Surat Al-Lail adalah salah satu surat pendek yang terdapat dalam Al-Qur'an, tepatnya pada juz ke-30. Surat ini tergolong dalam surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di kota Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Dinamai "Al-Lail" yang berarti "Malam", karena Allah SWT memulai surat ini dengan sumpah atas malam ketika menutupi (cahaya siang).
Surat Al-Lail memiliki 21 ayat dan mengandung pesan-pesan mendalam tentang dualitas dalam kehidupan manusia: perbuatan baik yang mengarah pada kemudahan dan kebahagiaan, serta perbuatan buruk yang membawa kepada kesulitan dan penderitaan. Surat ini mengajarkan tentang pentingnya memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, serta memperingatkan dari sifat kikir, mendustakan, dan ingkar.
Mempelajari Surat Al-Lail tidak hanya sekadar membaca ayat-ayatnya, tetapi juga memahami makna yang terkandung di dalamnya, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), serta mengaplikasikan hikmah-hikmahnya dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan memandu Anda dalam memahami Surat Al-Lail secara komprehensif, mulai dari bacaan Latin, Arab, terjemahan, hingga tafsir mendalam.
Surat Al-Lail adalah surat ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an. Ia datang setelah Surat Asy-Syams dan sebelum Surat Adh-Dhuha, membentuk sekelompok surat pendek di juz Amma yang seringkali memulai dengan sumpah atas fenomena alam. Sumpah-sumpah ini bukan tanpa tujuan, melainkan untuk menarik perhatian manusia pada tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, yang kemudian dikaitkan dengan kebenaran-kebenaran fundamental tentang iman dan moralitas.
Tema utama surat ini adalah perbandingan antara dua golongan manusia: mereka yang berderma, bertakwa, dan membenarkan kebaikan (al-husna), serta mereka yang kikir, merasa serba cukup, dan mendustakan kebaikan. Allah SWT menjelaskan bahwa jalan hidup kedua golongan ini akan berujung pada konsekuensi yang sangat berbeda, yaitu kemudahan dan kesulitan di dunia dan akhirat. Surat ini menekankan bahwa pilihan ada di tangan manusia, dan setiap pilihan akan berbuah hasil yang setimpal.
Asbabun Nuzul adalah konteks atau peristiwa spesifik yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau surat dalam Al-Qur'an. Memahami asbabun nuzul dapat membantu kita menangkap makna dan hikmah ayat secara lebih mendalam. Mengenai Surat Al-Lail, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya, meskipun ada juga riwayat yang menyatakan bahwa surat ini bersifat umum, membahas prinsip-prinsip universal yang berlaku bagi siapa saja.
Salah satu riwayat asbabun nuzul yang paling terkenal terkait dengan Surat Al-Lail adalah kisah sahabat mulia Abu Bakar As-Siddiq RA. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, ayat 5 hingga 7 (وَاَمَّا مَنْ اَعْطٰى وَاتَّقٰىۙ ٦ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰىۙ ٧ فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْيُسْرٰىۗ ٨) disebutkan turun berkenaan dengan tindakan mulia Abu Bakar.
Dikisahkan bahwa ada seorang budak milik seorang musyrik yang sedang disiksa dengan kejam oleh tuannya. Budak ini beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Melihat penderitaan budak tersebut, Abu Bakar merasa iba. Ia kemudian mendatangi sang tuan dan membeli budak itu dengan harga yang tinggi, hanya untuk memerdekakannya. Tindakan ini dilakukan Abu Bakar semata-mata karena mencari keridhaan Allah dan bukan untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Orang-orang musyrik yang menyaksikan kejadian itu, termasuk Umayyah bin Khalaf, mengejek Abu Bakar, "Mengapa engkau membebaskan budak itu? Apakah ada kebaikan yang pernah ia lakukan kepadamu sehingga engkau membalasnya?" Abu Bakar menjawab, "Aku melakukannya hanya karena ingin mencari wajah Allah SWT."
Maka turunlah ayat-ayat tersebut sebagai pujian untuk perbuatan Abu Bakar. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa siapa pun yang memberi hartanya di jalan Allah dengan niat ikhlas, bertakwa kepada-Nya, dan membenarkan segala kebaikan yang diajarkan agama (termasuk janji surga dan balasan pahala), maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju kebahagiaan dan kemudahan di dunia dan akhirat.
