Dalam khazanah spiritualitas Islam, kata 'ikhlas' merupakan salah satu fondasi utama yang menopang seluruh sendi ajaran dan praktik keagamaan. Ia adalah permata hati yang memancarkan cahaya ketulusan, sebuah esensi spiritual yang membersihkan setiap laku dari noda-noda syirik kecil maupun riya' (pamer) dan sum'ah (mencari pujian). Tidak mengherankan jika banyak ulama dan cendekiawan Muslim mendedikasikan pemikirannya untuk mengurai makna dan implikasi ikhlas dalam kehidupan seorang Muslim. Salah satu tokoh kontemporer yang begitu mendalam membahas konsep ini adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang mufasir terkemuka dan cendekiawan Muslim Indonesia.
Quraish Shihab, dengan gaya bahasa yang renyah namun sarat makna, seringkali mengupas tuntas ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang berkaitan dengan ikhlas, seraya mengaitkannya dengan realitas kehidupan modern. Baginya, ikhlas bukanlah sekadar konsep teoritis, melainkan sebuah praksis hidup yang harus senantiasa diupayakan, diuji, dan diperbarui dalam setiap napas dan langkah. Artikel ini akan menguraikan pandangan Quraish Shihab tentang ikhlas, menelusuri definisi, ciri-ciri, tantangan, serta signifikansinya dalam berbagai aspek kehidupan.
Secara etimologi, kata ‘ikhlas’ berasal dari bahasa Arab khalaṣa (خَلَصَ) yang berarti murni, bersih, jernih, atau tidak tercampur. Dari akar kata ini, terbentuklah kata ikhlas (إِخْلاَص) yang berarti memurnikan atau membersihkan sesuatu dari campuran yang mengotorinya. Dalam konteks spiritual, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ikhlas adalah memurnikan niat dan tujuan beramal hanya semata-mata karena Allah SWT, tanpa ada sedikit pun campuran motif-motif duniawi seperti mencari pujian manusia, sanjungan, kedudukan, atau keuntungan materi.
“Ikhlas adalah memurnikan, menjernihkan sesuatu dari kekeruhan. Keikhlasan seseorang berarti kemurnian hati dan amalnya dari segala noda dan kotoran. Ketika dikaitkan dengan ibadah, ikhlas berarti memurnikan ibadah semata-mata untuk Allah.”
Quraish Shihab menekankan bahwa ikhlas adalah landasan dari segala amal shalih. Tanpa ikhlas, amal yang tampak besar dan bermanfaat sekalipun bisa menjadi hampa di hadapan Allah. Ia mengibaratkan amal tanpa ikhlas seperti bejana yang indah namun kosong, atau pohon yang rindang namun tak berbuah. Yang dinilai Allah bukanlah kuantitas amal, melainkan kualitas niat yang melandasinya. Keikhlasan inilah yang membedakan antara rutinitas biasa dengan ibadah yang bernilai pahala. Salat yang dilakukan dengan ikhlas berbeda dengan salat yang sekadar menggugurkan kewajiban atau ingin dilihat orang.
Lebih jauh, Shihab juga seringkali menjelaskan bahwa ikhlas bukanlah suatu keadaan yang statis, melainkan proses yang dinamis. Seorang Muslim harus senantiasa menjaga dan memperbarui niatnya agar tetap murni. Ini adalah perjuangan seumur hidup, karena godaan untuk tergelincir pada riya' dan sum'ah sangatlah halus dan seringkali datang tanpa disadari. Hati manusia mudah berbolak-balik, sehingga perlu penjagaan yang ekstra ketat terhadap bisikan-bisikan yang ingin mengotorinya.
Quraish Shihab selalu menempatkan niat pada posisi sentral dalam pembahasan ikhlas. Dalam banyak karyanya, beliau mengutip hadis Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan." Hadis ini menjadi landasan teologis yang kuat bahwa niat adalah penentu utama nilai suatu amal di hadapan Allah.
