Ketika berbicara tentang bahan bangunan atau material alami, mungkin yang terlintas di benak Anda adalah semen, pasir, atau batu bata. Namun, ada satu material penting yang telah digunakan sejak peradaban kuno, yaitu gamping. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini sering merujuk pada kapur tohor (kalsium oksida) atau kapur padam (kalsium hidroksida), yang keduanya berasal dari proses pengolahan batu kapur.
Ilustrasi Sederhana Proses Pembentukan Gamping dari Batu Kapur.
Secara kimiawi, kata gamping paling sering merujuk pada dua senyawa utama yang merupakan turunan dari batu kapur (Kalsium Karbonat atau $\text{CaCO}_3$):
Dalam konteks industri konstruksi di Indonesia, ketika seseorang menyebut gamping, mereka biasanya merujuk pada kapur yang sudah jadi, baik dalam bentuk tohor maupun padam, yang siap digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mortar (plesteran) atau sebagai agen penstabil tanah.
Pembuatan gamping adalah salah satu proses industri tertua di dunia. Proses dasarnya adalah kalsinasi. Batu kapur yang ditambang harus melalui pemanasan intensif di dalam tanur (kiln). Tanur ini bisa berupa tanur putar (rotary kiln) atau tanur tumpuk (stack kiln), tergantung skala produksinya.
Reaksi Kimia utama untuk menghasilkan kapur tohor adalah: $$\text{CaCO}_3 \xrightarrow{\text{Panas}} \text{CaO} + \text{CO}_2$$
Proses ini harus dikontrol dengan ketat. Jika suhu terlalu rendah, konversi $\text{CaCO}_3$ menjadi $\text{CaO}$ tidak sempurna. Jika suhu terlalu tinggi, kapur yang dihasilkan bisa mengalami *over-burning*, yang membuatnya kurang reaktif saat digunakan nanti. Kapur tohor ($\text{CaO}$) yang dihasilkan kemudian diangkut atau diolah lebih lanjut menjadi kapur padam ($\text{Ca(OH)}_2$) dengan menambahkan air secara bertahap dalam wadah khusus. Penanganan kapur tohor memerlukan kehati-hatian ekstrem karena sifatnya yang kaustik.
Kegunaan gamping sangat beragam, melintasi sektor pertanian, industri, hingga konstruksi.
Secara historis, kapur adalah bahan pengikat utama sebelum ditemukannya semen Portland. Campuran kapur padam dengan pasir dan air menghasilkan mortar kapur yang memiliki keunggulan dalam fleksibilitas dan kemampuan "bernapas" (membiarkan uap air keluar), menjadikannya pilihan populer untuk bangunan bersejarah atau struktur yang membutuhkan mortar yang lebih lunak daripada semen.
Kapur, terutama kapur padam, digunakan secara ekstensif dalam pengolahan air limbah dan air minum. Kapur berfungsi sebagai agen flokulan, membantu mengendapkan kotoran dan zat terlarut. Selain itu, ia digunakan untuk menaikkan pH air yang terlalu asam, menjadikannya aman untuk dilepas kembali ke lingkungan atau digunakan untuk konsumsi.
Di bidang pertanian, kapur (biasanya kapur dolomit yang mengandung Magnesium Karbonat atau kapur padam) diaplikasikan pada tanah asam. Proses ini disebut pengapuran tanah (*liming*). Tujuannya adalah menetralkan keasaman tanah, sehingga meningkatkan ketersediaan nutrisi esensial bagi tanaman dan memperbaiki struktur tanah.
Dalam produksi baja dan logam non-besi, kapur tohor bertindak sebagai fluks. Ia bereaksi dengan kotoran seperti silika dan fosfor dalam bijih besi, membentuk terak (slag) yang lebih ringan dan mudah dipisahkan dari logam cair, sehingga meningkatkan kemurnian produk akhir.
Kesimpulannya, gamping, dalam berbagai bentuknya, adalah komoditas mineral vital. Dari menstabilkan pondasi bangunan hingga memurnikan air yang kita minum, senyawa turunan batu kapur ini memainkan peran yang tak tergantikan dalam infrastruktur dan keseimbangan lingkungan modern.