Surah Al-Ikhlas adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun maknanya begitu mendalam dan fundamental bagi seluruh ajaran Islam. Ia sering disebut sebagai "jantung" Al-Qur'an atau sepertiga Al-Qur'an karena kandungannya yang esensial mengenai konsep ketuhanan yang murni. Ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi: "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). Kalimat singkat ini adalah deklarasi paling jelas dan paling tegas tentang keesaan Allah, sebuah konsep yang menjadi pondasi utama seluruh ajaran Islam yang dikenal sebagai Tauhid.
Memahami makna dan implikasi dari ayat pertama surah Al-Ikhlas ini bukan hanya sekadar mengetahui terjemahan harfiahnya, melainkan menyelami samudra hikmah yang terkandung di dalamnya. Ini adalah pernyataan yang menyingkirkan segala bentuk syirik, politeisme, dan konsep-konsep ketuhanan yang keliru. Ia menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang layak disembah, tanpa sekutu, tanpa tandingan, dan tanpa cela. Dengan mempelajari setiap kata dan konteksnya, kita dapat mengapresiasi keagungan pesan yang dibawa oleh surah ini, sebuah pesan yang telah membentuk peradaban dan jutaan hati manusia.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang kekayaan makna yang terkandung dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi ini, mulai dari latar belakang pewahyuannya (Asbabun Nuzul), tafsir per kata, hingga implikasi teologis, filosofis, psikologis, dan spiritualnya yang luas. Kita akan melihat bagaimana kalimat pendek ini menjadi pembeda utama antara Islam dan kepercayaan lain, serta bagaimana ia menjadi sumber ketenangan dan kekuatan bagi setiap Muslim yang memahaminya dengan benar.
Visualisasi sederhana dari konsep keesaan (Tauhid) yang menjadi inti dari Surah Al-Ikhlas.
Setiap ayat atau surah dalam Al-Qur'an memiliki konteks pewahyuannya masing-masing, yang dikenal sebagai Asbabun Nuzul. Memahami Asbabun Nuzul membantu kita untuk lebih menyelami hikmah di balik turunnya ayat tersebut, serta bagaimana ia berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan atau peristiwa spesifik pada masanya. Mengenai Surah Al-Ikhlas, terutama ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan latar belakangnya.
Salah satu riwayat paling populer dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka'ab menyebutkan bahwa kaum musyrikin Mekkah datang kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya, "Hai Muhammad, terangkanlah kepada kami nasab (keturunan) Tuhanmu!" Pertanyaan ini muncul dari pandangan antropomorfis mereka tentang Tuhan, seolah-olah Tuhan bisa memiliki sifat-sifat layaknya manusia yang memiliki silsilah keluarga, orang tua, dan anak. Dalam budaya mereka, setiap dewa memiliki asal-usul, seringkali dengan kisah kelahiran atau garis keturunan yang rumit.
Sebagai respons atas pertanyaan yang bersifat menantang dan merendahkan kemuliaan Allah ini, Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas. Ini adalah jawaban yang tegas, singkat, padat, dan sangat fundamental. Ayat-ayat Surah Al-Ikhlas datang sebagai penegasan mutlak tentang siapa Allah itu, tanpa sedikitpun keraguan atau ruang untuk interpretasi yang keliru. Ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi inilah yang menjadi titik tolak jawaban tersebut, mengawali deklarasi keesaan-Nya dengan lantang dan jelas.
Riwayat lain juga menyebutkan bahwa pertanyaan serupa diajukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani kepada Rasulullah ﷺ. Kaum Yahudi memiliki konsep ketuhanan mereka yang, meskipun monoteis, memiliki pandangan tertentu tentang hubungan Allah dengan Bani Israel. Sementara kaum Nasrani memiliki konsep Trinitas, yang bagi Islam dianggap sebagai bentuk syirik. Pertanyaan mereka juga berkisar tentang esensi dan sifat Tuhan. Dalam semua riwayat ini, intinya sama: Surah Al-Ikhlas adalah jawaban ilahi yang memberikan gambaran paling murni dan paling sempurna tentang Allah, membersihkan-Nya dari segala bentuk analogi, perbandingan, atau kemiripan dengan makhluk-Nya.
Dari Asbabun Nuzul ini, kita belajar bahwa Surah Al-Ikhlas bukan sekadar pernyataan doktriner, melainkan sebuah respons aktif terhadap kebutuhan manusia akan pemahaman yang benar tentang Tuhan. Ia diturunkan untuk menanggapi kekeliruan teologis yang tersebar luas, sekaligus menegakkan fondasi akidah yang benar. Dengan demikian, ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah deklarasi universal yang relevan sepanjang masa, bukan hanya untuk menyelesaikan pertanyaan di masa lalu, melainkan untuk membimbing umat manusia menuju Tauhid yang murni di setiap generasi.
Untuk benar-benar menghargai keagungan Surah Al-Ikhlas, kita harus membedah setiap kata dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" dan menyelami makna yang terkandung di dalamnya. Setiap kata memiliki bobot dan signifikansi tersendiri yang membentuk pesan Tauhid yang sempurna.
Kata "Qul" adalah kata kerja perintah (fi'il amr) dari akar kata "qaala" (berkata). Ini adalah instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan pesan ini. Kehadiran kata "Qul" menunjukkan beberapa hal yang sangat penting:
Melalui "Qul," Allah menghendaki agar Nabi Muhammad menjadi penyampai utama dari konsep Tauhid yang murni ini, menantang segala bentuk syirik dan kesesatan yang ada di sekelilingnya. Ini adalah perintah untuk bersuara, untuk menegakkan kebenaran, bahkan di tengah penolakan dan permusuhan.