Bagi Quraish Shihab, niat bukanlah sekadar keinginan atau tujuan biasa, melainkan kehendak hati yang menggerakkan seluruh potensi diri untuk melakukan sesuatu. Niat yang murni (ikhlas) berarti bahwa kehendak hati itu sepenuhnya tertuju kepada Allah semata. Ketika seseorang berniat ikhlas, seluruh indra, pikiran, dan tenaganya akan terarah pada satu tujuan: mencari ridha Allah.
Ini bukan berarti bahwa hasil duniawi tidak boleh ada. Akan tetapi, hasil duniawi itu harus menjadi konsekuensi dari upaya mencari ridha Allah, bukan tujuan utama. Jika seseorang belajar dengan sungguh-sungguh agar menjadi pintar dan bermanfaat bagi umat, niatnya bisa saja ikhlas meskipun ia juga meraih gelar akademik dan kehormatan. Keikhlasan terletak pada prioritas utama di dalam hatinya. Apakah ridha Allah yang utama, ataukah pujian manusia? Ini adalah batas tipis yang hanya bisa diketahui oleh pelakunya dan Allah SWT.
Shihab memperluas cakupan niat ikhlas tidak hanya pada ibadah mahdhah (ibadah ritual) seperti salat, puasa, dan haji, tetapi juga pada muamalah (interaksi sosial) dan setiap aktivitas sehari-hari. Bahkan makan, minum, tidur, bekerja, atau berinteraksi dengan keluarga pun bisa menjadi ibadah yang bernilai tinggi jika dilandasi niat ikhlas. Ketika seseorang bekerja dengan niat mencari nafkah halal untuk keluarga dan sebagai bentuk syukur atas karunia Allah, pekerjaannya akan bernilai ibadah. Ketika ia beristirahat dengan niat agar tubuhnya kuat untuk beribadah dan beraktivitas esok hari, tidurnya pun bernilai pahala.
Oleh karena itu, Quraish Shihab mengajak setiap Muslim untuk senantiasa introspeksi dan memperbarui niatnya dalam setiap langkah. Niat yang lurus adalah kompas yang mengarahkan hidup menuju kebaikan sejati dan kebahagiaan abadi. Tanpa kompas ini, seseorang bisa tersesat dalam labirin ambisi duniawi yang tak berujung.
Meskipun ikhlas adalah urusan hati yang sangat personal antara hamba dengan Tuhannya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada beberapa tanda atau ciri-ciri yang secara tidak langsung dapat menjadi indikasi keikhlasan seseorang. Tentu saja, ciri-ciri ini bukanlah barometer mutlak karena hanya Allah yang mengetahui isi hati, tetapi ia bisa menjadi panduan bagi seseorang untuk introspeksi diri.
Orang yang ikhlas cenderung memiliki konsistensi dalam beramal, baik ketika ia dilihat orang lain maupun ketika sendirian. Ia tidak akan mengurangi kualitas atau kuantitas amalnya hanya karena tidak ada yang melihat. Misalnya, seseorang yang biasa shalat sunnah tahajjud tidak akan berhenti melakukannya hanya karena tidak ada orang lain di rumah yang mengetahui. Keikhlasannya mendorongnya untuk tetap beribadah karena keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat dan menilai.
Ini adalah ciri paling fundamental. Orang yang ikhlas tidak akan mencari pujian, sanjungan, atau pengakuan dari manusia atas apa yang ia lakukan. Bahkan, ia merasa malu jika amalnya diketahui dan dipuji orang lain. Apabila pujian datang, ia akan segera mengembalikannya kepada Allah, merasa bahwa segala kekuatan dan kemampuan berasal dari-Nya. Ia tidak akan bersedih ketika tidak dipuji, dan tidak akan berbangga diri ketika dipuji.
Seseorang yang ikhlas cenderung merasa bahwa amal kebaikannya, sebesar apapun itu, masihlah kecil di hadapan karunia dan kebesaran Allah. Ia tidak merasa berjasa atau mengungkit-ungkit kebaikannya. Justru, ia khawatir apakah amalnya sudah diterima Allah atau belum, dan ia akan terus berusaha berbuat lebih baik lagi sebagai bentuk syukur.
