Hukum Pembacaan Surat Pendek di Rakaat Ketiga dan Keempat Shalat

Mendalami sunnah, hikmah, dan perbedaan pandangan ulama dalam pelaksanaan shalat fardhu.

Pendahuluan: Pentingnya Memahami Shalat

Shalat adalah tiang agama, sebuah ibadah yang sangat fundamental dalam Islam, menjadi jembatan komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakan, bacaan, dan rukun dalam shalat memiliki makna mendalam dan hikmah yang agung. Oleh karena itu, memahami tata cara shalat dengan benar adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim. Pemahaman yang komprehensif akan membantu kita melaksanakan shalat dengan khusyu' dan mencapai kesempurnaan ibadah.

Namun, dalam praktiknya, seringkali muncul pertanyaan dan perbedaan pemahaman mengenai detail-detail tertentu dalam shalat. Salah satu pertanyaan yang cukup sering diajukan dan menjadi topik diskusi di kalangan umat adalah mengenai hukum membaca surat pendek setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat dalam shalat fardhu. Apakah hal tersebut disunnahkan, dibolehkan, atau justru tidak dianjurkan? Artikel ini akan mengupas tuntas masalah ini berdasarkan dalil-dalil syar'i, pandangan ulama dari berbagai madzhab, serta hikmah di balik ketentuan tersebut, agar kita dapat menjalankan ibadah shalat dengan lebih yakin dan sesuai tuntunan.

Struktur Dasar Shalat dan Pembagian Rakaat

Sebelum membahas lebih jauh mengenai rakaat ketiga dan keempat, penting untuk terlebih dahulu memahami struktur dasar shalat secara umum. Shalat, baik fardhu maupun sunnah, terdiri dari serangkaian gerakan dan bacaan yang membentuk satu kesatuan yang disebut rakaat. Jumlah rakaat bervariasi tergantung jenis shalatnya, seperti shalat Subuh (dua rakaat), Zuhur, Ashar, dan Isya (empat rakaat), serta Maghrib (tiga rakaat).

Setiap rakaat pada dasarnya memiliki elemen-elemen inti sebagai berikut:

  1. Takbiratul Ihram: Memulai shalat dengan takbir.
  2. Berdiri (Qiyam): Posisi berdiri tegak.
  3. Membaca Surat Al-Fatihah: Merupakan rukun shalat yang wajib dibaca di setiap rakaat.
  4. Membaca Surat atau Ayat Al-Qur'an (setelah Al-Fatihah): Disunnahkan pada rakaat pertama dan kedua shalat fardhu, dan pada semua rakaat shalat sunnah.
  5. Ruku': Membungkuk dengan tuma'ninah.
  6. I'tidal: Bangkit dari ruku'.
  7. Sujud: Bersujud dengan tujuh anggota badan menyentuh tanah.
  8. Duduk di antara Dua Sujud: Duduk sebentar di antara dua sujud.
  9. Sujud Kedua: Sujud yang kedua.
  10. Duduk Tasyahhud (Awal/Akhir): Duduk untuk membaca tasyahhud, di rakaat kedua (untuk tasyahhud awal) dan rakaat terakhir (untuk tasyahhud akhir).
  11. Salam: Mengakhiri shalat.

Dari elemen-elemen di atas, fokus kita adalah pada poin nomor empat, yaitu pembacaan surat atau ayat Al-Qur'an setelah Al-Fatihah, khususnya penerapannya pada rakaat ketiga dan keempat.

Ilustrasi Muslimah sedang shalat berdiri (Qiyam)

Ilustrasi seorang Muslim sedang melaksanakan shalat dalam posisi berdiri (qiyam), melambangkan salah satu rukun utama shalat.

Pembacaan di Rakaat Pertama dan Kedua Shalat Fardhu

Pada rakaat pertama dan kedua shalat fardhu, seluruh ulama sepakat bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim untuk membaca surat pendek atau beberapa ayat Al-Qur'an setelah menyelesaikan bacaan Surat Al-Fatihah. Hal ini didasarkan pada praktik Rasulullah ﷺ yang senantiasa melakukannya. Banyak hadits yang meriwayatkan tentang panjangnya bacaan beliau pada dua rakaat pertama shalat fardhu.

