Kematian adalah takdir yang pasti akan menimpa setiap yang bernyawa. Sebagai umat beragama, khususnya Muslim, kita diajarkan untuk senantiasa mendoakan dan melakukan amal kebaikan bagi mereka yang telah mendahului kita menghadap Sang Pencipta. Salah satu praktik yang sering dilakukan adalah "mengirim" atau "menghadiahkan" bacaan Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal dunia. Praktik ini telah menjadi bagian dari tradisi di banyak komunitas Muslim, namun tidak jarang menimbulkan pertanyaan dan diskusi mengenai landasan syar'inya.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai tata cara, hukum, dalil, serta berbagai pandangan ulama terkait pengiriman Al-Fatihah dan amalan-amalan lainnya untuk orang meninggal. Tujuan utama adalah memberikan pemahaman yang komprehensif agar umat Muslim dapat menjalankan ibadah dengan keyakinan yang kuat, sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Sebelum membahas secara spesifik tentang Al-Fatihah, penting untuk memahami terlebih dahulu konsep pahala dan amalan yang dapat sampai kepada orang yang telah meninggal dunia dalam ajaran Islam. Secara umum, setelah seseorang meninggal dunia, terputuslah seluruh amal perbuatannya kecuali tiga hal:
Hadis Rasulullah ﷺ yang masyhur ini menjadi landasan utama mengenai terputusnya amal. Namun, para ulama juga membahas adanya amalan-amalan lain yang pahalanya bisa sampai kepada mayit berdasarkan dalil-dalil lain, atau melalui qiyas (analogi) dari dalil-dalil yang ada. Konsep ini dikenal sebagai isyaluts tsawab, yaitu "menyampaikan pahala".
Beberapa ulama berpendapat bahwa pahala dari berbagai jenis ibadah dapat dihadiahkan kepada mayit, dengan syarat niat yang jelas dari si pengirim. Dalil yang menjadi pegangan adalah keumuman ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang mendorong untuk berbuat baik kepada orang tua atau sesama Muslim, baik saat hidup maupun setelah meninggal. Beberapa hadis mengindikasikan bahwa amal-amal tertentu bisa sampai kepada mayit:
Perbedaan pandangan muncul ketika membahas apakah pahala bacaan Al-Quran secara umum, atau Al-Fatihah secara khusus, termasuk dalam kategori "amal yang sampai" ini. Ini adalah inti dari pembahasan kita.
Al-Fatihah adalah surat pertama dalam Al-Quran dan memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Tidak ada surat lain yang menyamai kemuliaan dan keutamaannya.
Dengan keutamaan-keutamaan ini, tidak heran jika umat Islam sangat familiar dan memiliki kedekatan emosional dengan Surat Al-Fatihah. Oleh karena itu, muncul praktik membacanya untuk berbagai keperluan, termasuk dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia.
Pembahasan mengenai hukum mengirim Al-Fatihah atau bacaan Al-Quran lainnya kepada mayit adalah salah satu isu yang telah lama diperdebatkan di kalangan ulama. Ada dua pandangan utama yang berkembang:
Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki (dengan beberapa pengecualian), Syafi'i (terutama dalam pandangan yang kuat), dan Hanbali berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Quran, termasuk Al-Fatihah, dapat sampai kepada mayit jika diniatkan untuknya. Mereka berdalil dengan beberapa argumen:
Al-Quran dan Hadis secara eksplisit memerintahkan kita untuk berdoa bagi orang-orang mukmin, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Doa adalah inti ibadah, dan jika doa secara umum dapat sampai kepada mayit, mengapa bacaan Al-Quran yang juga merupakan zikir dan doa tidak?
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 10)
Ayat ini menunjukkan bahwa doa kita untuk orang-orang beriman yang telah meninggal adalah sesuatu yang diperintahkan dan dianjurkan.
Ulama yang membolehkan melakukan qiyas terhadap amal-amal lain yang secara jelas disebutkan dapat sampai kepada mayit, seperti sedekah, puasa, dan haji/umrah badal. Jika pahala sedekah yang berupa harta benda bisa sampai, maka pahala bacaan Al-Quran yang merupakan ibadah lisan dan hati seharusnya juga bisa sampai, bahkan lebih utama.
Dari dalil-dalil ini, mereka menyimpulkan bahwa jika ibadah-ibadah yang disebutkan di atas bisa sampai pahalanya, maka bacaan Al-Quran juga bisa, asalkan diniatkan dan dihadiahkan kepada mayit.
Meskipun tidak ada hadis secara eksplisit yang menyatakan Nabi ﷺ atau para sahabat secara rutin membaca Al-Fatihah atau surat lain lalu menghadiahkan pahalanya kepada mayit, namun ada riwayat dan praktik dari sebagian tabi'in dan ulama salaf yang menunjukkan kebolehan ini. Misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal disebutkan pernah membolehkan membaca Al-Quran di kuburan dan berdoa agar pahalanya sampai kepada mayit. Imam Syafi'i, meskipun pandangan awalnya sedikit berbeda, kemudian cenderung kepada kebolehan ini melalui murid-muridnya.
Pada dasarnya, yang menyampaikan pahala adalah Allah SWT. Ketika seseorang membaca Al-Fatihah atau surat lain dengan niat tulus untuk dihadiahkan kepada mayit, ia sedang berdoa dan memohon kepada Allah agar pahala dari amal baiknya itu disampaikan kepada si mayit. Allah Maha Luas rahmat-Nya, dan jika Dia berkehendak, Dia pasti akan menyampaikannya.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan ulama muta'akhirin (kontemporer) dan beberapa ulama klasik, berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Quran tidak sampai kepada mayit. Mereka mendasarkan pandangan ini pada:
Argumen utama mereka adalah tidak adanya contoh atau perintah yang jelas dari Nabi ﷺ atau para sahabat untuk membaca Al-Fatihah atau surat-surat Al-Quran lainnya lalu menghadiahkan pahalanya kepada mayit secara rutin. Jika hal itu adalah kebaikan, pasti Nabi ﷺ dan para sahabat telah melakukannya dan mengajarkannya kepada umat.
Mereka berpegang pada kaidah "ibadah itu tawqifiyyah," artinya harus berdasarkan nash (dalil) yang jelas dan spesifik. Karena tidak ada dalil khusus, maka praktik ini dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat.
Mereka memaknai hadis "Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara..." secara harfiah dan umum, sehingga semua amalan selain tiga hal tersebut dianggap tidak sampai pahalanya kepada mayit. Bacaan Al-Quran yang dihadiahkan tidak termasuk dalam kategori sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, maupun doa anak saleh (karena bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya anak).
Ulama yang berpandangan ini khawatir bahwa praktik menghadiahi Al-Fatihah atau bacaan Al-Quran lainnya dapat mengarah pada bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi ﷺ). Terutama jika praktik tersebut diiringi dengan ritual-ritual tertentu, pengkhususan waktu dan tempat, atau keyakinan bahwa itu adalah suatu keharusan dalam agama.
Mereka menekankan bahwa ibadah harus murni sesuai sunnah. Jika tidak ada contoh, maka sebaiknya tidak dilakukan untuk menghindari penambahan dalam agama.
Mengingat adanya perbedaan pendapat yang kuat di kalangan ulama, sikap yang paling bijak adalah memahami kedua sisi argumen. Bagi yang meyakini bahwa pahala bacaan Al-Quran bisa sampai kepada mayit, mereka diperbolehkan melakukannya dengan niat yang ikhlas dan tanpa menganggapnya sebagai suatu kewajiban syar'i yang mutlak atau ritual yang mengikat. Bagi yang tidak meyakini, mereka bisa fokus pada amalan-amalan yang pahalanya secara pasti sampai kepada mayit, seperti berdoa secara umum, bersedekah atas nama mayit, atau melunasi hutang mayit.
Penting untuk diingat bahwa tujuan utama adalah mendoakan kebaikan bagi mayit dan mendekatkan diri kepada Allah. Perbedaan dalam tata cara tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan, melainkan pengayaan khazanah keilmuan Islam.