Tafsir lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Atha' menjelaskan bahwa ayat-ayat permulaan surat ini turun sebagai perbandingan antara dua jenis orang: satu yang dermawan dan takut kepada Allah, dan yang lainnya kikir dan mengingkari kebenaran. Ayat-ayat tentang memberi dan bertakwa ditujukan kepada Abu Bakar, sementara ayat-ayat tentang kekikiran dan pendustaan ditujukan kepada seorang pria dari Bani Umayyah.
Pria Bani Umayyah ini disebutkan sebagai seorang yang memiliki banyak harta, namun sangat kikir dan tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah. Bahkan, ia tidak percaya akan adanya hari pembalasan dan selalu mendustakan kebaikan yang dijanjikan Allah bagi orang-orang beriman. Karena sifatnya ini, turunlah ayat-ayat berikutnya (وَاَمَّا مَنْۢ بَخِلَ وَاسْتَغْنٰىۙ ٩ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنٰىۙ ١٠ فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْعُسْرٰىۗ ١١) yang menjelaskan bahwa bagi orang yang kikir, merasa serba cukup dengan hartanya, dan mendustakan kebaikan, maka Allah akan mempersulit jalannya menuju kebahagiaan dan akan membawanya ke dalam kesengsaraan.
Melalui riwayat asbabun nuzul ini, kita bisa melihat betapa Al-Qur'an secara langsung merespons peristiwa-peristiwa nyata dan memberikan pedoman moral yang jelas. Kisah Abu Bakar menjadi teladan tentang betapa besar nilai keikhlasan dan pengorbanan di jalan Allah, sementara kisah orang kikir menjadi peringatan keras tentang bahaya kekikiran dan pengingkaran.
Berikut adalah bacaan lengkap Surat Al-Lail, disajikan dalam teks Arab aslinya, transliterasi Latin untuk memudahkan pembacaan bagi yang belum fasih huruf Arab, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia.
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
Allah SWT memulai surat ini dengan sebuah sumpah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)". Sumpah ini menarik perhatian kita pada fenomena alam yang sangat familiar namun penuh makna. Malam yang menyelimuti siang bukan sekadar pergantian waktu, tetapi sebuah tanda kekuasaan Allah yang sempurna. "Yaghsya" berarti menutupi atau menyelimuti, menggambarkan bagaimana kegelapan malam secara perlahan tapi pasti merayap dan menutupi cahaya siang. Ini adalah momen transisi yang membawa ketenangan dan istirahat bagi makhluk hidup, serta saat-saat untuk merenung dan beribadah secara lebih khusyuk. Sumpah ini juga bisa mengandung makna metaforis, merujuk pada dosa atau kejahatan yang seringkali dilakukan dalam kegelapan atau secara tersembunyi, atau kondisi hati yang gelap karena ingkar.
dan demi siang apabila terang benderang,
Sebagai kontras dengan malam, Allah kemudian bersumpah demi siang apabila terang benderang. "Tajallā" berarti menyingkapkan diri atau menjadi jelas dan terang benderang. Siang hari membawa cahaya, aktivitas, dan kesempatan untuk mencari rezeki serta melakukan berbagai pekerjaan. Keterangan dan kejelasan siang hari melambangkan kebenaran yang nyata, petunjuk yang jelas, serta amal kebaikan yang dilakukan secara terang-terangan. Pergantian malam dan siang adalah sebuah siklus yang sempurna, menunjukkan pengaturan alam semesta yang rapi dan terencana oleh Sang Pencipta. Keduanya memiliki fungsi dan hikmah masing-masing dalam kehidupan. Sumpah atas siang ini mengisyaratkan tentang kejelasan petunjuk Allah dan konsekuensi amal yang akan terkuak di hari perhitungan.
dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,
Sumpah ketiga adalah demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Ayat ini menyentuh aspek fundamental keberadaan manusia dan makhluk hidup secara umum: dualitas gender. Penciptaan dua jenis ini merupakan dasar bagi kelangsungan hidup dan reproduksi, sebuah tanda kebesaran Allah dalam mengatur kehidupan. Dualitas ini tidak hanya pada fisik, tetapi juga peran dan fungsi dalam masyarakat, meskipun keduanya memiliki kesetaraan dalam pandangan Allah dalam hal takwa dan amal. Sumpah ini relevan dengan tema surat yang akan datang, yaitu perbedaan dalam usaha dan tujuan hidup manusia. Sebagaimana ada dua jenis kelamin, ada pula dua jenis jalan hidup yang akan dipilih manusia, menuju kemudahan atau kesukaran.
sungguh, usaha kamu memang berlainan.