Kata "Huwa" adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang merujuk kepada entitas yang sedang dibicarakan, yaitu Allah. Penggunaannya di sini sangat signifikan dan memiliki beberapa lapisan makna:
Melalui "Huwa," Al-Qur'an mengarahkan manusia untuk memahami Tuhan bukan sebagai suatu objek yang bisa dilihat atau disentuh, melainkan sebagai Dzat yang ada secara mutlak dan sempurna, yang eksistensinya tidak memerlukan apapun selain Diri-Nya sendiri. Ini adalah penolakan awal terhadap konsep Tuhan yang bisa diwujudkan dalam bentuk fisik atau memiliki kelemahan makhluk.
Kata "Allah" adalah Nama Dzat Tuhan Yang Maha Esa dalam Islam. Ini adalah nama yang unik, yang tidak memiliki bentuk jamak, tidak dapat digenderkan, dan tidak memiliki asal kata kerja (musytaq) dari kata lain dalam bahasa Arab. Ia adalah nama diri yang spesifik untuk Tuhan pencipta alam semesta, menunjukkan Dzat Yang Maha Agung dan memiliki seluruh sifat keagungan:
Penggunaan "Allah" di sini menegaskan identitas yang tidak bisa diganti atau disamakan dengan entitas lain. Ketika ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," ia secara langsung mengaitkan keesaan mutlak dengan Dzat yang bernama Allah, yang dikenal sebagai Tuhan semesta alam, satu-satunya yang layak disembah dan yang kepadanya segala urusan kembali.
Inilah inti dari ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad." Kata "Ahad" memiliki makna yang lebih mendalam dan spesifik dibandingkan dengan kata "Wahid" yang juga berarti satu. Perbedaannya sangat krusial dalam konteks Tauhid dan merupakan kunci untuk memahami keunikan Tuhan dalam Islam:
Banyak ulama tafsir menekankan perbedaan antara "Ahad" dan "Wahid." "Wahid" bisa berarti "satu" dalam konteks jumlah, yang masih memungkinkan adanya "dua," "tiga," dan seterusnya dari jenis yang sama. Misalnya, kita bisa mengatakan "satu meja," yang menyiratkan ada kemungkinan "dua meja" atau "tiga meja." Namun, "Ahad" adalah keesaan yang mutlak, unik, dan tidak ada bandingannya. Allah adalah 'Ahad' karena tidak ada 'Allah' yang lain, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ini adalah inti dari Tauhid yang murni, yang membedakan Islam dari sistem kepercayaan lainnya.
Oleh karena itu, ketika ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," ia bukan hanya menyatakan bahwa Allah itu satu secara numerik, melainkan bahwa Dia adalah satu-satunya, yang Maha Tunggal, yang unik dalam segala aspek keilahian-Nya, tanpa ada tandingan, sekutu, atau bagian-bagian yang membentuk Dzat-Nya. Ini adalah pondasi teologi Islam yang paling fundamental dan membedakannya dari sistem kepercayaan lainnya.
Surah Al-Ikhlas secara keseluruhan, dan terutama ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," adalah manifestasi paling ringkas namun paling komprehensif dari konsep Tauhid (Keesaan Allah) dalam Islam. Tauhid bukanlah sekadar kepercayaan pasif, melainkan sebuah pandangan hidup yang membentuk seluruh aspek eksistensi seorang Muslim. Ia terbagi menjadi beberapa aspek yang saling berkaitan dan melengkapi:
Ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rezeki, Pemberi Kehidupan dan Kematian, dan Pengatur segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam mengatur alam semesta. Ketika ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," ia secara implisit menegaskan bahwa tidak ada entitas lain yang memiliki kekuasaan mutlak atas penciptaan dan pengaturan selain Allah Yang Maha Esa. Semua yang ada, dari partikel sub-atomik hingga gugusan galaksi, tunduk pada kehendak dan kekuasaan-Nya yang tunggal.
Sebagai contoh, keberadaan galaksi-galaksi yang tak terhingga, perputaran bumi pada porosnya dan mengelilingi matahari, siklus air yang terus-menerus, pertumbuhan tanaman dari biji kecil, dan setiap detail kecil di alam semesta, semuanya adalah bukti nyata dari pengaturan yang sempurna dan tunggal oleh satu Dzat yang Maha Kuasa. Jika ada lebih dari satu Tuhan yang memiliki kekuasaan atas alam ini, niscaya akan terjadi kekacauan, perselisihan, dan ketidakharmonisan dalam pengelolaan alam semesta. Namun, kenyataan menunjukkan keselarasan, keteraturan, dan keindahan yang menakjubkan, yang hanya bisa berasal dari satu sumber kekuasaan, kebijaksanaan, dan kehendak yang 'Ahad'.
Keyakinan pada Tauhid Rububiyyah ini memberikan rasa aman dan percaya diri kepada seorang Muslim, karena ia tahu bahwa seluruh takdirnya dan takdir alam semesta berada dalam genggaman satu Dzat yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi dan disembah. Semua bentuk ibadah, baik lahiriah maupun batiniah, harus ditujukan hanya kepada-Nya. Dari shalat, puasa, zakat, haji, doa, tawakkal (berserah diri), raja' (berharap), khauf (takut), mahabbah (cinta), hingga khusyu' (kekhusyukan) – semuanya harus murni dipersembahkan kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan makhluk lain. Ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah deklarasi bahwa hanya Dzat yang 'Ahad' inilah yang berhak atas persembahan dan pengabdian total kita.