Bagi Anda yang memilih untuk mengirimkan Al-Fatihah atau bacaan Al-Quran lainnya untuk orang meninggal, berikut adalah tata cara yang disarankan, berdasarkan pandangan ulama yang membolehkan:
Ini adalah poin terpenting. Niatkan dengan tulus dalam hati bahwa Anda membaca Al-Fatihah ini semata-mata karena Allah, dan pahala dari bacaan tersebut Anda hadiahkan kepada fulan bin fulan (sebut nama almarhum/almarhumah).
Sebelum memulai bacaan Al-Fatihah, dianjurkan untuk membaca:
Bacalah ketujuh ayat Surat Al-Fatihah dengan tartil (pelan dan benar), memahami maknanya, dan meresapi setiap kalimatnya. Fokuslah pada bacaan dan permohonan Anda.
Setelah selesai membaca Al-Fatihah, Anda bisa mengulangi niat Anda dalam bentuk doa, memohon kepada Allah SWT agar pahala bacaan tersebut disampaikan kepada mayit.
Tidak ada pengkhususan waktu atau tempat tertentu untuk mengirim Al-Fatihah. Anda bisa melakukannya kapan saja dan di mana saja. Namun, beberapa momen yang baik untuk berdoa adalah:
Selain Al-Fatihah atau bacaan Al-Quran, ada banyak amalan lain yang pahalanya secara lebih pasti sampai kepada mayit, berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Menganjurkan amalan-amalan ini adalah lebih utama karena kesepakatan ulama tentang sampainya pahalanya.
Ini adalah amalan yang paling jelas dan disepakati oleh semua ulama. Doa dari seorang Muslim untuk Muslim lainnya, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, adalah ibadah yang sangat mulia.
Contoh doa: "Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu anhu wa akrim nuzulahu wa wassi' madkhalahu..." (Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, sejahterakanlah dia, dan maafkanlah dia. Muliakanlah tempatnya dan luaskanlah kuburnya...)
Pahala sedekah yang diniatkan untuk mayit akan sampai kepadanya, dan ini adalah salah satu amalan yang paling dianjurkan.
Hutang adalah hak adami yang sangat penting dalam Islam. Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang, baik kepada Allah (seperti nazar, puasa wajib yang tertinggal, atau haji) maupun kepada manusia, maka ahli waris berkewajiban untuk melunasinya.
Melunasi hutang mayit akan membebaskannya dari tanggungan di akhirat dan sangat penting bagi kenyamanan mayit di alam kubur.
Jika seseorang meninggal dunia dan ia memiliki kewajiban haji (sudah mampu secara finansial dan fisik saat hidup) tetapi belum sempat melaksanakannya, maka ahli warisnya diperbolehkan untuk menghajikannya atau mengumrahkannya (badal haji/umrah) dengan syarat orang yang membadalkan sudah pernah haji/umrah untuk dirinya sendiri.
Berbuat baik kepada keluarga, kerabat, dan teman-teman dekat almarhum/almarhumah setelah ia meninggal dunia adalah bentuk bakti dan kebaikan yang pahalanya juga akan sampai kepadanya.
Bagi ulama yang membolehkan sampainya pahala bacaan Al-Quran, maka membaca seluruh Al-Quran atau surat-surat tertentu selain Al-Fatihah, lalu menghadiahkan pahalanya kepada mayit juga termasuk amalan yang bisa dilakukan. Niatnya sama dengan mengirim Al-Fatihah.
Dalam praktik "mengirim" Al-Fatihah atau amalan untuk orang meninggal, seringkali muncul beberapa kesalahpahaman yang perlu diluruskan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
Beberapa orang mungkin memiliki persepsi bahwa membaca Al-Fatihah atau tahlil (gabungan bacaan Al-Quran dan zikir) untuk mayit adalah suatu kewajiban atau rukun yang harus dilakukan saat ada kematian. Ini adalah kesalahpahaman. Seperti yang dijelaskan, praktik ini adalah amal tambahan yang bersifat sunnah (anjuran) bagi yang meyakini sampainya pahala, dan bukan suatu kewajiban yang berdosa jika ditinggalkan.
Ritual-ritual seperti tahlilan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seterusnya, bukanlah bagian dari ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi ﷺ dan para sahabat. Meskipun niatnya baik (mendoakan mayit), namun pengkhususan waktu dan ritual tertentu bisa mengarah pada bid'ah. Lebih baik berdoa atau bersedekah kapan saja tanpa terikat ritual buatan.
Al-Fatihah adalah surat yang agung, namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa membacanya secara khusus untuk mayit akan secara otomatis membukakan pintu surga baginya. Keselamatan mayit di akhirat bergantung pada amal perbuatannya sendiri semasa hidup, rahmat Allah, dan syafaat dari Nabi ﷺ serta doa-doa yang sampai kepadanya.
Al-Fatihah adalah bagian dari doa dan zikir, yang diharapkan dapat menjadi sebab turunnya rahmat dan ampunan Allah bagi mayit, bukan jaminan mutlak surga.
Setiap amal ibadah harus didasari niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Jika "mengirim" Al-Fatihah atau amalan lain dilakukan dengan tujuan pamer, mencari pujian manusia, atau mengikuti tradisi semata tanpa keikhlasan, maka pahalanya bisa sirna. Keikhlasan adalah kunci diterimanya amal.
Hindari pula anggapan bahwa semakin banyak orang yang berkumpul dan membaca, semakin besar pahalanya. Kualitas bacaan, kekhusyukan, dan keikhlasan individu lebih penting daripada jumlah orang atau kemegahan acara.
Meskipun kita bisa beramal untuk mayit, ini tidak berarti kita bisa menggantikan kewajiban-kewajiban yang semestinya dilakukan oleh mayit semasa hidup. Misalnya, jika mayit meninggalkan shalat wajib, tidak ada orang yang bisa menggantikannya shalat. Jika mayit meninggalkan zakat, ahli waris wajib menunaikannya dari hartanya, tetapi bukan berarti orang lain bisa menunaikan zakatnya sebagai amal tambahan untuknya setelah mati.
Amal yang sampai kepada mayit adalah amal tambahan yang diniatkan untuknya, atau pelunasan hak-hak yang memang boleh diwakilkan/dilunasi oleh orang lain.
Terkadang, karena terlalu fokus pada satu praktik seperti "mengirim" Al-Fatihah atau tahlilan, kita bisa melupakan amalan-amalan lain yang lebih jelas dan lebih besar manfaatnya bagi mayit, seperti sedekah jariyah, melunasi hutang, atau doa yang tulus. Penting untuk menempatkan prioritas pada amalan yang paling sahih dalilnya dan paling bermanfaat.
Bagi mereka yang meyakini sampainya pahala, praktik "mengirim" Al-Fatihah dan amalan lainnya memiliki manfaat besar, baik bagi mayit maupun bagi yang masih hidup.
Praktik "mengirim" Surat Al-Fatihah untuk orang meninggal adalah salah satu bentuk ikhtiar seorang Muslim untuk mendoakan dan berbuat kebaikan bagi mereka yang telah tiada. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai sampainya pahala bacaan Al-Quran secara khusus, mayoritas ulama cenderung membolehkannya, dengan syarat niat yang tulus dan tanpa menganggapnya sebagai kewajiban mutlak atau diiringi ritual yang tidak syar'i.
Penting untuk selalu berpegang pada esensi ajaran Islam, yaitu keikhlasan dalam beribadah dan mengikuti sunnah Nabi ﷺ semampu kita. Jika Anda memilih untuk melakukan praktik ini, lakukanlah dengan hati yang bersih, memahami maknanya, dan menyerahkan sepenuhnya hasil kepada Allah SWT.
Namun, jangan sampai praktik ini mengalihkan perhatian dari amalan-amalan lain yang lebih pasti sampainya pahala, seperti doa secara umum, sedekah jariyah, melunasi hutang mayit, atau haji badal. Kombinasi dari berbagai amal kebaikan ini akan lebih maksimal dalam memberikan manfaat bagi mayit dan juga bagi kita yang masih hidup.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada seluruh umat Muslim yang telah mendahului kita, serta membimbing kita semua untuk selalu beramal saleh dan berbakti kepada sesama.