Surah Al-Kahf, sebuah surah makkiyah yang terletak pada juz ke-15 Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang memiliki kedalaman makna dan pelajaran yang luar biasa. Surah ini seringkali dibaca pada hari Jumat oleh umat Muslim di seluruh dunia, bukan tanpa alasan. Di dalamnya terkandung empat kisah utama yang menjadi simbol dari empat fitnah (cobaan) besar dalam kehidupan: fitnah agama (kisah Ashabul Kahf), fitnah harta (kisah pemilik dua kebun), fitnah ilmu (kisah Nabi Musa dan Khidr), dan fitnah kekuasaan (kisah Dzulqarnain). Setiap kisah ini membawa serta mutiara hikmah yang tak ternilai harganya, membimbing manusia untuk memahami hakikat dunia, keterbatasan ilmu manusia, serta kekuasaan dan kebijaksanaan Allah SWT yang tak terbatas.
Surah Al-Kahf diturunkan di Makkah pada periode yang penuh tantangan bagi kaum Muslimin. Kaum kafir Quraisy seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit kepada Nabi Muhammad SAW untuk menguji kenabiannya, salah satunya adalah tentang pemuda Ashabul Kahf, seorang pengembara besar Dzulqarnain, dan juga tentang Ruh (yang dijawab dalam Surah Al-Isra'). Kisah Nabi Musa dan Khidr menjadi jawaban atas pertanyaan tentang ilmu dan batasannya, sebuah pengajaran fundamental yang membentuk pandangan dunia seorang Muslim yang tawadhu' (rendah hati) di hadapan ilmu Allah. Ayat-ayatnya memberikan kekuatan, penghiburan, dan bimbingan kepada Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya, mempersiapkan mereka untuk menghadapi berbagai cobaan hidup baik di masa itu maupun di masa depan, termasuk fitnah Dajjal yang dahsyat di akhir zaman.
Di antara keempat kisah tersebut, kisah perjalanan Nabi Musa AS dan Khidr AS menempati posisi yang sangat istimewa karena menyoroti tentang batas-batas ilmu manusia dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir yang tampaknya tidak masuk akal di mata lahiriah. Kisah ini adalah sebuah pengembaraan spiritual dan intelektual yang penuh dengan ujian kesabaran dan pelajaran tentang dimensi tersembunyi dari setiap peristiwa. Setiap insiden dalam perjalanan mereka merupakan demonstrasi nyata bahwa ada ilmu di luar jangkauan pemahaman biasa, sebuah ilmu yang disebut sebagai ilm ladunni, ilmu yang langsung diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba pilihan-Nya sebagai anugerah khusus.
Fokus utama kita dalam artikel yang panjang ini adalah untuk mendalami salah satu ayat kunci dalam kisah Nabi Musa dan Khidr, yaitu ayat 77 Surah Al-Kahf. Ayat ini menggambarkan insiden ketiga dan terakhir dalam perjalanan mereka sebelum Khidr menjelaskan alasan di balik tindakan-tindakannya. Insiden ini, yang melibatkan tembok yang hampir roboh di sebuah desa yang tidak ramah, adalah puncak dari ujian kesabaran Nabi Musa dan sekaligus menjadi gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kebijaksanaan ilahi yang melampaui logika dan syariat lahiriah semata.
Mari kita bersama-sama menyelami setiap kata, setiap makna, dan setiap hikmah yang terkandung dalam ayat 77 Surah Al-Kahf, menggali pelajaran-pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan kita di era modern. Kita akan membahas konteks ayat, terjemahan, tafsir mendalam, serta implikasinya terhadap pemahaman kita tentang keimanan, kesabaran, dan keterbatasan akal manusia dalam memahami rencana Allah SWT yang maha sempurna.
