Al-Qur'an adalah kitab suci yang mengandung petunjuk, hukum, dan kisah-kisah penuh hikmah yang menjadi pelajaran tak lekang oleh waktu bagi umat manusia. Setiap ayat di dalamnya menyimpan makna yang mendalam, mengungkap kebesaran Allah SWT dan kebenaran ajaran-Nya. Di antara surat-surat pendek yang sering kita baca dalam shalat, Surat Al-Fil berdiri sebagai salah satu surat yang sarat dengan kisah luar biasa, sebuah mukjizat yang membuktikan kekuasaan Allah dalam melindungi rumah-Nya dari niat jahat orang-orang yang sombong.
Surat Al-Fil, yang berarti "Gajah", mengisahkan tentang peristiwa fenomenal yang dikenal sebagai "Tahun Gajah", tahun di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Peristiwa ini menceritakan upaya Abrahah, seorang raja dari Yaman, yang berambisi menghancurkan Ka'bah di Mekah dengan pasukan besar yang diperkuat oleh gajah-gajah perkasa. Namun, Allah SWT, dengan cara-Nya yang tak terduga, menggagalkan rencana tersebut dan menghancurkan pasukan Abrahah dengan balasan yang mengerikan.
Di antara kelima ayat Surat Al-Fil, ayat keempat memegang peran krusial dalam mengungkap detail bagaimana kehancuran pasukan bergajah itu terjadi. Ayat ini secara spesifik menjelaskan media dan metode yang digunakan Allah untuk menghukum mereka, yakni melalui "batu dari tanah liat yang dibakar" yang dijatuhkan oleh "burung-burung yang berbondong-bondong". Ayat ini menjadi puncak klimaks narasi, memberikan gambaran yang jelas tentang intervensi ilahi yang tak terbantahkan. Untuk memahami sepenuhnya keagungan dan pesan Surat Al-Fil, mari kita telusuri lebih jauh arti, tafsir, dan hikmah yang terkandung dalam setiap ayatnya, dengan penekanan khusus pada ayat keempat yang sangat fundamental.
Kajian mendalam ini akan membawa kita menyelami konteks sejarah, menganalisis pilihan kata dalam Al-Qur'an, dan merenungkan pelajaran-pelajaran spiritual yang relevan hingga hari ini. Kita akan melihat bagaimana kekuatan materi yang dipuja-puja Abrahah menjadi tak berdaya di hadapan kekuasaan Allah, serta bagaimana peristiwa ini menjadi fondasi bagi kemunculan risalah Islam yang akan datang.
Surat Al-Fil: Teks Arab dan Terjemahan Lengkap
Sebelum kita menyelami analisis mendalam per ayat, terutama fokus pada ayat keempat, mari kita baca kembali keseluruhan Surat Al-Fil agar kita dapat memahami konteks dan alur ceritanya secara utuh. Surat ini adalah surat ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan tergolong dalam kelompok surat Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal kenabian di Mekah, sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Isi surat-surat Makkiyah umumnya berfokus pada penguatan akidah (keimanan), tauhid (keesaan Allah), serta kisah-kisah kaum terdahulu sebagai pelajaran.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
- Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
- Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
- Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
- Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,
- Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat).
Dengan membaca terjemahan ini, kita dapat menangkap garis besar peristiwa: pertanyaan retoris tentang tindakan Allah terhadap pasukan bergajah, kegagalan rencana mereka, pengiriman burung ababil, pelemparan batu sijjil, dan hasil akhir berupa kehancuran total. Sekarang, mari kita bedah setiap ayatnya untuk pemahaman yang lebih dalam, dengan penekanan pada ayat keempat.
Konteks Historis: Peristiwa Tahun Gajah yang Mengguncang Jazirah Arab
Memahami Surat Al-Fil tidak akan lengkap tanpa menyelami konteks historis yang melatarbelakanginya. Peristiwa yang diabadikan dalam surat ini bukanlah mitos atau legenda semata, melainkan sebuah fakta sejarah yang terjadi di Jazirah Arab, kurang lebih pada tahun 570 Masehi. Peristiwa ini begitu monumental dan mengguncang sendi-sendi kehidupan masyarakat Arab kala itu, sehingga tahun terjadinya diabadikan dalam sejarah dengan sebutan "Tahun Gajah" (عام الفيل - Aamul Fiil). Tahun ini juga memiliki makna istimewa karena merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir pembawa risalah Islam.
Abrahah Sang Raja Yaman dan Ambisinya yang Melampaui Batas
Kisah ini bermula dari seorang penguasa bernama Abrahah al-Ashram, yang menjabat sebagai gubernur Yaman di bawah kekuasaan Kerajaan Aksum (Ethiopia/Abyssinia). Abrahah adalah seorang penganut Kristen yang taat, namun memiliki ambisi duniawi yang besar. Ia membangun sebuah gereja yang sangat megah dan indah di Sana'a, ibu kota Yaman, yang diberi nama "Al-Qullais". Gereja ini dibangun dengan arsitektur yang memukau dan dihiasi dengan kekayaan yang melimpah, dengan tujuan mulia di matanya: mengalihkan pusat ziarah, perdagangan, dan spiritualitas bangsa Arab dari Ka'bah di Mekah ke gerejanya di Sana'a. Abrahah berharap Al-Qullais akan menjadi daya tarik utama bagi semua orang di Jazirah Arab, menjadikan Sana'a sebagai pusat keagamaan dan ekonominya.
Namun, harapan Abrahah tidak pernah terwujud. Ka'bah, sebagai rumah ibadah tertua yang diyakini dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, telah menjadi pusat ziarah dan penghormatan bagi bangsa Arab secara turun-temurun, jauh sebelum kedatangan Abrahah. Status Ka'bah sebagai tempat suci telah mengakar kuat dalam jiwa dan budaya mereka. Menghadapi penolakan ini, dan menurut beberapa riwayat, diperparah oleh tindakan seorang Arab Badui yang buang hajat di dalam gereja Al-Qullais sebagai bentuk penghinaan, kemarahan Abrahah memuncak. Ia bersumpah untuk membalas dendam dengan cara yang paling kejam: menghancurkan Ka'bah di Mekah hingga rata dengan tanah, memastikan tidak ada lagi bangunan yang menandingi keagungan gerejanya.
Persiapan Pasukan Bergajah: Simbol Kekuatan yang Mengerikan
Untuk merealisasikan niat jahatnya, Abrahah mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar, terlatih, dan dipersenjatai lengkap. Pasukan ini tidak hanya terdiri dari prajurit-prajurit kawakan, tetapi juga dilengkapi dengan gajah-gajah perang, sebuah inovasi militer yang sangat menakutkan bagi masyarakat Arab pada masa itu. Gajah-gajah ini, khususnya seekor gajah raksasa bernama Mahmud yang merupakan pemimpin kawanan gajah, menjadi simbol kekuatan yang tak tertandingi. Kehadiran gajah dalam pertempuran dipercaya dapat menghancurkan barisan musuh, merobohkan benteng, dan menimbulkan ketakutan massal.
Dengan keyakinan penuh pada kekuatan militernya dan kesombongan yang membara, Abrahah memimpin pasukannya bertolak dari Yaman menuju Mekah. Sepanjang perjalanan, pasukan Abrahah melewati berbagai kabilah Arab. Beberapa kabilah sempat mencoba melakukan perlawanan, namun dengan mudah ditaklukkan dan dihancurkan oleh kekuatan Abrahah. Pasukan ini juga merampas harta benda dan ternak penduduk yang mereka temui, termasuk unta-unta milik Abdul Muttalib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang pada saat itu adalah seorang tokoh terkemuka dan dihormati di Mekah.
