Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, memiliki cadangan batu bara gambut (peat coal) yang signifikan. Berbeda dengan batu bara sub-bituminus atau lignit biasa, batu bara gambut terbentuk dari akumulasi material organik yang terdekomposisi sebagian di lingkungan rawa gambut yang jenuh air dalam jangka waktu geologis yang sangat panjang. Karakteristik utamanya adalah kandungan air yang sangat tinggi dan nilai kalor yang cenderung lebih rendah dibandingkan batu bara berkualitas tinggi.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ini menimbulkan dilema besar. Di satu sisi, energi fosil ini merupakan bagian penting dari bauran energi nasional saat ini untuk menjaga stabilitas pasokan listrik. Di sisi lain, eksploitasi lahan gambut membawa risiko lingkungan yang jauh lebih besar daripada penambangan batu bara di lahan mineral biasa. Gambut berfungsi sebagai spons raksasa yang menyimpan karbon dalam jumlah masif, seringkali melebihi apa yang tersimpan di hutan tropis di atasnya.
Kadar air yang tinggi pada gambut mentah bisa mencapai 60% hingga 80%. Hal ini memerlukan proses pengeringan (dewatering) yang intensif sebelum dapat diolah lebih lanjut atau dibakar di pembangkit listrik. Proses penambangan seringkali melibatkan pengeringan area gambut yang luas. Ketika gambut terpapar udara setelah drainase, proses dekomposisi yang biasanya lambat menjadi sangat cepat, menyebabkan lahan amblas dan pelepasan emisi karbon dioksida (CO2) dalam skala besar ke atmosfer.
Isu paling krusial terkait batu bara gambut adalah kebakaran. Gambut yang kering sangat rentan terbakar, dan jika api menjalar di bawah permukaan (kebakaran bawah tanah), api tersebut dapat menyala selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Kebakaran gambut tidak hanya menghancurkan cadangan energi masa depan tetapi juga menghasilkan kabut asap (asap asap lintas batas) yang berdampak parah pada kesehatan masyarakat, ekosistem, dan kerugian ekonomi regional. Mengingat peran vital gambut dalam siklus hidrologi dan penyimpanan karbon, membiarkan atau mendorong degradasi gambut demi ekstraksi energi jangka pendek adalah pertaruhan ekologis yang sangat mahal.
Meskipun tantangan lingkungannya besar, potensi cadangan yang ada mendorong penelitian untuk mencari metode pemanfaatan yang lebih bersih. Salah satu fokus utama adalah peningkatan mutu (upgrading) batu bara gambut. Teknologi seperti gasifikasi atau piralisis bertujuan untuk mengubah senyawa organik kompleks dalam gambut menjadi produk yang lebih mudah dikelola, seperti gas sintetik atau minyak bio-karbon, yang berpotensi memiliki nilai kalor lebih tinggi.
Namun, implementasi teknologi ini memerlukan investasi besar dan harus diimbangi dengan regulasi ketat mengenai restorasi lahan pasca-tambang. Prioritas keberlanjutan menuntut agar setiap rencana penambangan harus disertai dengan strategi manajemen air yang ketat untuk menjaga muka air tanah di sekitar area gambut tetap tinggi. Transisi energi global mendorong pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil secara umum, termasuk batu bara gambut. Oleh karena itu, fokus jangka panjang harus bergeser pada pemanfaatan lahan gambut secara berkelanjutan, misalnya melalui budidaya *silvopasture* (pertanian dengan sistem agroforestri), yang terbukti lebih efektif dalam mengunci karbon dibandingkan membiarkannya kering dan rentan terbakar.
Kesimpulannya, keberadaan batu bara gambut menempatkan Indonesia pada persimpangan jalan antara kebutuhan energi jangka pendek dan tanggung jawab lingkungan global jangka panjang. Keputusan strategis harus mempertimbangkan bahwa biaya lingkungan dari degradasi gambut seringkali jauh melampaui nilai ekonomis dari energi yang dihasilkan.