Sebelum kita menyelam lebih dalam ke ayat 77 Surah Al-Kahf, penting untuk memahami kerangka yang lebih luas dari Surah Al-Kahf secara keseluruhan. Surah ini memberikan panduan komprehensif untuk menghadapi godaan dunia dan menjaga iman tetap teguh. Setiap kisahnya, termasuk kisah Musa dan Khidr, adalah cerminan dari tantangan spiritual yang akan dihadapi manusia, dan bagaimana keimanan, kesabaran, serta ketergantungan kepada Allah adalah kunci untuk melewatinya.
Kisah Nabi Musa dan Khidr (disebutkan dari ayat 60 hingga 82) adalah salah satu narasi paling memikat dalam Al-Qur'an, yang mengajarkan kepada kita tentang sifat ilmu yang hakiki dan bahwa manusia, bahkan seorang Nabi sekaliber Musa, tidak pernah memiliki semua pengetahuan. Nabi Musa AS, salah satu nabi Ulul Azmi yang diutus kepada Bani Israil, dikenal karena ketegasan, keberanian, dan semangatnya yang kuat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan melawan Firaun yang tiran. Ia adalah pembawa syariat yang jelas, seorang pemimpin yang memimpin umatnya melalui banyak ujian. Namun, dalam kisah ini, kita melihat sisi lain dari karakternya: seorang pencari ilmu yang tak kenal lelah, yang harus mengesampingkan pemahamannya yang kokoh tentang syariat untuk belajar dari seorang hamba Allah yang memiliki ilmu khusus.
Kisah ini bermula ketika Nabi Musa AS ditanya tentang siapa orang yang paling berilmu di muka bumi. Dengan keyakinan yang tulus dan mungkin berdasarkan pengalamannya sebagai Rasul Allah, Musa menjawab bahwa dialah orangnya. Namun, Allah SWT kemudian memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba-Nya yang lebih berilmu daripadanya, yaitu Khidr. Ini adalah pelajaran pertama yang sangat mendalam: bahwa selalu ada yang lebih tahu di atas orang yang berilmu, dan kesombongan ilmu adalah suatu kekeliruan yang dapat menghalangi seseorang dari pengetahuan yang lebih tinggi. Allah ingin mengajarkan Musa dan umat manusia bahwa ilmu sejati itu tak terbatas, dan puncak dari ilmu adalah mengakui keterbatasan diri di hadapan ilmu Allah yang Maha Luas.
Musa kemudian diinstruksikan untuk mencari Khidr di pertemuan dua lautan (Majma' al-Bahrain), sebuah lokasi simbolis yang sering ditafsirkan sebagai titik pertemuan antara dua jenis pengetahuan: pengetahuan lahiriah (syariat) yang diwakili Musa, dan pengetahuan batiniah (hakikat/ladunni) yang diwakili Khidr. Ia berangkat bersama muridnya yang setia, Yusya' bin Nun, dengan membawa ikan yang telah dipanggang sebagai bekal. Mereka dijanjikan bahwa di tempat ikan itu hidup kembali dan melompat ke laut, di sanalah mereka akan bertemu Khidr. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, mereka berhenti untuk beristirahat. Yusya' lupa menceritakan tentang ikan yang hidup kembali dan melompat ke laut. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, Musa menyadari bahwa mereka telah melewati batas yang ditentukan. Mereka kembali ke tempat itu dan akhirnya menemukan Khidr, sosok misterius yang diberi ilmu langsung dari sisi Allah.
Setelah pertemuan yang mengharukan, Nabi Musa, dengan kerendahan hati yang luar biasa bagi seorang nabi Ulul Azmi, memohon izin untuk mengikutinya agar dapat mempelajari sebagian dari ilmu yang telah diajarkan Allah kepada Khidr. Permintaan Musa ini menunjukkan betapa besar hasratnya akan ilmu, melebihi sekadar kekuasaan atau kenikmatan dunia. Khidr menerima permohonan Musa dengan syarat yang sangat berat, yaitu bahwa Musa tidak boleh bertanya atau menginterupsi tindakannya sampai Khidr sendiri yang menjelaskannya. Ini adalah perjanjian yang sangat penting, yang akan menjadi titik sentral dalam setiap ujian kesabaran Musa, sebuah janji untuk tidak menghakimi berdasarkan pandangan lahiriah semata.
