Ilustrasi ini melambangkan pesan suci Al-Qur'an dan peringatan ilahi.
Al-Qur'an, sebagai mukjizat abadi dan pedoman hidup bagi umat manusia, terdiri dari 114 surat, masing-masing dengan keunikan, konteks, dan pesannya sendiri. Salah satu surat yang paling singkat namun memiliki makna dan dampak yang luar biasa adalah Surat Al-Lahab. Surat ini merupakan salah satu surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal sebagai masa-masa awal dakwah Islam yang penuh tantangan, penolakan, dan penganiayaan dari kaum Quraisy terhadap Nabi dan para pengikutnya. Dalam konteks inilah, Surat Al-Lahab hadir sebagai respons ilahi yang tegas dan langsung terhadap salah satu penentang paling sengit dan kejam terhadap risalah Nabi.
Surat Al-Lahab terdiri dari lima ayat yang pendek namun padat makna. Keunikan surat ini terletak pada fakta bahwa ia secara langsung menyebut nama seorang individu sebagai sasaran peringatan dan azab Allah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab bukan sekadar tokoh biasa; ia adalah paman kandung Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hubungan kekerabatan yang dekat ini justru membuat penentangannya terasa lebih menyakitkan dan memilukan bagi Nabi. Penolakan dari kerabat terdekat seringkali lebih pedih daripada penolakan dari orang asing, dan dalam kasus Abu Lahab, penolakannya bersifat ekstrem, penuh permusuhan, dan disertai upaya aktif untuk menghalangi dakwah Islam.
Fokus utama artikel ini adalah pada ayat pertama Surat Al-Lahab, yang berbunyi: "تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ". Ayat ini, meskipun singkat, mengandung kedalaman makna linguistik, historis, dan teologis yang sangat kaya. Ia bukan hanya sebuah kutukan, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang mengandung nubuat tentang kehancuran seorang individu dan peringatan universal bagi siapa pun yang dengan terang-terangan menentang kebenaran dan berusaha memadamkan cahaya Islam. Memahami ayat pertama ini memerlukan penelusuran ke dalam sejarah turunnya ayat (asbabun nuzul), konteks sosial dan politik Mekah saat itu, karakter Abu Lahab, serta implikasi spiritual dan moral yang dapat diambil darinya.
Melalui analisis mendalam terhadap ayat pertama Surat Al-Lahab, kita akan menyingkap bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan dukungan penuh kepada Nabi-Nya di saat-saat paling sulit, menegaskan kebenaran risalah-Nya, dan menunjukkan konsekuensi pahit bagi mereka yang memilih jalan permusuhan terhadap kebenaran. Ayat ini adalah bukti nyata bahwa tidak ada ikatan duniawi, bahkan kekerabatan sekalipun, yang dapat melindungi seseorang dari keadilan ilahi jika ia berkeras menolak petunjuk dan menganiaya pembawa risalah-Nya. Mari kita telaah lebih lanjut keajaiban dan pelajaran yang terkandung dalam kalimat pembuka Surat Al-Lahab ini.
Untuk memahami inti dari Surat Al-Lahab, sangat penting untuk meninjau kembali lafaz asli ayat pertama dalam bahasa Arab, dilengkapi dengan transliterasi dan terjemahan yang akurat. Ayat ini, sebagaimana keseluruhan Al-Qur'an, memiliki kedalaman makna yang terkadang sulit ditangkap sepenuhnya hanya melalui terjemahan, namun terjemahan memberikan jembatan awal menuju pemahaman.
Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb.
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Ayat ini adalah titik awal yang menentukan seluruh narasi dan pesan Surat Al-Lahab. Ia segera menarik perhatian dengan bahasanya yang tegas dan langsung. Penggunaan kata "Tabbat" yang diulang dua kali, serta penyebutan nama "Abu Lahab" secara eksplisit, menunjukkan karakteristik yang kuat dan tidak biasa dalam Al-Qur'an. Marilah kita bedah setiap komponen dari ayat ini untuk mengungkap makna-makna tersembunyi dan implikasi yang lebih luas.
Ayat pertama Surat Al-Lahab bukan sekadar rangkaian kata; ia adalah sebuah pernyataan ilahi yang sarat makna, disusun dengan ketelitian bahasa Arab yang luar biasa. Untuk mengapresiasi kedalamannya, kita perlu membongkar setiap frasa dan kata yang terkandung di dalamnya.
Kata "تَبَّتْ" (Tabbat) berasal dari akar kata تَبَّ (tabba), yang secara harfiah berarti "binasa", "celaka", "rugi", "kering", "musnah", atau "merugi". Dalam konteks ini, ia menyampaikan gagasan tentang kehancuran total dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Ini bukan sekadar kutukan biasa, melainkan sebuah deklarasi takdir ilahi.
Frasa ini secara harfiah berarti "kedua tangan Abu Lahab". Namun, dalam konteks bahasa dan budaya Arab, "tangan" seringkali merupakan metafora untuk hal yang lebih luas:
Bagian terakhir dari ayat ini, "وَتَبَّ" (wa tabb), adalah pengulangan dari akar kata yang sama dengan "Tabbat", tetapi dalam bentuk kata kerja lampau yang berdiri sendiri. Pengulangan ini memiliki kekuatan retoris yang luar biasa:
Secara keseluruhan, ayat pertama ini merupakan pernyataan yang sangat kuat tentang keadilan ilahi dan konsekuensi dari permusuhan terang-terangan terhadap kebenaran. Ia meramalkan kehancuran total bagi Abu Lahab dan segala upayanya, sebuah ramalan yang terbukti benar dalam sejarah. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi siapa saja yang berani menantang dan menolak risalah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Setiap ayat Al-Qur'an diturunkan dalam konteks tertentu, dan pemahaman tentang konteks ini—atau yang dikenal sebagai Asbabun Nuzul—sangat krusial untuk menangkap makna sejati dan hikmah di balik wahyu. Kisah di balik turunnya Surat Al-Lahab, khususnya ayat pertamanya, adalah salah satu yang paling terkenal dan dramatis dalam sejarah awal Islam. Ini memberikan kita gambaran langsung tentang permusuhan yang dihadapi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bagaimana Allah langsung membela Nabi-Nya.
Pada awalnya, dakwah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dilakukan secara rahasia dan terbatas di kalangan kerabat dan sahabat terdekat. Namun, setelah beberapa tahun, turunlah perintah dari Allah untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Ayat yang memerintahkan ini adalah firman Allah dalam Surat Asy-Syu'ara ayat 214:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."
Menanggapi perintah ini, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat umum dalam tradisi Arab pada masa itu ketika ada masalah penting atau bahaya yang mendekat: memanggil kaumnya dari atas bukit. Beliau naik ke atas Bukit Safa, salah satu bukit di Mekah, dan mulai berseru kepada kaum Quraisy. Ketika orang-orang Quraisy, termasuk para pembesar dan tokoh-tokohnya, berkumpul di kaki bukit, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada mereka:
"Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahu kalian bahwa ada sekelompok penunggang kuda yang akan menyerang kalian di balik bukit ini, apakah kalian akan memercayaiku?"
Mereka semua menjawab serempak: "Kami tidak pernah mengetahui engkau berdusta." (Ini adalah pengakuan yang sangat penting akan kejujuran Nabi, bahkan dari musuh-musuhnya).
Mendengar pengakuan itu, Nabi kemudian berkata:
"Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih."
Beliau kemudian menyeru mereka untuk beriman kepada Allah, meninggalkan penyembahan berhala, dan bersiap menghadapi Hari Kiamat. Ini adalah momen krusial dalam sejarah Islam, di mana dakwah beralih dari rahasia menjadi terang-terangan, dan Nabi secara resmi mengumumkan risalahnya kepada publik Mekah.
Di antara kerumunan yang mendengarkan seruan Nabi, hadir pula paman beliau, Abu Lahab. Alih-alih merespons dengan penerimaan atau setidaknya mempertimbangkan, reaksi Abu Lahab sangatlah buruk dan brutal. Dia segera bangkit dan dengan lantang mengucapkan kata-kata yang penuh cacian dan kebencian. Dalam riwayat yang masyhur, Abu Lahab berseru:
"Celakalah engkau! Apakah untuk ini saja engkau mengumpulkan kami?"
Atau dalam riwayat lain, dia mengatakan:
"Tabban laka! Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami sepanjang hari?!"
Kata "Tabban laka" yang diucapkan Abu Lahab memiliki makna "binasa bagimu" atau "celakalah engkau". Ironisnya, kata inilah yang kemudian digunakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjawab dan membalasnya, namun diarahkan kepada Abu Lahab itu sendiri. Reaksi Abu Lahab ini bukan hanya sekadar penolakan, tetapi juga penghinaan publik, cacian, dan demonstrasi permusuhan yang terang-terangan di hadapan seluruh kaum Quraisy. Ini adalah tindakan provokatif yang bertujuan untuk meremehkan dan menggagalkan dakwah Nabi sejak awal.
Melihat permusuhan yang begitu kejam dan kurang ajar dari paman kandungnya sendiri, hati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tentu sangat terluka. Namun, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membiarkan Nabi-Nya menghadapi penghinaan ini sendirian. Sebagai bentuk pembelaan dan dukungan mutlak kepada Nabi-Nya, Allah langsung menurunkan Surat Al-Lahab secara keseluruhan, dimulai dengan ayat pertama yang menjadi fokus kita:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Turunnya surat ini segera setelah insiden di Bukit Safa menunjukkan beberapa hal:
Asbabun Nuzul ini tidak hanya menjelaskan mengapa surat ini diturunkan, tetapi juga menegaskan pesan intinya: bahwa siapa pun yang dengan terang-terangan menentang kebenaran dan menyakiti pembawa risalah Allah, akan menghadapi konsekuensi yang pasti dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Memahami Surat Al-Lahab dan ayat pertamanya secara mendalam membutuhkan penelusuran ke dalam lanskap historis dan sosio-politik Mekah pada periode awal kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mekah pada masa itu adalah pusat perdagangan dan keagamaan penting di Jazirah Arab, didominasi oleh suku Quraisy yang memiliki pengaruh besar.
Suku Quraisy adalah suku yang paling dominan di Mekah. Mereka memegang kendali atas Ka'bah, menjadikannya pusat ziarah keagamaan bagi berbagai suku Arab. Status ini membawa mereka kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Masyarakat Quraisy terstruktur secara klanistik, di mana loyalitas kepada keluarga dan klan adalah segalanya. Seseorang dilindungi oleh klan dan sukunya, dan ini sangat penting dalam menjaga keamanan dan status sosial.
Sebelum Islam, Mekah adalah pusat penyembahan berhala. Ka'bah, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail sebagai rumah ibadah tauhid, telah dipenuhi dengan ratusan berhala. Setiap suku memiliki berhalanya sendiri, dan ini menjadi sumber pendapatan besar bagi Quraisy yang mengelola ziarah ke Mekah. Ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam secara fundamental menantang sistem keagamaan dan ekonomi ini.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai menyampaikan risalah Islam, ia menghadapi penolakan keras dari kaum Quraisy, terutama para pemimpinnya. Penolakan ini bukan hanya karena perbedaan keyakinan, tetapi juga karena Islam dianggap mengancam tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang sudah mapan.
Dalam sistem klanistik Arab, perlindungan klan adalah fundamental. Meskipun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa ajaran yang berbeda, beliau tetap dilindungi oleh pamannya, Abu Thalib, kepala klan Banu Hasyim. Perlindungan ini, meskipun Abu Thalib sendiri tidak masuk Islam, sangat penting untuk kelangsungan hidup Nabi di Mekah.
Namun, di sinilah peran Abu Lahab menjadi sangat merugikan. Sebagai paman kandung Nabi dan anggota klan Banu Hasyim, Abu Lahab seharusnya menjadi salah satu pelindung terdekat Nabi. Namun, ia justru memilih untuk menjadi musuh paling sengit dan paling terbuka. Penentangannya bukan hanya personal, tetapi juga menjadi contoh buruk bagi anggota klan lain, merusak solidaritas klan yang seharusnya melindungi Nabi. Ia bahkan secara aktif mencoba menggagalkan setiap upaya dakwah Nabi, seperti yang terjadi di Bukit Safa. Sikap ini adalah pelanggaran terhadap norma-norma kekerabatan dan perlindungan klan yang sangat dijunjung tinggi di masyarakat Arab.
Dengan demikian, Surat Al-Lahab diturunkan bukan hanya sebagai respons terhadap penghinaan verbal semata, tetapi juga sebagai deklarasi ilahi terhadap sebuah pengkhianatan kekerabatan yang mendalam dan permusuhan yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran. Ia datang pada saat Nabi sangat membutuhkan dukungan dan perlindungan, dan Allah menyediakannya dengan cara yang paling kuat dan definitif.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dari Surat Al-Lahab, penting untuk mengenal siapa sebenarnya Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil. Mereka bukan sekadar figur acak; mereka adalah tokoh kunci dalam penentangan awal terhadap Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan permusuhan mereka bersifat pribadi serta kejam.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Ia adalah salah satu paman kandung Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, saudara laki-laki dari ayah Nabi, Abdullah, dan paman Nabi lainnya seperti Hamzah dan Abbas. Ini berarti ia memiliki hubungan darah yang sangat dekat dengan Nabi. Ia dikenal dengan julukan Abu Lahab, yang berarti "bapak api" atau "bapak nyala api". Mengenai asal-usul julukan ini, ada beberapa pendapat:
Terlepas dari asal-usul julukannya, Abu Lahab adalah seorang tokoh terkemuka di Mekah, memiliki kekayaan dan pengaruh. Namun, ia menjadi salah satu penentang Islam yang paling keras dan aktif. Permusuhannya tidak hanya terbatas pada penolakan pasif, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan aktif untuk menghalangi dakwah Nabi:
Sikapnya ini sangat kontras dengan paman Nabi lainnya, Abu Thalib, yang meskipun tidak masuk Islam, tetap memberikan perlindungan fisik dan dukungan kepada Nabi hingga akhir hayatnya.
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil binti Harb, yang memiliki nama lengkap Arwa binti Harb bin Umayyah. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan, salah satu pemimpin Quraisy yang menentang Islam pada awalnya (kemudian masuk Islam). Ini berarti ia berasal dari keluarga terkemuka yang juga memiliki permusuhan terhadap Nabi.
Ummu Jamil tidak hanya mendukung suaminya dalam permusuhan terhadap Islam, tetapi ia juga sangat aktif dan gigih dalam menyakiti Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Qur'an secara spesifik menyebutkan perannya dalam ayat keempat dan kelima Surat Al-Lahab:
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Di lehernya ada tali dari sabut."
Ayat ini secara metaforis menggambarkan kekejaman Ummu Jamil:
Dengan demikian, baik Abu Lahab maupun Ummu Jamil adalah sepasang suami istri yang secara aktif, terang-terangan, dan tanpa henti memusuhi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan risalah Islam. Penentangan mereka bersifat pribadi, kejam, dan demonstratif, sehingga layak mendapatkan respons langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam bentuk Surat Al-Lahab. Kisah mereka berfungsi sebagai peringatan keras tentang konsekuensi pahit dari permusuhan terhadap kebenaran, bahkan jika datang dari kerabat terdekat sekalipun.
Ayat pertama Surat Al-Lahab, "Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb," adalah lebih dari sekadar kutukan; ia adalah deklarasi ilahi yang sarat dengan pelajaran dan hikmah mendalam bagi setiap Muslim dan seluruh umat manusia. Dari ayat yang singkat ini, kita dapat menarik berbagai poin penting yang relevan di sepanjang zaman.
Salah satu pelajaran paling menonjol dari ayat ini adalah demonstrasi keadilan Allah yang mutlak. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dihinakan dan disakiti secara publik oleh paman kandungnya sendiri, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membiarkannya. Allah langsung turun tangan untuk membela Nabi-Nya dan memberikan respons yang setimpal kepada pelaku kejahatan. Ini menunjukkan bahwa:
Penggunaan bentuk lampau pada kata "Tabbat" dan "wa tabb" adalah sebuah nubuat (ramalan) yang pasti dari Allah. Ini menyatakan bahwa Abu Lahab akan binasa dalam kehinaan, dan ia akan mati dalam keadaan kafir. Nubuat ini terbukti benar. Abu Lahab meninggal dunia dalam keadaan kafir dan dengan cara yang mengenaskan, sekitar seminggu setelah Pertempuran Badar, karena penyakit borok yang sangat menular dan menjijikkan, yang bahkan anak-anaknya tidak berani mendekat untuk memandikannya. Mereka hanya mendorongnya dengan kayu panjang hingga ke kuburan.
Kisah Abu Lahab adalah peringatan keras tentang konsekuensi yang akan dihadapi oleh mereka yang dengan sengaja dan terang-terangan menolak kebenaran, menentang para pembawa risalah Allah, dan berusaha memadamkan cahaya Islam. Kehancuran Abu Lahab tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Ia merugi di dunia karena upayanya sia-sia, dan ia merugi di akhirat karena azab yang menantinya.
Surat Al-Lahab juga menggarisbawahi betapa mulianya kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi Allah. Allah secara langsung membela dan melindungi kehormatan Nabi-Nya dari cacian dan hinaan. Ini mengajarkan umat Muslim untuk menghormati, mencintai, dan membela Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam serta risalah yang dibawanya.
Kisah turunnya Surat Al-Lahab juga merupakan pengingat bagi para dai dan Muslimin secara umum untuk tetap tabah dan teguh dalam menyebarkan kebenaran, meskipun menghadapi penolakan, ejekan, dan permusuhan, bahkan dari orang-orang terdekat. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menghadapi penentangan paling kejam dari pamannya, namun beliau tidak menyerah.
Ayat ini secara tidak langsung mengajarkan bahwa ikatan keimanan lebih kuat dan lebih penting daripada ikatan darah atau kekerabatan. Hubungan antara Abu Lahab dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hubungan paman-keponakan, namun permusuhan Abu Lahab terhadap Islam merusak ikatan tersebut. Sebaliknya, ikatan sesama Muslim, meskipun tidak ada hubungan darah, jauh lebih kuat dan kekal karena didasari oleh iman kepada Allah.
Meskipun diturunkan untuk individu tertentu di masa lalu, pelajaran dari Surat Al-Lahab tetap relevan hingga hari ini. Ada banyak "Abu Lahab" di setiap zaman, yaitu orang-orang yang dengan gigih menentang kebenaran, menyebarkan fitnah, dan berusaha memadamkan cahaya Islam melalui berbagai cara, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Ayat ini menjadi peringatan bagi mereka dan penghibur bagi umat Muslim yang menghadapi tantangan serupa.
Secara keseluruhan, ayat pertama Surat Al-Lahab adalah sebuah permata kebijaksanaan yang singkat namun padat, mengajarkan kita tentang keadilan Allah, kepastian nubuat, konsekuensi dosa, kemuliaan kenabian, dan pentingnya ketabahan dalam menghadapi ujian iman. Ia adalah fondasi dari seluruh pesan Surat Al-Lahab yang mengutuk permusuhan terhadap kebenaran.
Ayat pertama Surat Al-Lahab, "تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ", adalah sebuah permata Al-Qur'an yang singkat namun memiliki kedalaman makna dan dampak yang luar biasa. Melalui analisis linguistik, penelusuran asbabun nuzul, konteks historis, dan pemahaman karakter Abu Lahab dan istrinya, kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah deklarasi ilahi yang penuh dengan hikmah dan pelajaran abadi.
Ayat ini adalah bukti nyata dari keadilan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mutlak, yang tidak akan membiarkan Nabi-Nya dihinakan tanpa balasan. Ia menunjukkan bahwa ikatan duniawi, bahkan kekerabatan terdekat sekalipun, tidak akan mampu melindungi seseorang dari murka Allah jika ia dengan terang-terangan menentang kebenaran dan menganiaya para pembawa risalah-Nya. Kehancuran Abu Lahab, baik dalam usahanya maupun pribadinya, adalah sebuah nubuat yang pasti, sebuah mukjizat Al-Qur'an yang menegaskan kebenaran risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pelajaran dari ayat pertama ini melampaui batas waktu dan individu. Ia menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang di setiap zaman dan tempat memilih jalan permusuhan terhadap Islam dan Muslim, bahwa semua upaya mereka akan sia-sia dan akan berbalik merugikan diri mereka sendiri. Pada saat yang sama, ayat ini juga berfungsi sebagai sumber kekuatan dan penghiburan bagi umat Muslim yang berjuang di jalan Allah, meyakinkan mereka bahwa Allah senantiasa membela kebenaran dan para pembelanya.
Keindahan retorika Al-Qur'an dalam ayat ini—melalui pengulangan, penggunaan kata kerja lampau untuk masa depan yang pasti, dan kiasan "tangan"—menunjukkan kemukjizatan bahasa ilahi. Setiap kata dipilih dengan seksama untuk menyampaikan pesan yang paling efektif dan mendalam, mengukuhkan bahwa Al-Qur'an adalah firman dari Tuhan Semesta Alam.
Semoga dengan memahami secara mendalam ayat pertama Surat Al-Lahab ini, keimanan kita semakin bertambah, kita semakin menghargai keindahan dan kebenaran Al-Qur'an, dan kita senantiasa menjauhkan diri dari sikap permusuhan terhadap kebenaran, serta menjadi hamba-hamba Allah yang teguh dalam membela agama-Nya.