Setelah tiga sumpah agung, Allah SWT menyatakan kebenaran yang ingin disampaikan: "Sungguh, usaha kamu memang berlainan." "Sa'yakum" berarti usaha, kerja keras, atau amal perbuatan, dan "lasyattā" berarti berbeda-beda, berlainan, atau bercerai-berai. Ayat ini adalah inti dari sumpah-sumpah sebelumnya. Sebagaimana malam dan siang berbeda, laki-laki dan perempuan berbeda, begitu pula usaha dan tujuan hidup manusia juga sangat berlainan. Ada yang usahanya menuju kebaikan dan ketakwaan, ada pula yang menuju keburukan dan kemaksiatan. Perbedaan usaha ini akan menentukan perbedaan hasil dan balasan di akhirat kelak. Ayat ini berfungsi sebagai pendahuluan untuk menjelaskan dua golongan manusia yang akan dibahas secara rinci di ayat-ayat selanjutnya.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
Ayat ini mulai menjelaskan golongan pertama yang usahanya mengarah pada kebaikan. "Fa ammā man a‘ṭā" berarti "adapun orang yang memberi". Memberi di sini mencakup segala bentuk infak, sedekah, dan pengorbanan harta di jalan Allah, baik itu zakat, bantuan kepada fakir miskin, atau membiayai perjuangan Islam. Yang terpenting adalah niat memberi yang ikhlas semata-mata karena Allah. "Wattaqā" berarti "dan bertakwa". Takwa adalah puncak dari ketaatan, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, disertai rasa takut dan harap kepada-Nya. Ini mencakup kesadaran penuh akan pengawasan Allah dalam setiap tindakan. Orang yang memberi dengan ketakwaan bukan hanya memberi materi, tetapi juga memberi dengan hati yang bersih, mengharapkan ridha Allah semata, dan menjauhi riya' atau pamrih.
serta membenarkan (adanya pahala) yang terbaik,
Golongan pertama ini tidak hanya memberi dan bertakwa, tetapi juga "membenarkan (adanya pahala) yang terbaik". "Al-husnā" dalam konteks ini bisa diartikan sebagai "balasan yang terbaik", yaitu surga dan segala kenikmatan di dalamnya yang dijanjikan Allah bagi orang-orang beriman. Ini juga bisa diartikan sebagai kalimat tauhid, "Lā ilāha illallāh" (Tiada Tuhan selain Allah), atau semua kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, termasuk janji-janji Allah. Membenarkan "al-husnā" berarti memiliki keyakinan yang kokoh terhadap ajaran Islam, meyakini adanya balasan dari Allah, dan percaya sepenuhnya pada kebenaran janji-janji-Nya. Keyakinan inilah yang menjadi motivasi utama bagi seseorang untuk memberi dan bertakwa, karena ia tahu bahwa ada balasan yang jauh lebih baik dari apa yang ia korbankan di dunia.
maka Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan.
Sebagai balasan atas perbuatan memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, Allah berjanji, "maka Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan". "Yusrā" berarti kemudahan, kelapangan, atau kebahagiaan. Ini adalah buah dari amal kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas. Kemudahan yang dijanjikan Allah bisa berupa kemudahan dalam urusan dunia, seperti rezeki yang berkah, ketenangan jiwa, atau kemampuan untuk terus berbuat baik. Namun, yang paling utama adalah kemudahan di akhirat, yaitu kemudahan dalam menghadapi sakaratul maut, kemudahan dalam hisab (perhitungan amal), dan kemudahan untuk memasuki surga. Janji ini adalah motivasi besar bagi setiap muslim untuk senantiasa berbuat kebaikan, karena Allah menjamin kemudahan bagi mereka yang menempuh jalan-Nya.
Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah),
Setelah menjelaskan golongan pertama, ayat ini beralih ke golongan kedua, yang usahanya berlainan. "Wa ammā mam bakḫila" berarti "adapun orang yang kikir". Kekikiran adalah sifat menahan harta yang seharusnya dikeluarkan di jalan Allah, atau enggan membantu orang lain yang membutuhkan. Kekikiran bukan hanya tentang uang, tetapi juga bisa berupa kekikiran ilmu, waktu, atau tenaga. "Wastagnā" berarti "dan merasa dirinya cukup". Ini adalah sikap sombong dan angkuh, merasa tidak membutuhkan Allah atau pertolongan-Nya. Orang yang merasa serba cukup cenderung tidak mau beribadah, tidak mau bersedekah, dan merasa semua keberhasilan datang dari usahanya sendiri tanpa campur tangan ilahi. Sikap ini adalah akar dari banyak kemaksiatan, karena ia menganggap dirinya independen dari Tuhan.
serta mendustakan (pahala) yang terbaik,
Golongan kedua ini bukan hanya kikir dan merasa serba cukup, tetapi juga "mendustakan (pahala) yang terbaik". Mereka menolak kebenaran agama, tidak percaya akan adanya hari pembalasan, surga, dan neraka, atau janji-janji Allah tentang pahala bagi orang yang berbuat baik. Kebalikan dari "membenarkan al-husnā", mendustakan "al-husnā" adalah menolak keimanan dan kebenaran yang dibawa oleh para nabi. Sifat ini menunjukkan kegelapan hati dan ketidakpercayaan yang mendalam pada janji-janji Allah. Orang yang mendustakan ini cenderung hidup hanya untuk kesenangan duniawi dan tidak mempedulikan kehidupan akhirat, sehingga tidak ada motivasi baginya untuk berbuat baik atau berbagi.
maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran.
Sebagai balasan atas kekikiran, kesombongan, dan pendustaan, Allah berjanji, "maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran". "Uṣrā" berarti kesukaran, kesulitan, atau kesengsaraan. Ini adalah kebalikan total dari janji kemudahan bagi orang bertakwa. Jalan kesukaran ini dapat terwujud dalam bentuk kesulitan hidup di dunia, hati yang gelisah, rezeki yang tidak berkah, atau kemudahan dalam melakukan dosa-dosa. Yang lebih parah lagi adalah kemudahan menuju kesulitan di akhirat, yaitu kesukaran dalam menghadapi kematian, hisab yang berat, dan akhirnya, jalan menuju neraka. Ironisnya, Allah "memudahkan" mereka menuju kesukaran, bukan karena Allah menyukai kesengsaraan, tetapi karena pilihan mereka sendiri yang membawa mereka ke jalan itu, dan Allah membiarkan mereka dalam pilihan tersebut.
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.
Ayat ini memperingatkan orang-orang kikir dan sombong bahwa harta yang mereka kumpulkan dengan susah payah tidak akan berguna sedikit pun saat mereka binasa atau terjatuh ke dalam jurang kehancuran. "Taraddā" bisa diartikan sebagai binasa, jatuh ke dalam neraka, atau mati. Ketika seseorang meninggal dunia, hartanya tidak akan dapat menolongnya dari siksa kubur atau azab neraka. Bahkan di dunia, harta seringkali tidak dapat membeli kebahagiaan sejati, kesehatan, atau kedamaian jiwa. Ayat ini menegaskan bahwa nilai sejati harta bukan pada jumlahnya, melainkan pada bagaimana ia digunakan di jalan Allah. Harta yang tidak digunakan untuk kebaikan hanyalah beban dan akan menjadi saksi yang memberatkan pemiliknya di hari kiamat.
Sesungguhnya kamilah yang memberi petunjuk.