Abdul Muttalib: Keteladanan Tawakkal dan Keimanan
Setibanya pasukan Abrahah di Lembah Muhassir, di pinggir kota Mekah, Abrahah mengutus seorang prajurit bernama Al-Aswad bin Maqsud untuk menemui pemimpin Mekah. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan bahwa ia datang bukan untuk berperang dengan penduduk Mekah, melainkan hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Ia ingin penduduk Mekah menyerahkan Ka'bah tanpa perlawanan dan mengungsi ke pegunungan demi keselamatan mereka.
Abdul Muttalib, sebagai pemimpin kabilah Quraisy, penjaga Ka'bah, dan salah satu tokoh paling disegani di Mekah, datang menemui Abrahah. Abrahah sangat terkesan dengan ketenangan, wibawa, dan penampilan Abdul Muttalib. Ia menyambutnya dengan hormat dan bertanya apa keperluannya. Dengan jujur dan tenang, Abdul Muttalib menyatakan bahwa ia datang untuk meminta unta-untanya yang telah dirampas oleh pasukan Abrahah.
Mendengar permintaan yang tak terduga ini, Abrahah merasa heran dan sedikit meremehkan. Ia berkata, "Aku mengira engkau adalah orang yang bijaksana dan terhormat. Aku datang untuk menghancurkan rumah ibadahmu yang agung, yang menjadi pusat kehormatan dan kebanggaanmu, dan engkau justru hanya berbicara tentang unta-untamu yang telah kurampas?"
Dengan keyakinan yang teguh dan ketenangan yang luar biasa, Abdul Muttalib memberikan jawaban yang mencerminkan imannya kepada Allah SWT: "Aku adalah pemilik unta-untaku, dan rumah itu (Ka'bah) memiliki pemilik yang akan melindunginya." Jawaban ini adalah manifestasi dari tawakkal (berserah diri) yang sempurna kepada Allah. Abdul Muttalib tidak merasa perlu untuk mencoba melawan kekuatan militer Abrahah yang jauh lebih besar, karena ia meyakini ada kekuatan yang jauh lebih besar lagi yang akan melindungi Ka'bah.
Meskipun terkesan dengan jawaban Abdul Muttalib, Abrahah tetap pada niatnya. Ia memerintahkan pasukannya untuk bersiap menghancurkan Ka'bah. Abdul Muttalib kemudian kembali ke Mekah dan memerintahkan penduduk untuk mengungsi ke bukit-bukit dan lembah-lembah di sekitar kota, demi menghindari kehancuran yang tak terelakkan jika pasukan Abrahah jadi menyerang.
Doa di Ka'bah dan Mukjizat Dimulai
Sebelum mengungsi, Abdul Muttalib bersama beberapa pembesar Quraisy lainnya datang ke Ka'bah. Mereka berdiri di hadapan pintu Ka'bah, memegang kain kiswahnya, dan memanjatkan doa yang tulus dan penuh kepasrahan kepada Allah. Mereka memohon perlindungan-Nya terhadap rumah-Nya yang suci. Doa ini adalah ekspresi ketidakberdayaan manusia di hadapan kekuatan militer yang dominan, namun sekaligus menunjukkan keyakinan penuh pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Keesokan harinya, pada pagi hari di hari yang dijadwalkan Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah, pasukan bergajah mulai bergerak. Namun, sebuah fenomena yang sangat aneh dan luar biasa terjadi: gajah-gajah Abrahah, terutama gajah Mahmud yang terbesar, tiba-tiba berhenti bergerak saat dihadapkan ke arah Ka'bah. Mereka menolak untuk maju, bahkan jika dicambuk dan dipaksa. Setiap kali pawang gajah mengarahkannya ke Ka'bah, gajah itu akan berlutut atau menolak bergerak. Ajaibnya, jika diarahkan ke arah lain, seperti ke Yaman atau ke timur, gajah itu akan bergerak dengan patuh.
Ini adalah tanda pertama dari intervensi ilahi. Kekuatan fisik yang menjadi kebanggaan Abrahah tiba-tiba lumpuh oleh kehendak Allah. Para prajurit Abrahah menjadi panik dan kebingungan. Mereka berusaha keras untuk memaksa gajah-gajah itu bergerak maju, tetapi tidak berhasil. Pada saat itulah, mukjizat kedua yang lebih menakjubkan akan segera terjadi, seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya dari Surat Al-Fil.
Analisis Setiap Ayat Surat Al-Fil: Memahami Rangkaian Mukjizat Ilahi
Ayat 1: أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1)
Terjemahan: Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Ayat pembuka ini adalah sebuah pertanyaan retoris yang sangat powerful. Frasa "أَلَمْ تَرَ" (Alam tara) secara harfiah berarti "Tidakkah engkau melihat?". Namun, dalam konteks ini, ia berfungsi sebagai penegasan dan ajakan untuk merenung, bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak'. Meskipun Nabi Muhammad SAW baru lahir pada tahun terjadinya peristiwa ini dan secara fisik tidak "melihat" langsung, peristiwa Tahun Gajah begitu masyhur dan baru saja berlalu beberapa saat sebelum diutusnya beliau, sehingga setiap orang Arab saat itu mengetahuinya dengan sangat baik. Allah SWT menunjuk langsung kepada Nabi (dan melalui beliau, kepada seluruh umat manusia) untuk menarik perhatian pada keajaiban besar ini.
Kata "كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ" (kayfa fa'ala Rabbuka) yang berarti "bagaimana Tuhanmu telah bertindak" menekankan bahwa tindakan yang akan dijelaskan ini adalah murni hasil dari kehendak, rencana, dan kekuasaan Allah semata. Ini bukan kejadian kebetulan atau hasil dari kekuatan manusiawi. Penggunaan kata "Rabbuka" (Tuhanmu) menggarisbawahi hubungan khusus antara Allah dan Nabi-Nya, sekaligus menunjukkan bahwa tindakan ini adalah demi membela kebenaran dan rumah suci-Nya. "بِأَصْحَابِ الْفِيلِ" (bi'ashab al-fil), atau "terhadap pasukan bergajah", secara spesifik merujuk pada pasukan Abrahah yang arogan, lengkap dengan gajah-gajah yang menjadi simbol kekuatan tak terkalahkan di mata manusia saat itu.
Pelajaran dari ayat pertama ini adalah pengingat fundamental bahwa Allah adalah pengatur segala urusan. Dialah pelindung sejati bagi rumah-Nya dan, pada akhirnya, bagi orang-orang yang beriman. Kekuatan materi, sehebat apa pun persiapannya, tidak akan mampu menandingi atau melawan kehendak Ilahi. Ayat ini menanamkan pondasi keimanan yang kokoh bahwa pertolongan datang dari Allah, bukan dari kekuatan manusia.
Ayat 2: أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2)
Terjemahan: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
Ayat kedua ini melanjutkan rentetan pertanyaan retoris dari ayat pertama, semakin menguatkan penegasan akan kekuasaan Allah yang tak tertandingi. Frasa "أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ" (Alam yaj'al kaydahum fi tadhlil?) secara harfiah berarti "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka dalam kesesatan/kesia-siaan?". Kata "كَيْدَهُمْ" (kaydahum) atau "tipu daya mereka" mencakup seluruh perencanaan strategis, upaya militer, ambisi yang melampaui batas, dan arogansi yang dibawa oleh Abrahah dan pasukannya. Segala persiapan matang, keyakinan pada superioritas militer, dan niat jahat mereka untuk menghancurkan Ka'bah, semuanya dikategorikan sebagai "tipu daya" dalam pandangan Al-Qur'an.
