Surah Al-Qadr, yang berarti "Malam Kemuliaan" atau "Malam Ketetapan," adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Quran, hanya terdiri dari lima ayat. Meskipun singkat, surah ini mengandung makna yang sangat mendalam dan keutamaan yang luar biasa, khususnya mengenai malam yang paling mulia dalam Islam, yaitu Laylatul Qadr. Surah ini memberikan gambaran tentang peristiwa agung turunnya Al-Quran, nilai ibadah di malam tersebut, serta kehadiran para malaikat dan Ruh.
Mari kita selami setiap kata dan setiap ayat dalam Surah Al-Qadr ini untuk memahami pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya, menguraikan keindahan bahasanya, dan mengambil pelajaran spiritual yang berharga bagi kehidupan kita sebagai umat Muslim.
Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 dalam susunan mushaf Al-Quran. Para ulama tafsir umumnya berpendapat bahwa surah ini termasuk golongan surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah sebelum Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Namun, ada juga pandangan lain yang menyebutkan bahwa surah ini adalah Madaniyah. Perdebatan ini tidak mengurangi keagungan dan urgensi pesan yang dibawakan surah ini.
Nama "Al-Qadr" sendiri memiliki beberapa interpretasi yang kesemuanya mengarah pada keagungan malam tersebut. "Qadr" bisa berarti:
Surah ini berfungsi sebagai pengingat akan hadiah agung yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad ﷺ, yaitu Malam Al-Qadr, sebuah kesempatan emas untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda, ampunan dosa, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Pesan utamanya adalah untuk memuliakan malam ini dengan ibadah dan ketaatan.
Terjemahan: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan.
Kata "Innā" adalah penekanan yang kuat, yang berarti "sesungguhnya Kami" atau "sungguh Kami." Penggunaan kata ganti "Kami" (Nahnu) dalam konteks ini adalah Nā al-Azhamah, yaitu “Kami” yang menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah yang Maha Kuasa, bukan "kami" dalam arti jamak seperti manusia. Ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya peristiwa yang akan disampaikan berikutnya. Allah memilih menggunakan bentuk plural majestik ini untuk menegaskan bahwa peristiwa turunnya Al-Quran bukanlah kejadian biasa, melainkan manifestasi langsung dari kehendak, kemuliaan, dan kekuatan Ilahi.
Penggunaan "Innā" juga menciptakan rasa antisipasi dan menarik perhatian pendengar atau pembaca akan informasi yang akan datang. Seolah-olah Allah berfirman, "Perhatikanlah baik-baik, karena apa yang akan Kami sampaikan ini adalah sesuatu yang sangat penting dan patut untuk direnungkan secara mendalam." Ini adalah pembuka yang powerful, yang langsung menetapkan nada keagungan dan kekhususan surah ini.
Kata ini berasal dari akar kata nazala yang berarti turun. Bentuk anzalnāhu berarti "Kami telah menurunkannya." Pertanyaannya, "nya" (hu) di sini merujuk pada apa? Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa "nya" merujuk pada Al-Quran. Ayat ini menegaskan bahwa Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan langsung dari sisi Allah.
Konsep "turunnya Al-Quran" ini memiliki dua makna utama dalam tafsir:
Kedua makna ini saling melengkapi dan menunjukkan kemuliaan Al-Quran yang berasal dari Allah dan diberikan kepada manusia sebagai petunjuk. Frasa ini menandakan titik balik dalam sejarah kenabian dan kemanusiaan, di mana pedoman sempurna mulai diturunkan.
Ini adalah preposisi sederhana yang menunjukkan waktu atau tempat, dalam konteks ini, menunjukkan waktu: "pada" atau "di dalam." Kata ini menghubungkan peristiwa turunnya Al-Quran dengan waktu spesifik yang akan dijelaskan selanjutnya.
Inilah inti dari ayat pertama dan seluruh surah. "Laylah" berarti "malam," dan "Al-Qadr" adalah "kemuliaan," "ketetapan," atau "kekuasaan." Jadi, secara harfiah berarti "Malam Kemuliaan," "Malam Ketetapan," atau "Malam Kekuatan."