Setelah menjelaskan dua jalan yang berbeda dan konsekuensinya, Allah SWT menegaskan bahwa "Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk." Ayat ini mengklarifikasi bahwa Allah adalah sumber segala petunjuk dan Dia telah menyediakan jalan yang benar bagi manusia. Melalui Al-Qur'an dan para Rasul-Nya, Allah telah menunjukkan mana jalan kebaikan dan mana jalan keburukan. Jadi, tidak ada alasan bagi manusia untuk tersesat, karena petunjuk sudah tersedia dengan jelas. Pilihan untuk mengikuti atau menolak petunjuk itu ada di tangan manusia, dan Allah akan membalas sesuai dengan pilihan tersebut. Ayat ini juga bisa berarti bahwa tugas Allah-lah untuk menjelaskan kebenaran dan jalan menuju-Nya.
Dan sesungguhnya milik Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.
Allah SWT juga menegaskan bahwa "sesungguhnya milik Kamilah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia." Ini adalah pengingat akan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu. Dia adalah pemilik tunggal dan penguasa atas kehidupan di dunia ini (al-ūlā) dan kehidupan di akhirat kelak (al-ākhirah). Ayat ini memperkuat pesan bahwa manusia tidak dapat lepas dari kekuasaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati adalah mengikuti petunjuk-Nya untuk meraih kebahagiaan di kedua alam tersebut. Mengingkari atau menentang-Nya berarti menentang Pemilik segala sesuatu, yang pada akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri.
Maka Aku memperingatkan kamu dengan api (neraka) yang menyala-nyala.
Sebagai konsekuensi dari pilihan yang salah, Allah kemudian memberikan peringatan keras: "Maka Aku memperingatkan kamu dengan api (neraka) yang menyala-nyala." Kata "talaẓẓā" berarti sangat menyala-nyala, bergejolak, atau berkobar-kobar hebat. Peringatan ini adalah bentuk rahmat Allah agar manusia tidak terjerumus ke dalam azab yang pedih. Gambaran neraka yang dahsyat ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan mendorong manusia agar memilih jalan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Allah Maha Adil; Dia tidak akan menyiksa tanpa peringatan. Peringatan tentang api neraka ini adalah bagian dari petunjuk Allah untuk keselamatan manusia.
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
Ayat ini menjelaskan siapa yang akan menjadi penghuni api neraka yang menyala-nyala itu: "Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." "Al-asyqā" berarti orang yang paling celaka, paling sengsara, atau paling durhaka. Ini merujuk pada individu yang secara sadar dan terus-menerus memilih jalan kesesatan, mendustakan kebenaran, dan menentang perintah Allah, meskipun telah sampai kepadanya petunjuk. Mereka adalah orang-orang yang telah menumpuk dosa dan kejahatan sepanjang hidupnya, tanpa ada keinginan untuk bertaubat atau kembali ke jalan yang benar. Ayat ini menunjukkan bahwa azab neraka bukan untuk sembarang orang, melainkan bagi mereka yang telah mencapai puncak kekafiran dan kedurhakaan.
yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
Ayat ini semakin memperjelas ciri-ciri "orang yang paling celaka" itu: "yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)." Mendustakan kebenaran ("każżaba") berarti menolak ajaran Allah dan Rasul-Nya, tidak percaya pada Al-Qur'an, hari kiamat, atau janji-janji akhirat. Ini adalah kebalikan dari "membenarkan al-husnā" di ayat 6. Sedangkan "tawallā" berarti berpaling, membelakangi, atau menjauhi. Ini menggambarkan sikap enggan dan tidak mau menerima petunjuk, bahkan setelah kebenaran itu jelas di hadapan mereka. Mereka bukan hanya tidak percaya, tetapi juga secara aktif menjauhi dan menolak iman. Kombinasi mendustakan dan berpaling inilah yang menjadikan seseorang "yang paling celaka" dan berhak atas azab neraka.
Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,
Setelah memperingatkan tentang neraka dan penghuninya, Allah kembali memberikan harapan dan janji baik bagi golongan yang berlawanan: "Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa." "Al-atqā" berarti orang yang paling bertakwa, yaitu mereka yang paling konsisten dalam menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa berusaha membersihkan hati. Mereka adalah golongan pertama yang disebut di ayat 5-7. Allah menjamin bahwa orang-orang yang mencapai derajat takwa tertinggi ini akan dilindungi dan dijauhkan dari api neraka yang menyala-nyala. Ini adalah balasan yang adil bagi mereka yang telah memilih jalan ketaatan dan keikhlasan.
yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya),
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut tentang ciri-ciri "orang yang paling bertakwa" itu: "yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya)." "Yu'tī mālahū" berarti memberi atau menginfakkan hartanya. Infak di sini bukan hanya zakat wajib, tetapi juga sedekah sunah dan segala bentuk pengeluaran di jalan Allah. "Yatazakkā" berarti membersihkan dirinya, baik dari dosa, dari sifat kikir, maupun dari keterikatan duniawi yang berlebihan. Menginfakkan harta dengan niat tulus membersihkan diri adalah salah satu tanda takwa yang paling nyata. Harta adalah ujian bagi manusia; mereka yang mampu melepaskannya demi Allah menunjukkan tingkat keimanan dan ketakwaan yang tinggi, karena ia mendahulukan akhirat di atas dunia.
dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Ayat ini sangat penting untuk memahami keikhlasan dalam berinfak. "Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya." Ini berarti orang yang paling bertakwa itu berinfak bukan karena ingin membalas budi seseorang yang pernah berbuat baik kepadanya di masa lalu. Tindakannya murni tanpa pamrih atau motif duniawi. Ia tidak merasa berhutang budi kepada siapapun dalam hal materi, sehingga infaknya benar-benar tulus untuk Allah. Ayat ini secara spesifik merujuk pada kisah Abu Bakar yang membebaskan budak Bilal atau budak lainnya. Dia melakukannya bukan karena Bilal pernah memberinya nikmat, melainkan semata-mata karena Allah. Ini adalah standar tertinggi keikhlasan dalam beramal.
melainkan (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.
Ayat ini menyimpulkan esensi dari infak dan amal kebaikan orang yang paling bertakwa. Ia melakukan semua itu "melainkan (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi." "Ibtigā'a wajhi rabbihil-a‘lā" berarti mencari wajah (keridhaan) Tuhannya Yang Mahatinggi. Inilah inti dari keikhlasan: segala amal perbuatan dilakukan hanya demi Allah, tanpa mengharap pujian manusia, balasan duniawi, atau bahkan rasa terima kasih dari penerima. Tujuan satu-satunya adalah meraih keridhaan Allah, Sang Maha Agung, yang jauh lebih berharga daripada seluruh isi dunia. Niat murni ini adalah pembeda utama antara amal yang diterima dan yang ditolak, antara jalan kemudahan dan jalan kesukaran.
Dan kelak dia benar-benar akan puas.
Sebagai puncak janji dan balasan, Allah menutup surat ini dengan jaminan: "Dan kelak dia benar-benar akan puas." Kata "yarḍā" berarti puas, ridha, atau bahagia. Kepuasan ini adalah kepuasan yang sempurna dan abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, ia akan merasakan ketenangan jiwa, keberkahan, dan kebahagiaan batin. Di akhirat, ia akan mendapatkan surga dengan segala kenikmatannya, dan yang terpenting, ia akan mendapatkan keridhaan Allah. Ini adalah janji bahwa Allah akan membalas setiap amal baik dengan balasan yang jauh melebihi apa yang bisa dibayangkan. Orang yang berinfak ikhlas akan merasakan kepuasan yang tiada tara, bahkan mungkin mereka akan puas dengan janji Allah sebelum mereka melihatnya, karena keyakinan mereka yang teguh. Ayat ini memberikan penutup yang indah, penuh harapan, dan motivasi bagi para pelaku kebaikan.
Surat Al-Lail, meskipun pendek, mengandung banyak keutamaan dan hikmah yang sangat relevan bagi kehidupan seorang muslim. Membacanya dengan tadabbur (merenungkan maknanya) dan mengamalkan ajarannya dapat membawa banyak manfaat.
Hikmah paling fundamental dari surat ini adalah penegasan tentang dua jalan kehidupan yang berbeda dan konsekuensinya yang jelas. Surat ini dengan gamblang menjelaskan bahwa setiap usaha manusia, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan yang setimpal. Ini adalah pengingat konstan akan keadilan ilahi dan pentingnya memilih jalan kebaikan.
Pemahaman ini mendorong kita untuk selalu instrospeksi diri, memastikan bahwa usaha kita mengarah pada kemudahan yang dijanjikan Allah.