Perjalanan dimulai. Mereka menaiki sebuah perahu yang membawa mereka menyeberang lautan. Perahu ini adalah milik orang-orang miskin yang menggunakannya untuk mencari nafkah. Namun, tanpa peringatan dan tanpa penjelasan, Khidr melubangi perahu itu, membuatnya tidak layak berlayar. Nabi Musa, yang terbiasa dengan syariat lahiriah, keadilan, dan logika sebab-akibat, tidak dapat menahan diri. Ia segera bertanya dengan nada terkejut, penuh protes, dan kekhawatiran yang wajar, "Mengapa engkau melubangi perahu itu? Apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh engkau telah berbuat suatu kemungkaran yang besar!" Khidr mengingatkannya akan janji mereka, dan Musa memohon maaf atas kelupaannya, berjanji untuk tidak mengulangi lagi.
Musa memahami dari kacamata syariat bahwa merusak harta orang lain adalah dosa besar, apalagi perahu yang menjadi satu-satunya mata pencarian mereka. Ia tidak bisa melihat hikmah di balik tindakan Khidr. Ia menilai dari apa yang tampak di permukaan, sebuah kerusakan yang jelas. Insiden ini adalah representasi bagaimana kita seringkali menilai peristiwa hanya dari permukaan tanpa mengetahui rahasia di baliknya, tanpa menyadari bahwa terkadang "kerusakan" kecil dapat mencegah "kerugian" yang lebih besar.
Mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan sekelompok anak muda yang sedang bermain. Tanpa alasan yang jelas di mata Musa, Khidr membunuh salah satu anak muda itu. Kali ini, reaksi Musa lebih keras lagi, menunjukkan betapa sulitnya baginya untuk menahan diri dari apa yang tampak seperti kejahatan terang-terangan. "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, padahal dia tidak membunuh orang lain? Sungguh engkau telah melakukan perbuatan yang mungkar yang lebih kejam!" Sekali lagi, Khidr mengingatkan Musa akan janjinya, dan Musa kembali memohon maaf, berjanji tidak akan bertanya lagi. Ia bahkan mengatakan bahwa jika ia bertanya lagi, maka Khidr berhak untuk tidak lagi menjadikannya murid, sebuah ikrar kesabaran yang menunjukkan betapa ia berusaha keras untuk memegang janjinya.
Pembunuhan seorang anak muda tanpa sebab yang jelas adalah pelanggaran besar dalam syariat Islam dan hukum moral manapun, termasuk dalam Taurat yang dibawa Musa. Musa, sebagai Nabi yang membawa syariat Allah, tidak dapat mentolerir tindakan ini. Namun, sekali lagi, ia tidak tahu bahwa ada hikmah yang lebih besar di balik tindakan kejam tersebut yang baru akan diungkapkan di kemudian hari. Ini menunjukkan bagaimana seringkali kita terpaku pada peristiwa yang buruk di permukaan tanpa menyadari kebaikan yang tersembunyi di baliknya, atau keadilan ilahi yang bekerja melalui cara-cara yang tak terduga.
Setelah dua insiden yang menguji kesabaran dan pemahaman Musa hingga batasnya, sampailah kita pada insiden ketiga dan terakhir, yang diabadikan dalam ayat 77 Surah Al-Kahf. Insiden ini, seperti dua insiden sebelumnya, akan menjadi teka-teki yang baru bagi Musa, namun kali ini ia berusaha keras untuk menahan diri dari pertanyaan langsung, meskipun akhirnya rasa ingin tahu dan keheranannya tetap terucap.
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang ayat 77 Surah Al-Kahf, mari kita bedah setiap frasa kunci dalam ayat ini, menggali makna linguistik dan implikasi teologisnya:
Ayat 77 Surah Al-Kahf ini merupakan penutup dari serangkaian tindakan Khidr yang tampaknya bertentangan dengan logika dan syariat lahiriah yang dipegang teguh oleh Nabi Musa. Namun, di balik setiap tindakan tersebut, tersembunyi kebijaksanaan ilahi yang luar biasa, sebuah pelajaran tentang dimensi batiniah takdir. Mari kita bedah hikmah-hikmah yang terkandung dalam insiden ketiga ini secara lebih mendalam.
