Surah Al-Lahab, atau dikenal juga dengan nama Surah Al-Masad, adalah salah satu surah yang paling singkat namun memiliki pesan yang sangat kuat dan mengguncang dalam Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat, surah ini termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yaitu surah-surah yang diturunkan di kota Mekkah sebelum peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Penurunannya terjadi pada masa-masa awal dakwah Islam, di tengah perseteruan dan penentangan hebat dari kaum Quraisy terhadap ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi.
Nama "Al-Lahab" sendiri berarti "gejolak api", yang secara langsung merujuk pada salah satu bentuk hukuman yang disebutkan dalam surah ini. Sementara nama "Al-Masad" (tali sabut) diambil dari ayat terakhir surah ini. Kedua nama ini sangat relevan dengan inti pesan surah, yaitu tentang kehancuran dan azab yang akan menimpa individu-individu yang dengan sengaja dan gigih menentang kebenaran Islam serta menyakiti Nabi Muhammad ﷺ.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada penamaannya yang secara eksplisit menyebutkan nama seseorang, yaitu Abu Lahab, paman kandung Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara langsung mengecam seorang individu dengan menyebut namanya, beserta istrinya. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya penentangan dan permusuhan yang dilakukan Abu Lahab dan istrinya terhadap Nabi dan risalah yang dibawanya, sehingga Allah SWT sendiri yang menurunkannya sebagai peringatan dan sekaligus ramalan yang terbukti kebenarannya.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam setiap ayat Al-Lahab, memahami artinya, menelaah tafsir para ulama, serta menggali kisah di balik turunnya surah ini (asbabun nuzul) yang penuh dengan pelajaran berharga. Kita juga akan membahas hikmah dan relevansi surah ini dalam kehidupan umat Islam hingga hari ini, memahami bagaimana Surah Al-Lahab bukan hanya tentang kisah masa lalu, tetapi juga tentang prinsip-prinsip abadi mengenai kebenaran, keadilan, dan konsekuensi dari penolakan terhadap petunjuk ilahi.
Berikut adalah terjemahan harfiah dari setiap ayat dalam Surah Al-Lahab:
Surah Al-Lahab tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mengetahui konteks historis dan kisah di balik penurunannya, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai Asbabun Nuzul. Kisah ini berpusat pada permusuhan terang-terangan yang ditunjukkan oleh Abu Lahab, paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil, terhadap Nabi dan ajaran yang dibawanya.
Pada awalnya, dakwah Nabi Muhammad ﷺ dilakukan secara sembunyi-sembunyi selama kurang lebih tiga tahun. Namun, setelah turunnya wahyu dari Allah SWT, "Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik." (QS. Al-Hijr: 94), Nabi diperintahkan untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya.
Salah satu peristiwa paling ikonik dalam sejarah awal Islam adalah ketika Nabi Muhammad ﷺ naik ke Bukit Safa di Mekkah. Beliau memanggil seluruh kabilah Quraisy, termasuk Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Zuhrah, Bani Taim, dan Bani Makhzum, untuk berkumpul. Ketika mereka semua telah berkumpul, Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahukan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada sekelompok pasukan berkuda yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka semua menjawab serentak, "Kami tidak pernah mendengar engkau berdusta."
Kemudian, Nabi ﷺ melanjutkan, "Maka sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian tentang azab yang pedih (jika kalian tidak beriman)." Beliau menyeru mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Yang Maha Esa. Beliau menjelaskan bahwa beliau diutus untuk menyelamatkan mereka dari siksa neraka.
Dari sekian banyak orang yang berkumpul, yang paling keras dan kurang ajar dalam menanggapi seruan Nabi ﷺ adalah pamannya sendiri, Abu Lahab. Nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, namun ia dikenal sebagai Abu Lahab (Bapak Api/Jilatan Api) karena wajahnya yang cerah dan kemerah-merahan. Namun, ironisnya, ia justru menjadi bapak bagi api neraka.
Mendengar seruan dakwah Nabi, Abu Lahab dengan lantang dan penuh amarah berkata, "تَبًّا لَكَ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟" (Celakalah engkau! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?). Ia mengutuk Nabi dan segera beranjak pergi, diikuti oleh beberapa orang lainnya. Perkataan Abu Lahab ini menunjukkan betapa dahsyatnya permusuhan dan penentangan yang ia miliki terhadap keponakannya sendiri, bahkan di hadapan publik dan kerabatnya.