Ketika menghadapi kegagalan dalam beramal kebaikan, orang ikhlas tidak akan larut dalam kesedihan yang berkepanjangan karena ia tahu bahwa hasil akhir ada di tangan Allah. Niatnya telah tertunaikan, dan ia telah berusaha semaksimal mungkin. Begitu pula ketika meraih keberhasilan, ia tidak akan merasa terlalu bangga atau sombong, melainkan mengembalikan segala puji kepada Allah yang telah memudahkan jalannya.
Quraish Shihab juga seringkali mengisyaratkan bahwa salah satu manifestasi keikhlasan adalah menjaga kerahasiaan amal kebaikan, terutama amal yang bisa disembunyikan. Sedekah yang disembunyikan, doa tengah malam, atau bantuan kepada orang lain tanpa diketahui orang ketiga adalah contoh kebaikan yang mencerminkan tingkat ikhlas yang tinggi. Hal ini bukan berarti semua kebaikan harus disembunyikan, ada kalanya kebaikan yang tampak juga diperlukan untuk menginspirasi orang lain, namun itu pun harus dilandasi niat ikhlas.
Quraish Shihab sering mengingatkan bahwa perjalanan menuju keikhlasan penuh dengan rintangan. Hati manusia adalah medan pertempuran antara bisikan kebaikan dan godaan keburukan. Tiga musuh utama keikhlasan yang sering diuraikan oleh Shihab adalah riya', sum'ah, dan ujub.
Ria' adalah melakukan amal kebaikan dengan tujuan agar dilihat dan dipuji oleh orang lain. Ini adalah bentuk syirik kecil yang sangat berbahaya karena dapat menghapus pahala amal, bahkan mengubahnya menjadi dosa. Quraish Shihab menjelaskan bahwa riya' ini bisa sangat halus, terkadang datang dalam bentuk yang tersamar, seperti melakukan kebaikan lalu merasa senang ketika orang mengetahuinya, atau bahkan mendoakan agar diketahui orang lain. Ria' ini merusak niat dari akarnya, membuat amal menjadi seperti fatamorgana di padang pasir yang tampak ada namun tiada hakikatnya.
Untuk melawan riya', Quraish Shihab menyarankan agar seseorang senantiasa introspeksi diri, merenungkan bahwa pujian manusia tidak akan menambah sedikitpun kemuliaan di sisi Allah, dan celaan manusia tidak akan mengurangi sedikitpun nilai amal yang diterima Allah. Fokus harus selalu pada pandangan Allah semata.
Sum'ah sedikit berbeda dari riya'. Jika riya' adalah melakukan amal agar dilihat, sum'ah adalah menceritakan amal kebaikan yang telah dilakukan agar didengar dan dipuji oleh orang lain. Setelah melakukan kebaikan, seseorang tergoda untuk "mengiklankan" amalnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, agar mendapatkan sanjungan atau ketenaran. Ini juga merupakan bentuk syirik kecil yang mengikis keikhlasan.
Shihab menekankan bahwa bahaya sum'ah terletak pada keinginan hati untuk mendapatkan pengakuan. Muslim harus menjaga lisannya, dan belajar untuk merasa cukup dengan pengetahuan Allah SWT atas amalnya. Menceritakan kebaikan hanya dibolehkan jika ada tujuan syar'i, seperti menginspirasi orang lain atau memberikan contoh, itupun harus dengan niat yang sangat murni dan dijaga dari bisikan ego.
Ujub adalah merasa kagum atau bangga dengan diri sendiri dan amalnya, tanpa mengaitkannya dengan karunia Allah. Ini adalah penyakit hati yang berbahaya karena dapat melahirkan kesombongan. Seseorang yang ujub merasa bahwa ia mampu berbuat baik karena kekuatan dan kemampuannya sendiri, bukan karena pertolongan dan taufik dari Allah. Ujub ini seringkali muncul setelah seseorang berhasil melakukan banyak amal kebaikan.
