Ilustrasi ini melambangkan Al-Quran sebagai sumber cahaya dan petunjuk ilahi.
Surat Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah salah satu surat Makkiyah dalam Al-Quran, yaitu surat-surat yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Surat ini terdiri dari 21 ayat dan menyoroti perbandingan yang kontras antara dua golongan manusia: mereka yang beriman dan beramal saleh, serta mereka yang kufur dan berbuat kerusakan. Tema sentral surat ini adalah janji Allah SWT kepada setiap individu berdasarkan amal perbuatannya di dunia.
Dalam memahami surat ini secara keseluruhan, ayat-ayat awal menetapkan sumpah Allah dengan berbagai fenomena alam yang mengagumkan – malam yang gelap gulita, siang yang terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sumpah-sumpah ini berfungsi untuk menarik perhatian pada keagungan Allah sebagai Pencipta dan untuk menekankan bahwa Allah adalah Pengatur segala sesuatu, termasuk takdir manusia. Setelah serangkaian sumpah yang menggetarkan hati ini, Allah SWT kemudian beralih untuk berbicara tentang sifat-sifat dasar manusia dan konsekuensi dari pilihan-pilihan mereka.
Inti dari pesan Surat Al-Lail dapat ditemukan dalam ayat 4 hingga 10, di mana Allah SWT dengan jelas memisahkan manusia menjadi dua kategori besar berdasarkan orientasi dan tindakan mereka. Ayat 4 menyatakan, "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." Ini adalah titik tolak yang krusial, menegaskan bahwa tidak semua upaya manusia sama di hadapan Allah; ada yang menuju kebaikan dan ada yang menuju keburukan, dan masing-masing akan mendapatkan balasannya sesuai dengan arah usahanya.
Dalam konteks inilah, ayat 5 dari Surat Al-Lail muncul sebagai gambaran awal dari golongan manusia yang pertama, yaitu mereka yang memilih jalan kebaikan, ketaatan, dan keimanan. Ayat ini bukan sekadar sebuah kalimat, melainkan fondasi bagi pemahaman tentang sifat-sifat orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Untuk menyelami makna mendalam dan pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya, mari kita telaah arti surat Al-Lail ayat 5 secara komprehensif.
Ayat ini adalah awal dari deskripsi Allah SWT tentang golongan manusia yang akan dimudahkan urusannya menuju kemudahan. Setiap frasa dalam ayat ini memiliki makna yang kaya dan saling terkait, membentuk sebuah gambaran utuh tentang karakteristik seorang mukmin sejati.
Untuk memahami sepenuhnya arti surat Al-Lail ayat 5, kita perlu mengurai setiap komponen kata dan frasa di dalamnya.
Frasa ini berfungsi sebagai penegas dan pemisah. Kata "Fa" (ف) di awal berarti "maka" atau "kemudian", menunjukkan konsekuensi atau peralihan. Sedangkan "ammā" (أَمَّا) adalah partikel yang digunakan untuk mengawali pembagian atau penegasan, sering kali berarti "adapun". Dalam konteks ini, ia memperkenalkan kategori pertama dari manusia yang disebutkan setelah penegasan bahwa usaha manusia itu berlain-lainan. Ini mengindikasikan bahwa ayat berikutnya akan menjelaskan salah satu dari dua jalur utama yang diambil oleh manusia.
Penggunaan "Fa ammā" menandakan dimulainya klasifikasi yang jelas dan tegas. Allah SWT ingin menegaskan bahwa dari sekian banyak usaha manusia, ada kategori tertentu yang memiliki karakteristik khusus dan akan menerima balasan khusus pula. Ini adalah awal dari sebuah perbandingan yang akan dilanjutkan dengan kategori kedua di ayat 8.
Kata "man" (مَنْ) berarti "siapa saja" atau "orang yang", bersifat umum dan mencakup semua individu tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau latar belakang. Ini menunjukkan bahwa kesempatan untuk menjadi golongan ini terbuka bagi siapa saja.
Kata kunci di sini adalah "a'ṭā" (أَعْطَىٰ), yang berasal dari akar kata ع ط و (‘ain-tho-waw) yang berarti "memberi" atau "memberikan". Dalam konteks Al-Quran, ketika kata ini disebutkan secara mutlak tanpa objek spesifik, ia seringkali merujuk pada pemberian yang bersifat materi (harta) di jalan Allah, seperti sedekah, infak, zakat, atau bentuk bantuan finansial lainnya. Namun, maknanya bisa lebih luas dari sekadar harta benda.
Tindakan memberi ini menegaskan bahwa iman bukan hanya klaim lisan, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang lain. Ini adalah manifestasi dari rasa syukur kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama.