Penduduk desa dalam kisah ini digambarkan dengan sifat yang sangat negatif: tidak ramah dan kikir. Mereka menolak menjamu Nabi Musa dan Khidr yang adalah musafir, padahal hak musafir untuk dijamu adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat ditekankan dan merupakan tradisi mulia dalam banyak budaya. Penolakan ini adalah cerminan dari hati yang keras, kurangnya empati, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan serta keimanan. Dalam konteks Islam, menjamu tamu, apalagi musafir yang membutuhkan, adalah perbuatan yang sangat terpuji, bahkan bisa jadi wajib dalam kondisi tertentu. Allah SWT memilih tempat seperti ini untuk menunjukkan kontras yang tajam antara keburukan penduduknya dengan kebaikan yang dilakukan oleh Khidr, yang bertindak atas perintah ilahi. Ini mengajarkan kita bahwa Allah bisa saja menguji kita melalui interaksi dengan orang-orang yang akhlaknya buruk.
Pelajaran di sini adalah bahwa tidak semua masyarakat atau individu memiliki akhlak yang mulia. Manusia akan selalu menghadapi orang-orang yang berhati keras, kikir, tidak peduli, atau bahkan memusuhi. Namun, respons seorang mukmin yang sejati, atau orang yang dibimbing oleh Allah, tidak lantas membalas keburukan dengan keburukan yang setara. Terkadang, kebaikan justru harus diberikan kepada mereka yang tidak pantas menerimanya, untuk sebuah tujuan yang lebih besar yang hanya diketahui oleh Allah. Hal ini juga menjadi penekanan bahwa akhlak yang buruk dapat memalingkan manusia dari kebaikan dan rahmat Allah, sementara akhlak mulia, meski tidak dibalas, akan mendapat ganjaran dari Allah.
Yang paling membingungkan bagi Musa adalah tindakan Khidr yang memperbaiki dinding secara gratis, tanpa meminta imbalan sepeser pun. Penduduk desa telah menunjukkan permusuhan dengan menolak menjamu mereka, bahkan saat mereka lapar dan lelah. Namun, Khidr justru melakukan pekerjaan berat yang seharusnya dihargai dengan upah. Ini adalah puncak kontradiksi dari sudut pandang manusia biasa, yang cenderung berharap balasan atau keadilan simetris.
Tindakan Khidr ini mengajarkan beberapa hal fundamental:
Seperti dua insiden sebelumnya, Khidr akhirnya menjelaskan alasan di balik tindakannya. Dinding yang diperbaiki itu adalah milik dua orang anak yatim yang masih kecil dan belum dewasa di kota tersebut. Di bawah dinding itu, tersembunyi harta karun yang ditinggalkan oleh ayah mereka yang saleh. Jika dinding itu roboh, harta karun itu akan terlihat oleh penduduk desa yang kikir dan serakah, dan kemungkinan besar akan dirampas dari anak-anak yatim tersebut, meninggalkan mereka dalam kemiskinan dan kesulitan yang lebih besar.
Dengan memperbaiki dinding, Khidr sesungguhnya menjaga harta karun itu tetap aman hingga kedua anak yatim itu dewasa dan cukup kuat untuk mengurus dan memanfaatkannya sendiri. Ayah mereka adalah seorang yang saleh, dan Allah SWT ingin memuliakan keturunan orang saleh itu sebagai bentuk balasan atas ketakwaan ayahnya. Ini adalah salah satu manifestasi dari kasih sayang dan keadilan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, bahkan melalui perantaraan orang lain dan cara-cara yang tidak terduga atau tidak bisa dipahami oleh akal biasa.
Pelajaran dari penafsiran ini sangat mendalam:
Pertanyaan Musa, "Jika engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu," bukanlah pertanyaan yang sama dengan dua yang sebelumnya. Kali ini, bukan lagi tuduhan kemungkaran atau ketidakadilan, melainkan ekspresi kebingungan atas ketidaklogisan perilaku Khidr dari sudut pandang ekonomi dan kebutuhan pribadi. Musa dan Khidr sedang lapar, ditolak jamuan oleh penduduk desa yang kikir, namun Khidr justru mengerjakan pekerjaan berat tanpa upah. Ini adalah titik di mana Musa menunjukkan bahwa ia masih memandang segala sesuatu dari kacamata sebab-akibat duniawi dan kebutuhan materi, yang merupakan bagian integral dari `syariat` yang ia bawa.
Musa belum sepenuhnya memahami konsep beramal karena Allah semata, tanpa mengharapkan balasan dari manusia. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua. Seringkali, kita merasa bahwa setiap perbuatan baik harus mendapatkan imbalan yang setara, atau setidaknya pengakuan. Namun, Khidr mengajarkan bahwa perbuatan baik yang paling murni adalah yang dilakukan semata-mata karena ketaatan kepada Allah, tanpa memperhitungkan untung rugi duniawi, bahkan ketika situasinya tampaknya tidak menguntungkan atau tidak masuk akal secara logis. Ini adalah puncak dari `tawakkal` (berserah diri) dan `ikhlas` (kemurnian niat).
Setelah insiden ketiga ini, Khidr akhirnya menyatakan bahwa inilah saatnya untuk berpisah karena Musa tidak dapat memenuhi janjinya untuk bersabar. Kemudian, Khidr menjelaskan satu per satu hikmah di balik setiap tindakannya. Penjelasan ini bukan hanya jawaban atas pertanyaan Musa, tetapi juga penyingkapan tabir hakikat yang tersembunyi dari pandangan umum.
Penjelasan Khidr ini membuka mata Nabi Musa dan mengajarkan pelajaran paling agung: bahwa ilmu Allah itu maha luas dan manusia hanya diberikan sedikit saja dari-Nya. Ada dimensi-dimensi takdir dan kebijaksanaan yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia semata. Kita seringkali melihat peristiwa secara fragmentaris dan hanya dari sudut pandang kita yang terbatas, tanpa menyadari alur besar dan tujuan akhir yang telah Allah tetapkan. Ini adalah inti dari `ilm ladunni`, pengetahuan langsung dari Allah, yang memungkinkan Khidr melihat realitas di balik apa yang tampak.
Kisah ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dengan takdir dan hikmah yang sempurna dari Allah SWT. Bahkan peristiwa yang tampak buruk, menyakitkan, atau tidak masuk akal, bisa jadi memiliki kebaikan tersembunyi yang baru akan terungkap di kemudian hari. Ini adalah fondasi dari keyakinan pada Qada dan Qadar (ketetapan dan takdir Allah), di mana seorang mukmin percaya bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik, meskipun tidak selalu menyenangkan secara instan.
Pelajaran dari ayat 77 Surah Al-Kahf dan keseluruhan kisah Musa-Khidr sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini, bahkan lebih dari sebelumnya. Di tengah hiruk pikuk dunia yang serba cepat, penuh informasi, dan menuntut hasil instan, kita seringkali kesulitan memahami mengapa hal-hal buruk terjadi pada orang baik, atau mengapa kebaikan yang kita lakukan tidak selalu dibalas dengan kebaikan serupa, atau mengapa terkadang keburukan justru tampak berkembang.
Seperti Nabi Musa, kita seringkali tergesa-gesa dalam menilai suatu peristiwa. Ketika kita mengalami musibah, kegagalan, atau melihat ketidakadilan, kita cenderung protes, mengeluh, atau bertanya "mengapa?". Kisah ini mengajarkan kita untuk bersabar (`sabr`) dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah (`husnuzan`). Setiap peristiwa yang terjadi, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, pasti mengandung hikmah dan tujuan yang lebih besar yang mungkin tidak kita pahami saat ini. Kesabaran bukan berarti pasif, melainkan sebuah kekuatan batin untuk menerima takdir sambil terus berusaha dan berdoa.
Mungkin saja Allah menunda rezeki kita untuk melindungi kita dari bahaya yang lebih besar di kemudian hari. Mungkin saja kegagalan kita dalam suatu usaha adalah jalan untuk membuka pintu rezeki lain yang lebih baik yang tidak pernah kita duga. Mungkin saja penolakan atau perlakuan tidak adil dari orang lain adalah cara Allah menjauhkan kita dari keburukan yang lebih besar atau menguatkan kita. Kesabaran adalah kunci untuk menantikan terungkapnya hikmah tersebut, dan kepercayaan penuh bahwa Allah selalu punya rencana terbaik untuk hamba-Nya.
Tindakan Khidr memperbaiki dinding tanpa upah, bahkan kepada orang-orang yang kikir dan tidak ramah, adalah teladan sempurna tentang kebaikan yang tulus (`ihsan`) yang dilakukan semata-mata karena Allah. Di dunia yang materialistis ini, seringkali setiap tindakan diukur dengan keuntungan, balasan, atau pengakuan. Namun, Islam mengajarkan untuk berbuat baik tanpa mengharapkan balasan dari manusia, bahkan kepada mereka yang tidak pantas menerimanya. Balasan yang hakiki dan kekal datang dari Allah SWT.
Ketika kita memberi sedekah, membantu sesama, melakukan pekerjaan sukarela, atau bahkan sekadar tersenyum, niatkanlah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Jangan biarkan harapan akan pujian, pengakuan, atau balasan materi merusak kemurnian amal kita. Sebab, Allah adalah sebaik-baik Pemberi Balasan, dan balasan-Nya jauh lebih berharga, lebih berkah, dan lebih kekal daripada apa pun yang bisa diberikan manusia.
Kisah anak yatim yang hartanya dilindungi karena kesalehan ayahnya adalah pengingat akan dahsyatnya dampak kesalehan orang tua terhadap keturunannya. Doa orang tua yang saleh memiliki kekuatan yang luar biasa, dan amal kebaikan yang kita lakukan di dunia ini dapat menjadi investasi bagi kebaikan anak cucu kita, bahkan setelah kita tiada. Ini mendorong kita untuk menjadi pribadi yang bertakwa, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kebaikan generasi mendatang, mengajarkan mereka nilai-nilai keimanan, kejujuran, dan ketaatan kepada Allah.
Oleh karena itu, berusahalah menjadi orang tua yang saleh, menanamkan nilai-nilai agama dan akhlak mulia kepada anak-anak. Karena kesalehan mereka di masa depan bisa jadi adalah buah dari usaha dan doa kita hari ini. Warisan terbaik bukanlah harta melimpah semata, melainkan pendidikan agama, akhlak mulia, dan doa-doa yang terus mengalir dari keturunan yang saleh.
Pelajaran terbesar dari kisah Musa dan Khidr adalah tentang keterbatasan ilmu manusia. Bahkan seorang Nabi seperti Musa pun tidak dapat memahami seluruh kehendak dan kebijaksanaan Allah. Ini mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dalam mencari ilmu, mengakui bahwa di atas setiap orang yang berilmu pasti ada yang lebih berilmu, dan puncak ilmu adalah mengakui kebodohan kita di hadapan ilmu Allah yang tak terbatas. Kita tidak bisa menghakimi setiap peristiwa hanya berdasarkan logika dan pengetahuan yang kita miliki.
Dalam menghadapi misteri kehidupan, kita harus meyakini bahwa Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (`Al-Alim, Al-Hakim`). Ketika kita tidak memahami suatu peristiwa, atau tidak dapat menemukan alasan logis di baliknya, serahkanlah kepada Allah. Karena terkadang, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar tidak dapat ditemukan melalui logika semata, melainkan melalui iman yang kokoh dan penyerahan diri yang tulus. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap `ilm ladunni`, ilmu yang diberikan langsung oleh Allah, yang berada di luar jangkauan akal dan usaha manusia biasa.
Kontras perilaku penduduk desa yang tidak ramah dengan tindakan Khidr yang berbuat baik adalah pengingat akan pentingnya etika bertamu dan menjamu dalam Islam. Keramahan adalah bagian dari iman. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya." Menolak tamu, apalagi musafir yang membutuhkan, adalah perbuatan yang sangat tercela yang menggambarkan kurangnya iman dan adab. Kisah ini secara implisit mengecam perilaku penduduk desa dan memuji nilai-nilai keramahan dan berbagi.
Di era modern ini, meskipun bentuk perjalanan dan interaksi sosial mungkin berbeda, prinsip-prinsip ini tetap relevan. Jadilah pribadi yang terbuka, ramah, dan murah hati kepada sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan, sedang dalam perjalanan, atau sedang mengalami kesulitan. Keramahan adalah jembatan untuk membangun hubungan baik dan menyebarkan kasih sayang.
Kisah Nabi Musa dan Khidr, khususnya insiden di ayat 77 Surah Al-Kahf, bukan sekadar cerita terpisah, melainkan terjalin erat dengan tema-tema besar Surah Al-Kahf lainnya. Surah ini seringkali disebut sebagai penawar dari fitnah Dajjal, dan setiap kisah di dalamnya adalah antidot terhadap bentuk-bentuk fitnah yang akan dihadapi manusia di akhir zaman. Empat fitnah utama yang diwakili oleh empat kisah dalam surah ini adalah fitnah agama, fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan. Kisah Musa dan Khidr secara spesifik menangani fitnah ilmu.
Kisah Musa dan Khidr secara eksplisit adalah tentang fitnah ilmu. Manusia cenderung menyombongkan diri dengan pengetahuannya, merasa bahwa ia telah menguasai segalanya. Namun, kisah ini menunjukkan bahwa ada dimensi ilmu yang lebih tinggi, `ilm ladunni`, yang hanya dimiliki oleh Allah dan diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Ini mengajarkan kerendahan hati dalam mencari ilmu dan mengakui keterbatasan akal manusia. Fitnah Dajjal salah satunya adalah fitnah terhadap ilmu dan teknologi yang akan membuat manusia merasa mandiri dari Allah, melupakan Sang Pencipta. Kisah ini mengingatkan bahwa pengetahuan manusia, betapapun luasnya, tetaplah setetes air di lautan ilmu Allah.
Insiden perahu yang dirusak Khidr adalah perlindungan dari seorang raja yang zalim yang merampas perahu-perahu bagus. Ini menggambarkan bagaimana kekuasaan yang absolut dapat menyeleweng dan membahayakan rakyat kecil. Sementara itu, kisah Dzulqarnain di akhir surah menunjukkan bagaimana kekuasaan yang saleh digunakan untuk melindungi kaum yang lemah dan membangun pertahanan dari kezaliman (Ya'juj dan Ma'juj). Ayat 77 Surah Al-Kahf dengan penduduk desa yang tidak ramah juga secara tidak langsung menunjukkan kekuasaan sosial yang arogan, yang tidak menggunakan kekuasaannya (walaupun hanya dalam konteks menjamu tamu) untuk berbuat baik. Surah ini memberikan keseimbangan antara bahaya kekuasaan yang korup dan manfaat kekuasaan yang adil.
Melindungi harta anak yatim karena kesalehan ayahnya adalah bukti nyata bahwa iman dan amal saleh memiliki dampak yang langgeng, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi keturunannya. Ini adalah investasi jangka panjang yang melebihi harta benda atau kekuasaan duniawi. Tema ini juga konsisten dengan kisah Ashabul Kahf yang mempertahankan iman mereka di tengah kekuasaan zalim, dan kisah pemilik dua kebun yang kehilangan hartanya karena kesombongan dan kekufuran. Surah Al-Kahf secara keseluruhan menekankan bahwa yang abadi dan bermanfaat adalah amal saleh yang dilandasi iman, bukan harta atau kedudukan duniawi yang fana.
