Dalam khazanah kekayaan sastra lisan Indonesia, pantun menempati posisi yang istimewa. Keunikan pantun terletak pada struktur empat larik dengan skema rima a-b-a-b, di mana dua larik pertama merupakan sampiran dan dua larik terakhir adalah isi atau pesan. Pantun sering kali menjadi media untuk menyampaikan nasihat, kritik, humor, hingga ungkapan perasaan. Salah satu pantun yang kerap muncul dan menarik perhatian karena kekonyolannya adalah pantun "ikan paus makan tomat".
Secara sepintas, pantun ini terdengar absurd. Ikan paus, makhluk raksasa penghuni lautan dalam, secara logis tidak mungkin memakan tomat, buah yang tumbuh di daratan dan biasa dikonsumsi manusia. Ketidaksesuaian inilah yang justru menjadi daya tarik utama pantun "ikan paus makan tomat". Ia bukan pantun yang mengandalkan logika alam, melainkan pantun yang mengutamakan permainan kata, irama, dan kejutan humor.
Keunikan pantun ini dapat ditelaah dari beberapa sudut pandang:
Meskipun tampak sederhana dan konyol, pantun seperti "ikan paus makan tomat" memiliki beberapa fungsi:
Pantun ini seringkali digunakan sebagai pemancing tawa dalam situasi santai, pembuka percakapan ringan, atau bahkan sebagai cara untuk menguji kreativitas seseorang dalam merangkai kata. Ia menunjukkan bahwa pantun tidak selalu harus sarat makna filosofis mendalam; terkadang, hiburan murni adalah tujuannya.
Dalam konteks sastra lisan, pantun ini adalah bukti adaptabilitas dan kreativitas masyarakat dalam berbahasa. Ia menunjukkan bahwa bahasa dapat digunakan untuk bersenang-senang, menciptakan keceriaan, dan merayakan keunikan ekspresi. Para seniman pantun, atau tukang pantun, seringkali menggunakan pantun semacam ini untuk menghibur penonton, memecah kebekuan suasana, atau sebagai bagian dari permainan tebak pantun.
Mari kita lihat bagaimana pantun ini dapat dirangkai:
Jalan-jalan ke pasar minggu,
Beli baju buat sang mama.
Ikan paus makan tomat lucu,
Apalah guna nasihat lama.
Beli jeruk di tepi kali,
Sungguh manis rasanya buahnya.
Ikan paus makan tomat sekali,
Malah bikin suasana riuhnya.
Contoh di atas menunjukkan bagaimana "ikan paus makan tomat" menjadi inti yang menarik, sementara sampiran dibuat sedemikian rupa agar selaras dengan rima yang diinginkan. Kekonyolan inti pantun inilah yang seringkali menjadi titik fokus kejenakaan.
Pantun "ikan paus makan tomat" mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, namun justru di situlah letak pesonanya. Ia adalah representasi humor nonsens dalam bentuk pantun yang membuktikan bahwa sastra lisan Indonesia mampu menjelajahi berbagai spektrum ekspresi, dari yang paling serius hingga yang paling ringan dan menggelitik. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa seni berbahasa juga bisa menjadi sumber tawa dan kegembiraan murni, sebuah pengingat untuk tidak selalu mencari makna tersembunyi di balik setiap untaian kata, melainkan menikmati keindahan permainan irama dan bunyi yang tercipta. Pantun ini adalah salah satu permata kecil dalam kekayaan budaya lisan kita yang mengajarkan kita untuk tersenyum dan menikmati keunikan.