Misalnya, dalam shalat Subuh, beliau terkadang membaca surat-surat yang agak panjang seperti Surat Al-Waqi'ah atau Ar-Rahman. Untuk shalat Zuhur dan Ashar, beliau membaca surat-surat yang panjangnya sedang, dan pada Maghrib seringkali membaca surat-surat pendek. Ini menunjukkan bahwa membaca surat setelah Al-Fatihah di rakaat pertama dan kedua adalah bagian dari kesempurnaan shalat dan merupakan sunnah yang sangat ditekankan.

Hikmah di balik pensyariatan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada jamaah agar dapat mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an secara langsung dari imam, merenungkan maknanya, dan mengambil pelajaran darinya. Bagi yang shalat sendirian, kesempatan ini juga digunakan untuk tadabbur dan memperpanjang munajat kepada Allah SWT.

Fokus Utama: Pembacaan di Rakaat Ketiga dan Keempat Shalat Fardhu

Inilah inti dari pembahasan kita. Mengenai pembacaan surat pendek setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu (seperti Zuhur, Ashar, dan Isya), terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama yang perlu kita pahami.

Pandangan Mayoritas Ulama (Madzhab Syafi'i, Maliki, Hanbali)

Mayoritas ulama dari madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu, yang disunnahkan adalah cukup membaca Surat Al-Fatihah saja. Mereka tidak menganjurkan untuk membaca surat pendek tambahan setelah Al-Fatihah.

Dalil utama yang mereka gunakan adalah praktik Rasulullah ﷺ. Dari berbagai hadits yang menggambarkan tata cara shalat Nabi, tidak ditemukan riwayat yang secara eksplisit menyebutkan bahwa beliau membaca surat tambahan setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu. Sebaliknya, riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa beliau memperpanjang bacaan di dua rakaat pertama dan mempersingkat bacaan di dua rakaat terakhir, hanya dengan Al-Fatihah atau terkadang hanya sedikit tambahan jika ada.

Dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rib'i Al-Anshari radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, "Nabi ﷺ shalat Zuhur, dan beliau membaca surat pada dua rakaat pertama dan membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir. Beliau mempersingkat rakaat terakhir daripada yang pertama, demikian pula pada shalat Ashar, dan pada shalat Subuh beliau memperpanjang bacaan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini secara jelas mengindikasikan bahwa pada rakaat ketiga dan keempat shalat Zuhur (dan qiyasnya ke shalat Ashar dan Isya), Rasulullah ﷺ hanya membaca Al-Fatihah. Frasa "membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir" ini menjadi landasan kuat bagi mayoritas ulama.

Dengan demikian, menurut pandangan ini, jika seseorang membaca surat pendek setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga atau keempat shalat fardhu, shalatnya tetap sah, namun ia telah meninggalkan sunnah dan tidak mendapatkan keutamaan dari mengikuti tuntunan Nabi secara tepat dalam hal ini. Ini bukan berarti makruh atau haram, melainkan lebih baik ditinggalkan untuk mengikuti praktik Nabi.

Pandangan Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka berpendapat bahwa membaca Al-Fatihah saja pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu adalah sunnah. Namun, mereka juga menyatakan bahwa membaca surat atau beberapa ayat setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat bukanlah hal yang dilarang atau makruh. Bahkan, sebagian riwayat dari madzhab ini menyebutkan bahwa jika seseorang ingin membaca surat, itu dibolehkan, asalkan tidak terlalu panjang sehingga membebani jamaah jika ia seorang imam.

Dalil mereka didasarkan pada keumuman perintah membaca Al-Qur'an dalam shalat dan tidak adanya larangan tegas untuk membaca surat di rakaat terakhir. Bagi mereka, Al-Fatihah adalah rukun bacaan, sementara surat tambahan adalah sunnah. Jika seseorang memilih untuk menambah, itu tidak mengurangi keabsahan shalatnya. Namun, tetap saja, praktik yang paling utama (afdal) menurut madzhab ini adalah membaca Al-Fatihah saja, mengikuti sunnah Nabi.

Perbedaan ini muncul dari interpretasi terhadap hadits-hadits tentang tata cara shalat Nabi. Madzhab Hanafi cenderung melihat bahwa ketiadaan riwayat spesifik tentang pembacaan surat di rakaat akhir bukan berarti larangan, melainkan mungkin hanya kebiasaan Nabi untuk meringankan, atau untuk membedakan antara rakaat awal yang merupakan permulaan shalat dengan rakaat akhir yang merupakan penyelesaian.

Ringkasan Perbedaan Pandangan

  • Mayoritas Ulama (Syafi'i, Maliki, Hanbali): Cukup membaca Al-Fatihah saja pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu adalah sunnah Nabi ﷺ. Menambah surat pendek dianggap menyelisihi sunnah, meskipun tidak membatalkan shalat.
  • Madzhab Hanafi: Cukup membaca Al-Fatihah saja adalah sunnah dan yang afdal. Membaca surat pendek tambahan juga dibolehkan dan tidak makruh, namun tetap lebih baik Al-Fatihah saja.

Meskipun ada perbedaan, titik temu yang penting adalah bahwa membaca Al-Fatihah di setiap rakaat adalah wajib bagi makmum munfarid (shalat sendiri) dan makmum masbuq (yang terlambat). Bagi makmum muwafiq (yang mengikuti imam dari awal), membaca Al-Fatihah di rakaat 3 dan 4 masih menjadi perdebatan, namun kebanyakan ulama tetap menganjurkannya.

Simbol Al-Qur'an terbuka, melambangkan sumber ajaran dan bacaan shalat. Q

Simbol Al-Qur'an yang terbuka, menunjukkan pentingnya membaca dan memahami kitab suci dalam shalat.

Hikmah di Balik Sunnah Membaca Al-Fatihah Saja di Rakaat Akhir

Setiap ketetapan syariat Islam pasti memiliki hikmah dan tujuan yang mulia, sekalipun terkadang akal manusia belum sepenuhnya dapat menjangkaunya. Demikian pula dengan sunnah Nabi ﷺ yang hanya membaca Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu. Berikut beberapa hikmah yang dapat kita petik:

  • Pembeda Antara Rakaat Awal dan Akhir: Rakaat pertama dan kedua seringkali dianggap sebagai "pembuka" shalat, di mana makmum memiliki kesempatan lebih lama untuk mendengarkan bacaan imam atau tadabbur Al-Qur'an secara mandiri. Sementara rakaat ketiga dan keempat adalah "penyempurna" shalat. Dengan mempersingkat bacaan di rakaat akhir, ada penekanan pada Al-Fatihah sebagai inti setiap rakaat dan mempersiapkan diri untuk tasyahhud dan salam.
  • Keringanan Bagi Umat: Shalat fardhu lima waktu adalah kewajiban yang berulang setiap hari. Jika setiap rakaat harus disertai dengan surat panjang, ini bisa menjadi beban bagi sebagian orang, terutama yang berusia lanjut, sakit, atau memiliki kesibukan. Keringanan ini adalah bentuk rahmat Allah dan Rasul-Nya.
  • Fokus pada Dzikir dan Doa: Dalam pandangan sebagian ulama, rakaat ketiga dan keempat lebih ditekankan pada dzikir dan munajat secara umum setelah Al-Fatihah, tanpa harus terikat pada bacaan surat tertentu. Ini memberikan fleksibilitas bagi individu untuk memperbanyak doa atau dzikir sesuai kebutuhan dan kondisinya.
  • Menjaga Keseimbangan dan Kualitas Shalat: Dengan tidak memanjangkan bacaan di rakaat akhir, seseorang bisa lebih fokus pada ketenangan (tuma'ninah) dan kesempurnaan gerakan shalat, dibandingkan terburu-buru mengejar target bacaan surat. Kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas bacaan.
  • Konsistensi Sunnah Nabi: Mengikuti sunnah Nabi ﷺ adalah ibadah tersendiri yang sangat besar pahalanya. Dengan meneladani beliau secara detail, kita menunjukkan kecintaan dan ketaatan kepada beliau, yang merupakan prasyarat diterimanya amal.
  • Pembeda Shalat Fardhu dan Sunnah: Pada umumnya, shalat fardhu memiliki aturan yang lebih ketat dan baku, sedangkan shalat sunnah memberikan ruang lebih luas untuk variasi dan pemanjangan. Dengan membedakan bacaan di rakaat akhir, ada penegasan terhadap kekhususan shalat fardhu.
  • Penghayatan Mendalam Al-Fatihah: Di rakaat akhir, dengan hanya Al-Fatihah, kita diberi kesempatan untuk menghayati ulang setiap makna dari surat agung ini, menjadikannya penutup munajat yang penuh perenungan sebelum tasyahhud dan salam.