Surat Al-Lail sangat menekankan pentingnya memberi dan berinfak di jalan Allah. Ayat 5-7 dan 18-20 secara spesifik memuji orang-orang yang rela mengorbankan hartanya, bukan karena balasan manusia atau pujian, melainkan semata-mata mencari ridha Allah. Kisah Abu Bakar As-Siddiq sebagai asbabun nuzul semakin menguatkan pesan ini. Keutamaan berinfak dalam Islam adalah sarana membersihkan jiwa dari sifat kikir dan mendidik hati untuk peduli terhadap sesama. Infak yang tulus akan mendatangkan keberkahan, kemudahan rezeki, dan pahala yang berlipat ganda.
Takwa adalah kunci utama untuk meraih kemudahan dan dijauhkan dari neraka. Surat ini menunjukkan bahwa takwa bukan hanya sekadar ritual, tetapi sebuah gaya hidup yang mencakup tindakan nyata seperti berinfak dengan ikhlas. Keikhlasan, sebagaimana dijelaskan di ayat 19-20, adalah melakukan amal semata-mata karena mencari Wajah Allah Yang Mahatinggi, tanpa mengharapkan pamrih dari siapapun. Ini adalah level tertinggi dalam beribadah yang akan membuahkan kepuasan abadi.
Di sisi lain, surat ini juga memperingatkan dengan keras bahaya sifat kikir (bakhl) dan merasa cukup (istighna) dari Allah. Kekikiran bukan hanya menghambat rezeki, tetapi juga mengeraskan hati dan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Merasa cukup tanpa Allah adalah bentuk kesombongan yang paling berbahaya, karena menafikan kekuasaan dan kasih sayang Allah. Surat ini menegaskan bahwa harta benda tidak akan berguna sedikitpun di akhirat jika tidak digunakan di jalan yang benar.
Dengan menyebutkan balasan surga (kemudahan) dan neraka (kesukaran), Surat Al-Lail secara tidak langsung memperkuat keimanan akan adanya hari kebangkitan dan perhitungan amal. Keyakinan akan adanya kehidupan setelah mati dan balasan yang adil dari Allah adalah motivasi terbesar bagi seorang muslim untuk senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.
Ayat 12 dan 13 menegaskan bahwa Allah-lah yang memberi petunjuk dan milik-Nyalah dunia dan akhirat. Ini mengingatkan manusia akan keterbatasan mereka dan kekuasaan mutlak Allah. Tugas manusia adalah memilih untuk mengikuti petunjuk yang telah Allah berikan, sedangkan balasan dan pengadilan adalah hak mutlak Allah.
Surat Al-Lail memiliki kaitan yang erat dengan surat-surat lain di Juz Amma, khususnya yang mendahului dan mengikutinya, seperti Asy-Syams dan Adh-Dhuha. Ada benang merah yang menghubungkan tema-tema dalam surat-surat ini, yang semuanya bertujuan untuk menuntun manusia pada keimanan dan akhlak mulia.
Banyak surat Makkiyah di Juz Amma, termasuk Al-Lail, Asy-Syams, Adh-Dhuha, dan Al-Fajr, dimulai dengan sumpah atas fenomena alam (matahari, bulan, siang, malam, fajar, dhuha). Sumpah-sumpah ini berfungsi untuk menarik perhatian manusia pada tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di sekeliling mereka, dan kemudian mengaitkannya dengan kebenaran-kebenaran fundamental tentang manusia dan takdirnya.
Sumpah-sumpah ini menegaskan bahwa ada keteraturan dan tujuan di balik penciptaan alam semesta, dan manusia juga memiliki tujuan dan tanggung jawab.
Baik Surat Al-Lail maupun Asy-Syams, dan bahkan Adh-Dhuha, secara konsisten membahas tema pilihan yang dimiliki manusia dan konsekuensi dari pilihan tersebut. Al-Lail berbicara tentang dua jalan (kemudahan dan kesukaran) berdasarkan amal (memberi/bertakwa vs. kikir/mendustakan). Asy-Syams membahas tentang inspirasi Allah kepada jiwa untuk berbuat fujur (kejahatan) dan takwa (kebaikan), dan bahwa barangsiapa menyucikan jiwanya akan beruntung, sedangkan yang mengotorinya akan merugi. Adh-Dhuha meskipun lebih menenangkan Nabi SAW, juga mengandung pesan tentang balasan Allah bagi kesabaran dan keikhlasan.