Dan Allah menjadikan semua "tipu daya" itu "فِي تَضْلِيلٍ" (fi tadhlil), yang berarti "sia-sia", "tersesat", "kacau balau", atau "gagal total". Ini menyiratkan bahwa seluruh rencana mereka untuk menghancurkan Ka'bah dan mengalihkan perhatian dari Mekah tidak hanya tidak tercapai, tetapi bahkan berbalik menghantam mereka sendiri dengan kehancuran yang mengerikan. Tujuan mereka tidak hanya tidak terpenuhi, tetapi juga berujung pada kebinasaan diri mereka sendiri.
Ayat ini mengajarkan kita tentang kesia-siaan kezaliman, kesombongan, dan rencana jahat yang dibangun di atas dasar ketidakadilan. Seberapa pun besar kekuatan dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang batil, pada akhirnya semua itu akan menemui kegagalan dan kehancuran di hadapan kehendak Allah. Manusia mungkin memiliki kekuatan dan kecerdasan untuk merencanakan, tetapi Allah memiliki kekuasaan dan kebijaksanaan yang absolut, yang mampu menggagalkan rencana terhebat sekalipun dengan cara yang tidak terduga. Ini adalah penegasan akan keadilan Ilahi dan perlindungan-Nya terhadap kebenaran dan rumah suci-Nya.
Ayat 3: وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3)
Terjemahan: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
Setelah menyatakan bahwa tipu daya mereka dibuat sia-sia, ayat ketiga mulai menjelaskan bagaimana proses penggagalan dan penghancuran itu terjadi. Frasa "وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ" (Wa arsala 'alayhim) yang berarti "Dan Dia mengirimkan kepada mereka" sangat penting karena menegaskan bahwa tindakan ini adalah intervensi langsung dan aktif dari Allah SWT. Bukan kebetulan alam, bukan peristiwa biasa, melainkan pengutusan khusus dari Zat Yang Maha Kuasa. Ini menunjukkan bahwa Allah secara langsung bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi selanjutnya, menyingkap tirai mukjizat yang akan terhampar.
Yang dikirimkan adalah "طَيْرًا أَبَابِيلَ" (tayran ababil). Kata "طَيْرًا" (tayran) berarti burung-burung, yang secara umum merujuk pada makhluk bersayap. Namun, penambahan kata sifat "أَبَابِيلَ" (ababil) memberikan detail krusial mengenai sifat burung-burung tersebut. Tafsir mengenai makna "ababil" bervariasi di kalangan ulama, namun beberapa penafsiran yang paling dominan adalah:
- Berbondong-bondong atau Berkelompok-kelompok: Ini adalah makna yang paling umum dan banyak disepakati. "Ababil" menunjukkan bahwa burung-burung itu datang dalam jumlah yang sangat masif, tak terhingga, memenuhi langit dari berbagai arah, sehingga pasukan Abrahah tidak punya tempat untuk berlindung. Jumlah yang banyak ini menciptakan kengerian dan kebingungan di antara pasukan musuh.
- Berbeda-beda Jenis: Sebagian ulama menafsirkan bahwa "ababil" menunjukkan bahwa burung-burung itu berasal dari berbagai jenis atau spesies yang berbeda-beda. Hal ini semakin memperlihatkan keanekaragaman ciptaan Allah yang dapat dikerahkan untuk tujuan-Nya, menunjukkan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang terlalu kecil atau tak signifikan untuk menjadi alat kehendak Ilahi.
- Berdatangan Secara Terpisah-pisah namun Berkesinambungan: Tafsir lain menyebutkan bahwa "ababil" mengindikasikan bahwa burung-burung itu tidak datang sekaligus, melainkan bergelombang demi gelombang, secara berturut-turut, tidak memberi jeda bagi pasukan Abrahah untuk pulih atau mengatur strategi.
Apapun penafsiran yang lebih tepat mengenai "ababil", intinya adalah bahwa Allah SWT memilih makhluk yang paling kecil, paling tidak berbahaya, dan paling tidak diperhitungkan di mata manusia—burung—untuk melawan pasukan yang paling perkasa, termodern, dan paling menakutkan pada masanya. Ini adalah pukulan telak terhadap kesombongan Abrahah yang mengandalkan kekuatan fisik dan logistik semata. Burung-burung ini jelas bukan burung biasa yang kita kenal, karena mereka datang atas perintah Allah dan akan melaksanakan tugas yang luar biasa dan di luar nalar.
Ayat ini adalah awal dari manifestasi mukjizat yang menakjubkan, menunjukkan bahwa Allah dapat menggunakan apa saja, sekecil apa pun, sebagai instrumen-Nya untuk mewujudkan kehendak-Nya dan mengalahkan kekuatan yang paling besar sekalipun. Ini adalah demonstrasi nyata bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas pada ukuran, bentuk, atau kekuatan fisik, melainkan meliputi segala sesuatu.
Ilustrasi sederhana burung-burung ababil yang sedang melempari pasukan bergajah dengan batu dari sijjil, sebagai manifestasi kekuasaan Allah.
Ayat 4: تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ (4)
Terjemahan: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,
Ini adalah ayat sentral dari Surat Al-Fil, yang menjadi fokus utama kajian kita. Ayat keempat menjelaskan dengan detail bagaimana burung-burung ababil yang telah diutus Allah itu melaksanakan perintah-Nya untuk menghancurkan pasukan Abrahah. Frasa "تَرْمِيهِم" (tarmihim) berarti 'mereka (burung-burung itu) melempari mereka (pasukan Abrahah)'. Kata kerja ini, dalam bentuk imperfek (present/future tense), menunjukkan tindakan yang aktif, berulang, dan terarah. Burung-burung itu tidak hanya terbang di atas kepala pasukan, melainkan secara spesifik dan sengaja menargetkan mereka dengan proyektil yang mematikan. Ini bukan insiden acak, melainkan serangan yang terkoordinasi dan dipandu secara ilahi.
Makna "Hijaratin min Sijjil" (بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ)
Poin paling krusial dan paling banyak dibahas dalam ayat ini adalah deskripsi proyektil yang dilemparkan, yaitu "بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ" (bihijaratin min sij-jil), yang diterjemahkan sebagai "batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar". Mari kita telusuri berbagai penafsiran yang kaya dan mendalam mengenai istilah "sijjil" ini:
- Tanah Liat yang Dibakar (Baked Clay): Ini adalah penafsiran yang paling umum dan banyak dipegang oleh ulama tafsir klasik. Menurut pandangan ini, kata "sijjil" diyakini berasal dari gabungan dua kata Persia, yaitu "sang" (yang berarti 'batu') dan "gil" (yang berarti 'tanah liat'), yang kemudian diarabkan. Jika demikian, maka "sijjil" merujuk pada batu yang terbuat dari tanah liat yang telah dibakar hingga mengeras, mirip dengan bata atau gerabah yang sangat padat dan kuat. Sifatnya yang keras, padat, namun secara fundamental berasal dari tanah liat, menunjukkan bahwa material ini meskipun tampaknya biasa, namun telah diubah dan diberikan kekuatan luar biasa oleh campur tangan ilahi. Ini adalah perwujudan dari kuasa Allah yang mampu mengubah material bumi menjadi alat azab yang efektif dan tak terbayangkan. Kekerasan dan kepadatan ini memungkinkan batu tersebut memiliki daya hantam yang mematikan meskipun ukurannya kecil.
- Batu dari Neraka atau Neraka Sijjil: Sebagian ulama, seperti Qatadah dan Al-Hasan Al-Basri, menafsirkan bahwa "sijjil" merujuk pada jenis batu yang secara spesifik berasal dari neraka, atau bahkan bahwa "Sijjil" adalah nama salah satu tingkatan di neraka. Penafsiran ini menekankan sifat luar biasa dan azab yang terkandung dalam batu-batu tersebut. Meskipun kecil, dampak yang ditimbulkannya tidak seperti batu biasa, melainkan seperti api neraka yang membakar, menghancurkan, dan meluluhlantakkan. Ini adalah gambaran tentang kehancuran total yang bukan hanya fisik tetapi juga spiritual, seolah-olah neraka telah dikirimkan ke bumi untuk menghukum pasukan Abrahah. Tafsiran ini ingin menyampaikan bahwa azab yang menimpa mereka adalah azab yang sangat pedih, seolah-olah mereka merasakan sebagian dari siksa neraka di dunia.
