Visualisasi teknik ikat pada kain tradisional.
Kota Solo, atau yang juga dikenal sebagai Surakarta, bukan hanya pusat budaya Jawa yang kental, tetapi juga merupakan salah satu episentrum perajin kain batik jumputan Solo. Meskipun batik tulis dan cap mendominasi pasar, teknik jumputan menawarkan keindahan tekstur yang unik, membedakannya dari motif-motif yang dihasilkan melalui canting atau cap. Jumputan sendiri merupakan teknik pewarnaan resist (penolakan warna) yang mengandalkan proses pengikatan, penekukan, atau penguncian pada kain sebelum dicelup ke dalam larutan pewarna.
Secara harfiah, "jumputan" berasal dari kata dasar "jumput," yang berarti mengambil atau mengikat sedikit bagian kain. Teknik ini sangat erat kaitannya dengan metode pewarnaan ikat di Asia Tenggara, namun implementasinya pada kain yang sudah jadi (bukan benang) membuatnya lebih cepat diaplikasikan namun tetap menghasilkan pola yang artistik dan acak yang indah.
Berbeda dengan batik tulis yang mengandalkan lilin panas, jumputan memanfaatkan tekanan fisik. Perajin akan mengambil sebagian kecil kain, mengikatnya rapat menggunakan tali, benang, atau karet. Bagian yang terikat inilah yang akan menolak warna saat kain dicelupkan. Setelah proses pencelupan selesai dan ikatan dilepaskan, area yang terikat akan tetap mempertahankan warna dasar kain, menciptakan titik-titik, garis, atau pola abstrak yang menjadi ciri khas kain batik jumputan Solo.
Batik jumputan dari Solo cenderung memiliki filosofi warna yang lembut namun tetap kaya akan nuansa tradisional Jawa. Jika Anda menelusuri koleksi di daerah Laweyan atau Pasar Klewer, Anda akan menemukan variasi yang memukau.
Proses pembuatan kain batik jumputan Solo memerlukan ketelitian tinggi, terutama pada tahap persiapan. Pertama, kain mori atau katun dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Selanjutnya, perajin mulai menandai area yang akan diikat. Penentuan titik ikat ini sering kali tidak menggunakan pola cetak, melainkan intuisi dan pengalaman si pembuat jumputan.
Setelah ikatan selesai (seringkali menggunakan kelereng kecil, lilitan benang tebal, atau jepitan), kain dicelup. Kedalaman warna bergantung pada berapa kali kain dicelup dan berapa lama ia direndam dalam larutan pewarna. Teknik ini biasanya memerlukan pencelupan berulang untuk mendapatkan warna gradasi yang diinginkan, misalnya dari warna muda ke warna tua (teknik celup tunda).
Setelah proses pewarnaan selesai dan kain dikeringkan, tali atau ikatan dilepas. Momen inilah yang paling ditunggu, yaitu ketika pola resist yang tersembunyi akhirnya terungkap. Pola yang muncul memberikan kesan tiga dimensi pada kain. Selain digunakan sebagai busana, kain batik jumputan Solo juga sangat diminati untuk hiasan dinding atau aksen interior karena teksturnya yang kaya.
Saat memilih batik jumputan, perhatikan kerapian ikatan. Ikatan yang terlalu longgar akan menghasilkan bercak warna yang melebar, sementara ikatan yang terlalu kencang bisa merusak serat kain. Di Solo, Anda dapat membandingkan kualitas berdasarkan teknik pengikatan dan kedalaman warna.
Perawatan kain batik jumputan Solo serupa dengan batik pada umumnya. Hindari pencucian menggunakan deterjen keras dan mesin cuci. Pencucian manual dengan air dingin dan menggunakan sabun lerak tradisional sangat dianjurkan untuk menjaga warna agar tidak luntur dan tekstur kain tetap lembut. Hindari menjemur langsung di bawah sinar matahari terik untuk mencegah pemudaran warna yang tidak merata. Dengan perawatan yang tepat, warisan kain jumputan Solo ini akan lestari dan tetap indah untuk generasi mendatang.