Quraish Shihab mengajarkan bahwa untuk menghindari ujub, seorang Muslim harus senantiasa mengingat bahwa segala sesuatu adalah anugerah dari Allah. Bahkan kemampuan untuk beramal kebaikan itu sendiri adalah nikmat yang harus disyukuri. Dengan merendahkan diri di hadapan Allah dan menyadari keterbatasan diri, seseorang dapat terhindar dari ujub yang merusak keikhlasan dan pahala amalnya.
Pemahaman Quraish Shihab tentang ikhlas tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan semata, melainkan meresap ke dalam setiap dimensi kehidupan seorang Muslim. Baginya, ikhlas adalah nafas yang menghidupkan setiap tindakan, mengubah yang profan menjadi sakral, dan yang biasa menjadi luar biasa.
Dalam salat, ikhlas berarti memusatkan seluruh perhatian hati, pikiran, dan tubuh hanya kepada Allah. Bukan sekadar gerakan fisik atau hafalan bacaan. Seorang yang ikhlas dalam salat akan merasakan ketenangan, kekhusyukan, dan kehadiran Allah. Ia tidak akan terburu-buru, tidak akan memikirkan urusan duniawi, dan tidak akan mencari perhatian orang lain. Quraish Shihab sering mengutip bahwa salat yang ikhlas adalah "mi'raj" seorang Mukmin, sebuah perjalanan spiritual mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Puasa adalah ibadah yang sangat personal dan tersembunyi, sehingga potensi keikhlasannya sangat besar. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ikhlas dalam puasa berarti menahan diri dari lapar, dahaga, dan hawa nafsu semata-mata karena perintah Allah, tanpa ada motif lain. Bahkan ketika tidak ada seorang pun yang melihat, orang yang ikhlas akan tetap menjaga puasanya. Allah SWT sendiri berfirman dalam hadis qudsi: "Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya." Ini menunjukkan betapa istimewanya puasa yang dilandasi keikhlasan.
Ikhlas dalam zakat dan sedekah berarti memberikan sebagian harta tanpa mengharapkan balasan, pujian, atau ucapan terima kasih dari penerima atau orang lain. Quraish Shihab menegaskan bahwa pemberian yang ikhlas adalah yang paling mulia, karena ia membersihkan jiwa pemberi dari sifat kikir dan sombong, sekaligus memurnikan niatnya hanya untuk Allah. Bahkan, ia mengingatkan agar tidak mengungkit-ungkit pemberian karena hal itu dapat merusak pahala sedekah.
Haji adalah ibadah agung yang membutuhkan pengorbanan besar, baik harta, tenaga, maupun waktu. Ikhlas dalam haji berarti menunaikannya semata-mata karena panggilan Allah dan demi meraih ridha-Nya, bukan untuk mendapat gelar "haji" di mata manusia, atau mencari popularitas. Quraish Shihab menekankan bahwa inti haji adalah penyucian diri dan penyerahan total kepada Allah, yang hanya bisa dicapai dengan keikhlasan yang paripurna.
Quraish Shihab senantiasa mengajarkan bahwa ikhlas tidak hanya di masjid, tetapi juga di pasar, di kantor, di sekolah, dan di setiap interaksi dengan sesama manusia. Hubungan antarmanusia yang dilandasi ikhlas akan membawa berkah dan kedamaian.
Seorang pekerja yang ikhlas akan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, dedikasi, dan profesionalisme, bukan hanya karena takut pada atasan atau mengejar gaji semata. Niat utamanya adalah mencari rezeki yang halal untuk keluarga, menjaga amanah, dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pekerjaannya akan menjadi sumber pahala dan keberkahan. Quraish Shihab bahkan sering mengaitkan kerja keras dengan jihad, selama niatnya lurus.
Bagi para da'i, ulama, dan siapa pun yang berdakwah, ikhlas adalah kunci utama. Ikhlas dalam berdakwah berarti menyampaikan kebenaran semata-mata karena Allah, dengan tujuan membimbing umat menuju jalan-Nya, bukan untuk mencari popularitas, pengikut, atau keuntungan pribadi. Quraish Shihab mengingatkan bahwa da'i yang ikhlas akan berbicara dengan hikmah, kesabaran, dan kasih sayang, karena hatinya hanya tertuju pada ridha Allah dan kemaslahatan umat.