- Batu yang Tercatat atau Tertulis (dari Kata "Sijill"): Ada pula pandangan yang mengaitkan "sijjil" dengan kata "sijill" yang berarti 'catatan', 'gulungan', atau 'tulisan'. Penafsiran ini mengindikasikan bahwa batu-batu itu bukan sembarang batu, melainkan batu-batu yang memiliki takdir atau tujuan yang telah ditetapkan dan dicatat oleh Allah SWT. Setiap batu seolah-olah ditakdirkan untuk target spesifiknya, dengan nama atau tujuan penghancuran yang telah tertulis padanya. Ini menunjukkan presisi ilahi yang luar biasa; tidak ada yang terlewat, dan setiap lemparan memiliki sasaran yang pasti. Hal ini semakin memperkuat aspek mukjizat dan intervensi langsung dari Allah.
- Gabungan Makna: Beberapa ulama cenderung menggabungkan beberapa makna di atas, bahwa "sijjil" adalah batu dari tanah liat yang dibakar yang diberikan kekuatan azab neraka, dan juga ditakdirkan secara spesifik untuk menghancurkan. Pendekatan ini mengakui kompleksitas dan kedalaman makna dalam Al-Qur'an.
Meskipun ada variasi penafsiran, inti dari "sijjil" adalah bahwa batu-batu tersebut bukanlah batu biasa yang dapat ditemukan di alam. Mereka memiliki karakteristik khusus, kekuatan luar biasa, dan tujuan ilahi yang diberikan oleh Allah SWT, sehingga mampu menimbulkan kerusakan yang dahsyat yang melampaui kemampuan fisik materialnya.
Ukuran dan Efek Batu Sijjil
Tafsir mengenai ukuran batu-batu ini juga bervariasi. Beberapa riwayat menyebutkan ukurannya seperti kerikil kecil, biji kacang, biji kurma, atau bahkan seukuran biji lentil. Yang jelas, mereka bukan batu besar yang secara fisik sulit dibawa oleh burung kecil. Namun, meskipun ukurannya kecil, kekuatan dan efeknya sangat dahsyat dan luar biasa. Para ulama menjelaskan bahwa ketika batu-batu itu mengenai seseorang, ia akan langsung merasakan dampak yang fatal dan mengerikan:
- Menembus Tubuh: Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa batu-batu itu mampu menembus kepala pasukan, keluar dari bagian tubuh lainnya, atau menembus perisai dan baju besi yang mereka kenakan. Ini menunjukkan daya hantam yang sangat kuat dan penetrasi yang luar biasa, jauh melampaui kemampuan fisik sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh burung. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan adanya kekuatan ilahi yang menyertainya.
- Melelehkan Daging atau Merusak Internal Organ: Sebagian tafsir menyebutkan bahwa batu-batu itu menyebabkan daging pasukan bergajah meleleh, terlepas dari tulang, atau menyebabkan kerusakan internal yang parah, seolah-olah mereka terbakar dari dalam. Efek ini menciptakan gambaran yang sangat mengerikan tentang azab yang menimpa mereka, mengubah tubuh yang kuat menjadi hancur dan tak berbentuk dalam waktu singkat.
- Menyebabkan Penyakit Mematikan: Beberapa penafsir modern mencoba mengaitkan efek batu sijjil dengan penyakit menular mematikan seperti cacar air (smallpox) atau wabah lainnya. Mereka berpendapat bahwa batu-batu itu mungkin membawa semacam virus atau bakteri yang dengan cepat menyebar dan menghancurkan tubuh, menyebabkan lesi dan kerusakan kulit yang parah, yang kemudian bisa diibaratkan seperti "dedaunan yang dimakan ulat". Namun, penting untuk dicatat bahwa penafsiran ini bersifat spekulatif dan tidak didukung oleh mayoritas tafsir klasik yang lebih mengedepankan mukjizat langsung dan supernatural. Menginterpretasikan mukjizat sebagai fenomena ilmiah semata dapat mengurangi keagungan dan kekuasaan Allah yang ingin disampaikan oleh ayat ini.
- Kematian Instan dan Menyeluruh: Mayoritas ulama sepakat bahwa efek batu-batu ini adalah kematian yang cepat, mengerikan, dan hampir instan bagi siapa saja yang terkena. Azab ini menimpa seluruh pasukan, termasuk Abrahah sendiri, meskipun Abrahah disebutkan meninggal di tengah perjalanan pulang dengan tubuh yang hancur perlahan-lahan.
Yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa kekuatan penghancur batu-batu ini tidak terletak pada sifat fisik materialnya semata, melainkan pada kuasa Allah yang menyertai setiap lemparan. Allah lah yang memberikan kekuatan luar biasa pada benda-benda kecil ini untuk menghancurkan pasukan yang perkasa. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak terbatas pada hukum-hukum alam yang kita pahami; Dia adalah Pencipta dan Pengatur hukum alam itu sendiri, dan Dia dapat menundukkan hukum tersebut sesuai kehendak-Nya.
Peran Burung Ababil dalam Ayat 4
Ayat ini secara eksplisit menghubungkan "burung ababil" dengan tindakan "melempar batu sijjil". Ini menegaskan kembali bahwa burung-burung kecil dan tak berdaya inilah yang menjadi alat Allah untuk melaksanakan hukuman-Nya. Bayangkan pemandangan yang dahsyat: ribuan, bahkan jutaan, burung kecil memenuhi langit, masing-masing membawa satu atau lebih batu sijjil di paruh dan cakarnya, lalu secara serentak menjatuhkannya atau melemparkannya dengan presisi yang mematikan ke arah pasukan yang berada di bawah. Ini adalah pemandangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, sebuah keajaiban yang tak dapat dijelaskan secara rasional tanpa mengakui intervensi Ilahi.
Peran burung-burung ini mengajarkan kita bahwa Allah dapat memilih siapa saja dan apa saja—sekecil atau seremeh apa pun—sebagai instrumen-Nya untuk mewujudkan kehendak-Nya. Keberanian dan kekuatan tidak selalu berbanding lurus dengan ukuran atau bentuk. Yang terpenting adalah ketaatan kepada perintah Allah, dan Allah akan memberikan kekuatan kepada makhluk-Nya untuk melaksanakan tugas-Nya.
Hubungan Ayat 4 dengan Mukjizat Perlindungan Ka'bah
Ayat keempat ini merupakan puncak dan inti dari mukjizat perlindungan Ka'bah. Setelah gajah-gajah menolak bergerak, dan burung-burung ababil muncul dalam jumlah yang tak terhitung, kini detail bagaimana kehancuran itu terjadi dijelaskan. Ini adalah bukti konkret dan tak terbantahkan bagaimana Allah menepati janji-Nya untuk melindungi rumah-Nya yang suci. Ka'bah bukan hanya sebuah bangunan fisik, tetapi adalah simbol keimanan, arah kiblat (bagi umat Islam masa depan), dan tempat suci yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Oleh karena itu, upaya penghancurannya adalah ancaman fundamental terhadap inti dari agama tauhid yang akan segera ditegakkan melalui Nabi Muhammad SAW.
Batu-batu sijjil yang dilemparkan oleh burung ababil adalah manifestasi langsung dari murka Allah terhadap kesombongan, kezaliman, dan niat jahat Abrahah serta pasukannya. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang berani menantang kekuasaan Allah SWT dan mencoba menyerang kesucian-Nya atau merusak agama-Nya. Kisah ini menjadi penanda bahwa Allah selalu menjaga kebenaran dan akan menghancurkan kebatilan dengan cara yang paling efektif dan paling menghinakan bagi para pelaku kebatilan tersebut.