Kondisi Khusus: Bagaimana dengan Shalat Sunnah?

Penting untuk dicatat bahwa hukum yang dibahas di atas khusus berlaku untuk shalat fardhu. Untuk shalat sunnah, ketentuannya bisa sedikit berbeda, dan seringkali lebih fleksibel, bahkan disunnahkan untuk membaca surat tambahan di setiap rakaat.

Pada shalat sunnah yang berjumlah lebih dari dua rakaat, seperti shalat Tarawih, Witir (dengan tiga rakaat), atau shalat Tahajjud, seringkali disunnahkan untuk membaca surat pendek setelah Al-Fatihah di setiap rakaat, termasuk rakaat ketiga dan seterusnya. Ini menunjukkan adanya perbedaan perlakuan antara shalat fardhu dan shalat sunnah dalam hal bacaan.

Contoh yang paling jelas adalah shalat Witir tiga rakaat, di mana pada rakaat pertama disunnahkan membaca Surat Al-A'la, rakaat kedua Al-Kafirun, dan rakaat ketiga Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Ini adalah contoh di mana Rasulullah ﷺ sendiri mempraktikkan pembacaan surat di rakaat terakhir shalat sunnah.

Hikmahnya adalah untuk memperpanjang munajat, menambah pahala, dan memberikan kesempatan lebih banyak untuk tadabbur Al-Qur'an dalam ibadah sunnah yang sifatnya tidak wajib dan dapat disesuaikan dengan kemampuan individu. Shalat sunnah memberikan keleluasaan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak amal kebaikan sesuai dengan semangat dan kemampuan pribadinya.

Namun, perlu diingat bahwa kebebasan ini tetap harus didasarkan pada tuntunan Rasulullah ﷺ. Jika ada riwayat yang secara spesifik menunjukkan bacaan tertentu untuk shalat sunnah tertentu, maka mengikutinya adalah yang terbaik.

Implikasi Praktis dan Kesalahan Umum dalam Shalat

Memahami hukum ini memiliki beberapa implikasi praktis dalam pelaksanaan shalat kita sehari-hari, serta membantu kita menghindari kesalahan yang sering terjadi:

  • Mengutamakan Sunnah: Bagi seorang Muslim yang ingin menyempurnakan ibadahnya dan meneladani Rasulullah ﷺ secara maksimal, maka dianjurkan untuk cukup membaca Al-Fatihah saja pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu. Ini adalah praktik yang paling sesuai dengan sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh mayoritas ulama.
  • Tidak Membatalkan Shalat: Sangat penting untuk ditekankan bahwa jika seseorang terbiasa atau lupa membaca surat pendek di rakaat ketiga atau keempat shalat fardhu, shalatnya tidak batal. Ia hanya meninggalkan sunnah. Tidak ada kewajiban sujud sahwi atau mengulang shalat dalam kasus ini. Ini menunjukkan rahmat Allah dan kemudahan dalam syariat Islam.
  • Pentingnya Al-Fatihah: Kasus ini semakin menegaskan betapa pentingnya Surat Al-Fatihah. Ia adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan di setiap rakaat, menjadi 'ummul kitab' (induk Al-Qur'an) dan inti dari setiap rakaat. Tanpa Al-Fatihah, shalat seseorang tidak sah.
  • Pendidikan dan Pemahaman: Penting bagi para orang tua, guru agama, dan dai untuk menjelaskan masalah ini kepada masyarakat agar tidak ada kesalahpahaman atau praktik yang bertentangan dengan sunnah tanpa disadari. Edukasi adalah kunci untuk meningkatkan kualitas ibadah umat.
  • Fleksibilitas dalam Shalat Sunnah: Ingatlah bahwa aturan ini berlaku untuk shalat fardhu. Dalam shalat sunnah, seperti Witir atau Tahajjud yang dilakukan lebih dari dua rakaat, membaca surat pendek di setiap rakaat adalah hal yang dianjurkan dan sesuai sunnah.