Kata "wa" (وَ) berarti "dan", yang menghubungkan sifat "memberi" dengan sifat berikutnya. Ini menunjukkan bahwa kedua sifat ini tidak terpisah, melainkan saling melengkapi dan harus ada secara bersamaan.
Kata "attaqā" (اتَّقَىٰ) berasal dari akar kata و ق ي (waw-qaf-ya) yang berarti "menjaga", "melindungi", atau "menghindari". Dari sini, lahirlah konsep "takwa" (تَقْوَىٰ). Takwa adalah sebuah konsep sentral dalam Islam yang memiliki makna sangat luas dan mendalam. Secara ringkas, takwa berarti menjaga diri dari murka Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Dengan demikian, "wattaqā" mengisyaratkan bahwa memberi saja tidak cukup. Pemberian harta atau kebaikan haruslah muncul dari hati yang dilandasi oleh kesadaran dan ketaatan kepada Allah. Orang yang memberi tanpa takwa mungkin melakukannya karena riya (pamer), ingin dipuji, atau memiliki motif duniawi lainnya. Namun, orang yang bertakwa akan memberi dengan tulus, karena ia tahu bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui setiap niat di balik tindakan.
Kata "wa" (وَ) kembali berfungsi sebagai penghubung, menunjukkan bahwa sifat ketiga ini juga merupakan bagian integral dari karakteristik golongan pertama. Ketiga sifat ini—memberi, bertakwa, dan membenarkan—adalah pilar-pilar yang saling menguatkan.
Kata "ṣaddaqā" (صَدَّقَ) berasal dari akar kata ص د ق (shad-dal-qaf) yang berarti "membenarkan", "mempercayai", atau "mengakui kebenaran". Ini merujuk pada keyakinan yang kuat dan tidak tergoyahkan. Bukan hanya sekadar menerima informasi, tetapi meyakini dengan sepenuh hati.
Adapun "bil-ḥusnā" (بِالْحُسْنَىٰ) adalah frasa yang paling kaya interpretasinya dalam ayat ini. "Bi" (بِ) berarti "dengan" atau "pada", sedangkan "al-ḥusnā" (الْحُسْنَىٰ) adalah bentuk superlatif dari kata "ḥasan" (حَسَن) yang berarti "baik" atau "indah". Jadi, "al-ḥusnā" secara harfiah berarti "yang terbaik", "yang paling baik", atau "kebaikan yang paling utama".
Inti dari semua interpretasi ini adalah keyakinan yang kokoh terhadap kebenaran ilahi. Orang yang membenarkan "al-ḥusnā" adalah orang yang imannya tidak diragukan, yang yakin akan janji Allah dan ancaman-Nya, serta percaya bahwa kebenaran ada pada ajaran Islam.
Ketiga sifat dalam ayat 5—memberi, bertakwa, dan membenarkan yang terbaik—bukanlah sifat yang berdiri sendiri, melainkan sebuah trilogi yang saling menopang dan melengkapi. Memberi (a'ṭā) adalah manifestasi lahiriah dari iman dan ketakwaan. Bertakwa (wattaqā) adalah kondisi batin dan spiritual yang mengarahkan tindakan memberi dan menjiwai keyakinan. Membenarkan "al-ḥusnā" (ṣaddaqā bil-ḥusnā) adalah fondasi keyakinan yang melahirkan kedua sifat sebelumnya.
Oleh karena itu, ayat 5 menggambarkan profil ideal seorang mukmin sejati: seorang yang dermawan, berhati-hati dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, serta memiliki keyakinan yang teguh pada kebenaran Islam dan janji-janji Allah. Kombinasi ketiga sifat ini adalah resep menuju kesuksesan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Surat Al-Lail diturunkan di Mekah, pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW, ketika kaum Muslimin masih minoritas dan menghadapi penindasan serta ejekan dari kaum musyrikin Quraisy. Pada masa ini, penekanan utama ajaran Islam adalah tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan, dan akhlak mulia. Surat ini datang untuk memberikan semangat kepada kaum Muslimin yang beriman dan berkorban, serta memberikan peringatan keras kepada kaum musyrikin yang ingkar dan kikir.
Beberapa riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) mengaitkan ayat-ayat awal Al-Lail, khususnya ayat 5 hingga 11, dengan dua individu yang kontras:
Meskipun riwayat-riwayat asbabun nuzul ini memberikan konteks historis yang spesifik, perlu diingat bahwa hukum Al-Quran bersifat umum. Ayat-ayat ini tidak hanya berlaku untuk Abu Bakar atau Umayyah bin Khalaf, tetapi untuk semua manusia di setiap zaman yang memiliki karakteristik serupa.