Menyekutukan Allah dalam ibadah (syirik) adalah dosa terbesar dalam Islam karena ia merusak inti dari Tauhid ini. Jika Allah adalah 'Ahad' dalam Dzat, Rububiyyah, dan sifat-Nya, maka secara logis, Dia juga harus 'Ahad' dalam hak-Nya untuk disembah. Memberikan sebagian ibadah atau pengabdian kepada selain-Nya, baik itu berhala, orang suci, leluhur, atau bahkan hawa nafsu, berarti merendahkan keesaan dan keagungan-Nya. Tauhid Uluhiyyah menuntut kesucian dan kemurnian ibadah dari segala bentuk campur tangan selain Allah.
Ini adalah pengakuan bahwa Allah memiliki Nama-nama yang Indah (Asmaul Husna) dan Sifat-sifat yang Sempurna, yang tidak ada satu pun makhluk pun yang menyamai-Nya dalam kesempurnaan tersebut. Kita mengimani Nama dan Sifat-Nya sebagaimana yang Dia wahyukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih), tanpa meniadakan Sifat-Nya (ta'til), tanpa mengubah makna (tahrif), dan tanpa menanyakan bagaimana (takyeef) Sifat-sifat tersebut.
Ketika ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," ia secara langsung meniadakan segala bentuk kesamaan antara Allah dan makhluk-Nya dalam hal sifat. Misalnya, manusia mungkin memiliki sifat pengasih, tetapi kasih sayang Allah adalah mutlak, tak terbatas, dan jauh melampaui kasih sayang manusia. Begitu pula, manusia mungkin memiliki kekuatan, tetapi kekuatan Allah adalah sempurna, azali, abadi, dan tanpa batas. Konsep 'Ahad' memastikan bahwa tidak ada yang dapat menyamai Allah dalam keindahan Nama-Nya dan kesempurnaan Sifat-Nya.
Surah Al-Ikhlas secara keseluruhan memberikan gambaran yang sangat jelas tentang Tauhid Asma' wa Sifat ini dengan ayat-ayat selanjutnya: "Allahus-Samad" (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu), "Lam Yalid wa Lam Yuulad" (Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan), dan "Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad" (Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia). Ketiga ayat ini adalah penjabaran lebih lanjut dari keesaan yang dinyatakan dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," yang secara fundamental menolak segala bentuk antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan manusia), penyerupaan Dzat-Nya dengan ciptaan-Nya, atau pemikiran bahwa Dia memiliki keterbatasan.
Dengan demikian, Surah Al-Ikhlas bukan hanya deklarasi keesaan, melainkan juga fondasi yang kokoh untuk memahami Dzat Allah yang Maha Suci dari segala kekurangan dan kesamaan dengan makhluk. Ia adalah inti dari Risalah kenabian Muhammad ﷺ, pesan utama yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul: menyembah Allah Yang Maha Esa semata, dan hanya kepada-Nya lah segala pujian dan ketaatan disematkan.
Surah Al-Ikhlas memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam, tidak hanya karena maknanya yang agung, tetapi juga karena berbagai keutamaan yang disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ. Keutamaan ini semakin menegaskan betapa pentingnya memahami, menghafal, dan mengamalkan isi dari surah ini, yang diawali dengan ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad."
Salah satu keutamaan yang paling masyhur adalah sabda Rasulullah ﷺ: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ia (Surah Al-Ikhlas) sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun surah ini sangat pendek, kandungan maknanya setara dengan sepertiga dari seluruh Al-Qur'an.
Mengapa demikian? Para ulama menjelaskan bahwa Al-Qur'an secara garis besar berisi tiga hal utama: pertama, akidah dan Tauhid (keyakinan tentang Allah dan keesaan-Nya); kedua, hukum-hukum (syariat) yang mengatur kehidupan manusia (ibadah dan muamalah); dan ketiga, kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan. Surah Al-Ikhlas secara eksklusif dan komprehensif membahas pilar pertama dan terpenting, yaitu akidah dan Tauhid, dengan fokus pada esensi Dzat Allah. Oleh karena itu, membacanya seolah-olah telah menguasai sepertiga dari inti ajaran Al-Qur'an. Pemahaman akan ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah kunci untuk membuka pemahaman sepertiga ini, karena ia adalah inti dari akidah Islam.
Dalam sebuah riwayat, seorang sahabat dari kaum Anshar selalu membaca Surah Al-Ikhlas di setiap rakaat shalatnya, bahkan ketika menjadi imam. Ketika ditanya alasannya oleh para sahabat lain, ia menjawab, "Karena di dalamnya terdapat sifat Ar-Rahman (Allah), dan aku mencintai untuk membacanya." Mendengar itu, Rasulullah ﷺ bersabda, "Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya." (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Surah Al-Ikhlas, yang bersumber dari pemahaman mendalam tentang konsep Tauhid yang diusungnya, adalah tanda keimanan yang kuat dan dapat mengundang cinta Allah. Mencintai surah ini berarti mencintai Allah dan sifat-sifat-Nya yang terangkum dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi dan ayat-ayat selanjutnya.
Surah Al-Ikhlas termasuk dalam kelompok Al-Mu'awwidzat, yaitu surah-surah pelindung (bersama Surah Al-Falaq dan An-Nas). Rasulullah ﷺ sering membaca ketiga surah ini untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala keburukan, terutama dari sihir, kejahatan makhluk, dan bisikan setan. Beliau juga menganjurkan untuk membacanya tiga kali di pagi dan sore hari, serta sebelum tidur. Membaca dan merenungkan ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" secara rutin dapat memperkuat tawakkal dan keyakinan akan penjagaan Allah, sehingga hati menjadi lebih tenang dan terjaga dari rasa takut yang tidak pada tempatnya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendengar seseorang membaca Surah Al-Ikhlas, kemudian beliau bersabda, "Wajib baginya (masuk surga)." Para sahabat bertanya, "Wajib apa ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Wajib baginya masuk surga." (HR. Tirmidzi). Tentu saja, ini bukan berarti hanya dengan membaca surah ini seseorang otomatis masuk surga tanpa amal lain. Namun, ini menunjukkan bahwa keimanan yang kokoh pada Tauhid yang diwakili oleh surah ini, yang diiringi dengan amal shaleh, adalah jalan menuju surga. Mengakui dan mengimani keesaan Allah seperti yang dinyatakan dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi adalah pintu pertama menuju kebahagiaan abadi.
Beberapa ulama berpendapat bahwa Surah Al-Ikhlas mengandung Ismullahil A'zham (Nama Allah yang Maha Agung), yaitu nama yang apabila digunakan dalam doa, doa tersebut pasti dikabulkan. Hal ini karena surah ini secara langsung berbicara tentang Dzat Allah Yang Maha Esa dan Sifat-sifat-Nya yang sempurna. Oleh karena itu, doa yang dipanjatkan setelah membaca Surah Al-Ikhlas dengan penghayatan makna memiliki potensi besar untuk dikabulkan oleh Allah, karena ia memuji Allah dengan sifat-sifat keesaan dan kesempurnaan-Nya.
Semua keutamaan ini menggarisbawahi bahwa Surah Al-Ikhlas bukan hanya sebuah teks untuk dibaca, tetapi sebuah fondasi iman yang harus dipahami, diresapi, dan dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Pemahaman yang mendalam tentang makna ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah langkah awal untuk meraih keutamaan-keutamaan ini dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan Allah.
Al-Qur'an sebagai sumber utama pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pemilihan kata "Ahad" dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" memiliki signifikansi teologis yang sangat mendalam dan berbeda dari kata "Wahid," meskipun keduanya diterjemahkan secara umum sebagai "satu." Memahami perbedaan linguistik dan teologis ini sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman tentang konsep Tauhid dalam Islam dan untuk menyingkirkan pandangan-pandangan keliru tentang Tuhan.
Pemilihan "Ahad" dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi menegaskan beberapa konsekuensi teologis vital yang membedakan Tauhid Islam dari konsep monoteisme atau ketuhanan lainnya:
Kesimpulannya, ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah deklarasi Tauhid yang tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi pluralisme ketuhanan, kompromi dalam akidah, atau kesalahpahaman tentang Dzat Allah. Ini adalah pernyataan yang kokoh, jelas, dan mutlak tentang siapa Allah itu dan apa yang Dia bukan. Ayat ini berdiri sebagai pilar utama keimanan Islam, membedakannya dari semua ajaran dan filosofi lain mengenai Tuhan, dan menjadi fondasi bagi seluruh bangunan keyakinan seorang Muslim.
Pemahaman yang mendalam tentang Surah Al-Ikhlas, dimulai dari ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," tidak hanya relevan dalam konteks teologis atau ibadah ritual, tetapi juga memiliki dampak signifikan dalam membentuk karakter dan perilaku seorang Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan akan Keesaan Allah ini mentransformasi cara pandang, motivasi, dan interaksi seorang individu dengan dunia sekitarnya.
Nama surah "Al-Ikhlas" sendiri berarti "kemurnian" atau "ketulusan." Ketika seseorang memahami bahwa Allah itu 'Ahad' dan satu-satunya yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Pemberi, dan Maha Mengatur, maka segala amal perbuatannya akan diarahkan hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Ini secara otomatis menghilangkan motivasi riya' (pamer), sum'ah (mencari pujian), atau mencari keuntungan duniawi dari amal kebaikan. Seseorang melakukan kebaikan bukan karena ingin dilihat atau dipuji manusia, melainkan semata-mata karena mengharap wajah Allah.
Setiap shalat, sedekah, puasa, amal sosial, dan tindakan kebaikan lainnya akan dilakukan dengan niat yang murni karena Allah semata, tanpa mengharapkan balasan dari manusia. Ini adalah buah dari keyakinan yang kokoh pada Tauhid yang diajarkan oleh ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi ini. Kemurnian niat ini menjadi kunci penerimaan amal di sisi Allah.
Jika Allah adalah 'Ahad' dan Dia-lah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta, maka seorang Muslim akan mengembangkan rasa tawakkal yang kuat kepada-Nya. Ia yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan Penolong. Ini tidak berarti pasif dan tidak berusaha, melainkan berusaha sekuat tenaga dan kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah, tanpa rasa cemas berlebihan atau putus asa.
Dalam menghadapi kesulitan, musibah, atau tantangan hidup, pemahaman bahwa ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" akan menjadi penenang hati, mengingatkan bahwa ada Dzat Maha Kuasa yang selalu ada sebagai tempat bergantung. Keyakinan ini menghilangkan beban kekhawatiran dan memberikan ketenangan jiwa.
Keyakinan pada Tauhid yang murni, seperti yang diajarkan dalam Surah Al-Ikhlas, memberikan kekuatan spiritual yang luar biasa. Seorang Muslim tidak akan takut kepada selain Allah, karena ia tahu bahwa semua kekuatan berasal dari Allah Yang Maha Esa, dan tidak ada yang dapat mencelakai atau memberi manfaat tanpa izin-Nya. Ini menumbuhkan keberanian dalam menghadapi tantangan, berpegang teguh pada kebenaran, dan menolak kebatilan, bahkan di hadapan ancaman terbesar.
Optimisme juga tumbuh dari keyakinan bahwa Allah Yang 'Ahad' tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang bertawakkal dan berusaha. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan setiap ujian adalah kesempatan untuk mendekat kepada-Nya. Ini memberikan kepercayaan diri bahwa dengan izin Allah, segala rintangan dapat diatasi.
Konsep Tauhid yang murni, yang inti pesannya ada pada ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi, mendorong seorang Muslim untuk memandang seluruh umat manusia sebagai ciptaan Allah. Meskipun ada perbedaan keyakinan, dasar Tauhid mengajarkan universalitas kebenaran dan pentingnya menghormati kemanusiaan. Ini menumbuhkan sikap toleransi, karena semua manusia adalah hamba Allah dan hanya Dia yang berhak menghakimi.
Fanatisme dan eksklusivitas yang berlebihan seringkali berasal dari pandangan yang sempit tentang Tuhan atau klaim kepemilikan atas kebenaran. Tauhid yang diajarkan Al-Ikhlas mengingatkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, dan jalan menuju-Nya adalah melalui pengesaan-Nya yang murni. Ini juga mencegah kesombongan, karena seseorang menyadari bahwa semua kekuatan, ilmu, dan kelebihan berasal dari Allah, dan hanya Dia yang berhak atas keagungan.
Surah Al-Ikhlas, meskipun singkat, mengundang untuk berpikir dan merenung tentang Dzat Tuhan yang Maha Agung dan ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin Dzat yang menciptakan alam semesta yang begitu luas, kompleks, dan teratur itu tidak 'Ahad'? Bagaimana mungkin Dzat yang mengatur segala sesuatu tidak 'Samad' (tempat bergantung)?
Ini memotivasi Muslim untuk mencari ilmu, merenungkan ciptaan Allah (ayat-ayat kauniyyah), dan mengembangkan akal budi untuk semakin mengenal-Nya (ma'rifatullah). Pemahaman akan Tauhid bukanlah akhir dari pencarian ilmu, melainkan permulaan yang kokoh yang mendorong eksplorasi kebenaran di berbagai bidang. Dengan mengenal Allah, seorang Muslim terinspirasi untuk berkontribusi positif bagi kemanusiaan dan alam semesta, sebagai khalifah di muka bumi.
Dengan demikian, Surah Al-Ikhlas, yang dibuka dengan deklarasi agung ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," adalah lebih dari sekadar rangkaian ayat; ia adalah pedoman hidup yang membentuk pandangan dunia, etika, dan perilaku seorang Muslim, membimbingnya menuju kemurnian iman, ketenangan jiwa, dan kesempurnaan akhlak dalam setiap aspek kehidupannya.
Selain Al-Ikhlas, surah pendek ini dikenal dengan beberapa nama lain yang masing-masing menyoroti aspek penting dan keagungan dari kandungannya. Nama-nama ini bukan sekadar julukan, melainkan cerminan dari inti pesan surah tersebut, yang selalu berpusat pada ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" dan penegasan keesaan Allah.
Nama ini adalah yang paling jelas menggambarkan inti dari surah. "At-Tawhid" berarti keesaan Allah. Seluruh surah ini, dari awal hingga akhir, adalah deklarasi murni tentang keesaan Allah dalam Dzat, Sifat, dan perbuatan-Nya. Ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah jantung dari konsep Tauhid ini, yang kemudian diperkuat oleh ayat-ayat berikutnya yang menolak segala bentuk sekutu, keturunan, dan keserupaan dengan Allah. Surah ini adalah ringkasan paling padat tentang doktrin monoteisme Islam, membebaskan manusia dari segala bentuk politeisme dan tuhan-tuhan palsu.
Nama ini diambil dari ayat kedua surah: "Allahus-Samad" (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu). As-Samad adalah nama Allah yang agung yang berarti Yang Maha Dibutuhkan, Yang Menjadi Sandaran, Yang Maha Sempurna dalam Sifat-Nya, tidak berongga, tidak membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya, dan segala sesuatu membutuhkan-Nya. Nama ini secara langsung melengkapi makna 'Ahad' dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi, menunjukkan bahwa Dzat yang Maha Esa dan Tunggal itu adalah satu-satunya tempat bergantung bagi seluruh ciptaan. Makhluk bergantung kepada-Nya dalam segala kebutuhan, sementara Dia tidak bergantung pada siapa pun.
Dinamakan demikian karena surah ini merupakan pondasi keimanan seorang Muslim. Tanpa memahami dan meyakini Tauhid yang terkandung di dalamnya, seluruh bangunan iman akan rapuh dan tidak akan tegak. Ini adalah dasar dari seluruh ajaran Islam. Seperti fondasi sebuah bangunan yang menopang seluruh strukturnya dan menjamin kekuatannya, Tauhid yang diajarkan dalam Al-Ikhlas menopang seluruh praktik dan keyakinan dalam agama. Ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah tiang utama dari fondasi ini, tanpa mana bangunan iman akan runtuh.