Sebagai respons langsung terhadap perkataan dan sikap Abu Lahab yang angkuh dan menentang itu, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab ini. Ayat pertama surah ini secara harfiah adalah jawaban langsung terhadap ucapan Abu Lahab, membalikkan kutukan kepadanya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!"
Permusuhan tidak hanya datang dari Abu Lahab saja, tetapi juga dari istrinya, yaitu Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah, saudari dari Abu Sufyan. Ummu Jamil adalah seorang wanita yang terkenal keras kepala, licik, dan sangat membenci Nabi Muhammad ﷺ serta ajaran Islam. Ia bersekutu dengan suaminya dalam memusuhi dan menyakiti Nabi.
Ummu Jamil dikenal sebagai "pembawa kayu bakar" (حمالة الحطب - hammalat al-hatab) karena beberapa alasan:
Oleh karena perannya yang aktif dalam permusuhan ini, Allah SWT juga secara khusus menyebutkan nasibnya dalam Surah Al-Lahab, menyinggung azab yang akan menimpanya di akhirat.
Kisah ini menunjukkan beberapa hal penting:
Memahami Asbabun Nuzul membantu kita menghargai kedalaman dan konteks Surah Al-Lahab, mengubahnya dari sekadar teks menjadi narasi hidup tentang perjuangan kebenaran melawan kebatilan.
Terjemahan: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!
Ayat pertama ini adalah inti dari surah dan merupakan respons langsung terhadap tindakan dan ucapan Abu Lahab. Kata kerja "تَبَّتْ" (tabbat) berasal dari akar kata "tabba", yang berarti rugi, celaka, binasa, atau putus. Penggunaan bentuk lampau (madhi) "tabbat" menunjukkan bahwa kehancuran itu pasti dan seolah-olah sudah terjadi, menekankan kepastian janji Allah.
Frasa "يَدَا أَبِي لَهَبٍ" (yadaa Abi Lahab) berarti "kedua tangan Abu Lahab". Dalam bahasa Arab, penyebutan "tangan" sering kali merupakan metafora untuk daya upaya, kekuasaan, kekuatan, atau perbuatan seseorang. Jadi, "binasalah kedua tangan Abu Lahab" tidak hanya berarti binasalah fisiknya, tetapi lebih kepada kehancuran semua usahanya, kekuasaannya, dan semua yang ia lakukan untuk menentang Islam dan menyakiti Nabi Muhammad ﷺ. Semua upayanya akan sia-sia dan berujung pada kerugian.
Kemudian dilanjutkan dengan "وَتَبَّ" (wa tabb), yang berarti "dan sesungguhnya dia akan binasa". Pengulangan kata "tabba" dengan subjek "dia" (Abu Lahab sendiri) bukan hanya menekankan kehancuran perbuatannya, tetapi juga kehancuran dirinya secara keseluruhan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah penegasan bahwa tidak hanya usahanya yang akan gagal, tetapi juga dirinya sendiri akan merasakan kebinasaan mutlak.
Ayat ini merupakan salah satu mukjizat Al-Qur'an karena ia adalah sebuah ramalan yang pasti. Ketika surah ini turun, Abu Lahab masih hidup. Ayat ini secara terang-terangan menyatakan bahwa ia akan binasa dan tidak akan beriman. Sepanjang hidupnya setelah ayat ini turun, Abu Lahab tetap dalam kekufuran dan meninggal dalam keadaan kafir. Tidak ada upaya apapun yang ia lakukan untuk menunjukkan keimanannya (meskipun hanya sekadar pura-pura) yang dapat menafikan kebenaran ayat ini. Hal ini menjadi bukti nyata kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ dan bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah.
Sebagian ulama tafsir juga mengaitkan "tabbat yada Abi Lahab" dengan perlakuan Abu Lahab terhadap Nabi yang seringkali menggunakan tangannya untuk menyakiti atau melempar Nabi. Maka, doa kehancuran itu sangat relevan dengan perbuatan tangannya.
Terjemahan: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.
Ayat kedua ini melanjutkan tema kehancuran dengan menjelaskan bahwa kekayaan dan kekuasaan duniawi tidak akan menyelamatkan Abu Lahab dari azab Allah. "مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ" (maa aghnaa 'anhu) berarti "tidaklah berguna baginya" atau "tidaklah dapat menolongnya".