Mengapa malam ini disebut "Al-Qadr"? Para ulama tafsir menawarkan beberapa interpretasi yang kesemuanya menekankan keutamaan malam ini:
Jadi, ayat pertama ini menyatakan bahwa Allah Yang Maha Agung telah memulai proses penurunan kitab suci-Nya, Al-Quran, pada sebuah malam yang memiliki kemuliaan, kekuatan, dan pada saat itu takdir-takdir penting ditetapkan.
Terjemahan: Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?
Kata wa (dan) adalah penghubung. Mā adalah partikel pertanyaan. Ungkapan ini berfungsi sebagai pertanyaan retoris yang sangat khas dalam gaya bahasa Al-Quran. Ketika Allah menggunakan frasa "Wa mā adrāka..." (Dan tahukah kamu...), ini biasanya mengindikasikan bahwa sesuatu yang akan dijelaskan berikutnya adalah perkara yang sangat besar, luar biasa, dan melampaui pemahaman manusia biasa. Pertanyaan ini bukanlah untuk menuntut jawaban dari Nabi, melainkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kekaguman, dan kesadaran akan keagungan subjek yang sedang dibicarakan. Ini adalah cara Allah untuk menyoroti betapa istimewanya Laylatul Qadr.
Berasal dari akar kata darā yang berarti mengetahui. Bentuk adrāka berarti "telah memberitahukanmu" atau "telah membuatmu tahu." Dalam konteks pertanyaan retoris, ini berarti "siapa yang dapat membuatmu tahu" atau "siapa yang dapat memberimu pemahaman" tentang hal tersebut.
Pertanyaan ini secara efektif menyatakan, "Wahai Muhammad, dan siapapun yang mendengar, sesungguhnya engkau tidak akan sepenuhnya mengerti betapa agungnya malam ini tanpa penjelasan dari Kami." Ini adalah penekanan ilahi bahwa Laylatul Qadr adalah rahasia dan anugerah yang hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui wahyu dari Allah.
Pertanyaan yang diulang ini semakin menguatkan pesan. Setelah menyatakan bahwa Al-Quran turun di malam ini, Allah kemudian bertanya, "Apakah sebenarnya Malam Kemuliaan itu?" Ini adalah ajakan untuk merenungkan lebih dalam, untuk mencari tahu, dan untuk merasakan keistimewaannya. Pengulangan frasa "Laylatul-Qadr" juga menegaskan identitas malam yang dibicarakan, seolah-olah mengukuhkan namanya dalam benak pendengar.
Secara keseluruhan, ayat kedua ini adalah sebuah pengantar yang dramatis, yang mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima informasi luar biasa tentang keutamaan Malam Al-Qadr yang akan dijelaskan di ayat berikutnya. Ini meningkatkan antusiasi dan rasa takjub terhadap karunia ilahi ini.
Terjemahan: Malam Kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
Frasa ini diulang kembali untuk ketiga kalinya, kali ini sebagai subjek utama yang keutamaannya akan dijelaskan secara eksplisit. Pengulangan ini semakin menegaskan pentingnya malam tersebut. Dalam kaidah balaghah (retorika Arab), pengulangan adalah bentuk penekanan dan penegasan makna.
Kata khayrun berarti "baik," dan dalam konteks perbandingan dengan "min" (daripada), ia bermakna "lebih baik." Ini adalah pernyataan tegas dari Allah tentang keunggulan dan superioritas Malam Al-Qadr dibandingkan periode waktu yang sangat panjang.
Apa yang menjadikan malam ini "lebih baik"? Ini merujuk pada kebaikan dan keberkahan yang terkandung di dalamnya, terutama dalam hal pahala dan pengampunan. Ibadah yang dilakukan dengan tulus di malam ini akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda, jauh melampaui ibadah yang dilakukan di malam-malam lain.
Inilah inti dari keutamaan yang luar biasa. "Min" (daripada) adalah kata perbandingan. "Alfi" berarti "seribu," dan "shahrin" berarti "bulan."
Seribu bulan itu setara dengan sekitar 83 tahun 4 bulan. Angka ini sangat signifikan karena mendekati atau bahkan melebihi rata-rata umur umat manusia di banyak generasi. Dengan demikian, beribadah satu malam di Laylatul Qadr seolah-olah sama dengan beribadah terus-menerus selama seumur hidup tanpa henti.
