fil Ayat 4 adalah kunci untuk memahami puncak mukjizat yang terjadi pada 'Am al-Fil. Ayat ini dengan jelas menggambarkan bagaimana Allah SWT, melalui kawanan burung Ababil, melemparkan batu-batu dari 'sijjil' (tanah liat yang terbakar) kepada pasukan Abrahah. Kekuatan yang maha dahsyat ini bukan berasal dari ukuran batu atau burung, melainkan dari kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Surah ini, dan khususnya Ayat 4, mengajarkan kita tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas, perlindungan-Nya terhadap rumah suci dan nilai-nilai kebenaran, serta kehancuran yang pasti menimpa kesombongan dan keangkuhan. Ia adalah peringatan abadi bagi setiap generasi bahwa kekuatan materi dan jumlah tidak akan pernah mampu mengalahkan kehendak Ilahi.
Sebagai umat Islam, kita diajak untuk merenungkan kembali kisah ini. Di tengah segala tantangan dan kesulitan, kita harus selalu ingat bahwa Allah adalah Pelindung sejati dan Penolong terbaik. Kisah Surah Al-Fil, terutama Ayat 4, mengukir dalam ingatan kita bahwa kemenangan sejati datangnya dari Allah, dan bahwa kebenaran akan selalu ditegakkan, bahkan dengan cara-cara yang paling ajaib dan tidak terduga.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari setiap ayat Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, selalu bertawakal dan berprasangka baik kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Referensi: