Surat Al-Lail adalah salah satu surat Makkiyah yang penuh dengan hikmah dan pelajaran mendalam. Dengan 21 ayat, surat ke-92 dalam Al-Qur'an ini menyoroti kontras yang fundamental dalam kehidupan dan alam semesta, yaitu antara siang dan malam, serta antara perbuatan baik dan buruk. Tema sentral dari bacaan Al-Lail adalah janji Allah SWT bagi mereka yang berinfak di jalan-Nya dengan ikhlas, dan peringatan keras bagi mereka yang bakhil dan mendustakan kebenaran. Melalui perumpamaan yang kuat, surat ini mendorong umat manusia untuk merenungkan pilihan-pilihan hidup mereka dan konsekuensi abadi yang menyertainya.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami setiap ayat dari bacaan Al-Lail, memahami konteks turunnya (asbabun nuzul), tafsir mendalam dari para ulama, serta mengambil pelajaran berharga yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita mulai perjalanan spiritual ini untuk membuka tabir makna di balik surat yang agung ini.
Nama "Al-Lail" berarti "Malam", yang merupakan salah satu dari dua fenomena alam yang Allah gunakan untuk bersumpah di awal surat ini. Surah ini diturunkan di Makkah, pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW, ketika kaum Muslimin menghadapi penolakan dan perlawanan dari kaum kafir Quraisy. Karakteristik surat Makkiyah, yang umumnya berfokus pada Tauhid (keesaan Allah), Akhirat (hari pembalasan), dan kisah-kisah kaum terdahulu, sangat terasa dalam Al-Lail.
Bacaan Al-Lail mengajarkan tentang dualitas dalam penciptaan dan perbuatan manusia. Sebagaimana ada siang dan malam, ada pula kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, serta balasan yang sesuai untuk masing-masing. Surat ini secara khusus menekankan pentingnya sifat dermawan dan takut kepada Allah, serta bahaya dari sifat kikir dan mendustakan kebenaran. Kontras ini disajikan dengan gaya bahasa Al-Qur'an yang khas, penuh dengan retorika dan perumpamaan yang menyentuh hati.
Memahami bacaan Al-Lail secara mendalam akan membantu kita untuk lebih menyadari tujuan hidup, konsekuensi dari setiap tindakan, dan betapa luasnya rahmat serta keadilan Allah SWT. Surat ini menjadi pengingat yang kuat bagi setiap Muslim untuk senantiasa memilih jalan kebaikan, keikhlasan, dan ketaqwaan.
Beberapa riwayat menyebutkan asbabun nuzul spesifik untuk bagian dari Surat Al-Lail, terutama ayat-ayat yang berbicara tentang orang yang berinfak dan orang yang bakhil. Salah satu riwayat yang paling terkenal adalah mengenai Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan seorang pria kaya lainnya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mempunyai pohon kurma yang cabangnya menjulur ke rumah seorang fakir miskin yang mempunyai banyak anak. Apabila laki-laki itu memetik buah kurmanya, kurma tersebut sering berjatuhan ke rumah orang miskin itu. Orang miskin itu lalu memungutnya dan memberikannya kepada anak-anaknya. Laki-laki pemilik pohon kurma tersebut mendatangi orang miskin itu dan mengambil kurma dari tangan anak-anaknya, bahkan terkadang ia mengambil kurma yang sudah ada di dalam mulut anak-anak itu. Orang miskin itu mengeluhkan kejadian ini kepada Nabi Muhammad SAW.
Nabi SAW kemudian memanggil pemilik pohon kurma itu dan bersabda, "Berikanlah pohon kurmamu itu kepadaku sebagai ganti dari pohon kurma di surga." Namun, laki-laki itu menolak. Abu Bakar Ash-Shiddiq mendengar percakapan ini, lalu ia mendatangi laki-laki pemilik pohon kurma itu dan menawarkan untuk membeli pohon kurmanya. Laki-laki itu menjualnya dengan harga yang mahal. Abu Bakar kemudian menyerahkan pohon kurma itu kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW pun memberikannya kepada orang miskin tersebut. Untuk peristiwa inilah, ayat-ayat tentang orang yang berinfak (ayat 5-7) dan orang yang bakhil (ayat 8-10) dikatakan turun.
Meskipun riwayat ini memberikan konteks yang menarik, penting untuk diingat bahwa pesan dari bacaan Al-Lail bersifat universal dan tidak terbatas pada satu peristiwa saja. Ia berlaku bagi semua orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam surat ini, baik dalam hal kedermawanan maupun kekikiran.
Mari kita telaah satu per satu ayat-ayat dari bacaan Al-Lail untuk memahami pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya.
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
Wal-laili izaa yaghshaa
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).
Allah SWT memulai surat ini dengan bersumpah atas nama malam. Kata "yaghshaa" berarti menutupi atau menyelimuti. Ini merujuk pada fenomena malam yang datang menyelimuti siang, membawa kegelapan yang menutupi segala sesuatu. Sumpah ini menegaskan keagungan penciptaan Allah dan kekuatan-Nya dalam mengatur alam semesta. Malam adalah tanda kebesaran Allah, waktu istirahat bagi makhluk hidup, dan momen refleksi bagi jiwa. Sumpah dengan makhluk ciptaan-Nya adalah cara Allah untuk menarik perhatian kita pada pentingnya pesan yang akan disampaikan setelahnya.
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
Wan-nahaari izaa tajallaa
Demi siang apabila terang benderang.
Selanjutnya, Allah bersumpah atas nama siang. Kata "tajallaa" berarti terang benderang atau menampakkan diri. Ini menggambarkan siang yang datang menyingkap kegelapan malam, membawa cahaya dan kehidupan. Jika malam adalah waktu istirahat, siang adalah waktu untuk beraktivitas, mencari rezeki, dan melakukan pekerjaan. Kontras antara malam dan siang ini bukan hanya fenomena fisik, tetapi juga simbolik. Ia melambangkan dualitas dalam kehidupan: kegelapan dan cahaya, kebingungan dan kejelasan, kesulitan dan kemudahan. Sumpah ganda ini menyiapkan kita untuk memahami dualitas yang lebih besar dalam perbuatan manusia.
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ
Wa maa khalaqaz zakara wal-unthaa
Demi penciptaan laki-laki dan perempuan.
Sumpah ketiga Allah adalah demi penciptaan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Ini adalah dualitas lain dalam penciptaan yang Allah jadikan tanda kebesaran-Nya. Laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang saling melengkapi, esensial untuk kelangsungan hidup manusia. Mereka memiliki peran dan fungsi yang berbeda namun saling mendukung. Sumpah ini memperkuat tema dualitas yang telah disajikan sebelumnya (siang-malam) dan mengarahkannya pada penciptaan manusia itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa perbedaan dan kontras adalah bagian intrinsik dari ciptaan Allah, dan ini juga akan berlaku pada perbuatan dan takdir manusia.
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
Inna sa'yakum lashattaa
Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan.
Setelah tiga sumpah yang kuat, Allah SWT menyatakan inti dari pesan ini: "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." Kata "sa'yakum" (usaha kamu) merujuk pada segala amal perbuatan, pekerjaan, dan tujuan hidup manusia. "Lashtattaa" (berlain-lainan) berarti berbeda-beda, beragam, dan tidak sama. Ini adalah jawaban dari sumpah-sumpah sebelumnya. Sebagaimana ada siang dan malam, laki-laki dan perempuan, demikian pula usaha dan tujuan hidup manusia sangat beragam. Ada yang berorientasi pada akhirat, ada yang hanya peduli dunia; ada yang beramal saleh, ada yang berbuat dosa. Ayat ini adalah pondasi untuk memahami bahwa setiap pilihan dan usaha manusia akan memiliki konsekuensi yang berbeda.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
Fa amma man a'taa wattaqaa
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
Ayat ini mulai menjelaskan kategori manusia berdasarkan usaha mereka. Kategori pertama adalah "man a'taa wattaqaa," yaitu orang yang memberikan (berinfak) dan bertakwa. "A'taa" berarti memberi, yang mencakup sedekah, zakat, infak, dan segala bentuk pemberian yang tulus untuk mencari keridaan Allah. Ini bukan sekadar memberi, tetapi memberi dengan tujuan yang benar. "Wattaqaa" berarti bertakwa, yaitu takut kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa adalah landasan dari setiap amal kebaikan. Kombinasi memberi dan takwa menunjukkan bahwa amalan fisik harus didasari oleh keimanan dan kesadaran akan Allah. Orang ini adalah representasi dari usaha yang baik dan terpuji.
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ
Wa saddaqa bil-husnaa
Serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
Melanjutkan sifat orang yang beruntung, ayat ini menambahkan "Wa saddaqa bil-husnaa," yaitu membenarkan Al-Husna. Al-Husna di sini merujuk pada janji Allah tentang pahala terbaik, yaitu surga, atau janji-Nya untuk mengganti setiap infak dengan balasan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Ini juga bisa berarti membenarkan kalimat tauhid, "Laa ilaaha illallah", atau segala sesuatu yang baik yang datang dari Allah. Keimanan akan janji pahala adalah motivasi utama bagi seorang Muslim untuk berinfak dan bertakwa. Tanpa keyakinan akan balasan dari Allah, sulit bagi seseorang untuk berkorban. Ayat ini menekankan bahwa amal saleh harus disertai dengan keyakinan yang kuat terhadap hari pembalasan dan kebenaran ajaran Islam.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
Fasanuyassiruhu lil-yusraa
Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (kebaikan).
Ini adalah janji Allah yang agung bagi kategori pertama. "Fasanuyassiruhu lil-yusraa" berarti "Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan." Yusraa di sini merujuk pada jalan kebaikan, jalan menuju surga, dan segala kemudahan dalam menjalankan ketaatan. Ini adalah balasan langsung dari Allah: siapa yang memberi dan bertakwa serta membenarkan janji-Nya, maka Allah akan melapangkan urusannya, memudahkan jalannya menuju kebaikan, dan membimbingnya ke arah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudahan ini bukan berarti tidak ada ujian, tetapi ujian yang datang akan terasa ringan karena pertolongan Allah, atau Allah akan membukakan jalan keluar yang tidak disangka-sangka. Ini adalah dorongan kuat untuk senantiasa berbuat baik dan percaya pada janji Allah.
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
Wa amma mam bakhila wastghnaa
Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah),
Setelah menjelaskan kategori yang pertama, Allah beralih kepada kategori kedua, yaitu kebalikannya. "Man bakhila wastghnaa" adalah orang yang kikir dan merasa dirinya cukup. "Bakhila" berarti kikir, tidak mau mengeluarkan hartanya di jalan Allah, menahannya untuk diri sendiri meskipun ada hak orang lain di dalamnya. "Wastaghnaa" berarti merasa cukup atau tidak butuh. Ini bukan sekadar merasa kaya secara materi, tetapi lebih pada merasa tidak butuh kepada Allah dan janji-janji-Nya. Ia merasa mampu dengan kekayaannya sendiri, tidak memerlukan pahala akhirat, atau tidak percaya pada kekuasaan Allah. Sikap ini adalah akar dari banyak keburukan, termasuk menolak kebenaran dan enggan berinfak.
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
Wa kazzaba bil-husnaa
Serta mendustakan pahala yang terbaik,
Kategori kedua ini juga "Wa kazzaba bil-husnaa," yaitu mendustakan Al-Husna. Berbeda dengan kategori pertama yang membenarkan, orang ini mendustakan janji Allah tentang pahala terbaik, surga, atau kebenaran kalimat tauhid. Mendustakan di sini bisa berarti tidak percaya sama sekali atau tidak mengindahkan janji tersebut dalam amal perbuatannya. Meskipun mungkin mengakui keberadaan Tuhan, perbuatannya menunjukkan ketidakpercayaan terhadap konsekuensi akhirat. Ini adalah ciri khas orang yang merugi, yang menganggap remeh janji dan peringatan Allah, karena fokusnya hanya pada keuntungan duniawi semata.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
Fasanuyassiruhu lil-'usraa
Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran (keburukan).
Ini adalah balasan Allah bagi kategori kedua, yang merupakan kebalikan dari janji bagi yang pertama. "Fasanuyassiruhu lil-'usraa" berarti "Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran." 'Usraa di sini merujuk pada jalan kesukaran, jalan menuju neraka, dan segala bentuk kesulitan dalam hidup. Ini bukan berarti Allah sengaja mempersulit hidup mereka, melainkan karena pilihan mereka untuk kikir dan mendustakan kebenaran, Allah akan membiarkan mereka dalam kesulitan yang mereka pilih sendiri. Jalan menuju keburukan akan terasa mudah bagi mereka, sehingga mereka semakin terjerumus dalam dosa dan kesengsaraan. Ini adalah peringatan yang keras bagi mereka yang enggan berinfak dan mendustakan kebenaran, bahwa pilihan mereka akan berujung pada penderitaan.
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ
Wa maa yughnii 'anhu maaluhuu izaa taraddaa
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
Ayat ini menegaskan bahwa harta yang dikumpulkan dengan kekikiran dan tanpa tujuan akhirat tidak akan berguna sedikit pun pada saat kematian atau di akhirat. "Wa maa yughnii 'anhu maaluhuu" berarti "hartanya tidak bermanfaat baginya." "Izaa taraddaa" berarti "apabila ia telah binasa," yaitu ketika ia mati dan jatuh ke dalam neraka. Harta yang tidak diinfakkan di jalan Allah akan menjadi beban di akhirat, bahkan tidak bisa menyelamatkan pemiliknya dari azab. Ayat ini memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang terlalu mencintai dunia dan hartanya, bahwa semua itu akan sirna dan tidak memiliki nilai sejati di hadapan Allah pada hari perhitungan. Hanya amal saleh, termasuk infak yang tulus, yang akan tetap menjadi bekal.
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ
Inna 'alainaa lal-hudaa
Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk.
Setelah memperingatkan tentang konsekuensi dari kekikiran, Allah SWT mengingatkan bahwa petunjuk berasal dari-Nya. "Inna 'alainaa lal-hudaa" berarti "Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk." Ini menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala petunjuk dan kebenaran. Manusia tidak dapat menemukan jalan yang benar tanpa bimbingan dari-Nya. Ayat ini menunjukkan rahmat Allah yang senantiasa menawarkan petunjuk kepada manusia, bahkan setelah memperingatkan tentang jalan kesesatan. Ini juga berarti bahwa Allah telah menjelaskan jalan kebaikan dan keburukan dengan sangat gamblang melalui para Nabi dan kitab-kitab suci, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tersesat kecuali karena pilihan mereka sendiri.
وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ
Wa inna lanaa lal-aakhirata wal-oola
Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.
Ayat ini memperkuat kekuasaan dan kepemilikan Allah. "Wa inna lanaa lal-aakhirata wal-oola" berarti "Dan sesungguhnya milik Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia." Ini menegaskan bahwa Allah adalah Penguasa mutlak atas dunia ini dan akhirat. Manusia tidak memiliki apa pun kecuali apa yang diberikan-Nya. Oleh karena itu, jika Allah menjanjikan balasan di akhirat bagi amal baik dan ancaman di akhirat bagi amal buruk, janji-Nya pasti benar. Ini juga berarti bahwa semua pilihan dan tindakan manusia, baik di dunia maupun untuk akhirat, berada dalam pengetahuan dan kekuasaan Allah. Orang yang bijak akan menggunakan dunia sebagai jembatan menuju akhirat yang kekal, dengan mengingat bahwa keduanya adalah milik Allah.
فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ
Fa anzartukum naaran talazzaa
Maka Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (neraka),
Sebagai konsekuensi dari pilihan yang salah, Allah SWT memperingatkan dengan jelas. "Fa anzartukum naaran talazzaa" berarti "Maka Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala." "Talazzaa" menggambarkan api neraka yang sangat panas, berkobar-kobar, dan terus menyala dengan dahsyat. Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang memilih jalan kesukaran (kekikiran dan mendustakan kebenaran). Allah tidak ingin hamba-Nya celaka, oleh karena itu Dia mengirimkan peringatan yang jelas dan gamblang. Ayat ini menekankan bahwa konsekuensi dari dosa dan kekafiran adalah azab neraka yang pedih, dan ini adalah bagian dari keadilan ilahi.
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَىٰ
Laa yaslaahaa illal ashqaa
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
Siapakah yang akan masuk neraka yang menyala-nyala itu? Ayat ini menjelaskan, "Laa yaslaahaa illal ashqaa," yaitu "Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." "Al-Ashqaa" adalah bentuk superlatif dari "syaqiy," yang berarti celaka atau sengsara. Ini merujuk pada orang-orang yang memilih jalan kekafiran, mendustakan kebenaran, dan terus-menerus berbuat dosa tanpa taubat, meskipun telah datang kepada mereka petunjuk dan peringatan. Mereka adalah orang-orang yang paling keras kepala dalam penolakan mereka terhadap Allah dan rasul-Nya. Ayat ini menggambarkan betapa mengerikannya nasib mereka yang memilih jalan kesesatan secara sadar dan sengaja.
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
Allazii kazzaba wa tawallaa
Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
Ayat ini lebih lanjut menjelaskan siapa "al-ashqaa" itu. Mereka adalah "Allazii kazzaba wa tawallaa," yaitu orang yang mendustakan kebenaran dan berpaling. "Kazzaba" berarti mendustakan, baik itu mendustakan ayat-ayat Allah, para rasul-Nya, atau janji-janji-Nya. "Tawallaa" berarti berpaling, yaitu tidak mau menerima kebenaran setelah mengetahuinya, atau menolak beramal dengannya. Ini menggambarkan seseorang yang bukan hanya tidak percaya, tetapi juga secara aktif menolak dan menjauhi jalan Allah. Orang-orang seperti ini adalah mereka yang telah diberi petunjuk namun sengaja memilih jalan kesesatan, sehingga pantas mendapatkan balasan neraka.
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَىٰ
Wa sayujannabuhal-atqaa
Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,
Kontras dengan "al-ashqaa," Allah kemudian menyebutkan "al-atqaa," yaitu orang yang paling bertakwa. "Wa sayujannabuhal-atqaa" berarti "Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa." "Al-atqaa" adalah bentuk superlatif dari "taqiy," yang berarti bertakwa. Ini merujuk pada orang-orang yang sangat takut kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dengan sebaik-baiknya, dan menjauhi larangan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang beriman dengan sepenuh hati dan mengamalkan ajaran Islam dalam hidup mereka. Ayat ini memberikan harapan dan kabar gembira bagi orang-orang yang senantiasa menjaga takwanya, bahwa mereka akan diselamatkan dari api neraka.
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ
Allazii yu'tii maalahuu yatazakkaa
Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut siapa "al-atqaa" itu. Mereka adalah "Allazii yu'tii maalahuu yatazakkaa," yaitu orang yang menginfakkan hartanya untuk membersihkan dirinya. "Yu'tii maalahuu" berarti memberikan hartanya, yang mencakup segala bentuk infak, sedekah, dan zakat. "Yatazakkaa" berarti membersihkan diri atau menyucikan diri. Infak yang tulus di jalan Allah bukan hanya membantu orang lain, tetapi juga membersihkan jiwa dari sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, dan dosa-dosa. Dengan berinfak, seseorang menyucikan hartanya dari hak orang lain, menyucikan dirinya dari dosa, dan meningkatkan derajat ketakwaannya di sisi Allah. Ini adalah ciri khas orang yang bertakwa sejati.
وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَىٰ
Wa maa li ahadin 'indahuu min ni'matin tujzaa
Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Ayat ini menekankan keikhlasan dalam berinfak. Orang yang paling bertakwa berinfak bukan karena ingin membalas budi seseorang atau mengharapkan imbalan dari manusia. "Wa maa li ahadin 'indahuu min ni'matin tujzaa" berarti "Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya." Artinya, infaknya murni karena Allah, tanpa ada motif duniawi berupa balasan jasa atau pujian dari manusia. Ini adalah tingkatan tertinggi dalam kedermawanan, di mana amal dilakukan semata-mata untuk mencari wajah Allah SWT. Ini membedakan infak tulus dari infak yang didorong oleh riya' (pamer) atau mencari keuntungan pribadi.
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ
Illab tighaaa'a wajhi Rabbihil-A'laa
Melainkan hanya mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
Ayat ini semakin memperjelas motivasi orang yang paling bertakwa dalam berinfak. "Illab tighaaa'a wajhi Rabbihil-A'laa" berarti "Melainkan hanya mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." Satu-satunya tujuan mereka dalam berinfak adalah mencari wajah atau keridaan Allah SWT semata. Tidak ada tujuan lain yang lebih rendah dari itu. Ini adalah puncak dari keikhlasan, di mana hati sepenuhnya tertuju kepada Sang Pencipta. Beramal dengan tujuan mencari keridaan Allah akan menjadikan amal tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi-Nya, dan akan menjadi bekal terbaik di akhirat. Ini adalah esensi dari ibadah yang murni.
وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
Wa lasawfa yardaa
Dan kelak dia benar-benar akan puas.
Ayat terakhir ini adalah penutup yang indah dan janji yang menenangkan bagi orang yang paling bertakwa. "Wa lasawfa yardaa" berarti "Dan kelak dia benar-benar akan puas." Kata "yardaa" tidak hanya berarti ridha atau senang, tetapi juga puas dalam arti yang paling mendalam, yaitu kepuasan yang sempurna dan abadi di surga. Mereka akan puas dengan balasan yang Allah berikan, dengan segala kenikmatan yang tak terhingga, dan yang terpenting, dengan keridaan Allah atas mereka. Kepuasan ini adalah puncak kebahagiaan yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun di dunia. Ini adalah motivasi terbesar bagi setiap Muslim untuk beramal saleh, berinfak, dan bertakwa, dengan yakin bahwa Allah akan membalasnya dengan kepuasan yang sempurna.
Surat Al-Lail adalah sumber hikmah yang kaya, memberikan banyak pelajaran berharga bagi kehidupan seorang Muslim. Setelah memahami bacaan Al-Lail secara mendalam, kita dapat merangkum beberapa poin penting:
Meskipun tidak ada hadis shahih yang secara spesifik menyebutkan keutamaan luar biasa hanya untuk bacaan Al-Lail dibandingkan surat-surat lain, secara umum membaca Al-Qur'an adalah ibadah yang sangat mulia dan mendatangkan pahala besar. Beberapa riwayat yang sering disebutkan dalam kitab tafsir terkait keutamaan surat ini adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa membaca surat Wal-Lail, Allah akan memberinya sehingga ia ridha, dan Allah akan memudahkannya menuju kemudahan." (Riwayat Tirmidzi, namun kualitas sanadnya diperdebatkan oleh sebagian ulama).
Terlepas dari status sanad riwayat di atas, keutamaan umum yang dapat diambil dari membaca bacaan Al-Lail adalah:
Setiap huruf dari Al-Qur'an adalah cahaya, dan setiap surat memiliki pelajaran tersendiri. Membaca bacaan Al-Lail dengan tadabbur (merenungkan maknanya) akan jauh lebih bermanfaat daripada sekadar membacanya tanpa pemahaman.
Bagaimana kita bisa mengaplikasikan pesan-pesan dari bacaan Al-Lail dalam keseharian kita? Berikut beberapa cara praktis:
Dengan menerapkan pelajaran-pelajaran ini, kita berharap dapat menjadi hamba yang lebih baik, yang dimudahkan jalannya menuju kebaikan, dan mendapatkan kepuasan abadi di sisi Allah SWT.
Surat Al-Lail, dengan sumpah-sumpah yang kuat dan perumpamaan yang mendalam, adalah pengingat akan dualitas dalam penciptaan dan konsekuensi dari pilihan manusia. Ia menyoroti pentingnya infak yang tulus, takwa, dan keyakinan akan hari pembalasan. Bagi mereka yang memilih jalan kebaikan dengan memberi dan bertakwa, Allah menjanjikan kemudahan dan kepuasan abadi. Sebaliknya, bagi mereka yang kikir dan mendustakan kebenaran, Allah memperingatkan akan kesulitan dan azab neraka.
Melalui bacaan Al-Lail, kita diajak untuk merefleksikan hidup kita, memeriksa motivasi di balik setiap tindakan, dan selalu berusaha untuk mencari keridaan Allah semata. Semoga kita semua termasuk golongan "al-atqaa" yang dimudahkan jalannya menuju kebaikan dan mendapatkan keridaan Allah SWT di dunia maupun di akhirat.
Marilah kita jadikan bacaan Al-Lail bukan hanya sekadar bacaan, melainkan pedoman hidup yang menginspirasi kita untuk senantiasa berbuat baik, berinfak, dan bertakwa kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan.