Dalam kehidupan, tak jarang kita dihadapkan pada situasi di mana kebaikan yang telah kita curahkan tidak mendapatkan balasan setimpal, atau bahkan justru dibalas dengan ketidakpedulian. Fenomena ini, di mana seseorang tampak lupa atau sengaja mengabaikan budi baik yang pernah diterimanya, memang bisa sangat menyakitkan dan membuat kecewa. Ketika kita telah berjuang untuk membantu, memberi dukungan, atau melakukan sesuatu yang berarti bagi orang lain, harapan kita adalah adanya sedikit pengakuan, apalagi timbal balik yang tulus. Namun, realitas kadang berkata lain.
Seringkali, kita merasa seperti sedang menabur benih kebaikan di tanah yang tandus. Kita memberi, kita peduli, kita berusaha menjadi sandaran. Namun, yang tumbuh bukanlah bunga kebahagiaan atau buah keberhasilan bersama, melainkan semak berduri kekecewaan dan rasa sesal. Orang yang tidak tahu balas budi seolah memiliki daya tahan luar biasa untuk melupakan setiap jengkal bantuan yang pernah singgah. Mereka datang saat butuh, meminta, bahkan menuntut, namun saat giliran kita membutuhkan, mereka menghilang bagai ditelan bumi.
Bisa jadi, kita terlalu naif karena berharap ada apresiasi. Mungkin, dalam kamus mereka, "bantuan" hanyalah transaksi satu arah tanpa konsekuensi emosional. Atau lebih buruk lagi, mereka menikmati posisi sebagai penerima tanpa pernah berpikir untuk memberi kembali. Kata-kata sindiran, meskipun terkadang terasa kasar, bisa menjadi cara untuk menyadarkan, atau setidaknya, meluapkan kekecewaan yang terpendam.
"Saya kira ada tombol 'terima kasih' di hatimu, ternyata yang ada hanya tombol 'lupa'."
Ketika seseorang terus-menerus mengambil tanpa pernah memberi, itu bukan lagi soal pertemanan atau hubungan baik, melainkan eksploitasi. Kita mungkin pernah menolong mereka keluar dari kesulitan, memberikan waktu, tenaga, bahkan materi. Lalu, ketika kita sendiri tersandung, mereka dengan santainya berkata, "Oh, ya? Syukurlah kamu baik-baik saja." Tanpa tawaran bantuan, tanpa empati yang mendalam. Rasanya seperti telah mengulurkan tangan untuk menolong tenggelam, namun sang penolong malah berenang menjauh begitu kakinya menapak daratan.
Sindiran seperti ini bukan bertujuan untuk mempermalukan semata, tetapi lebih kepada refleksi atas perilaku yang tidak pantas. Ini adalah pengingat bahwa interaksi sosial yang sehat dibangun di atas prinsip saling memberi dan menerima. Mengabaikan budi baik orang lain sama saja dengan merusak jembatan yang telah dibangun dengan susah payah.
"Kebaikan saya mungkin gratis, tapi kesabaran saya ada batasnya, dan kamu sudah lama melewatinya."
Ada juga tipe orang yang ketika dibantu, akan berjanji seribu kali untuk membalas budi, namun janji itu menguap begitu saja bersama hembusan angin. Mereka pandai merangkai kata manis, tapi tidak pandai bertindak. Kita bisa melihatnya dari bagaimana mereka memperlakukan orang lain yang pernah membantu mereka. Jika mereka begitu mudah melupakan kebaikan kita, bayangkan saja bagaimana mereka akan memperlakukan orang lain. Siklus ketidakpedulian ini bisa sangat melelahkan untuk dihadapi.
Menjadi orang baik memang mulia, namun menjadi orang baik yang terus-menerus dimanfaatkan adalah sesuatu yang perlu direnungkan. Penting untuk menjaga keseimbangan. Memberi itu indah, tetapi jangan sampai kebaikan kita dianggap sebagai kelemahan. Ada kalanya kita perlu menetapkan batasan dan menyadari bahwa tidak semua orang layak mendapatkan kebaikan kita, terutama mereka yang tak pernah menghargainya.
"Mungkin kamu lupa, tapi saya ingat setiap tetes keringat yang saya keluarkan untukmu. Dan kini, sepertinya air mata kekecewaan yang mulai mengalir."
Pada akhirnya, menghadapi orang yang tidak tahu balas budi memang memerlukan kekuatan mental. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk memiliki hati yang lapang. Yang bisa kita lakukan adalah memilih untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Belajar dari pengalaman, menjaga jarak dari orang-orang yang terus-menerus mengambil tanpa memberi, dan teruslah menjadi pribadi yang baik, namun dengan kebijaksanaan yang lebih.
"Terima kasih atas pelajaran berharganya. Ternyata, tidak semua benih berbuah manis, ada juga yang hanya tumbuh menjadi duri."
Ingatlah, kebaikan sejati tidak menuntut imbalan, tetapi ia juga tidak pantas diperlakukan seperti sampah. Hargai mereka yang menghargaimu, dan belajarlah untuk melepaskan mereka yang tak pernah peduli.