Ayat 5: فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (5)
Terjemahan: Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat).
Ayat terakhir ini adalah klimaks sekaligus penutup narasi Surat Al-Fil, menggambarkan hasil akhir yang mengerikan dari azab yang ditimpakan Allah. Frasa "فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ" (Faja'alahum ka'asfin ma'kul) adalah metafora yang sangat kuat, grafis, dan penuh makna tentang kehancuran total dan kehinaan.
- 'Asfin (عَصْفٍ): Kata ini merujuk pada dedaunan kering, jerami, atau batang gandum yang sudah kosong dari biji-bijiannya dan telah hancur. Ini adalah sisa-sisa tanaman yang tidak berguna, rapuh, dan mudah hancur. Dalam konteks pertanian, ini adalah sampah atau residu yang tidak memiliki nilai.
- Ma'kul (مَّأْكُولٍ): Berarti 'dimakan' atau 'dikunyah'. Jadi, secara harfiah, "ka'asfin ma'kul" berarti "seperti dedaunan kering yang telah dimakan atau dikunyah". Perumpamaan ini menggambarkan kondisi suatu objek yang telah rusak parah, berlubang-lubang, hancur lebur, dan tak berbentuk karena dimakan ulat, hewan, atau serangga.
Perumpamaan ini melukiskan kondisi pasukan Abrahah setelah dihantam bertubi-tubi oleh batu sijjil. Dari pasukan yang gagah perkasa, yang datang dengan gajah-gajah besar, persenjataan lengkap, dan kesombongan tak terhingga, mereka tiba-tiba berubah menjadi mayat-mayat yang hancur lebur, tubuh mereka terurai, busuk, dan tercerai-berai seperti sisa-sisa daun kering yang dikunyah hewan. Mereka menjadi tak berdaya, tak bernyawa, dan tersebar di mana-mana. Ini adalah gambaran kehancuran total, kehinaan yang ekstrem, dan pemusnahan yang sangat efektif, mengubah kekuatan menjadi kelemahan, dan kesombongan menjadi kehinaan.
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada sisa-sisa kemuliaan, kekuatan, atau kebanggaan yang tersisa dari pasukan Abrahah. Mereka hancur secara fisik, mental, dan moral, menjadi pelajaran abadi bagi siapa saja yang berani menantang kekuasaan Allah dan menyerang kesucian-Nya. Kehancuran mereka adalah bukti nyata bahwa Allah adalah sebaik-baik Perencana dan Pelindung, dan Dia tidak akan pernah membiarkan kebatilan menang atas kebenaran.
Pelajaran dan Hikmah Mendalam dari Surat Al-Fil
Kisah Surat Al-Fil, yang berpuncak pada kehancuran pasukan bergajah melalui intervensi ilahi seperti yang dijelaskan dalam ayat 4, mengandung banyak pelajaran dan hikmah yang tak ternilai. Hikmah-hikmah ini tidak terbatas pada zaman dahulu kala, melainkan tetap relevan dan menginspirasi bagi umat manusia di setiap zaman. Ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan sebuah pengingat abadi tentang kebesaran Allah, batasan kekuatan makhluk-Nya, dan konsekuensi dari kesombongan serta kezaliman.
1. Kekuasaan Allah SWT yang Absolut dan Tak Terbatas
Pelajaran terpenting dan paling fundamental dari Surat Al-Fil adalah penegasan kekuasaan Allah SWT yang mutlak atas segala sesuatu di alam semesta. Abrahah datang dengan kekuatan militer yang tak terbayangkan oleh masyarakat Arab kala itu. Ia memiliki pasukan yang besar, prajurit yang terlatih, dan gajah-gajah perkasa yang menjadi simbol dominasi militer. Dalam pandangan manusia, kekuatan Abrahah tak terkalahkan. Namun, di hadapan kehendak Allah, semua kekuatan materi itu menjadi tak berarti dan lumpuh tak berdaya.
Allah tidak membutuhkan kekuatan fisik yang sebanding untuk mengalahkan musuh-Nya. Dia tidak perlu mengirimkan malaikat bersayap besar atau bencana alam yang dahsyat seperti gempa bumi atau tsunami. Cukup dengan mengirimkan burung-burung kecil—makhluk yang paling tidak diperhitungkan dalam perang—dan batu-batu kecil dari sijjil, Dia mampu meluluhlantakkan pasukan yang arogan dan menakutkan. Ini adalah pengingat yang menghujam jiwa bahwa manusia, dengan segala kemajuan teknologi, persenjataan canggih, dan kekuatan militer yang dibangunnya, tetaplah makhluk yang lemah dan fana di hadapan Sang Pencipta. Tidak ada yang mustahil bagi Allah, dan Dia dapat mengubah skenario yang paling mustahil sekalipun menjadi kenyataan hanya dengan firman-Nya "Kun Fayakun" (Jadilah, maka jadilah ia). Kita diajarkan untuk selalu menyadari bahwa kekuatan sejati hanyalah milik Allah, dan hanya kepada-Nya kita harus bergantung.
2. Perlindungan Allah terhadap Baitullah dan Kesucian Agama-Nya
Peristiwa Tahun Gajah terjadi secara spesifik untuk melindungi Ka'bah, Baitullah (Rumah Allah), dari kehancuran. Ka'bah adalah tempat suci pertama yang dibangun di muka bumi untuk menyembah Allah, sebuah simbol tauhid yang didirikan oleh Nabi Ibrahim AS. Meskipun pada masa itu Ka'bah masih tercemar oleh praktik penyembahan berhala yang dilakukan kaum Quraisy, Allah tetap melindunginya karena Dia mengetahui bahwa Ka'bah adalah fondasi ajaran tauhid yang akan segera ditegakkan kembali melalui risalah Nabi Muhammad SAW. Allah menjaganya sebagai pusat spiritual bagi umat Islam di masa depan.
Pelajaran ini mengajarkan kita tentang betapa pentingnya kedudukan tempat-tempat suci dan simbol-simbol agama di sisi Allah SWT. Siapa pun yang mencoba merendahkan, mencemari, atau menghancurkan simbol-simbol kebenaran dan kesucian agama akan berhadapan langsung dengan kekuasaan dan murka Allah. Lebih dari sekadar bangunan fisik, Ka'bah adalah representasi dari kebenaran ilahi. Allah akan senantiasa menjaga kebenaran agama-Nya, melindungi ajaran-Nya, meskipun terkadang ada masa-masa di mana kebenaran tersebut tampak terpinggirkan atau terancam oleh kekuatan duniawi. Ini adalah janji ilahi bahwa kebenaran akan selalu ditegakkan.
3. Kebinasaan Orang-orang Sombong dan Zalim
Abrahah adalah personifikasi dari kesombongan, keangkuhan, dan kezaliman yang melampaui batas. Ia tidak hanya mencoba mengalihkan pusat ibadah umat manusia dari Ka'bah, tetapi juga berniat menghancurkan rumah suci yang telah dihormati selama ribuan tahun. Kisah ini adalah peringatan keras bagi setiap penguasa atau individu yang merasa kuat dan berkuasa, lalu menggunakan kekuatannya untuk berbuat zalim, menindas, dan menghancurkan nilai-nilai kebenaran.
