Surah Al-Lail (Malam) adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an, yang terletak pada Juz 30 atau Juz Amma. Surah ini terdiri dari 21 ayat dan tergolong sebagai surah Makkiyah, yaitu surah yang diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ciri khas surah Makkiyah seringkali menyoroti masalah-masalah pokok keimanan, tauhid, hari kiamat, serta ajaran moral dan etika dasar. Surah Al-Lail dengan indahnya menggambarkan dualitas kehidupan dan konsekuensi dari pilihan-pilihan manusia, sebuah tema yang sangat sentral dalam pesan Islam.
Nama "Al-Lail" sendiri berarti "Malam". Surah ini dibuka dengan serangkaian sumpah Allah SWT demi malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sebagai penegasan akan kebenaran yang agung yang akan disampaikan setelahnya: bahwa sesungguhnya usaha dan perjuangan manusia itu beraneka ragam dan akan membawa kepada hasil yang berbeda pula. Inti dari Surah Al-Lail adalah perbandingan tajam antara dua jenis manusia dan dua jenis perbuatan: orang yang dermawan, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, dengan orang yang kikir, sombong, dan mendustakan kebaikan. Allah SWT menjelaskan bahwa masing-masing dari mereka akan dimudahkan jalannya menuju tujuan yang sesuai dengan perbuatannya.
Meskipun Surah Al-Lail secara umum adalah surah Makkiyah yang diturunkan di masa-masa awal dakwah Islam, beberapa riwayat asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) mengaitkannya dengan peristiwa spesifik yang terjadi di Mekah. Salah satu riwayat yang paling terkenal, dan sering dikutip dalam kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, adalah mengenai dua individu yang sangat kontras.
Riwayat tersebut menyebutkan tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, sahabat terkemuka Nabi Muhammad SAW, yang dikenal dengan kedermawanannya. Diceritakan bahwa Abu Bakar sering membebaskan budak-budak yang disiksa oleh majikan mereka karena keislamannya. Dia menggunakan hartanya untuk membeli budak-budak tersebut, terutama yang lemah dan tidak memiliki penolong, lalu memerdekakan mereka. Salah satu budak yang dibebaskan Abu Bakar adalah Bilal bin Rabah, yang kemudian menjadi muazin Rasulullah SAW. Orang-orang Quraisy mencela Abu Bakar, bertanya mengapa ia tidak membebaskan budak-budak yang kuat dan mampu membalas jasanya. Abu Bakar menjawab bahwa ia berbuat demikian semata-mata karena mencari ridha Allah SWT.
Di sisi lain, terdapat pula riwayat tentang seorang laki-laki dari Bani Umayyah, atau disebutkan juga Umayyah bin Khalaf, yang terkenal sangat kikir. Ia selalu menolak untuk berinfak di jalan Allah, merasa dirinya kaya dan tidak membutuhkan apapun, serta mendustakan janji-janji Allah tentang pahala di akhirat.
Ayat-ayat dalam Surah Al-Lail diturunkan sebagai respons terhadap dua perilaku yang sangat berlawanan ini. Ayat 5-7 diturunkan untuk memuji Abu Bakar dan orang-orang sepertinya yang dermawan dan bertakwa, menjanjikan mereka jalan yang mudah menuju kebahagiaan. Sementara itu, ayat 8-10 diturunkan untuk mencela orang-orang kikir dan sombong, memperingatkan mereka tentang jalan yang sulit menuju kesengsaraan.
Kisah ini menegaskan bahwa nilai suatu amal perbuatan tidak terletak pada jumlah atau kemegahannya semata, melainkan pada keikhlasan niat dan tujuan di baliknya. Kedermawanan yang didasari ketakwaan dan harapan ridha Allah akan mendapatkan balasan terbaik, sedangkan kekikiran yang disertai kesombongan dan pendustaan terhadap kebenaran akan mengundang kesulitan dan azab.
Ayat-ayat pembuka ini adalah sumpah-sumpah Allah SWT yang agung, sebuah metode retorika Al-Qur'an untuk menarik perhatian dan menegaskan pentingnya pesan yang akan disampaikan. Allah bersumpah dengan fenomena alam yang fundamental dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia: malam, siang, serta penciptaan laki-laki dan perempuan.
Setelah tiga sumpah yang kuat ini, Allah SWT kemudian menyatakan kebenaran yang menjadi inti pembahasan surah ini: "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." Pernyataan ini menegaskan bahwa meskipun manusia hidup di dunia yang sama, di bawah siang dan malam yang sama, dan dari jenis kelamin yang sama, namun niat, amal, dan tujuan hidup mereka sangatlah berbeda. Perbedaan ini akan menghasilkan konsekuensi yang berbeda pula di dunia dan di akhirat. Ada yang berjuang demi kebaikan, ada pula yang berjuang demi keburukan; ada yang memberi, ada yang menahan; ada yang bertakwa, ada yang mendustakan.