Kemudian disebutkan "مَالُهُ" (maluhu), yaitu "hartanya". Abu Lahab adalah salah satu orang yang kaya raya dan terpandang di Mekkah. Kekayaan seringkali menjadi sumber kebanggaan dan kekuatan di kalangan kaum Quraisy. Namun, ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa hartanya tidak akan sedikitpun membantunya menghadapi azab Allah.
Setelah itu disebutkan "وَمَا كَسَبَ" (wa maa kasab), yaitu "dan apa yang ia usahakan" atau "apa yang ia peroleh". Makna dari "maa kasab" ini ditafsirkan oleh para ulama dalam beberapa pandangan:
Ayat ini mengajarkan pelajaran fundamental bahwa harta dan keturunan, yang seringkali menjadi sumber kebanggaan dan jaminan di dunia, tidak memiliki nilai sedikit pun di hadapan Allah jika tidak disertai dengan keimanan dan amal saleh. Bahkan, jika digunakan untuk menentang kebenaran, justru akan menjadi beban.
Terjemahan: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
Ayat ketiga ini adalah puncak dari ancaman terhadap Abu Lahab, yaitu azab api neraka. Kata "سَيَصْلَىٰ" (sayaslaa) adalah bentuk kata kerja masa depan (mustaqbal) yang ditekankan oleh huruf "sa" (سَ), menunjukkan kepastian yang akan terjadi "kelak" atau "nanti". Ini adalah janji yang pasti dari Allah bahwa Abu Lahab akan merasakan siksaan neraka.
Kemudian disebutkan "نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ" (naaran dhaata lahabin), yang berarti "api yang bergejolak" atau "api yang memiliki jilatan-jilatan api". Pemilihan kata ini sangat indah dan sekaligus ironis. Nama "Abu Lahab" sendiri berarti "Bapak Jilatan Api" atau "Bapak Api yang Berkobar" karena wajahnya yang rupawan dan kemerah-merahan. Allah SWT menggunakan namanya sendiri untuk menjelaskan azab yang akan menimpanya. Seolah-olah dikatakan: "Wahai Bapak Jilatan Api, kelak engkau akan dimasukkan ke dalam Api yang memiliki jilatan-jilatan." Ini menunjukkan kesesuaian antara nama dan takdirnya, sebuah mukjizat bahasa dan pesan Al-Qur'an.
Api neraka yang disebutkan di sini bukanlah api biasa, melainkan api yang bergejolak, panasnya luar biasa, dan memiliki jilatan-jilatan yang sangat dahsyat. Ini adalah gambaran tentang penderitaan yang kekal dan pedih bagi orang-orang yang menentang kebenaran dan menolak petunjuk Allah.
Ayat ini juga menguatkan kebenaran ramalan dalam Al-Qur'an. Ini adalah pernyataan tegas tentang takdir Abu Lahab di akhirat, yang merupakan bagian dari keadilan ilahi bagi mereka yang dengan sadar memilih jalan kekufuran dan permusuhan terhadap para Nabi.
Terjemahan: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
Setelah Abu Lahab, ayat keempat ini beralih pada istrinya, Ummu Jamil. Frasa "وَامْرَأَتُهُ" (wamra'atuhu) berarti "dan istrinya". Penyebutan istri secara khusus menunjukkan bahwa ia juga memiliki peran sentral dalam permusuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan karena itu ia juga akan merasakan azab yang serupa.
Bagian inti dari ayat ini adalah "حَمَّالَةَ الْحَطَبِ" (hammalat al-hatab), yang secara harfiah berarti "pembawa kayu bakar". Frasa ini memiliki beberapa penafsiran yang saling melengkapi:
Penyebutan istri Abu Lahab ini menunjukkan bahwa kejahatan dan penentangan terhadap kebenaran dapat datang dari siapa saja, bahkan dari pasangan hidup. Allah SWT tidak memandang jenis kelamin atau status sosial dalam menjatuhkan hukuman bagi mereka yang memilih jalan kebatilan dan menentang risalah-Nya.
Terjemahan: Di lehernya ada tali dari sabut.
Ayat terakhir ini menggambarkan lebih lanjut azab yang akan menimpa Ummu Jamil. Frasa "فِي جِيدِهَا" (fii jiidihaa) berarti "di lehernya". "Jid" (جيد) adalah leher bagian depan, seringkali dihubungkan dengan perhiasan atau kalung, namun di sini justru disebutkan tali.
