Alam semesta adalah kanvas tak terbatas yang terus-menerus melukiskan keindahan yang tak terlukiskan. Dari puncak gunung yang menjulang tinggi hingga kedalaman samudra yang misterius, dari gemerisik dedaunan yang diterpa angin hingga gemuruh ombak di pantai, setiap elemen alam memiliki pesonanya sendiri. Keindahan ini sering kali menginspirasi manusia untuk mengekspresikan rasa kagum, takjub, dan kerinduan melalui berbagai bentuk seni, salah satunya adalah geguritan.
Geguritan, sebuah bentuk puisi berbahasa Jawa, memiliki keunikan tersendiri dalam menangkap esensi dan nuansa alam. Dalam geguritan, penyair tidak hanya mendeskripsikan pemandangan alam, tetapi juga menyampaikan perasaan, refleksi, dan bahkan kritik sosial yang terbungkus dalam keindahan bahasa. Tema alam dalam geguritan seringkali menjadi sarana untuk merenungi keberadaan manusia, harmoni kehidupan, serta siklus alam yang abadi.
Geguritan bertema alam mengajak kita untuk berhenti sejenak dari kesibukan dunia modern dan kembali terhubung dengan akar kita. Ia membuka mata hati untuk melihat detail-detail kecil yang sering terlewatkan: embun pagi yang berkilauan di ujung daun, kicauan burung yang merdu menyambut fajar, aroma tanah basah setelah hujan, atau gemerlap bintang di langit malam yang sunyi.
Ing wayah esuk, surya sumunu
Ngebyat cahya nganti nganti
Embuh ing godhong, rinintik embun
Kayadene permata kang aben
Angin semribit, ngrasuk alus
Nggugah rasa ayem ing ati
Geguritan semacam ini tidak hanya menyajikan gambaran visual, tetapi juga membangkitkan sensasi multisensori. Pembaca diajak untuk merasakan sejuknya angin, mendengar nyanyian alam, dan bahkan mencium aroma kehidupan. Keindahan ini seringkali menjadi pengingat akan kemuliaan Sang Pencipta dan pentingnya menjaga kelestarian alam.
Lebih dari sekadar deskripsi pemandangan, geguritan bertema alam juga seringkali menggunakan alam sebagai metafora atau cerminan dari kehidupan manusia. Puncak gunung yang tinggi bisa melambangkan cita-cita yang harus diperjuangkan, sungai yang mengalir bisa melambangkan perjalanan hidup yang tak pernah berhenti, atau badai yang menerpa bisa mewakili ujian dan cobaan dalam kehidupan. Melalui perbandingan ini, geguritan mampu menyampaikan pesan moral dan filosofis yang mendalam.
Gunung dhuwur ngadeg gagah
Nglawan mega, ngasuh pandulu
Munggah ora gampang, nanging mesti
Yen tekadmu kuwat lan mantep
Umpama urip, akeh pacoban
Nanging aja nganti kentekan pengarep
Pesan yang terkandung dalam geguritan seperti ini memberikan dorongan semangat kepada pembaca. Ia mengingatkan bahwa setiap tantangan, sebagaimana alam raya memiliki badai dan musim yang berganti, adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pendewasaan. Dengan merenungi alam, kita belajar tentang ketahanan, adaptasi, dan penerimaan.
Di era modern ini, di mana kerusakan lingkungan semakin mengkhawatirkan, geguritan bertema alam juga seringkali hadir sebagai bentuk kepedulian dan seruan untuk menjaga kelestarian bumi. Penyair menggunakan kata-kata mereka untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam sebelum terlambat.
Wana kang ijo royo-royo
Saiki wiwit gundhul lan lungkrah
Sato kewan ilang panggonane
Manungsa ngalih ora ngurmati
Ayo padha rumeksa lingkungan
Aja nganti alam dadi musnah
Geguritan ini bukan sekadar puisi, melainkan sebuah manifestasi keprihatinan yang disampaikan dengan keindahan bahasa puitis. Ia mengajak kita untuk merenungkan dampak tindakan kita terhadap alam dan memotivasi kita untuk bertindak demi masa depan yang lebih baik. Dengan mencintai alam lewat geguritan, kita diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk melindunginya.
Pada akhirnya, geguritan bertema alam menawarkan lebih dari sekadar keindahan sastra. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan dunia alam yang luas, sebuah cermin yang merefleksikan eksistensi kita, dan sebuah panggilan untuk bertindak. Melalui setiap bait dan larik, kita diajak untuk lebih menghargai, merenungi, dan menjaga keajaiban alam yang telah dianugerahkan kepada kita.