Tiga ayat ini adalah kabar gembira bagi golongan pertama, yaitu mereka yang menempuh jalan kebaikan. Allah SWT menggambarkan tiga karakteristik utama mereka:
Bagi mereka yang memiliki tiga sifat ini, Allah SWT menjanjikan: "Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." "فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ" (fa-sa-nuyassiruhū li-l-yusra) berarti Allah akan memudahkan baginya segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, ia akan mendapatkan kemudahan dalam beribadah, rezeki, dan menghadapi cobaan. Hatinya akan lapang, jiwanya tenang, dan hidupnya penuh berkah. Di akhirat, ia akan dimudahkan jalannya menuju surga, mendapatkan hisab yang ringan, dan mencapai keridaan Allah. Jalan yang mudah ini adalah ganjaran dari keikhlasan, ketakwaan, dan kedermawanannya.
Ini adalah kebalikan dari golongan pertama, yaitu orang-orang yang menempuh jalan keburukan. Allah SWT juga menggambarkan tiga karakteristik mereka:
Bagi mereka yang memiliki tiga sifat buruk ini, Allah SWT mengancam: "Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit." "فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ" (fa-sa-nuyassiruhū li-l-ʿusra) berarti Allah akan mempersulit segala urusannya. Di dunia, meskipun mungkin kaya, hatinya tidak akan tenang, ia akan selalu merasa kurang, takut kehilangan hartanya, dan hidupnya diliputi kegelisahan. Rezekinya mungkin melimpah, tetapi tidak berkah. Setiap usahanya akan terasa berat dan penuh hambatan. Di akhirat, ia akan mendapatkan hisab yang berat, dimudahkan jalannya menuju neraka, dan mengalami azab yang pedih. Jalan yang sulit ini adalah balasan atas kekikiran, kesombongan, dan pendustaannya terhadap kebenaran.
Ayat-ayat ini melanjutkan ancaman bagi orang-orang kikir dan sombong, sekaligus menegaskan kekuasaan mutlak Allah SWT.
"Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa." ("وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ"). Ayat ini secara lugas mengingatkan bahwa harta benda yang dikumpulkan dengan susah payah, yang menjadi sumber kesombongan dan kekikiran, sama sekali tidak akan berguna ketika ajal menjemput. "تَرَدَّىٰ" (taraddā) bisa diartikan "terjatuh ke dalam jurang" atau "binasa". Artinya, ketika seseorang meninggal dunia, ia tidak membawa serta hartanya. Yang dibawa hanyalah amal perbuatannya. Jika hartanya tidak diinfakkan di jalan Allah selama hidup, maka harta itu akan menjadi beban dan saksi memberatkannya di akhirat, bukan penolong. Ini adalah peringatan keras bagi para pencinta dunia yang melupakan tujuan akhir kehidupan.
"Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk." ("إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ"). Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan diri-Nya untuk memberi petunjuk kepada manusia, yaitu dengan mengutus para Nabi dan Rasul, menurunkan kitab suci, serta menunjukkan jalan kebenaran melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Allah tidak membiarkan manusia dalam kegelapan tanpa arah. Namun, pilihan untuk mengikuti petunjuk itu sepenuhnya ada pada manusia. Allah hanya menunjukkan jalan, tetapi manusia harus berikhtiar untuk mengambil jalan tersebut. Ayat ini juga mengandung makna bahwa hidayah itu mutlak di tangan Allah; hanya Dia yang bisa membukakan hati seseorang.
"Dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia." ("وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ"). Ayat ini menegaskan kekuasaan dan kepemilikan mutlak Allah atas segala sesuatu, baik di dunia maupun di akhirat. Dunia hanyalah persinggahan sementara, sedangkan akhirat adalah kehidupan yang kekal. Mengingat bahwa kedua alam ini adalah milik Allah, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk sombong dengan harta dunia atau mendustakan janji-janji Allah tentang akhirat. Kepemilikan ini memberikan otoritas penuh kepada Allah untuk menetapkan aturan, memberikan pahala, dan menjatuhkan hukuman.
Ayat-ayat ini adalah ancaman langsung dan peringatan keras bagi mereka yang memilih jalan kesesatan.
"Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (neraka)." ("فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ"). Allah SWT menggunakan kata "تَلَظَّىٰ" (talaẓẓā) yang berarti "berkobar-kobar", "menyala-nyala dengan hebat". Ini adalah deskripsi tentang neraka, yang apinya sangat panas dan dahsyat. Peringatan ini bertujuan untuk menakut-nakuti dan memotivasi manusia agar menjauhi perbuatan dosa dan kekufuran. Ini adalah manifestasi dari kasih sayang Allah juga, karena peringatan adalah bagian dari petunjuk agar manusia terhindar dari kehancuran.
"Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." ("لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى"). Neraka yang bergejolak itu tidak akan dihuni kecuali oleh "الْأَشْقَى" (al-ashqā), yaitu orang yang paling celaka, paling durhaka, atau yang paling sengsara. Istilah ini menekankan bahwa bukan sembarang orang yang akan masuk neraka, melainkan mereka yang telah mencapai puncak keburukan dan kekufuran, yang tidak lagi memiliki sedikit pun kebaikan atau iman yang dapat menyelamatkan mereka.
"Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)." ("الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ"). Ayat ini menjelaskan siapa "orang yang paling celaka" itu. Mereka adalah orang-orang yang:
Setelah memperingatkan tentang neraka dan penghuninya, Allah SWT kembali menutup Surah Al-Lail dengan kabar gembira dan janji mulia bagi golongan pertama, yaitu orang-orang bertakwa. Ini adalah kontras yang sempurna dan penegasan janji-janji-Nya.
"Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa." ("وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى"). Sama seperti "الْأَشْقَى" (al-ashqā) sebagai orang yang paling celaka, di sini Allah menggunakan "الْأَتْقَى" (al-atqā), yaitu orang yang paling bertakwa. Ini merujuk kepada mereka yang mencapai level tertinggi dalam ketakwaan. Mereka inilah yang akan dijauhkan, diselamatkan, dan dilindungi dari api neraka yang menyala-nyala. Ayat ini memberikan harapan besar bagi setiap mukmin untuk berupaya mencapai derajat ketakwaan yang tinggi.
"Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya." ("الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ"). Ayat ini menjelaskan ciri utama "orang yang paling bertakwa" itu, yaitu mereka yang gemar menafkahkan hartanya. Kata "يَتَزَكَّىٰ" (yatazakkā) mengandung makna "menyucikan diri" atau "membersihkan diri". Ini bukan sekadar memberikan harta, melainkan membersihkan harta dari hak orang lain (zakat), membersihkan diri dari dosa dan kekikiran, serta menyucikan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti cinta dunia berlebihan dan kesombongan. Infaq yang dilakukan dengan tujuan ini akan membawa berkah dan pertumbuhan spiritual bagi pelakunya.
"Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, melainkan (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." ("وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ"). Dua ayat ini sangat penting karena menjelaskan motivasi utama di balik kedermawanan orang bertakwa: keikhlasan. Mereka tidak berinfak karena ingin membalas budi seseorang, atau karena ingin mendapatkan pujian, pengakuan, atau balasan materi dari manusia. Segala amal kebaikan dan infak mereka semata-mata dilakukan "إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ" (illā ibtighāʾa wajhi rabbihī l-aʿlā), yaitu hanya untuk mencari keridaan Allah SWT Yang Maha Tinggi. Ini adalah standar tertinggi dalam beramal, di mana hati sepenuhnya tertuju kepada Allah, tanpa ada sedikit pun niat duniawi atau riya'. Contoh paling nyata dari ini adalah kedermawanan Abu Bakar yang memerdekakan budak-budak lemah tanpa mengharapkan balasan apa pun dari mereka.
"Dan kelak dia benar-benar akan puas." ("وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ"). Ini adalah janji penutup yang sangat indah. Orang yang menafkahkan hartanya dengan ikhlas semata-mata demi mencari keridaan Allah, kelak akan mendapatkan kepuasan yang sempurna. Kepuasan ini tidak hanya terbatas pada balasan surga yang penuh kenikmatan, tetapi juga kepuasan batin yang mendalam berupa ridha Allah, rasa tenang, dan kebahagiaan abadi. Ia akan merasa puas dengan hasil dari perjuangannya di dunia, puas dengan balasan yang diterimanya, dan yang terpenting, puas karena telah mencapai tujuan tertinggi seorang hamba: keridaan Tuhannya.
Surah Al-Lail, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran dan hikmah yang mendalam yang dapat membimbing kehidupan seorang Muslim. Berikut adalah beberapa tema utama dan pelajaran berharga yang dapat kita petik:
Surah ini dibuka dengan sumpah demi malam dan siang, serta laki-laki dan perempuan, menekankan konsep dualitas yang ada di alam semesta. Ini secara langsung mengarah pada tema inti surah: dualitas usaha dan pilihan hidup manusia. Ada dua jalan yang jelas dan dua hasil yang pasti. Hidup adalah serangkaian pilihan antara kebaikan dan keburukan, memberi dan menahan, takwa dan maksiat. Setiap pilihan membawa konsekuensi yang berbeda.