Memahami ayat 5 secara terpisah tidak akan sempurna tanpa melihat keterkaitannya dengan ayat-ayat setelahnya, khususnya ayat 6 dan 7, serta kontrasnya dengan ayat 8-10. Ayat 5 adalah syarat, sementara ayat 6 dan 7 adalah janji dan konsekuensi dari pemenuhan syarat tersebut.
Sebaliknya, Allah SWT kemudian membandingkan golongan ini dengan golongan kedua:
Kontras yang tajam antara kedua golongan ini sangat jelas. Ayat 5 dan 6 menetapkan tiga prinsip dasar (memberi, takwa, membenarkan kebenaran) yang mengarah pada "kemudahan" (yusrā), sementara ayat 8 dan 9 menetapkan tiga prinsip lawan (kikir, merasa cukup, mendustakan kebenaran) yang mengarah pada "kesukaran" (ʿusrā). Ini menunjukkan bahwa pilihan manusia dalam hidup akan menentukan takdirnya yang difasilitasi oleh Allah.
Ayat 5 Surat Al-Lail bukan hanya deskripsi, tetapi juga sebuah panduan hidup yang sarat dengan pelajaran dan implikasi mendalam bagi setiap Muslim. Mari kita bedah lebih jauh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Frasa "man a'ṭā" menempatkan kedermawanan sebagai salah satu pilar utama keimanan yang akan membawa pada kemudahan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk bersifat dermawan dan peduli terhadap sesama. Kedermawanan bukanlah semata-mata mengeluarkan harta, tetapi juga mengeluarkan apa pun yang kita miliki dan bermanfaat bagi orang lain:
Kedermawanan adalah bukti nyata iman dan kasih sayang. Ia membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan cinta dunia berlebihan, serta menumbuhkan rasa syukur dan empati. Orang yang dermawan tidak takut kekurangan karena ia yakin akan janji Allah bahwa rezekinya tidak akan berkurang bahkan akan bertambah.
Aspek "wattaqā" menunjukkan bahwa memberi dan membenarkan kebenaran harus dilandasi oleh takwa. Takwa adalah landasan spiritual yang mengarahkan semua tindakan seorang Muslim. Tanpa takwa, amal kebaikan bisa menjadi hampa atau bahkan tercemar oleh riya dan pamrih. Takwa adalah kendali diri yang melindungi seseorang dari perbuatan dosa dan mendorongnya untuk senantiasa taat.
Konsep takwa mencakup:
Orang yang bertakwa memiliki kepekaan spiritual yang tinggi, membuatnya selalu merasa diawasi oleh Allah (muraqabah) dan berusaha menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak hubungannya dengan Sang Pencipta. Takwa adalah bekal terbaik menuju akhirat.
Frasa "wa ṣaddaqā bil-ḥusnā" menekankan pentingnya keyakinan yang teguh pada kebenaran. Keyakinan ini adalah fondasi dari semua amal dan ketakwaan. Jika seseorang tidak yakin akan adanya Allah, hari akhir, surga dan neraka, atau risalah kenabian, maka motivasinya untuk memberi dan bertakwa akan rapuh atau bahkan tidak ada sama sekali.
Keyakinan pada "al-ḥusnā" mencakup:
Keyakinan ini memberikan arah dan makna dalam hidup. Ia menumbuhkan optimisme, ketenangan hati, dan keberanian dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Orang yang beriman teguh tidak akan goyah oleh godaan dunia atau ancaman musuh, karena ia tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah dan janji-Nya pasti benar.
Ayat 7 Surat Al-Lail, yang merupakan kelanjutan dari ayat 5, menjanjikan "kemudahan" (al-yusrā) bagi mereka yang memiliki sifat-sifat tersebut. Kemudahan ini bersifat universal dan mencakup berbagai aspek kehidupan:
Penting untuk dicatat bahwa "kemudahan" ini bukan berarti hidup tanpa cobaan sama sekali. Hidup di dunia pasti penuh dengan ujian. Namun, bagi orang-orang yang digambarkan dalam ayat 5, Allah akan senantiasa menyertai mereka, memberikan kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari setiap kesulitan, sehingga setiap ujian akan terasa lebih ringan dan berakhir dengan kebaikan. Ini adalah jaminan dari Allah SWT.
Untuk lebih menghargai makna ayat 5, sangat penting untuk melihatnya dalam kontras dengan golongan kedua yang dijelaskan dalam ayat 8-10. Golongan kedua ini adalah mereka yang kikir (bakhila), merasa cukup diri (istaghna), dan mendustakan kebenaran (kadzdzaba bil-ḥusnā). Bagi mereka, Allah akan "memudahkan jalan kesukaran" (yussiruhu lil-'usrā).