Para ulama tafsir memberikan beberapa interpretasi mengenai makna "seribu bulan" ini:
Ayat ini adalah kabar gembira yang agung, memotivasi setiap Muslim untuk bersungguh-sungguh mencari dan menghidupkan Malam Al-Qadr. Ini adalah investasi spiritual terbesar yang dapat dilakukan seseorang dalam hidupnya, berpotensi mengubah nasib dan statusnya di sisi Allah.
Terjemahan: Turun para malaikat dan Ruh di dalamnya dengan izin Tuhan mereka untuk setiap urusan.
Kata kerja ini menggunakan bentuk tanaffala yang menunjukkan makna berulang-ulang, berangsur-angsur, atau turun dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Ini bukan sekadar turun sekali, melainkan turun bergelombang atau secara massal. Bentuk ini juga mengandung makna turun dengan tenang, damai, dan penuh rahmat.
Merujuk kepada seluruh malaikat, makhluk-makhluk Allah yang suci, yang senantiasa patuh dan tidak pernah membangkang. Turunnya malaikat dalam jumlah besar di malam ini menunjukkan kemuliaan dan keberkahan yang memenuhi bumi. Mereka turun untuk menyaksikan ibadah kaum Muslimin, menyampaikan salam, memohonkan ampunan, dan membawa keberkahan.
Jumlah mereka sangat banyak sehingga bumi terasa sempit, sebagaimana disebutkan dalam beberapa tafsir, yang juga menjadi salah satu interpretasi makna "Al-Qadr" (sempit). Ini adalah pemandangan spiritual yang luar biasa, di mana langit dan bumi seolah menyatu dalam ketaatan dan keberkahan.
Siapa yang dimaksud dengan "Ar-Ruh" di sini? Ada beberapa pandangan ulama tafsir:
Pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti adalah bahwa "Ar-Ruh" adalah Malaikat Jibril. Kehadiran Jibril bersama para malaikat lainnya semakin menegaskan keistimewaan dan keberkahan Laylatul Qadr.
Merujuk kepada "Laylatul-Qadr" (Malam Kemuliaan). Jadi, para malaikat dan Ruh (Jibril) turun ke bumi khusus pada malam itu.
Frasa ini menunjukkan bahwa semua kejadian ini berlangsung atas kehendak dan izin mutlak dari Allah ﷻ. Para malaikat, termasuk Jibril, tidak bertindak atas kemauan sendiri, melainkan atas perintah dan pengaturan dari Tuhan mereka. Ini menegaskan kekuasaan dan kedaulatan Allah atas seluruh makhluk-Nya, bahkan atas para malaikat yang paling mulia.
Penyebutan "Rabbihim" (Tuhan mereka) juga menekankan hubungan pengabdian antara malaikat dengan Pencipta mereka, serta menegaskan bahwa turunnya mereka adalah bagian dari rencana ilahi yang sempurna.
Ini adalah frasa yang memiliki beberapa penafsiran:
Secara umum, makna ini menunjukkan bahwa pada malam Laylatul Qadr, Allah mengutus para malaikat-Nya untuk mengelola dan mengatur urusan duniawi dan spiritual, menyebarkan rahmat, serta menyampaikan ketetapan-ketetapan ilahi. Ini adalah malam yang penuh dengan aktivitas spiritual di alam semesta, yang berimplikasi besar bagi kehidupan di bumi.
Terjemahan: Sejahtera ia sampai terbitnya fajar.
Kata Salāmun adalah nomina yang berarti "kedamaian," "keselamatan," "kesejahteraan," atau "keamanan." Ditempatkan di awal ayat, ini memberikan penekanan yang kuat. Malam ini adalah malam yang sepenuhnya damai dan penuh kedamaian. Kedamaian ini mencakup beberapa aspek:
Ini adalah malam di mana langit dan bumi dipenuhi dengan energi positif, rahmat ilahi, dan kedamaian yang mendalam, jauh dari segala bentuk kejahatan atau penderitaan.
Kata ganti orang ketiga tunggal feminin, merujuk pada "Laylatul-Qadr" (Malam Kemuliaan) itu sendiri. Jadi, malam itu sendiri adalah kedamaian.
Ini adalah preposisi yang menunjukkan batas waktu. Kedamaian ini berlangsung terus-menerus hingga batas waktu tertentu.
Frasa ini secara jelas menunjukkan durasi keberkahan dan kedamaian Malam Al-Qadr. Keistimewaan malam ini dimulai sejak terbenamnya matahari (masuknya waktu malam) hingga terbitnya fajar shadiq (fajar yang sebenarnya, menandakan masuknya waktu shalat Subuh). Ini berarti seluruh periode malam tersebut adalah waktu yang diberkahi dan dipenuhi kedamaian.
Ayat ini menutup surah dengan gambaran yang menenangkan dan inspiratif, menegaskan bahwa anugerah Malam Al-Qadr adalah karunia yang menyeluruh, mencakup seluruh durasi malam tersebut, dari awal hingga akhir. Ini mendorong umat Muslim untuk tidak hanya beribadah sesaat, tetapi untuk menghidupkan seluruh malam itu semaksimal mungkin.
Surah Al-Qadr bukan hanya sekadar penjelasan tentang sebuah malam, melainkan sebuah seruan untuk merenungkan kebesaran Allah dan karunia-Nya. Dari surah ini, kita dapat mengambil banyak keutamaan dan pelajaran penting:
Surah ini dimulai dengan pengumuman agung turunnya Al-Quran. Ini menekankan bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang mulia, sumber petunjuk, dan cahaya bagi umat manusia. Malam di mana ia diturunkan pun menjadi mulia karenanya. Oleh karena itu, kita harus memberikan perhatian dan penghormatan yang tinggi kepada Al-Quran, dengan membacanya, memahaminya, mengamalkannya, dan mengajarkannya.
Korelasi antara Al-Quran dan Laylatul Qadr sangat erat. Keduanya adalah anugerah terbesar bagi umat Muhammad. Malam tersebut adalah permulaan dari hidayah ilahi yang akan membimbing manusia sepanjang masa. Memuliakan malam ini berarti memuliakan Al-Quran dan sumbernya.
Pernyataan bahwa Laylatul Qadr "lebih baik daripada seribu bulan" adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim. Ini adalah kesempatan langka untuk mengumpulkan pahala yang setara dengan ibadah seumur hidup, bahkan lebih. Umur manusia yang terbatas tidak lagi menjadi penghalang untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah, asalkan dapat memanfaatkan malam yang penuh berkah ini.
Ini juga mengajarkan tentang konsep keberkahan waktu dalam Islam. Beberapa waktu tertentu memiliki nilai ibadah yang jauh lebih besar daripada waktu lainnya, dan Laylatul Qadr adalah puncaknya. Setiap Muslim yang cerdas akan berupaya maksimal untuk tidak melewatkan kesempatan ini.
Turunnya para malaikat, termasuk Malaikat Jibril, adalah pertanda kemuliaan yang tak terlukiskan. Ini menunjukkan bahwa bumi pada malam itu dipenuhi dengan berkah, rahmat, dan energi spiritual yang luar biasa. Para malaikat menyaksikan ibadah kita, mendoakan kita, dan membawa ketetapan baik dari Allah.
Kehadiran mereka adalah sumber kedamaian dan ketenangan bagi jiwa-jiwa yang beriman. Ini adalah malam di mana batas antara alam malaikat dan alam manusia seolah menipis, memungkinkan komunikasi spiritual yang lebih intens antara hamba dan Rabb-nya.
Salah satu makna "Al-Qadr" adalah ketetapan. Pada malam ini, Allah menjelaskan dan memerinci takdir-takdir untuk satu tahun ke depan. Meskipun takdir secara keseluruhan telah tertulis di Lauhul Mahfuzh, pada malam ini detail-detailnya dijelaskan kepada para malaikat pelaksana.
Hal ini mendorong kita untuk lebih banyak berdoa, memohon kebaikan, dan mengubah takdir kita (takdir yang mu'allaq) melalui doa dan ibadah yang tulus. Ini adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa memohon ampunan, kesehatan, rezeki, dan segala kebaikan dunia dan akhirat.
"Salamun hiya hattā matla'il-fajr" menggambarkan malam yang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Ini adalah malam di mana Allah melindungi hamba-hamba-Nya dari keburukan, memberikan ketenangan hati, dan memenuhi alam semesta dengan rahmat-Nya. Suasana damai ini sangat kondusif untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa gangguan.