Kasih sayang kepada pasangan, mendidik anak, berbakti kepada orang tua, membantu tetangga, atau menolong orang yang kesusahan – semua tindakan ini bisa bernilai ibadah yang besar jika dilandasi keikhlasan. Ikhlas dalam konteks ini berarti memberi tanpa mengharapkan balasan yang setimpal, berkorban tanpa merasa rugi, dan mencintai tanpa syarat, karena semua itu dilakukan demi memenuhi perintah Allah untuk berbuat baik kepada sesama.
Quraish Shihab juga sering membahas ikhlas dalam konteks kesabaran menghadapi cobaan. Ketika seseorang ditimpa musibah, ikhlas berarti menerima takdir Allah dengan lapang dada, menyadari bahwa semua berasal dari-Nya, dan tidak putus asa. Kesabaran yang ikhlas akan mengubah musibah menjadi ladang pahala dan penggugur dosa. Ia tidak akan mengeluh berlebihan, apalagi menyalahkan takdir.
Bersyukur yang ikhlas berarti mengakui bahwa semua nikmat datang dari Allah, dan menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak-Nya. Harta digunakan untuk kebaikan, ilmu digunakan untuk kemaslahatan, dan kesehatan digunakan untuk beribadah. Bukan untuk sombong, berfoya-foya, atau berbuat maksiat. Ikhlas dalam bersyukur ini akan menjaga seseorang dari kufur nikmat.
Quraish Shihab menggambarkan keikhlasan sejati sebagai puncak tertinggi dalam spiritualitas. Ini adalah kondisi di mana hati seseorang sepenuhnya terbebas dari segala bentuk syirik, riya', sum'ah, ujub, dan bahkan keinginan untuk dilihat oleh Allah pun tersamarkan oleh keberlimpahan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Pada tingkatan ini, amal dilakukan bukan karena mengharapkan surga atau takut neraka semata, tetapi semata-mata karena cinta kepada Allah dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya.
“Keikhlasan adalah rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Malaikat pencatat amal tidak mengetahuinya, setan pengganggu pun tidak bisa merusaknya, bahkan diri sendiri pun kadang tak menyadarinya secara penuh, kecuali Allah saja yang tahu.”
Pernyataan ini menunjukkan betapa dalamnya makna ikhlas. Ia adalah sebuah misteri ilahi yang hanya Allah yang berhak menilai. Ini juga berarti bahwa seseorang tidak perlu terlalu risau tentang apakah orang lain melihat keikhlasannya atau tidak, karena yang terpenting adalah penilaian Allah SWT.
Dalam pandangan Quraish Shihab, ikhlas sangat erat kaitannya dengan tawakal. Setelah seseorang berusaha maksimal dengan niat yang ikhlas, ia kemudian bertawakal sepenuhnya kepada Allah mengenai hasil. Ia percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, apapun hasilnya. Keikhlasan membuat seseorang rela menerima apapun takdir Allah, karena ia yakin semua itu adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna.
Ikhlas adalah pintu gerbang menuju ihsan, yaitu beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ihsan adalah manifestasi tertinggi dari keikhlasan. Ketika seseorang mencapai derajat ihsan, setiap amalnya dilakukan dengan kualitas terbaik karena ia merasa diawasi langsung oleh Allah. Rasa pengawasan ilahi ini mendorongnya untuk beramal dengan sepenuh hati, tanpa cela, dan tanpa campuran motif duniawi.
Membangun pribadi yang ikhlas membutuhkan latihan dan kesadaran terus-menerus. Beberapa tips yang sering diisyaratkan Quraish Shihab untuk menggapai keikhlasan antara lain:
Quraish Shihab juga menguraikan dampak ikhlas yang luar biasa, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi kemajuan komunitas dan peradaban. Ketika ikhlas meresap dalam jiwa-jiwa individu, ia akan menciptakan gelombang positif yang luas.