Kesalahan Umum yang Sering Terjadi:

  1. Menganggap Wajib Membaca Surat Pendek di Setiap Rakaat: Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa membaca surat pendek setelah Al-Fatihah hukumnya wajib di setiap rakaat, sehingga mereka merasa berdosa jika tidak melakukannya di rakaat ketiga dan keempat. Pemahaman ini perlu diluruskan, karena hanya Al-Fatihah yang wajib di setiap rakaat shalat.
  2. Membaca dengan Tergesa-gesa: Karena ingin menambah surat pendek di rakaat akhir, sebagian orang mungkin tergesa-gesa dalam bacaan Al-Fatihah atau gerakan shalatnya, sehingga mengurangi tuma'ninah. Padahal, tuma'ninah adalah rukun shalat yang sangat penting. Mendapatkan tuma'ninah lebih utama daripada menambah bacaan sunnah secara tergesa-gesa.
  3. Mengikuti Kebiasaan Tanpa Ilmu: Praktik shalat yang turun-temurun tanpa didasari ilmu seringkali menyebabkan kesalahan. Penting untuk senantiasa mencari ilmu dan merujuk kepada sumber-sumber yang shahih agar ibadah kita diterima di sisi Allah SWT.
  4. Berdebat tentang Perbedaan Khilafiyah: Terlalu fokus pada perdebatan mengenai perbedaan pendapat ulama hingga melupakan esensi ibadah dan persatuan umat. Sikap yang bijak adalah memahami perbedaan, menghormati pendapat lain yang memiliki dasar, dan memilih yang paling kuat dalilnya atau yang paling menentramkan hati.

Pentingnya Tuma'ninah dan Khusyu' dalam Shalat

Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai bacaan surat di rakaat akhir, ada satu aspek yang tidak boleh luput dari perhatian, yaitu tuma'ninah (ketenangan dan jeda sejenak dalam setiap gerakan) dan khusyu' (kekhusyukan hati). Kedua hal ini adalah inti dari kualitas shalat yang diterima oleh Allah SWT.

Rasulullah ﷺ sangat menekankan tuma'ninah. Bahkan, beliau pernah memerintahkan seorang sahabat yang shalatnya terburu-buru untuk mengulang shalatnya karena tidak tuma'ninah dalam setiap rukun. Ini menunjukkan bahwa kesempurnaan gerakan dan ketenangan dalam setiap rukun shalat jauh lebih penting daripada sekadar menambah bacaan sunnah. Membaca Al-Fatihah dengan tuma'ninah dan merenungkan maknanya di rakaat akhir tentu lebih utama daripada membaca Al-Fatihah ditambah surat pendek secara tergesa-gesa tanpa tuma'ninah.

Khusyu' adalah hadirnya hati bersama Allah, memahami makna bacaan, dan merasakan keagungan ibadah. Ketika seseorang shalat dengan khusyu', ia akan merasakan kedekatan dengan Penciptanya, hatinya menjadi tenang, dan jiwanya damai. Dengan hanya membaca Al-Fatihah di rakaat akhir, seorang hamba bisa lebih fokus untuk merenungkan kandungan Al-Fatihah yang agung, memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah, serta mempersiapkan diri untuk tasyahhud dan salam dengan hati yang lebih tenang dan khusyu'. Ini adalah kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas munajat, bukan sekadar menyelesaikan kewajiban bacaan.

Meningkatkan khusyu' dalam shalat memerlukan usaha dan kesadaran terus-menerus. Beberapa tips untuk mencapai khusyu':

  • Persiapan Sebelum Shalat: Bersuci dengan sempurna, memakai pakaian yang bersih, dan menyiapkan hati sebelum takbiratul ihram.
  • Memahami Makna Bacaan: Berusaha memahami arti dari setiap bacaan shalat, terutama Al-Fatihah dan dzikir-dzikir lainnya.
  • Fokus dan Konsentrasi: Menjaga pandangan ke tempat sujud, menghindari pikiran yang melayang, dan menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan Allah.
  • Tuma'ninah dalam Gerakan: Melakukan setiap gerakan dengan tenang, tidak terburu-buru, dan memberikan jeda yang cukup di setiap posisi.
  • Berdoa dengan Hati: Mengucapkan doa dan dzikir dengan penuh penghayatan, bukan sekadar lisan.
Garis geometris Islami, melambangkan keteraturan dan kesempurnaan ibadah.