Nama ini menunjukkan bahwa surah Al-Ikhlas adalah sarana untuk mengenal Allah dengan benar, membersihkan-Nya dari segala gambaran yang keliru atau antropomorfis yang seringkali muncul dari keterbatasan pikiran manusia. Ia memberikan deskripsi yang paling akurat dan murni tentang Dzat Allah. Melalui surah ini, seseorang dapat mencapai 'ma'rifatullah' (pengenalan akan Allah) yang sahih, membebaskan diri dari ilusi, takhayul, dan kesesatan. Mengenal Allah dimulai dengan memahami keesaan-Nya, sebagaimana disabdakan dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi.
Dinamakan demikian karena surah ini dapat menjadi pelindung bagi orang yang membacanya dengan keyakinan dari siksa kubur, fitnah dunia, dan azab neraka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis keutamaan surah ini sebagai bagian dari Al-Mu'awwidzat, ia melindungi seseorang dari keburukan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Keyakinan akan Tauhid yang mendalam, yang diekspresikan dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi, adalah benteng terkuat seorang Muslim dalam menghadapi berbagai ancaman dan godaan.
Surah ini membawa keselamatan bagi orang yang mengimaninya dan mengamalkan kandungannya. Keselamatan dari kesesatan di dunia dan keselamatan dari api neraka di akhirat. Tauhid adalah kunci keselamatan, dan Surah Al-Ikhlas adalah pernyataan paling gamblang tentang Tauhid. Oleh karena itu, siapa pun yang memegang teguh ajaran yang dimulai dari ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi ini, insya Allah akan mendapatkan keselamatan dari segala keburukan dan mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Beberapa ulama menyebutnya Al-Wafiyah karena surah ini sudah mencukupi sebagai ringkasan akidah Islam yang paling fundamental. Ia memberikan gambaran sempurna tentang keesaan Allah tanpa perlu penambahan lain dalam hal Dzat dan Sifat-Nya. Dengan surah ini, seorang Muslim memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang Tuhannya, dimulai dari pernyataan agung ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi.
Berbagai nama ini menegaskan betapa sentralnya Surah Al-Ikhlas dalam Islam dan betapa kaya maknanya. Setiap nama membuka dimensi baru dalam apresiasi kita terhadap surah agung ini, yang selalu berpusat pada inti pesannya: keesaan Allah Yang Maha Tunggal dan sempurna, sebuah kebenaran yang diwahyukan melalui ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi.
Deklarasi "Qul Huwallahu Ahad" dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi tidak hanya memiliki implikasi teologis yang mendalam, tetapi juga mengundang refleksi filosofis dan kosmologis yang luas, membentuk pandangan dunia seorang Muslim tentang alam semesta dan keberadaannya. Ayat ini memberikan kerangka kerja yang koheren untuk memahami realitas.
Jika kita mengamati alam semesta, dari partikel terkecil (kuark, lepton) hingga galaksi terbesar (supergugus), kita akan menemukan keteraturan yang luar biasa, keselarasan yang presisi, dan hukum-hukum fisika yang konsisten. Gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir kuat dan lemah, semuanya beroperasi secara seragam dan tak berubah di seluruh jagat raya. Ini adalah bukti adanya satu Pengatur, satu Pembuat Hukum yang Maha Esa. Jika ada dua atau lebih Tuhan yang saling bertentangan dalam kehendak atau kekuasaan, niscaya akan terjadi kekacauan dan kehancuran di alam semesta, sebagaimana firman Allah: "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa." (QS. Al-Anbiya: 22).
Oleh karena itu, ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah jawaban filosofis terhadap pertanyaan tentang asal mula dan tata kelola alam semesta. Keesaan Pencipta menjamin keselarasan, ketertiban, dan keindahan ciptaan-Nya. Ilmu pengetahuan modern terus menemukan bukti-bukti mikrokosmos dan makrokosmos yang menegaskan keberadaan satu desain cerdas, yang selaras dengan konsep Tauhid.
Pertanyaan fundamental "Mengapa kita ada?" atau "Apa tujuan hidup?" menemukan jawaban yang jelas dan memuaskan dalam konsep Tauhid. Jika Allah adalah 'Ahad', dan Dia-lah yang menciptakan segalanya dengan tujuan yang sempurna, maka tujuan eksistensi kita adalah untuk mengenal, menyembah, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ini memberikan makna dan arah yang jelas bagi kehidupan manusia, membebaskan dari kehampaan eksistensial.
Tanpa keesaan Tuhan, manusia mungkin merasa tersesat dalam alam semesta yang acak atau tanpa tujuan, menciptakan makna-makna artifisial yang seringkali rapuh. Namun, dengan keyakinan pada ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi, setiap individu menemukan tempatnya dalam skema besar ciptaan, sebagai hamba dari Dzat Yang Maha Tunggal yang diberikan amanah dan potensi untuk meraih kebahagiaan abadi.
Konsep 'Ahad' dalam Surah Al-Ikhlas secara tegas menolak gagasan bahwa alam semesta ini terjadi secara kebetulan semata tanpa ada Dzat yang merancang, atau bahwa ada banyak "orde" yang saling bertabrakan tanpa tujuan akhir. Sebaliknya, ia menegaskan adanya satu kehendak Ilahi yang tunggal dan satu rancangan agung di balik segala sesuatu. Ini memberikan landasan rasional bagi pencarian ilmu pengetahuan, karena diyakini ada hukum-hukum alam yang konsisten untuk ditemukan, yang semuanya adalah manifestasi dari kehendak Allah Yang Maha Esa. Ini juga menolak relativisme kebenaran, menegaskan bahwa ada satu kebenaran mutlak yang melampaui subjektivitas manusia.
