Dalam ranah hukum pidana, konsep peniadaan peristiwa pidana merupakan salah satu pilar fundamental yang menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Konsep ini tidak hanya berbicara tentang ada atau tidaknya suatu perbuatan, melainkan juga mengenai apakah perbuatan tersebut memenuhi seluruh unsur yang disyaratkan oleh undang-undang untuk dianggap sebagai sebuah pidana. Memahami peniadaan peristiwa pidana sangat krusial bagi aparat penegak hukum, praktisi hukum, maupun masyarakat umum agar dapat menafsirkan dan menerapkan hukum pidana secara adil dan tepat sasaran. Inti dari peniadaan peristiwa pidana adalah bahwa jika suatu perbuatan tidak memenuhi unsur-unsur formil dan materil dari suatu delik, maka perbuatan tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu peristiwa pidana. Dengan kata lain, meskipun suatu perbuatan tampak merugikan atau bertentangan dengan norma sosial, tanpa adanya kesesuaian dengan rumusan undang-undang, ia tidak dapat dipidana.
Salah satu aspek terpenting dalam peniadaan peristiwa pidana terkait erat dengan prinsip legalitas, yang terkandung dalam adagium nullum crimen sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang). Prinsip ini menegaskan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana apabila telah diancam oleh undang-undang pidana sebelum perbuatan itu dilakukan. Hal ini berarti, jika suatu perbuatan tidak secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana, meskipun secara moral atau sosial dianggap salah. Prinsip legalitas juga mencakup beberapa aspek lain, yaitu lex scripta (undang-undang harus tertulis), lex certa (undang-undang harus jelas dan tidak ambigu), dan lex stricta (undang-undang tidak boleh ditafsirkan secara luas untuk menjangkau perbuatan yang tidak dimaksudkan oleh pembuat undang-undang).
Selanjutnya, peniadaan peristiwa pidana juga dapat terjadi karena tidak terpenuhinya unsur-unsur objektif maupun subjektif dari suatu delik. Unsur objektif merujuk pada perbuatan fisik yang dilakukan, akibat yang ditimbulkan, dan hubungan sebab-akibat antara perbuatan dan akibat. Misalnya, dalam kasus pencurian, unsur objektifnya adalah mengambil barang orang lain, tanpa hak, dan barang tersebut beralih penguasaannya. Jika salah satu dari unsur objektif ini tidak terpenuhi, misalnya barang yang diambil bukan milik orang lain atau tidak ada peralihan penguasaan, maka peristiwa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian. Di sisi lain, unsur subjektif berkaitan dengan kesengajaan atau kelalaian pelaku. Jika suatu delik mensyaratkan adanya kesengajaan (opzet), namun perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian (culpa), maka unsur subjektif tidak terpenuhi dan peristiwa tersebut bisa saja ditiadakan sebagai peristiwa pidana (tergantung pada rumusan deliknya, karena ada delik yang dapat dilakukan karena kelalaian).
Dalam konteks lebih mendalam, terdapat berbagai alasan atau keadaan yang dapat menyebabkan peniadaan peristiwa pidana. Salah satu yang paling umum adalah mengenai kesalahan (schuld). Jika suatu perbuatan secara formil memenuhi unsur-unsur delik, namun pelaku tidak dapat dipersalahkan karena berbagai alasan, maka peristiwa tersebut tidak dapat dihukum. Alasan ini bisa mencakup keadaan yang menghilangkan kesalahan, seperti tidak adanya kemampuan bertanggung jawab (onmacht) karena gangguan jiwa, keadaan terpaksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), atau perintah jabatan yang melawan hukum (ambtelijk bevel). Dalam kasus-kasus seperti ini, meskipun suatu perbuatan fisik telah terjadi dan menimbulkan kerugian, pelaku tidak dapat dianggap bersalah secara pidana karena adanya faktor-faktor yang membebaskan atau menghilangkan unsur kesalahan.
Aspek penting lain yang juga terkait dengan peniadaan peristiwa pidana adalah mengenai perbuatan itu sendiri. Terkadang, suatu perbuatan yang secara sepintas tampak merugikan atau melanggar hukum, ternyata tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena adanya norma hukum lain yang memperbolehkan atau bahkan memerintahkannya. Misalnya, tindakan dokter yang melakukan operasi bedah atas persetujuan pasien demi menyelamatkan nyawanya, meskipun tindakan tersebut secara fisik dapat dikategorikan sebagai penganiayaan jika dilakukan tanpa dasar hukum. Dalam kasus ini, tindakan dokter tersebut dibenarkan oleh hukum dan tidak dapat dipidana. Hal ini juga berlaku pada tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, selama dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Memahami peniadaan peristiwa pidana juga penting dalam konteks pembuktian. Pihak penuntut umum memiliki beban pembuktian untuk membuktikan seluruh unsur delik yang didakwakan. Apabila dalam proses pembuktian ditemukan bahwa salah satu unsur delik tidak terpenuhi, maka hakim harus menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip in dubio pro reo (apabila ada keraguan, hendaknya cenderung menguntungkan terdakwa). Keraguan yang muncul terkait terpenuhinya unsur-unsur peristiwa pidana secara otomatis akan mengarah pada peniadaan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa.
Oleh karena itu, konsep peniadaan peristiwa pidana bukan sekadar rumusan teoretis, melainkan memiliki implikasi praktis yang sangat luas dalam sistem peradilan pidana. Ia berfungsi sebagai mekanisme filter untuk memastikan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang benar-benar memenuhi kriteria hukum pidana yang dapat dikenai sanksi. Dengan demikian, penegakan hukum pidana menjadi lebih adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.