Al-Qur'an secara konsisten menunjukkan bahwa Allah SWT tidak menyukai kesombongan dan kezaliman. Firaun, Namrud, dan Abrahah adalah contoh-contoh dalam sejarah yang diabadikan dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan bagaimana Allah membinasakan mereka yang arogan, menindas, dan menentang kebenaran. Pesan ini relevan di setiap zaman: kekuasaan duniawi adalah sementara dan fana, dan hanya kekuasaan Allah yang abadi. Mereka yang menggunakan kekuasaan untuk merusak, menindas, dan melakukan kezaliman pasti akan menemui balasan yang setimpal dan kehancuran dari Allah SWT, bisa jadi di dunia ini atau di akhirat kelak. Kisah ini mengajarkan bahwa kesombongan adalah dosa besar yang akan membawa pelakunya pada kehinaan.
4. Tanda-tanda Kenabian Muhammad SAW
Peristiwa Tahun Gajah memiliki makna historis dan profetik yang sangat penting karena terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini bukanlah kebetulan semata, melainkan bagian dari perencanaan ilahi yang sempurna. Kehancuran pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka'bah adalah sebuah peristiwa luar biasa yang membersihkan jalan dan mempersiapkan panggung bagi kedatangan risalah Islam yang akan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Bayangkan jika Ka'bah hancur, mungkin akan menjadi lebih sulit bagi Nabi untuk mengembalikan kejayaan tauhid dan membersihkan Ka'bah dari berhala di kemudian hari.
Oleh karena itu, peristiwa ini sering dianggap sebagai salah satu mukadimah atau tanda-tanda awal kenabian Muhammad. Dengan melindungi Ka'bah pada tahun kelahirannya, Allah seolah-olah mengumumkan kepada dunia bahwa seorang pemimpin besar akan segera lahir, yang akan mengembalikan kemuliaan Ka'bah, menegakkan tauhid yang murni, dan menyebarkan pesan kebenaran ke seluruh penjuru dunia. Ini adalah bukti bahwa Allah telah memilih Mekah dan Ka'bah sebagai pusat risalah terakhir, dan Muhammad sebagai penutup para nabi.
5. Pentingnya Tawakkal (Berserah Diri kepada Allah)
Sikap Abdul Muttalib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang tenang dan penuh keyakinan di hadapan kekuatan Abrahah adalah pelajaran berharga tentang tawakkal. Ketika ia berkata kepada Abrahah, "Aku adalah pemilik unta-untaku, dan rumah itu (Ka'bah) memiliki pemilik yang akan melindunginya," ia menunjukkan tingkat kepasrahan dan keyakinan yang luar biasa kepada Allah. Ia menyerahkan sepenuhnya urusan perlindungan Ka'bah kepada Pemiliknya yang sejati. Ini adalah esensi tawakkal: melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan usaha terbaik, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan keyakinan penuh bahwa Dia adalah sebaik-baik Penolong dan Pelindung.
Dalam menghadapi situasi yang genting, di luar batas kemampuan manusia, dan ketika tidak ada lagi kekuatan duniawi yang dapat diandalkan, tawakkal adalah kekuatan terbesar seorang mukmin. Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang berserah diri dan berpegang teguh pada-Nya dalam kesulitan. Kisah ini menguatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah akan datang bagi mereka yang benar-benar bertawakkal, bahkan dalam keadaan yang paling putus asa sekalipun.
6. Keajaiban dan Keunikan Cara Allah Menyelamatkan
Metode yang Allah gunakan untuk menghancurkan pasukan Abrahah—melalui burung-burung kecil yang melemparkan batu-batu sijjil—adalah bukti keunikan, keajaiban, dan ketiadaan batas kekuasaan-Nya. Ini bukan hanya sebuah hukuman, melainkan juga sebuah pelajaran tentang bagaimana Allah dapat menggunakan cara-cara yang paling tidak terduga dan paling merendahkan bagi pihak yang sombong. Burung-burung kecil melawan gajah-gajah besar; batu-batu kecil melawan pasukan bersenjata lengkap. Kontras ini sangat mencolok.
Tidak ada peperangan dalam sejarah manusia yang menggunakan burung sebagai senjata utama, apalagi burung-burung kecil yang membawa batu. Ini adalah mukjizat yang membuktikan bahwa Allah tidak terikat oleh logika manusia atau hukum alam yang diciptakan-Nya sendiri. Ketika Dia berkehendak, hukum alam bisa tunduk pada kehendak-Nya yang lebih tinggi. Keajaiban ini juga bertujuan untuk menghinakan Abrahah, yang kekuatannya dihancurkan oleh makhluk yang ia pandang remeh. Allah ingin menunjukkan bahwa Dia mampu melakukan apa saja, dengan cara yang paling sederhana namun paling efektif, untuk mencapai tujuan-Nya.
7. Peringatan bagi Setiap Generasi dan Era
Kisah Surat Al-Fil, meskipun terjadi ribuan tahun yang lalu, tetap relevan sebagai peringatan abadi bagi setiap generasi dan era hingga akhir zaman. Pesannya kekal: jangan pernah sombong dengan kekuatan, kekuasaan, atau kekayaan yang dimiliki; jangan pernah berbuat zalim, menindas, atau merusak; dan jangan pernah merendahkan simbol-simbol kebenaran agama. Allah akan senantiasa membela kebenaran dan menumpas kebatilan, meskipun terkadang jalannya tidak terlihat oleh mata manusia atau membutuhkan waktu untuk terwujud.
Bagi orang-orang beriman, kisah ini adalah sumber inspirasi dan penguat iman. Ia menegaskan bahwa Allah selalu bersama mereka yang berada di jalan kebenaran dan akan memberikan pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka. Ini adalah dorongan untuk terus berpegang teguh pada keimanan, berbuat adil, dan tidak takut menghadapi kekuatan duniawi yang zalim, karena pada akhirnya, kemenangan adalah milik Allah dan hamba-hamba-Nya yang taat.
Berbagai Pendapat Ulama dan Tafsir Tambahan Mengenai Surat Al-Fil
Untuk memperkaya pemahaman kita tentang Surat Al-Fil, khususnya pada ayat keempat, adalah penting untuk melihat bagaimana ulama tafsir terkemuka telah menafsirkannya sepanjang sejarah Islam. Berbagai perspektif ini seringkali saling melengkapi dan memberikan kedalaman makna yang lebih kaya.
1. Tafsir Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya yang sangat masyhur, "Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim", mengulas peristiwa Tahun Gajah dengan sangat detail. Beliau menekankan bahwa kisah ini adalah salah satu nikmat besar Allah kepada kaum Quraisy, di mana Allah melindungi Ka'bah dari kehancuran sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Perlindungan ini menjadi salah satu kemuliaan bagi Mekah dan kaum Quraisy, yang pada akhirnya akan menjadi pembawa risalah Islam.
Mengenai "tayran ababil", Ibnu Katsir menjelaskan bahwa itu adalah burung-burung yang datang secara berkelompok dan beruntun, memenuhi langit. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa burung-burung ini memiliki paruh seperti burung hud-hud dan telapak kaki seperti kaki unta, meskipun detail ini tidak disepakati secara mutlak. Adapun "sijjil", Ibnu Katsir merujuk pada tafsiran bahwa itu adalah tanah liat yang dibakar hingga mengeras, mirip dengan batu bata atau kerikil yang sangat keras. Beliau juga mengutip berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi'in yang menjelaskan bagaimana batu-batu itu menembus tubuh pasukan Abrahah, menyebabkan kematian dan kehancuran yang mengerikan, menjadikan mereka seperti "daun yang dimakan ulat". Ibnu Katsir sangat menekankan aspek mukjizat yang jelas dan terang dalam peristiwa ini, sebagai bukti kekuasaan Allah yang tak terbatas dan perlindungan-Nya terhadap rumah suci-Nya.