Ayat "Qul Huwallahu Ahad" juga menyiratkan bahwa Allah tidak memerlukan 'partisipan', 'mitra', 'anak', 'orang tua', atau 'penolong' dalam Dzat, Sifat, dan perbuatan-Nya. Dia tidak memerlukan bantuan untuk menciptakan, memelihara, atau menghancurkan. Semua kekuatan, pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan berasal dari Dzat-Nya sendiri yang 'Ahad'. Ini berbeda dengan mitologi atau beberapa teologi lain yang sering menggambarkan dewa-dewi yang memiliki peran spesifik, saling membutuhkan, atau bergantung satu sama lain.
Keunikan dan kemandirian Allah yang ditekankan oleh ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi membersihkan konsep ketuhanan dari segala kelemahan atau keterbatasan yang sering dikaitkan dengan makhluk. Allah adalah Dzat yang Maha Sempurna dan Maha Kaya, tidak membutuhkan apapun, sementara segala sesuatu membutuhkan-Nya.
Jika ada satu Tuhan, 'Ahad', yang menciptakan dan mengatur segalanya, maka ada satu standar moral dan etika yang universal, transenden, dan absolut. Konsep kebaikan dan keburukan tidak lagi relatif atau budaya semata, melainkan berasal dari perintah dan larangan Dzat Yang Maha Esa dan Maha Adil. Ini memberikan dasar yang kokoh bagi etika dan hukum yang transenden, yang relevan untuk semua manusia, di setiap tempat dan waktu.
Deklarasi "Qul Huwallahu Ahad" adalah panggilan untuk kesatuan, bukan hanya dalam keyakinan tentang Tuhan, tetapi juga dalam moralitas, tujuan hidup, dan persaudaraan umat manusia. Ini adalah fondasi bagi peradaban yang berlandaskan keadilan, kebenaran, dan ketundukan kepada satu Pencipta yang Maha Adil, menjamin bahwa pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan secara sempurna oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Secara keseluruhan, ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" adalah sebuah pernyataan yang melampaui batas-batas teks keagamaan, menawarkan kerangka kerja filosofis yang kuat untuk memahami alam semesta, hakikat keberadaan, dan dasar etika yang universal. Ia mengajak manusia untuk merenung, berpikir, dan mencari kebenaran yang fundamental, yang pada akhirnya akan mengarah pada pengakuan Keesaan Allah.
Pengetahuan yang benar tentang Allah adalah cahaya bagi hati dan pikiran, menyingkap kegelapan kebodohan dan kesesatan.
Pemahaman yang kokoh terhadap Tauhid, yang dimulai dengan ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad," tidak hanya membentuk kerangka teologis dan filosofis, tetapi juga memiliki implikasi mendalam pada kondisi psikologis dan spiritual seorang mukmin. Keyakinan akan Keesaan Allah memberikan ketenangan, kekuatan, tujuan hidup yang jelas, serta kebebasan sejati dari berbagai bentuk perbudakan.
Dalam dunia yang penuh gejolak, ketidakpastian, dan berbagai ancaman, baik yang nyata maupun yang semu, keyakinan bahwa ada satu Dzat Maha Kuasa yang mengatur segala sesuatu adalah sumber ketenangan batin yang tak ternilai. Seorang Muslim yang meyakini "Qul Huwallahu Ahad" tahu bahwa tidak ada kekuatan lain yang dapat mencelakai atau memberi manfaat tanpa izin-Nya. Ini menghilangkan ketakutan berlebihan terhadap manusia, musuh, kemiskinan, kematian, atau peristiwa buruk. Kecemasan berkurang karena semua urusan dikembalikan kepada Dzat Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Pengasih.
Rasa insecure, kegelisahan, atau ketidakmampuan seringkali muncul karena merasa sendiri atau dikelilingi oleh banyak kekuatan yang saling bertentangan yang tidak dapat dikendalikan. Tauhid menyingkirkan multi-tuhan dan menempatkan keyakinan pada satu Dzat 'Ahad' yang sempurna, memberikan stabilitas emosional, ketahanan mental, dan kedamaian spiritual yang abadi. Hati yang bertauhid adalah hati yang paling tenang.
Jika hanya Allah Yang Maha Esa yang berhak disembah, maka semua manusia adalah hamba-Nya yang setara di hadapan-Nya, tanpa perbedaan ras, warna kulit, status sosial, atau kekayaan. Ini mengangkat martabat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia, kekuasaan, materi, nafsu, atau berhala. Seorang Muslim tidak akan merendahkan dirinya di hadapan siapapun kecuali Allah, karena hanya Allah yang 'Ahad' yang pantas menerima penghormatan tertinggi dan pengabdian total.
Keyakinan pada ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi ini membebaskan manusia dari perbudakan dan menanamkan rasa harga diri yang sehat, didasarkan pada hubungan langsung dengan Pencipta Yang Maha Agung. Ini juga melahirkan rasa keadilan sosial, karena semua manusia setara di hadapan Allah.
Tanpa konsep Tuhan Yang Maha Esa, hidup bisa terasa tanpa tujuan, sebuah siklus lahir, hidup, dan mati tanpa makna yang lebih dalam, yang berakhir pada ketiadaan. Tauhid memberikan tujuan yang jelas dan transenden: beribadah kepada Allah, mengenal-Nya, dan mencapai keridhaan-Nya sebagai tujuan utama eksistensi. Setiap tindakan, baik duniawi maupun ukhrawi, dapat diubah menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah Yang 'Ahad'.