Kontras ini menegaskan bahwa setiap pilihan manusia memiliki konsekuensi yang jelas dan berbeda. Ini adalah prinsip keadilan ilahi: balasan sesuai dengan amal perbuatan. Kemudahan adalah hasil dari ketaatan dan kebaikan, sedangkan kesukaran adalah akibat dari kekikiran, kesombongan, dan penolakan terhadap kebenaran.
Ayat 5 Surat Al-Lail juga menawarkan wawasan mendalam tentang kondisi psikologis dan spiritual seseorang. Kedermawanan, takwa, dan keyakinan bukan hanya tindakan luar, melainkan juga transformasi batin.
Orang yang memberi dengan ikhlas, bertakwa, dan meyakini kebenaran akan merasakan ketenangan jiwa. Mereka tidak terlalu terikat pada dunia dan harta benda, sehingga tidak mudah cemas atau frustasi. Mereka tahu bahwa rezeki ada di tangan Allah dan bahwa setiap kesulitan adalah bagian dari rencana Ilahi.
Keyakinan pada "al-ḥusnā" memupuk optimisme dan harapan. Orang yang meyakini janji-janji Allah akan selalu melihat sisi baik dalam setiap situasi dan tidak mudah putus asa. Mereka yakin bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan, dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik mereka.
Sifat memberi membebaskan seseorang dari perbudakan harta. Banyak orang menjadi budak hartanya sendiri, selalu khawatir kehilangan, dan enggan berbagi. Orang yang mampu memberi di jalan Allah menunjukkan bahwa ia adalah tuan atas hartanya, bukan sebaliknya. Ini adalah bentuk kebebasan sejati.
Setiap tindakan memberi, bertakwa, dan meyakini kebenaran adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hubungan yang kuat dengan Sang Pencipta adalah sumber kekuatan terbesar, memberikan rasa aman, bimbingan, dan dukungan yang tak terbatas.
Bagaimana kita dapat menginternalisasi dan menerapkan makna arti surat Al-Lail ayat 5 dalam kehidupan sehari-hari?
Mulailah dengan hal-hal kecil. Sedekah subuh, membantu tetangga, berbagi makanan, menyumbangkan pakaian layak pakai, atau sekadar memberikan senyum tulus. Jadikan memberi sebagai kebiasaan, bukan beban. Ingatlah bahwa memberi tidak selalu harus dalam bentuk harta. Waktu, tenaga, ilmu, atau bahkan kata-kata penyemangat juga adalah bentuk pemberian.
Takwa adalah proses berkelanjutan. Upayakan untuk terus meningkatkan kualitas ibadah Anda:
Iman bukanlah statis; ia bisa bertambah dan berkurang. Perkuat keyakinan Anda dengan:
Pahamilah bahwa kehidupan dunia adalah sementara, dan akhirat adalah tujuan abadi. Dengan fokus pada akhirat, segala tindakan di dunia akan lebih terarah dan bermakna. Ini akan memudahkan seseorang untuk melepaskan diri dari godaan duniawi yang melalaikan.
Di balik arti surat Al-Lail ayat 5, terdapat hikmah dan filosofi mendalam mengenai hakikat keberadaan manusia dan relasinya dengan Sang Pencipta.
Surat Al-Lail secara keseluruhan, dan ayat 5 secara khusus, menekankan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will) untuk memilih jalannya. Tidak ada paksaan dalam beragama, namun setiap pilihan akan membawa konsekuensi. Golongan yang memberi, bertakwa, dan membenarkan kebenaran, adalah golongan yang secara sadar memilih jalan Allah. Ini menunjukkan tanggung jawab besar yang diemban manusia sebagai khalifah di bumi.
Ayat ini mengajarkan hukum sebab-akibat yang sangat jelas dalam dimensi spiritual. Tindakan kebaikan (memberi, takwa, membenarkan) adalah sebab, dan kemudahan hidup serta kebahagiaan abadi adalah akibatnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik seorang hamba, bahkan akan memudahkannya menuju kebaikan yang lebih besar.
"A'ṭā" (memberi harta) mewakili dimensi materi atau lahiriah, sedangkan "wattaqā" (bertakwa) dan "ṣaddaqā bil-ḥusnā" (membenarkan kebenaran) mewakili dimensi spiritual atau batiniah. Ayat ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan sejati memerlukan harmoni antara keduanya. Kekayaan materi tanpa takwa dan iman tidak akan membawa kebahagiaan hakiki, bahkan bisa menjadi fitnah. Sebaliknya, spiritualitas yang kuat harus terwujud dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama.