Individu yang ikhlas akan menemukan kedamaian batin yang hakiki. Hatinya tidak terbebani oleh keinginan untuk menyenangkan manusia, tidak gelisah oleh pujian atau celaan. Ia hidup dalam ketenangan karena segala urusannya diserahkan kepada Allah. Kebahagiaannya tidak tergantung pada validasi eksternal, melainkan pada hubungan murninya dengan Sang Pencipta. Ini adalah kebahagiaan yang tidak tergoyahkan oleh pasang surut kehidupan dunia.
Amal yang dilandasi ikhlas akan mendatangkan keberkahan. Quraish Shihab sering menjelaskan bahwa keberkahan bukanlah hanya tentang kuantitas, tetapi kualitas. Sedikit amal yang ikhlas bisa berlipat ganda nilainya di sisi Allah dan membawa manfaat yang tak terduga. Keberkahan juga akan dirasakan dalam setiap aspek kehidupan: rezeki menjadi lebih lapang, keluarga menjadi harmonis, ilmu menjadi bermanfaat, dan waktu menjadi produktif.
Orang yang ikhlas memiliki kekuatan dan keteguhan luar biasa dalam berjuang di jalan Allah. Ia tidak mudah menyerah karena motivasinya bukan dunia, melainkan ridha Ilahi. Tantangan dan hambatan justru akan semakin menguatkan tekadnya, karena ia yakin bahwa perjuangannya dilihat dan dihargai oleh Allah. Ini adalah inti dari jihad dalam pengertiannya yang luas.
Di tingkat komunitas, ikhlas akan mendorong terciptanya masyarakat yang adil dan beradab. Para pemimpin yang ikhlas akan melayani rakyat dengan tulus, tanpa korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Para ulama yang ikhlas akan membimbing umat dengan hikmah, bukan demi kepentingan pribadi. Para pengusaha yang ikhlas akan berbisnis dengan jujur, tanpa menipu atau merugikan orang lain. Seluruh elemen masyarakat yang digerakkan oleh ikhlas akan bekerja sama demi kemaslahatan bersama, menciptakan peradaban yang makmur dan diridhai Allah.
Quraish Shihab berulang kali menekankan bahwa kerusakan peradaban dan moralitas seringkali berakar pada hilangnya keikhlasan. Ketika manusia digerakkan oleh ego, ambisi duniawi, dan keinginan untuk menonjol, maka akan muncul ketidakadilan, penindasan, dan perpecahan. Oleh karena itu, kembali kepada nilai-nilai keikhlasan adalah kunci untuk membangun kembali tatanan sosial yang lebih baik.
Dalam pandangan Quraish Shihab, ikhlas adalah manifestasi paling nyata dari tawhid (keesaan Allah) dalam praktik kehidupan sehari-hari. Tawhid bukan hanya sekadar keyakinan teoritis bahwa Allah itu satu, melainkan juga harus tercermin dalam setiap amal dan niat. Ikhlas adalah praktik tawhid dalam hati dan jiwa. Ketika seseorang beramal ikhlas, ia secara praktis mengikrarkan bahwa hanya Allah yang layak disembah, hanya Allah yang menjadi tujuan, dan hanya Allah yang menjadi sandaran.
Ini adalah pemurnian ibadah dan kehidupan dari segala bentuk syirik, baik syirik akbar maupun syirik asghar (kecil). Syirik kecil, seperti riya' dan sum'ah, adalah bentuk-bentuk yang mengotori tawhid, karena seolah-olah mengikutkan pihak lain (manusia, pujian, ketenaran) dalam tujuan beramal yang seharusnya hanya untuk Allah. Quraish Shihab dengan sangat tegas menyatakan bahwa tidak ada ruang bagi dualisme dalam niat seorang Mukmin sejati.
Dengan demikian, ikhlas bukan hanya tentang moralitas atau etika, tetapi juga tentang akidah dan keyakinan. Ia adalah bukti konkret dari keimanan seseorang terhadap keesaan Allah. Semakin ikhlas seseorang, semakin kokoh pula tawhidnya.