Ini memberikan motivasi yang kuat untuk berbuat baik, meninggalkan keburukan, dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Hidup menjadi berarti karena setiap detik dihabiskan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta yang Maha Esa, yang pada akhirnya akan memberikan balasan terbaik.
Keyakinan pada satu Tuhan Yang 'Ahad' sebagai sumber segala kebenaran, kebaikan, dan keadilan melahirkan konsistensi moral yang kuat. Prinsip-prinsip etika tidak berubah sesuai keinginan manusia atau masyarakat, melainkan bersumber dari wahyu Ilahi yang abadi. Ini mencegah relativisme moral yang seringkali menyesatkan dan memberikan panduan yang jelas untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
Seorang Muslim yang memegang teguh ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi akan berusaha untuk menegakkan keadilan, kejujuran, dan kebaikan dalam setiap aspek hidupnya, baik dalam skala pribadi maupun sosial, karena ia tahu bahwa ia bertanggung jawab kepada Dzat Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui segala perbuatannya.
Kesadaran bahwa Allah Yang 'Ahad' Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Mengawasi segala perbuatan, baik yang tampak maupun tersembunyi, adalah benteng terkuat melawan godaan dosa dan kemaksiatan. Seseorang akan berpikir dua kali sebelum melakukan maksiat jika ia yakin bahwa tidak ada yang tersembunyi dari pandangan Dzat Yang Maha Esa. Ini menumbuhkan muraqabah (perasaan diawasi oleh Allah) yang kuat dalam hati.
Selain itu, keyakinan bahwa Allah Yang 'Ahad' Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat, dan Maha Penyayang memberikan harapan bagi mereka yang terjerumus dosa untuk kembali kepada-Nya dengan tulus, tanpa merasa putus asa atau malu yang berlebihan. Ini juga memberikan kekuatan untuk berdiri melawan ketidakadilan, karena ia tahu bahwa Allah adalah pendukung kebenaran dan akan memberikan balasan kepada mereka yang berlaku zalim.
Singkatnya, Tauhid yang diawali dengan deklarasi "Qul Huwallahu Ahad" adalah fondasi bagi kesehatan mental dan spiritual yang optimal. Ia membebaskan jiwa dari ketakutan, memberikan arah hidup, menumbuhkan martabat, dan menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi segala rintangan. Ini adalah inti dari ketenangan dan kebahagiaan sejati, yang hanya dapat ditemukan dalam pengabdian murni kepada Allah Yang Maha Esa.
Sebagai penutup dari pembahasan yang mendalam ini, kita kembali kepada esensi ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi "Qul Huwallahu Ahad." Kalimat yang sederhana, ringkas, namun mengandung bobot makna yang tak terhingga ini adalah fondasi dari seluruh ajaran Islam, sebuah deklarasi agung tentang keesaan Allah yang mutlak, tak tergoyahkan, dan sempurna.
Sepanjang sejarah manusia, pertanyaan tentang siapa Tuhan dan apa sifat-Nya selalu menjadi pusat perdebatan, pencarian, dan konflik. Dari politeisme kuno, panteisme, monisme, dualisme, hingga ateisme modern, berbagai konsep tentang realitas tertinggi telah muncul dan berkembang. Namun, Surah Al-Ikhlas, dengan ayat pembukanya yang tegas, memberikan jawaban yang paling jelas, paling ringkas, dan paling murni, yang membebaskan manusia dari kerumitan dan kontradiksi.
Ia membebaskan pikiran manusia dari belenggu khayalan, dari tuhan-tuhan buatan tangan atau pikiran, dari konsep Tuhan yang terbatas, berbagian, menyerupai makhluk, atau yang memiliki keterbatasan. "Qul Huwallahu Ahad" adalah seruan untuk kembali kepada fitrah manusia yang mengakui adanya satu Pencipta Yang Maha Kuasa, Maha Tunggal, dan Maha Sempurna, sebuah pengakuan yang tertanam jauh di lubuk hati setiap jiwa.
Pesan ini bukan hanya untuk kaum Quraisy di masa Nabi Muhammad ﷺ, bukan hanya untuk kaum Yahudi dan Nasrani yang bertanya, tetapi untuk setiap individu di setiap zaman dan tempat yang mencari kebenaran hakiki. Dalam kerumitan dunia modern, di tengah arus informasi, filosofi yang membingungkan, dan godaan materi yang melenakan, ayat pertama surah Al-Ikhlas berbunyi ini tetap menjadi mercusuar yang terang benderang, menuntun hati dan pikiran kepada pemahaman yang benar tentang Tuhan, memberikan stabilitas spiritual yang sangat dibutuhkan.
Merenungkan dan menginternalisasi makna "Qul Huwallahu Ahad" berarti menata ulang seluruh pandangan hidup kita: bagaimana kita memandang diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan tujuan keberadaan kita. Ini berarti meletakkan Allah sebagai pusat dari segala sesuatu, sumber segala kebaikan, keadilan, dan hikmah, serta tujuan akhir dari segala upaya dan pengabdian kita. Ini adalah inti dari kepasrahan seorang Muslim, yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Esa.
Semoga kita semua diberikan kemampuan untuk terus mendalami, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Tauhid yang terkandung dalam Surah Al-Ikhlas ini, sehingga kita dapat hidup dalam kemurnian iman, ketenangan jiwa, kekuatan spiritual, dan senantiasa berada dalam keridhaan Allah Yang Maha Esa, di dunia dan di akhirat. Amin.