Ayat "Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan" adalah kunci. Ini bukan hanya tentang apa yang kita lakukan secara lahiriah, tetapi juga tentang niat di baliknya. Memberi yang sedikit dengan ikhlas lebih utama daripada memberi yang banyak dengan riya. Surah ini menekankan bahwa amal shalih yang diterima adalah yang didasari ketakwaan, kepercayaan kepada Allah, dan keikhlasan semata-mata mencari ridha-Nya. Ini mengajarkan pentingnya muhasabah (introspeksi) terhadap niat kita dalam setiap tindakan.
Ini adalah kontras paling mencolok dalam surah ini. Kedermawanan (infak, sedekah) adalah tanda ketakwaan, kepercayaan kepada janji Allah, dan cara menyucikan diri. Ia membuka jalan kemudahan. Sebaliknya, kekikiran yang disertai kesombongan dan pendustaan terhadap kebenaran adalah ciri orang celaka yang akan menempuh jalan kesulitan. Surah ini mendorong umat Muslim untuk menjadi pribadi yang dermawan, memahami bahwa harta adalah amanah yang harus digunakan di jalan kebaikan.
Taqwa disebutkan sebagai sifat utama bagi mereka yang akan mendapatkan kemudahan dan dijauhkan dari neraka. Taqwa bukan hanya sekadar takut kepada Allah, melainkan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Orang yang bertakwa memiliki kepekaan spiritual yang membimbingnya dalam setiap keputusan dan tindakan.
Surah ini dengan jelas memaparkan janji manis bagi orang-orang bertakwa (kemudahan, kepuasan, surga) dan ancaman pedih bagi orang-orang durhaka (kesulitan, neraka yang menyala-nyala). Ini adalah pengingat akan keadilan Allah dan adanya hari pembalasan. Keseimbangan antara raja' (harap) dan khawf (takut) kepada Allah sangat ditekankan, memotivasi mukmin untuk beramal dan menjauhi dosa.
Ayat 19 dan 20 adalah puncak dari pesan tentang keikhlasan. Kedermawanan yang sejati adalah yang dilakukan tanpa mengharapkan balasan dari manusia, semata-mata mencari keridaan Allah. Ikhlas adalah fondasi dari semua amal yang diterima di sisi Allah. Tanpa keikhlasan, amal sebesar apapun akan sia-sia.
Peringatan bahwa harta tidak akan bermanfaat ketika ajal menjemput adalah pengingat keras akan kefanaan dunia. Harta hanyalah alat, bukan tujuan. Penggunaannya di jalan Allah-lah yang akan menjadikannya bekal abadi. Ini mendorong Muslim untuk tidak terlalu terpaku pada kekayaan duniawi dan menggunakannya untuk kebaikan di akhirat.
Ayat "Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk" mengingatkan bahwa hidayah adalah karunia terbesar dari Allah. Kita berusaha dan berikhtiar, namun akhirnya adalah Allah yang membuka hati seseorang. Ini menumbuhkan kerendahan hati dan kesadaran akan ketergantungan kita kepada-Nya.
Pesan-pesan Surah Al-Lail bergema di banyak bagian lain dalam Al-Qur'an, memperkuat ajaran-ajaran fundamental Islam:
Surah Al-Lail adalah contoh luar biasa dari i'jaz al-Qur'an (kemukjizatan Al-Qur'an) dalam aspek bahasa dan strukturnya. Beberapa poin yang menonjol adalah:
Pesan-pesan Surah Al-Lail tidak hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diamalkan. Berikut adalah beberapa cara untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan kita:
Surah Al-Lail adalah sebuah peringatan dan panduan yang abadi bagi umat manusia. Ia mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah ladang amal, di mana setiap usaha, baik atau buruk, akan menghasilkan konsekuensi yang berbeda. Allah SWT dengan penuh kasih sayang telah menunjukkan kepada kita dua jalan yang jelas: jalan kemudahan bagi mereka yang dermawan, bertakwa, dan ikhlas, serta jalan kesulitan bagi mereka yang kikir, sombong, dan mendustakan kebenaran. Pilihan ada di tangan kita masing-masing.
Dengan meresapi makna mendalam Surah Al-Lail, semoga kita semua tergerak untuk senantiasa memilih jalan kebaikan, berjuang dengan ikhlas di jalan Allah, menafkahkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkan-Nya, dan membenarkan semua janji-Nya. Dengan demikian, kita berharap dapat menjadi bagian dari golongan "orang yang paling bertakwa" yang akan dijauhkan dari api neraka dan kelak akan mendapatkan kepuasan abadi di sisi-Nya, Allah SWT Yang Maha Tinggi.