Kedamaian ini juga merupakan cerminan dari keamanan dari azab dan murka Allah bagi mereka yang menghidupkan malam ini dengan ketaatan. Ini adalah janji keselamatan dan ketenangan bagi jiwa-jiwa yang mencari keridhaan-Nya.
Meskipun Al-Quran tidak menyebutkan tanggal pasti Laylatul Qadr, hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ memberikan petunjuk. Beliau bersabda, "Carilah ia pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, pada malam-malam ganjilnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah mereka pada sepuluh malam terakhir Ramadan, terutama pada malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, 29). Kerahasiaan tanggalnya adalah hikmah ilahi agar umat Muslim bersungguh-sungguh beribadah di banyak malam, bukan hanya terpaku pada satu malam saja. Ini melatih konsistensi dan kesungguhan dalam beribadah.
Setelah memahami keutamaan dan makna agung Surah Al-Qadr, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita seharusnya menghidupkan malam yang penuh berkah ini. Berikut adalah beberapa amalan yang sangat dianjurkan:
Ini adalah ibadah inti di Malam Al-Qadr. Shalat Tarawih, shalat Witir, dan shalat-shalat sunnah lainnya seperti shalat Hajat atau shalat Tasbih sangat dianjurkan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan Malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim). Menghidupkan di sini berarti melakukan ibadah shalat dan ibadah lainnya.
Mengingat Al-Quran diturunkan di malam ini, membaca Al-Quran, memahami maknanya (tadabbur), dan merenungkan ayat-ayatnya adalah amalan yang sangat utama. Perbanyak membaca Al-Quran, baik secara lisan maupun dalam hati.
Perbanyak zikir, tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (La ilaha illallah), dan takbir (Allahu Akbar). Doa adalah senjata mukmin. Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang doa yang sebaiknya dibaca jika menemui Laylatul Qadr. Beliau menjawab, "Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni" (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai pemaafan, maka ampunilah aku).
Malam ini adalah kesempatan emas untuk memohon ampunan atas segala dosa. Bersungguh-sungguhlah dalam istighfar (memohon ampunan) dan taubat (kembali kepada Allah) dengan penyesalan yang tulus dan tekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut.
I'tikaf (berdiam diri di masjid dengan niat ibadah) pada sepuluh malam terakhir Ramadan adalah sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Ini memungkinkan seseorang untuk fokus sepenuhnya pada ibadah, menjauhkan diri dari urusan duniawi, dan mencari ketenangan spiritual.
Amalan sedekah di malam yang mulia ini akan dilipatgandakan pahalanya. Berikan sebagian rezeki kepada yang membutuhkan sebagai bentuk syukur atas karunia Allah.
Kedamaian yang hadir di Malam Al-Qadr juga harus tercermin dalam hubungan kita dengan sesama manusia. Maafkan kesalahan orang lain, pererat tali silaturahmi, dan tebarkan kedamaian di lingkungan sekitar.
Allah ﷻ dengan hikmah-Nya yang tiada tara merahasiakan kapan tepatnya Laylatul Qadr terjadi. Kerahasiaan ini bukanlah tanpa tujuan, melainkan mengandung hikmah yang mendalam bagi umat Islam:
Surah Al-Qadr, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, adalah sebuah permata dalam Al-Quran yang mengungkap keagungan Malam Kemuliaan. Ia mengingatkan kita akan mulianya Al-Quran sebagai petunjuk ilahi, betapa besar karunia Allah dalam melipatgandakan pahala ibadah, kehadiran para malaikat yang membawa rahmat dan ketetapan, serta kedamaian yang meliputi malam tersebut hingga terbit fajar.
Semoga penjelasan kata per kata ini dapat menambah pemahaman kita tentang Surah Al-Qadr, menginspirasi kita untuk selalu mencari dan menghidupkan Laylatul Qadr dengan sebaik-baiknya, dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba Allah yang mendapatkan ampunan serta keridhaan-Nya. Jadikan setiap momen Ramadan, terutama sepuluh malam terakhir, sebagai investasi spiritual yang tiada tara untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Artikel ini disusun berdasarkan berbagai sumber tafsir klasik dan kontemporer Al-Quran, termasuk Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain, Tafsir Al-Qurtubi, serta pandangan ulama-ulama terkemuka. Kedalaman pembahasan diupayakan untuk memenuhi kebutuhan penjelasan kata per kata secara komprehensif.