Dalam rentang waktu kehidupan manusia, ada kalanya kita dihadapkan pada sebuah fenomena emosional yang begitu kuat, hingga terasa melampaui batas nalar. Frasa "kalau ketemu suka lupa diri sampai besok" seringkali terdengar, diucapkan dengan nada bercampur antara kagum, geli, atau bahkan sedikit kekhawatiran. Ungkapan ini bukan sekadar perumpamaan, melainkan cerminan dari bagaimana perasaan cinta, kebahagiaan yang membuncah, atau bahkan rasa terkesima yang mendalam, dapat memengaruhi persepsi dan perilaku kita secara signifikan.
Ketika seseorang "lupa diri" dalam konteks ini, seringkali berarti ia kehilangan sebagian kesadarannya akan waktu dan konsekuensi jangka panjang. Fokusnya tersedot sepenuhnya pada momen yang sedang dialami. Bayangkan dua orang yang baru saja bertemu dan merasakan ketertarikan luar biasa. Percakapan mengalir lancar, tawa berderai, dan dunia seolah berhenti berputar. Dalam pusaran euforia ini, jam dinding mungkin tidak lagi relevan. Janji temu lain, pekerjaan yang menunggu, atau bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur, bisa terlupakan begitu saja. Energi positif yang tercipta begitu kuat, menciptakan ilusi bahwa momen tersebut adalah segalanya, dan segala sesuatu di luar itu bisa menunggu atau bahkan tidak ada.
Istilah "sampai besok" di sini bukanlah penanda waktu yang harfiah, melainkan gambaran seberapa jauh kesadaran akan realitas sehari-hari tereduksi. Saat mereka akhirnya tersadar dari "lamunan" indah tersebut, hari sudah berganti, dan barulah mereka melihat tumpukan notifikasi atau daftar tugas yang terbengkalai. Ini bukan berarti orang tersebut tidak bertanggung jawab, melainkan betapa kuatnya pengaruh emosi yang sedang dirasakan. Otak kita saat mengalami kebahagiaan ekstrem melepaskan hormon-hormon seperti dopamin dan oksitosin, yang dapat memengaruhi area otak yang terkait dengan pengambilan keputusan, perencanaan, dan penilaian risiko. Alhasil, prioritas bisa bergeser sementara, dan logika yang biasanya menjadi panduan utama, sementara waktu, dikesampingkan.
Fenomena "lupa diri" ini bisa memiliki sisi positif. Dalam hubungan romantis, perasaan terhanyut ini adalah bagian penting dari jatuh cinta. Ini menciptakan kedekatan emosional yang kuat dan pengalaman yang tak terlupakan. Kehidupan terasa lebih berwarna dan penuh gairah. Dalam konteks lain, misalnya saat seseorang menemukan hobi baru yang sangat disukainya atau menyaksikan pertunjukan seni yang memukau, rasa terkesima ini dapat mendorong kreativitas dan memberikan energi baru. Ini adalah bentuk pelarian yang sehat dari rutinitas dan stres sehari-hari, asalkan tidak berlebihan.
Namun, tentu saja ada sisi negatifnya. Jika "lupa diri" ini terjadi secara kronis atau pada situasi yang krusial, bisa menimbulkan masalah. Mengabaikan tanggung jawab pekerjaan dapat berujung pada performa buruk atau bahkan pemecatan. Melupakan janji penting dengan keluarga atau teman dapat merusak hubungan. Dalam kasus yang lebih ekstrem, keputusan impulsif yang dibuat saat "lupa diri" dapat memiliki konsekuensi finansial atau personal yang berat. Keseimbangan adalah kunci. Menikmati momen secara penuh memang penting, tetapi tetap terhubung dengan realitas dan tanggung jawab adalah esensial untuk kehidupan yang stabil.
Jadi, bagaimana kita bisa menikmati perasaan indah ini tanpa kehilangan pijakan pada kenyataan? Pertama, penting untuk menyadari bahwa perasaan ini bersifat sementara. Mengingat bahwa "besok" akan datang dan tanggung jawab akan menanti dapat membantu menjaga keseimbangan. Kedua, latihan kesadaran (mindfulness) dapat membantu kita tetap hadir di momen saat ini sambil tetap menyadari lingkungan dan waktu. Meditasi atau latihan pernapasan sederhana bisa menjadi alat yang efektif.
Ketiga, komunikasi. Jika Anda sedang bersama seseorang yang juga merasakan euforia serupa, saling mengingatkan tentang waktu atau janji yang ada bisa sangat membantu. Keempat, menetapkan batasan. Misalnya, jika Anda tahu akan ada pertemuan penting keesokan harinya, mungkin perlu untuk membatasi waktu berkumpul atau aktivitas yang bisa membuat Anda "terlalu lupa diri". Pada akhirnya, kemampuan untuk merasakan emosi yang kuat, seperti cinta yang membuat "lupa diri sampai besok", adalah sebuah anugerah. Namun, kebijaksanaan terletak pada bagaimana kita menavigasinya, agar kebahagiaan tersebut justru membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, bukan menjauhkan kita dari tanggung jawab dan realitas.
Fenomena "lupa diri sampai besok" mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk emosional. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali menuntut rasionalitas dan efisiensi, ada ruang untuk momen-momen di mana kita terhanyut dalam keindahan, kebahagiaan, atau kekaguman. Pengalaman ini, jika dikelola dengan baik, dapat memperkaya hidup kita, memperdalam hubungan, dan memberikan inspirasi yang tak ternilai harganya. Itulah keajaiban cinta dan emosi yang kadang membuat kita lupa segalanya, bahkan hingga besok.