Kesamaan tema ini menunjukkan bahwa inti pesan Al-Qur'an adalah tentang kebebasan berkehendak manusia dan pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya di hadapan Allah.
Surat Al-Lail menekankan akhlak mulia seperti kedermawanan dan ketakwaan, serta memperingatkan dari akhlak buruk seperti kekikiran dan kesombongan. Surat-surat lain di Juz Amma juga seringkali menyoroti pentingnya akhlak dalam Islam. Misalnya, Surat Al-Ma'un mengkritik orang yang enggan menolong orang miskin dan lalai dalam salat. Surat Al-Humazah mencela orang-orang yang suka mencela dan mengumpat serta menumpuk harta tanpa menginfakkannya. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak hanya mengajarkan akidah, tetapi juga panduan praktis untuk membangun masyarakat yang beradab dan individu yang saleh.
Seluruh surat-surat pendek ini secara kolektif mengingatkan manusia akan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Dari penciptaan alam semesta hingga penetapan nasib manusia, semuanya berada dalam kendali Allah. Pengingat ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa takut (khawf) dan harap (raja') kepada Allah, serta mendorong manusia untuk berserah diri dan hanya bergantung kepada-Nya.
Membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Qur'an adalah amalan yang sangat dianjurkan. Berikut beberapa tips untuk membantu Anda dalam proses ini, khususnya untuk Surat Al-Lail:
Mulailah dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah SWT. Niat yang bersih akan memudahkan Anda dalam setiap proses dan mendatangkan keberkahan.
Dengarkan bacaan qari yang baik secara berulang-ulang, dan ikuti bacaannya. Ulangi setiap ayat beberapa kali sampai Anda merasa yakin dengan pelafalannya. Kemudian, ulangi surat ini secara keseluruhan. Teknologi modern seperti aplikasi Al-Qur'an di ponsel sangat membantu dalam hal ini.
Sebelum menghafal, luangkan waktu untuk memahami terjemahan setiap ayat. Dengan mengetahui artinya, hafalan akan lebih mudah melekat dan Anda akan lebih termotivasi. Artikel ini telah menyediakan tafsir ayat per ayat untuk membantu Anda.
Jika Anda belum fasih membaca huruf Arab, gunakan transliterasi Latin sebagai alat bantu sementara. Namun, tetap usahakan untuk belajar membaca huruf Arab aslinya, karena itulah bentuk bacaan Al-Qur'an yang paling tepat.
Surat Al-Lail memiliki 21 ayat. Anda bisa membagi hafalan menjadi beberapa bagian, misalnya 3-5 ayat per hari atau sesuai kemampuan. Setelah berhasil menghafal beberapa ayat, gabungkan dan ulangi kembali.
Jangan lupakan muraja'ah. Setelah menghafal, ulangi hafalan Anda secara rutin, baik dalam salat maupun di luar salat. Ini akan menguatkan hafalan Anda dan mencegahnya hilang.
Poin terpenting adalah mengamalkan ajaran yang terkandung dalam Surat Al-Lail:
Dengan mengamalkan ini, Anda tidak hanya mendapatkan pahala membaca dan menghafal, tetapi juga keberkahan dalam hidup dan jalan kemudahan di dunia dan akhirat.
Surat Al-Lail adalah surat agung yang mengingatkan kita akan dualitas pilihan hidup dan konsekuensinya. Dengan sumpah-sumpah yang kuat atas fenomena alam, Allah SWT menegaskan bahwa setiap usaha manusia akan berbuah sesuai dengan niat dan perbuatannya. Surat ini menjadi panduan yang jelas bagi kita untuk memilih jalan kedermawanan, ketakwaan, dan keikhlasan, demi meraih kemudahan dan kepuasan abadi di sisi-Nya. Marilah kita jadikan Surat Al-Lail sebagai pengingat dan motivasi untuk selalu berbuat yang terbaik di setiap langkah kehidupan.