Motif geometris Islami yang rumit, melambangkan keindahan, keteraturan, dan kedalaman spiritual dalam Islam dan ibadah shalat.

Landasan Hukum: Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah

Dalam setiap permasalahan fikih, termasuk tata cara shalat, landasan utama bagi umat Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Al-Qur'an memberikan prinsip-prinsip umum, sementara Sunnah (melalui hadits dan praktik beliau) menjelaskan detail pelaksanaannya. Para ulama dari berbagai madzhab fikih, dengan segala perbedaan metodologi dan interpretasi mereka, selalu berusaha menggali hukum dari kedua sumber utama ini.

Mengenai bacaan surat di rakaat ketiga dan keempat, perbedaan pandangan yang ada adalah hasil dari interpretasi terhadap hadits-hadits yang menjelaskan tata cara shalat Nabi. Mayoritas ulama berpegang pada riwayat yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Nabi ﷺ hanya membaca Al-Fatihah di rakaat akhir. Ini adalah penekanan pada mengikuti teladan Nabi secara harfiah sebagai bentuk ibadah terbaik.

Pentingnya berpegang pada Sunnah Nabi bukan hanya untuk memastikan keabsahan ibadah, tetapi juga untuk mendapatkan keberkahan dan pahala yang maksimal. Rasulullah ﷺ bersabda: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Bukhari). Hadits ini menjadi prinsip dasar dalam memahami dan mengamalkan tata cara shalat. Oleh karena itu, kembali kepada praktik Nabi ﷺ, khususnya dalam hal yang tidak ada perbedaan ulama tentangnya, adalah pilihan yang paling aman dan afdal.

Ketika dihadapkan pada perbedaan pendapat ulama, seorang Muslim dianjurkan untuk mengikuti pendapat yang paling kuat dalilnya, atau pendapat yang dirasa lebih sesuai dengan ketenangan hati dan kemudahan dalam beribadah, selama masih dalam koridor syariat. Namun, dalam kasus ini, mayoritas ulama sepakat bahwa praktik terbaik adalah hanya membaca Al-Fatihah di rakaat terakhir shalat fardhu.

Memahami bahwa syariat Islam datang dengan dalil yang kuat dan penuh hikmah akan memperkuat keyakinan kita dalam beribadah. Setiap ketentuan, sekecil apapun, memiliki tujuan untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, menuntut ilmu tentang tata cara shalat adalah bagian dari upaya kita mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang paling disukai-Nya.

Penutup: Menyempurnakan Ibadah Shalat

Dari uraian panjang di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum membaca surat pendek setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu adalah tidak disunnahkan menurut mayoritas ulama (madzhab Syafi'i, Maliki, Hanbali) dan yang paling utama (afdal) menurut madzhab Hanafi. Praktik yang paling sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ adalah cukup membaca Surat Al-Fatihah saja pada rakaat-rakaat tersebut.

Memahami detail-detail seperti ini bukan bertujuan untuk memberatkan atau mempersulit ibadah, melainkan untuk membantu kita mendekati kesempurnaan dalam shalat, menjadikannya lebih khusyu', dan mendapatkan pahala yang berlimpah. Shalat bukan hanya sekadar gugurnya kewajiban, tetapi adalah mi'raj (perjalanan spiritual) bagi seorang mukmin, kesempatan untuk berbicara langsung dengan Penciptanya.

Mari kita terus belajar, memperbaiki kualitas shalat kita, dan meneladani Rasulullah ﷺ dalam setiap aspek ibadah. Dengan demikian, shalat kita akan menjadi penyejuk hati, penentram jiwa, dan bekal terbaik menuju akhirat.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk selalu berada di jalan yang lurus dan mengamalkan ajaran-Nya dengan sebaik-baiknya. Aamiin.

Ingatlah bahwa setiap ibadah yang kita lakukan dengan ilmu dan keikhlasan akan menjadi cahaya bagi kita. Shalat adalah ibadah pertama yang akan dihisab di akhirat. Maka, mari kita pastikan shalat kita adalah shalat yang berkualitas, yang sesuai dengan tuntunan Nabi ﷺ, penuh dengan tuma'ninah dan khusyu'. Ini adalah investasi paling berharga yang bisa kita lakukan untuk kehidupan abadi kita. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita.

🏠 Homepage