Kemudian disebutkan "حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ" (hablun min masad), yang berarti "tali dari sabut". "Masad" (مسد) adalah serat kasar yang terbuat dari pelepah kurma atau pohon palem, yang biasanya digunakan untuk membuat tali yang kuat namun kasar, atau dapat juga berarti tali yang terbuat dari serat api. Penggunaan "masad" di sini memiliki beberapa penafsiran yang mendalam:
Ayat ini menutup Surah Al-Lahab dengan gambaran azab yang sangat spesifik bagi Ummu Jamil, menyoroti bahwa setiap individu akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Ia yang menyulut api fitnah di dunia, akan merasakan api neraka dengan tali dari sabut di lehernya.
Meskipun Surah Al-Lahab adalah surah yang singkat dan secara eksplisit menunjuk dua individu, pesan dan pelajarannya memiliki cakupan yang luas dan relevan bagi umat manusia sepanjang masa. Berikut adalah beberapa hikmah dan pelajaran penting yang dapat kita petik dari Surah Al-Lahab:
Surah ini dengan tegas menunjukkan bahwa Allah SWT Maha Adil. Tidak ada satu pun perbuatan baik atau buruk yang luput dari perhitungan-Nya. Orang-orang yang dengan sengaja, gigih, dan terang-terangan menentang kebenaran, menyakiti utusan Allah, dan menghalangi dakwah Islam, pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Kisah Abu Lahab dan istrinya adalah peringatan keras bahwa kekufuran dan permusuhan terhadap Islam akan berujung pada kehancuran di dunia dan azab pedih di akhirat.
Kisah ini menggambarkan betapa beratnya ujian yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ. Beliau dimusuhi bukan oleh orang asing, melainkan oleh paman kandungnya sendiri, Abu Lahab, yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukungnya. Ini menjadi pelajaran berharga bagi para da'i (penyeru agama) bahwa dalam berdakwah, permusuhan bisa datang dari mana saja, bahkan dari lingkungan terdekat atau keluarga. Kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan adalah kunci untuk menghadapi ujian semacam ini.
Ayat kedua surah ini secara jelas menyatakan bahwa harta dan apa pun yang diusahakan di dunia tidak akan berguna bagi Abu Lahab di hadapan Allah. Abu Lahab adalah orang yang kaya dan memiliki status sosial tinggi di Mekkah, namun semua itu tidak dapat menyelamatkannya. Ini mengingatkan kita bahwa kekayaan, kedudukan, keturunan, dan segala kemewahan duniawi tidak akan memiliki nilai di akhirat jika tidak disertai dengan keimanan dan amal saleh. Yang terpenting adalah integritas spiritual dan persiapan untuk kehidupan abadi.
Penyebutan Ummu Jamil secara khusus dalam surah ini menunjukkan pentingnya peran pasangan hidup. Ummu Jamil adalah mitra Abu Lahab dalam kejahatan, aktif menyebarkan fitnah dan menyakiti Nabi. Ini adalah peringatan bahwa pasangan bisa menjadi penolong dalam kebaikan atau sebaliknya, menjadi penyebab kebinasaan. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memilih pasangan yang saleh dan saling mendukung dalam kebaikan, serta menjauhi pasangan yang mendorong pada keburukan.
Surah Al-Lahab mengandung ramalan yang sangat jelas: Abu Lahab dan istrinya akan binasa dan masuk neraka, serta tidak akan beriman. Ramalan ini terbukti benar. Keduanya meninggal dalam keadaan kafir, meskipun mereka memiliki kesempatan untuk beriman (bahkan hanya berpura-pura untuk mendustakan Al-Qur'an). Ini adalah bukti nyata kebenaran Al-Qur'an sebagai kalamullah yang tidak mungkin datang dari manusia, dan bukti kenabian Muhammad ﷺ.
Julukan "hammalat al-hatab" (pembawa kayu bakar) bagi Ummu Jamil adalah pelajaran tentang bahaya menyebarkan fitnah, gosip, dan adu domba. Perbuatan ini diibaratkan menyulut api permusuhan yang dapat menghancurkan individu dan masyarakat. Seorang Muslim diajarkan untuk menjaga lisan dan tidak terlibat dalam penyebaran kabar bohong atau kebencian.