2. Tafsir Al-Thabari
Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, dalam karya monumentalnya "Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an", adalah salah satu ulama yang paling komprehensif dalam mengumpulkan riwayat-riwayat terkait tafsir. Beliau menghadirkan banyak riwayat dari para sahabat dan tabi'in mengenai peristiwa Tahun Gajah ini. Al-Thabari cenderung pada makna "sijjil" sebagai batu dari tanah liat yang dibakar, serupa dengan batu neraka atau batu dari langit. Beliau mencatat bahwa burung-burung itu datang membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di kedua kakinya. Yang lebih menakjubkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa setiap batu memiliki nama orang yang akan dihantamnya, menunjukkan presisi ilahi yang luar biasa dan takdir yang telah ditetapkan. Ini berarti tidak ada lemparan yang meleset dari sasaran yang telah ditentukan Allah. Al-Thabari memperkuat gagasan bahwa kehancuran mereka adalah azab langsung dari Allah SWT, yang tidak dapat dihindari oleh kekuatan manusia.
3. Tafsir Al-Jalalayn
Tafsir Jalalayn, yang terkenal karena ringkas dan padat namun sarat makna, juga memberikan penjelasan mengenai Surat Al-Fil. Mengenai "ababil", mereka menjelaskan bahwa itu adalah burung-burung yang datang berkelompok-kelompok dari berbagai arah, seolah-olah seperti bala tentara dari udara yang tak terduga. Untuk "sijjil", mereka menyatakan bahwa itu adalah batu dari tanah yang dibakar, serupa dengan batu neraka, atau batu yang sangat keras. Tafsir ini juga menyebutkan secara singkat bahwa batu-batu itu menembus mereka dari atas hingga ke bawah, mengakibatkan kematian yang cepat dan menjadikan mereka seperti dedaunan yang hancur oleh gigitan ulat atau serangga. Tafsir ini menyoroti keefektifan azab ilahi yang mampu menghancurkan musuh dalam sekejap.
4. Tafsir Fi Zhilalil Qur'an oleh Sayyid Qutb
Sayyid Qutb dalam "Fi Zhilalil Qur'an" (Di Bawah Naungan Al-Qur'an) menyoroti kisah ini dari perspektif yang lebih mendalam mengenai filosofi kekuasaan. Beliau melihat peristiwa ini sebagai contoh nyata bahwa tidak ada kekuatan materi, sehebat apa pun, yang dapat menandingi kekuasaan Allah. Sayyid Qutb menekankan bahwa Allah tidak perlu mengutus tentara yang besar, malaikat yang perkasa, atau bencana alam yang masif untuk mengalahkan musuh. Cukup dengan burung-burung kecil dan batu-batu yang, secara fisik, tidak memiliki kekuatan apa pun, namun diberi kekuatan ilahi, tujuan-Nya tercapai.
Sayyid Qutb memandang peristiwa ini sebagai persiapan ilahi untuk kedatangan risalah terakhir, menegaskan bahwa rumah suci ini akan tetap tegak untuk tujuan yang lebih besar, yaitu penyebaran tauhid. Bagi beliau, yang penting adalah bahwa batu-batu itu diberi kekuatan luar biasa oleh Allah untuk menghancurkan, menjadi simbol kehancuran bagi para penentang kebenaran. Ia menekankan bahwa ini adalah mukjizat yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam biasa, melainkan menunjukkan kehendak Allah yang transenden.
5. Perspektif Modern dan Penafsiran Sains (Dengan Kehati-hatian)
Beberapa penafsir dan pemikir Muslim modern mencoba mencari penjelasan ilmiah untuk fenomena "batu sijjil" dan efeknya. Salah satu teori yang populer adalah bahwa batu-batu itu mungkin membawa atau menyebarkan wabah penyakit menular yang sangat mematikan, seperti cacar air (smallpox) atau kusta. Mereka berargumen bahwa deskripsi "seperti dedaunan yang dimakan ulat" bisa diinterpretasikan sebagai kondisi tubuh yang rusak parah akibat penyakit, di mana kulit mengelupas, membusuk, dan anggota tubuh menjadi tidak berbentuk. Diketahui bahwa wabah cacar memang pernah melanda Jazirah Arab.
Namun, penting untuk dicatat bahwa penafsiran ini bersifat spekulatif dan tidak menjadi mayoritas dalam tafsir klasik. Tafsir klasik lebih cenderung pada interpretasi mukjizat langsung dari Allah, di mana batu-batu itu sendiri memiliki kekuatan penghancur yang supernatural, bukan sekadar membawa virus. Para ulama juga memperingatkan agar tidak terlalu memaksakan penjelasan ilmiah untuk setiap mukjizat dalam Al-Qur'an, karena hal itu dapat mengurangi aspek keagungan dan kekuasaan Allah yang ingin disampaikan oleh surat ini. Lebih aman dan sesuai dengan semangat Al-Qur'an adalah menerima bahwa itu adalah mukjizat yang di luar jangkauan akal manusia biasa, tanpa harus memaksakan penjelasan ilmiah yang mungkin tidak sepenuhnya cocok atau malah menyempitkan makna ilahi.
Dari berbagai tafsir di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama sepakat tentang keotentikan peristiwa dan mukjizat yang terkandung di dalamnya. Mereka semua menekankan bahwa Surat Al-Fil adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas, perlindungan-Nya terhadap rumah-Nya, dan balasan yang pasti bagi kesombongan serta kezaliman. Ayat 4, dengan detailnya tentang "batu sijjil" yang dilemparkan oleh burung ababil, menjadi inti dari manifestasi kekuasaan Ilahi ini, yang hingga kini terus menjadi sumber inspirasi dan penguatan iman bagi umat Muslim.
Relevansi Surat Al-Fil di Era Modern
Meskipun terjadi ribuan tahun yang lalu, kisah yang diabadikan dalam Surat Al-Fil tidak pernah kehilangan relevansinya. Pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya tetap kuat dan relevan di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kemajuan teknologi, dan berbagai tantangan yang kita hadapi saat ini. Surat ini adalah pengingat abadi bahwa prinsip-prinsip ilahi dan hukum-hukum Allah tetap berlaku, tidak peduli seberapa banyak perubahan yang terjadi di dunia.
1. Peringatan akan Kesombongan Teknologi dan Kekuatan Material
Di era modern ini, manusia seringkali terlalu bangga dan bergantung pada kemajuan teknologi, kekuatan militer, dan akumulasi kekayaan materi. Negara-negara adidaya membangun persenjataan canggih yang mampu menghancurkan dunia, menguasai teknologi informasi yang mengendalikan hampir setiap aspek kehidupan, dan mengendalikan perekonomian global. Dalam banyak kasus, kekuatan ini digunakan untuk mendominasi, menindas, menjajah, atau mengeksploitasi pihak lain yang dianggap lemah. Kisah Abrahah dengan gajah-gajahnya, yang merupakan teknologi perang paling mutakhir pada masanya, adalah cerminan awal dari kesombongan kekuatan militer dan materi.
Surat Al-Fil dengan tegas mengingatkan kita bahwa tidak peduli seberapa canggih, modern, atau kuatnya teknologi atau militer yang kita miliki, semua itu tetap berada di bawah kekuasaan Allah SWT. Allah mampu melumpuhkan kekuatan terbesar sekalipun dengan cara yang paling tidak terduga, bahkan dengan 'burung-burung ababil' versi modern yang bisa berupa bencana alam yang meluluhlantakkan infrastruktur, wabah penyakit yang melumpuhkan sistem kesehatan global, krisis ekonomi tak terduga yang meruntuhkan kekayaan, atau bahkan kehancuran moral yang mengikis kekuatan sebuah peradaban dari dalam. Ini adalah pengingat bahwa kekuatan manusia adalah nisbi, sedangkan kekuatan Allah adalah mutlak.