Musa adalah lambang dari manusia yang mencoba memahami takdir dengan akal dan syariat lahiriah. Khidr adalah simbol dari takdir ilahi yang bekerja di balik layar, dengan hikmah yang tersembunyi. Kisah ini adalah seruan untuk bersabar dalam menghadapi ujian dan takdir Allah, karena di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan di balik setiap peristiwa pasti ada hikmah yang luar biasa. Konsep sabar adalah benang merah yang menghubungkan semua kisah dalam Surah Al-Kahf, mengajarkan bahwa ketahanan spiritual adalah kunci untuk melewati setiap fitnah.
Surah Al-Kahf, dengan rangkaian kisahnya, membentuk sebuah panduan komprehensif untuk menghadapi godaan dunia dan menjaga iman tetap teguh. Kisah Musa dan Khidr, khususnya ayat 77 Surah Al-Kahf, adalah pilar penting dalam struktur panduan ini, yang mengingatkan kita untuk selalu memandang kehidupan dengan lensa iman dan kebijaksanaan, bukan hanya dengan akal semata, serta senantiasa bertawakkal kepada Allah dalam setiap keadaan.
Ayat 77 Surah Al-Kahf adalah mutiara hikmah yang sangat berharga, sebuah simpul penting dalam narasi epik antara Nabi Musa AS dan Khidr AS. Ia tidak hanya melanjutkan drama spiritual mereka, tetapi juga menyajikan pelajaran-pelajaran fundamental tentang kebijaksanaan ilahi, keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran yang luar biasa, dan kemurnian amal tanpa pamrih. Lebih dari sekadar kisah lama, ia adalah cermin yang merefleksikan tantangan dan kebingungan yang sering kita alami dalam hidup modern.
Dari insiden perbaikan dinding yang hampir roboh, kita belajar bahwa kebaikan sejati tidak mengenal batas, tidak mengharapkan balasan dari manusia, bahkan kepada mereka yang menunjukkan kekikiran dan permusuhan. Tindakan Khidr adalah manifestasi dari `ihsan` yang tertinggi, berbuat baik demi Allah semata. Kita juga diingatkan akan keadilan Allah yang senantiasa menjaga hak-hak orang lemah dan rentan, seperti anak yatim, serta membalas kesalehan hamba-Nya melalui cara-cara yang tak terduga dan di luar jangkauan logika manusia.
Kisah ini menegaskan bahwa setiap peristiwa, betapapun aneh atau sulitnya, adalah bagian dari rencana Allah yang Maha Bijaksana. Keterbatasan ilmu dan akal manusia dalam memahami dimensi takdir ini mengharuskan kita untuk senantiasa rendah hati, bersabar, dan berprasangka baik kepada Allah. Ini adalah fondasi keimanan yang kokoh, yang memungkinkan seorang mukmin untuk melewati badai kehidupan dengan ketenangan dan keyakinan, karena mengetahui bahwa di balik setiap ujian, ada hikmah dan kebaikan yang telah Allah siapkan.
Semoga dengan mendalami ayat 77 Surah Al-Kahf ini dan seluruh kisah Musa dan Khidr, kita dapat semakin meningkatkan keimanan kita, memperkuat kesabaran kita dalam menghadapi cobaan hidup, dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah SWT. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha memahami hikmah di balik setiap takdir dan mengamalkan ajaran-Nya dengan tulus ikhlas, demi meraih keridhaan-Nya di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Pengajaran dalam Al-Qur'an adalah cahaya penerang jalan hidup, dan Surah Al-Kahf, dengan segala kekayaan maknanya, adalah salah satu sumber cahaya yang tak pernah padam, membimbing kita melewati kegelapan fitnah menuju cahaya kebenaran. Mari terus merenungi dan mengamalkan setiap ayat-Nya sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup ini.