Meskipun surah ini secara spesifik diturunkan untuk Abu Lahab dan istrinya, makna dan ancamannya bersifat umum. Siapa pun yang memiliki karakter dan perbuatan serupa, yaitu menentang kebenaran Islam dengan permusuhan yang keras, menyakiti umat Islam, dan menghalangi jalan dakwah, maka ia juga terancam dengan kebinasaan dan azab Allah. Surah ini menjadi peringatan abadi bagi semua orang yang menentang agama Allah.
Dalam menghadapi permusuhan dan kesulitan dari orang-orang terdekat sekalipun, Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan kesabaran yang luar biasa dan tawakkal penuh kepada Allah. Surah ini datang sebagai penenang hati Nabi, menunjukkan bahwa Allah selalu membela utusan-Nya dan tidak akan membiarkan kebatilan menang atas kebenaran.
Dengan merenungi Surah Al-Lahab, kita tidak hanya belajar tentang sejarah awal Islam, tetapi juga mendapatkan pelajaran moral dan spiritual yang mendalam tentang konsekuensi dari perbuatan manusia, keadilan ilahi, dan pentingnya berpegang teguh pada kebenaran meskipun menghadapi tantangan yang paling berat sekalipun.
Kisah Abu Lahab dan Ummu Jamil dalam Surah Al-Lahab mungkin terdengar seperti sejarah kuno yang terisolasi pada masa awal Islam. Namun, jika kita melihat lebih dalam, Surah ini menawarkan refleksi kontemporer yang mendalam tentang sifat manusia dan tantangan yang terus dihadapi oleh kebenaran di setiap zaman. Pertanyaan pentingnya adalah: apakah "Abu Lahab" dan "Ummu Jamil" masih ada di zaman sekarang?
Sifat "Abu Lahab" tidak hanya terbatas pada paman Nabi Muhammad ﷺ yang spesifik itu. Secara umum, "Abu Lahab" bisa diartikan sebagai setiap individu atau kelompok yang:
Demikian pula, "Ummu Jamil" tidak terbatas pada istri Abu Lahab. Ia melambangkan sifat-sifat yang masih sangat relevan di era digital saat ini:
Surah Al-Lahab tetap relevan sebagai:
Dengan demikian, Surah Al-Lahab bukan hanya catatan sejarah, melainkan cermin universal yang merefleksikan dinamika abadi antara kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejahatan, serta konsekuensi yang pasti menanti setiap pilihan manusia.
Surah Al-Lahab, sebuah mutiara Al-Qur'an yang ringkas namun padat makna, berdiri sebagai peringatan abadi tentang konsekuensi menolak kebenaran dan memusuhi utusan Allah. Melalui kisah Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, Allah SWT menegaskan bahwa kekayaan, kekuasaan, dan hubungan darah tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari murka-Nya jika hati telah mengeras dalam kekufuran dan permusuhan.
Setiap ayat dalam Surah ini mengandung pelajaran yang mendalam: dari kehancuran segala daya upaya yang dibangun atas dasar kebatilan, ketiadaan manfaat harta dan keturunan di hadapan azab ilahi, hingga gambaran spesifik siksaan neraka bagi para penentang. Surah ini juga secara indah menyingkap peran destruktif dari penyebar fitnah dan adu domba, yang diibaratkan "pembawa kayu bakar", yang balasan di akhiratnya adalah tali sabut dari api yang melilit lehernya.
Lebih dari sekadar narasi sejarah, Surah Al-Lahab adalah mukjizat Al-Qur'an yang mengandung ramalan pasti yang telah terbukti kebenarannya, menguatkan kenabian Muhammad ﷺ dan keaslian wahyu yang diterimanya. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya integritas, kesabaran dalam menghadapi ujian, keadilan Allah yang tak tergoyahkan, serta bahaya dari kesombongan, kebencian, dan penyebaran kebohongan.
Di zaman modern, Surah Al-Lahab tetap relevan sebagai cermin bagi kita untuk mengenali sifat-sifat "Abu Lahab" dan "Ummu Jamil" dalam bentuk-bentuk kontemporer: orang-orang yang menentang kebaikan, menyebarkan fitnah digital, atau menggunakan pengaruhnya untuk menghalangi kebenaran. Ia mengingatkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada tauhid, menjauhi permusuhan dan fitnah, serta mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, di mana hanya iman dan amal saleh yang akan menjadi penolong sejati.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari setiap ayat Al-Qur'an, termasuk Surah Al-Lahab, untuk membimbing hidup kita menuju keridaan Allah SWT.