Quraish Shihab juga sering menyoroti pentingnya ilmu dan pemahaman yang benar dalam mencapai keikhlasan. Ikhlas bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja tanpa dasar. Ia harus dilandasi oleh pengetahuan yang mendalam tentang Allah, tujuan penciptaan, dan hakikat kehidupan ini.
Semakin seseorang mengenal Allah melalui Asmaul Husna (nama-nama indah Allah) dan sifat-sifat-Nya, semakin besar pula kemungkinannya untuk beramal ikhlas. Ketika seseorang memahami bahwa Allah Maha Melihat (Al-Bashir) dan Maha Mengetahui (Al-Alim) segala niat dan perbuatan, ia akan termotivasi untuk senantiasa memurnikan niatnya. Ketika ia memahami bahwa Allah Maha Pemberi (Al-Wahhab) dan Maha Kaya (Al-Ghani), ia tidak akan terlalu bergantung pada pujian atau balasan manusia.
Pemahaman bahwa hidup ini adalah ujian dan setiap amal akan dipertanggungjawabkan di akhirat akan menjadi pendorong kuat menuju keikhlasan. Quraish Shihab mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah jembatan menuju akhirat. Jika tujuan utama seseorang adalah akhirat, maka ia akan beramal dengan niat yang murni demi bekal di sana, bukan demi kesenangan sesaat di dunia.
Mempelajari sirah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, serta kisah-kisah orang-orang shalih yang hidup dalam keikhlasan, dapat menjadi inspirasi dan motivasi. Quraish Shihab sering mengutip contoh-contoh dari mereka yang menunjukkan betapa keikhlasan mampu mengubah kesulitan menjadi kemudahan, dan ketiadaan menjadi keberkahan.
Dengan demikian, ilmu dan amal saling terkait dalam upaya meraih ikhlas. Ilmu menjadi penerang jalan, sementara amal adalah langkah-langkah nyata yang diambil. Tanpa ilmu, ikhlas bisa tersesat; tanpa ikhlas, ilmu bisa menjadi sia-sia.
Pandangan Quraish Shihab tentang ikhlas adalah sebuah ajakan untuk kembali kepada esensi spiritualitas Islam yang paling mendalam. Ikhlas, baginya, bukanlah sekadar konsep teoritis, melainkan ruh yang harus menghidupi setiap aspek keberadaan seorang Muslim. Ia adalah kunci pembuka pintu ridha Allah, penjamin keberkahan amal, dan sumber kedamaian batin yang abadi. Dari definisi etimologisnya sebagai 'kemurnian', hingga manifestasinya dalam setiap ibadah dan muamalah, Quraish Shihab terus-menerus mengingatkan kita tentang pentingnya niat yang tulus, bersih dari segala campuran motif duniawi.
Tantangan seperti riya', sum'ah, dan ujub adalah realitas yang harus dihadapi dengan kesadaran dan perjuangan tiada henti. Namun, dengan senantiasa menjaga hati, memperbarui niat, dan memohon pertolongan Allah, seorang Muslim dapat berupaya mencapai tingkatan keikhlasan sejati. Keikhlasan yang tidak hanya membawa manfaat pribadi, melainkan juga membentuk individu yang kokoh, komunitas yang harmonis, dan peradaban yang menjunjung tinggi keadilan dan kemuliaan.
Pada akhirnya, ikhlas adalah rahasia terindah antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia adalah permata tak ternilai yang kilaunya hanya akan terlihat jelas di hadapan Allah SWT di hari perhitungan kelak. Oleh karena itu, pesan utama Quraish Shihab adalah agar setiap Muslim senantiasa berjuang untuk memurnikan niat, melepaskan diri dari belenggu pujian dan celaan manusia, dan hanya mengharapkan satu balasan: ridha Allah Yang Maha Esa.
Semoga kita semua diberikan taufik dan hidayah untuk senantiasa mengarungi samudera kehidupan ini dengan perahu keikhlasan, berlayar menuju pelabuhan ridha Ilahi, sebagaimana yang diajarkan dan dihayati oleh para ulama besar seperti Quraish Shihab.