Perbandingan antara dua golongan dalam Surat Al-Lail adalah penegasan mutlak terhadap keadilan Allah. Setiap individu akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya. Tidak ada yang terzalimi, dan setiap kebaikan sekecil apapun akan diperhitungkan, begitu pula setiap keburukan. Ini memotivasi manusia untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi keburukan.
Pesan dalam arti surat Al-Lail ayat 5 tidak berdiri sendiri, melainkan selaras dengan banyak ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW yang menekankan nilai-nilai yang sama.
Ayat ini secara langsung mendukung frasa "man a'ṭā" (orang yang memberi), menekankan ganjaran berlipat ganda bagi mereka yang bersedekah di jalan Allah.
Ayat ini menggabungkan sifat memberi ("yunfiquna") dengan sifat takwa ("lil-muttaqin") dan menunjukkan bahwa mereka adalah ahli surga. Ini menguatkan makna gabungan dari ayat 5 Surat Al-Lail.
Ayat ini menegaskan pentingnya keyakinan yang kokoh pada rukun iman, yang sejalan dengan makna "ṣaddaqā bil-ḥusnā".
Hadits ini secara jelas mendukung nilai "man a'ṭā" dan mengancam konsekuensi bagi mereka yang kikir.
Hadits ini adalah panduan komprehensif tentang takwa, yang mencakup hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Hadits ini menggambarkan luasnya cakupan iman, dari inti tauhid hingga tindakan kebaikan yang kecil, semuanya termasuk dalam "al-ḥusnā" yang perlu dibenarkan dan diamalkan.
Dengan demikian, arti surat Al-Lail ayat 5 adalah sebuah ringkasan indah dari ajaran-ajaran fundamental Islam yang telah ditegaskan berulang kali dalam Al-Quran dan Sunnah. Ini adalah cetak biru bagi seorang Muslim yang ingin meraih keberkahan dan kemudahan dari Allah SWT.
Surat Al-Lail ayat 5, meskipun singkat, mengandung esensi ajaran Islam yang sangat mendalam. Ia memberikan peta jalan yang jelas bagi setiap individu yang menginginkan kebaikan dan kemudahan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Pesan utamanya adalah bahwa kesuksesan sejati tidak datang dari kekayaan atau kekuasaan semata, melainkan dari kombinasi tiga pilar utama: kedermawanan, ketakwaan, dan keyakinan yang teguh pada kebenaran ilahi.
Frasa "fa ammā man a'ṭā wa attaqā wa ṣaddaqā bil-ḥusnā" bukanlah sekadar rangkaian kata-kata indah, melainkan sebuah formula ilahi yang jika diterapkan, akan membuka pintu-pintu kemudahan dari Allah SWT. Ia adalah janji yang pasti bagi mereka yang memilih jalan kebaikan, jalan ketaatan, dan jalan kebenaran. Janji kemudahan ini meliputi segala aspek kehidupan: dari kemudahan dalam rezeki, kemudahan dalam menjalankan ibadah, kemudahan dalam menghadapi musibah, hingga kemudahan saat sakaratul maut dan hisab di hari kiamat, yang puncaknya adalah kemudahan memasuki surga-Nya yang abadi.
Sebaliknya, Allah juga memberikan peringatan keras bagi mereka yang memilih jalan sebaliknya: kikir, merasa cukup diri tanpa Allah, dan mendustakan kebenaran. Bagi mereka, Allah akan memudahkan jalan kesukaran. Ini adalah keadilan Allah, di mana setiap jiwa akan memetik hasil dari apa yang telah ia tanam.
Maka, marilah kita senantiasa merenungkan makna mendalam dari arti surat Al-Lail ayat 5 ini. Mari kita jadikan kedermawanan sebagai bagian tak terpisahkan dari karakter kita, baik dengan harta, waktu, tenaga, maupun ilmu. Mari kita tingkatkan ketakwaan kita, menjaga diri dari segala larangan Allah dan senantiasa berusaha menjalankan perintah-Nya. Dan yang paling fundamental, marilah kita kuatkan keyakinan kita pada "al-ḥusnā", yaitu kebenaran mutlak yang datang dari Allah, baik itu tauhid, janji surga, atau ajaran Al-Quran secara keseluruhan.
Dengan demikian, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini, yang dimudahkan jalannya menuju kemudahan, meraih kebahagiaan sejati di dunia, dan mendapatkan ridha serta surga-Nya di akhirat kelak. Amin.