2. Optimisme dan Keyakinan pada Pertolongan Allah bagi yang Teraniaya
Bagi umat Islam dan semua orang yang berjuang di jalan kebenaran dan keadilan, Surat Al-Fil adalah sumber optimisme, harapan, dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Ketika umat manusia menghadapi penindasan, ketidakadilan yang merajalela, atau ancaman dari kekuatan yang jauh lebih besar dan tampak tak terkalahkan, kisah ini menjadi pengingat bahwa pertolongan Allah selalu dekat. Yang dibutuhkan adalah kesabaran, keteguhan iman, dan tawakkal yang tulus kepada-Nya. Seperti Abdul Muttalib yang hanya bisa berdoa dan berserah diri di hadapan Abrahah, kita juga harus mengandalkan Allah ketika menghadapi situasi yang di luar batas kemampuan dan kontrol kita.
Pelajaran ini memupuk semangat untuk tidak menyerah pada keputusasaan, bahkan ketika menghadapi kekuatan yang tampaknya tak terkalahkan. Pertolongan Allah seringkali datang dari arah yang tidak disangka-sangka, dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan, mengubah kekalahan menjadi kemenangan, dan kelemahan menjadi kekuatan. Ini adalah janji bagi mereka yang beriman dan bertawakkal.
3. Menghargai dan Melindungi Kesucian Agama serta Nilai-nilai Ilahi
Di tengah gelombang sekularisme, relativisme agama, atau bahkan serangan terang-terangan terhadap nilai-nilai dan simbol-simbol agama, kisah Surat Al-Fil menjadi sangat relevan dalam mengingatkan pentingnya menghargai dan melindungi kesucian agama. Simbol-simbol agama, ajaran, tempat ibadah, dan nilai-nilai spiritual memiliki tempat yang sangat mulia di sisi Allah. Mencoba merendahkan, mencemari, atau menghancurkan simbol-simbol kebenaran adalah tindakan yang sangat berbahaya dan bisa mendatangkan murka Allah.
Ini tidak berarti membalas dengan kekerasan atau intoleransi, tetapi lebih kepada kesadaran bahwa ada kekuatan ilahi yang menjaga kebenaran. Umat Islam diajarkan untuk membela agamanya dengan hikmah, argumen yang kuat, akhlak yang mulia, dan dialog yang konstruktif, serta meyakini bahwa Allah akan membela kebenaran pada waktu dan cara yang telah ditentukan-Nya. Ini juga menjadi motivasi untuk memperkuat pondasi spiritual pribadi dan komunitas agar tidak mudah goyah oleh tantangan modern.
4. Pelajaran tentang Siklus Kezaliman dan Keadilan Ilahi
Sejarah manusia menunjukkan berulang kali bagaimana kezaliman, kesombongan, dan penindasan, pada akhirnya, akan runtuh dan menemui kehancuran. Abrahah adalah salah satu dari banyak tiran yang digambarkan dalam Al-Qur'an. Surat Al-Fil mengukuhkan siklus ini: kesombongan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia pasti akan diikuti oleh kehancuran yang ditimpakan oleh keadilan ilahi. Mungkin tidak selalu dalam bentuk burung ababil, tetapi dalam bentuk lain yang juga tak terduga.
Pelajaran ini mendorong kita untuk selalu berpihak pada keadilan, menentang kezaliman (dengan cara yang dibenarkan oleh syariat), dan tidak pernah menjadi bagian dari mereka yang menindas. Setiap tindakan, baik atau buruk, akan ada balasannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah pengingat bagi setiap pemimpin, penguasa, atau individu bahwa kekuasaan adalah amanah, dan penyalahgunaan amanah akan membawa konsekuensi yang berat.
5. Memperkuat Identitas Muslim dan Pemahaman Sejarah Islam
Memahami kisah-kisah Al-Qur'an seperti Surat Al-Fil adalah bagian integral dari penguatan identitas Muslim. Kisah ini memberikan gambaran jelas tentang sejarah Islam pra-kenabian dan bagaimana Allah telah menyiapkan panggung bagi kedatangan risalah Nabi Muhammad SAW. Dengan mengetahui latar belakang dan hikmah di balik setiap ayat, keimanan kita akan semakin kokoh, pemahaman kita tentang agama akan semakin mendalam, dan kita akan semakin menghargai perjuangan para pendahulu dalam menjaga kebenaran. Ini juga menjadi pelajaran bagi anak cucu kita agar tidak melupakan sejarah dan mengambil iktibar darinya.
Singkatnya, Surat Al-Fil bukan hanya sebuah narasi sejarah masa lampau, melainkan sebuah cermin yang merefleksikan prinsip-prinsip abadi tentang kekuasaan Allah, keadilan-Nya, dan konsekuensi dari kesombongan serta kezaliman. Ia adalah sumber pelajaran yang tak pernah kering, relevan untuk setiap individu dan masyarakat di era modern, yang terus berjuang menegakkan kebenaran di tengah berbagai tantangan.
Kesimpulan Mendalam dari Surat Al-Fil dan Ayat 4
Surat Al-Fil, meskipun tergolong sebagai surat yang pendek dalam Al-Qur'an, adalah sebuah permata hikmah dan pengingat akan kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas. Kisah pasukan bergajah Abrahah yang berambisi menghancurkan Ka'bah di Mekah, dan bagaimana Allah melindunginya dengan cara yang ajaib, merupakan salah satu mukjizat terbesar yang dicatat dalam sejarah, sekaligus penanda penting bagi kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kedatangan risalah Islam.
Fokus utama kita pada ayat keempat, "تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ" (Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar), adalah kunci untuk memahami puncak manifestasi kekuasaan ilahi ini. Ayat ini secara gamblang menjelaskan metode penghancuran yang digunakan Allah: melalui burung-burung kecil yang dikenal sebagai ababil, melemparkan batu-batu "sijjil" yang, meskipun kecil, memiliki kekuatan luar biasa untuk menembus, menghancurkan, dan membinasakan pasukan Abrahah hingga mereka menjadi tak berbentuk seperti dedaunan yang dimakan ulat. Ini adalah bukti nyata bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada ukuran, jumlah, atau teknologi, melainkan pada kehendak dan izin Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Melalui peristiwa yang diabadikan dalam Surat Al-Fil, Allah mengajarkan banyak pelajaran fundamental kepada kita. Kita diingatkan tentang kekuasaan-Nya yang absolut, yang mampu mengalahkan kekuatan terbesar sekalipun dengan cara yang paling tidak terduga. Kita belajar tentang perlindungan-Nya terhadap tempat-tempat suci dan kebenaran agama, yang tak akan pernah dibiarkan hancur oleh kezaliman. Kisah ini juga menjadi peringatan keras bagi orang-orang yang sombong, arogan, dan zalim, bahwa kehancuran dan kehinaan adalah balasan yang pasti bagi mereka. Selain itu, sikap tawakkal (berserah diri) Abdul Muttalib kepada Allah menjadi teladan penting bagi setiap mukmin dalam menghadapi situasi sulit.
Peristiwa Tahun Gajah bukan sekadar sejarah masa lalu, melainkan sebuah narasi yang memiliki relevansi mendalam di era modern. Ia mengingatkan kita untuk tidak terbuai oleh kemajuan teknologi dan kekuatan materi, untuk selalu optimis dan yakin akan pertolongan Allah di kala sulit, serta untuk senantiasa menghargai dan melindungi kesucian agama dan nilai-nilai kebenaran. Kisah ini adalah pengingat abadi bahwa di atas segala kekuatan di muka bumi, ada kekuatan Allah Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, dan Yang Maha Bijaksana, yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya.
Semoga dengan mendalami arti Surat Al-Fil, khususnya ayat 4, kita semakin mempertebal keimanan, mengambil hikmah dari setiap kejadian, dan senantiasa berada dalam lindungan dan petunjuk Allah SWT. Kisah ini adalah bukti bahwa janji Allah adalah benar, dan pertolongan-Nya akan selalu datang bagi mereka yang berpegang teguh pada jalan-Nya.