Alam membentang luas, harmoni yang tercipta dari miliaran elemen yang saling terkait. Pohon menjulang gagah, memberikan naungan dan udara segar. Sungai mengalir jernih, menghidupi segala makhluk di tepiannya. Lautan membiru dalam, menyimpan misteri dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Langit membentang tanpa batas, menjadi kanvas bagi awan yang berganti rupa. Semua adalah satu kesatuan, sebuah ekosistem yang rapuh namun perkasa. Puisi lingkungan hidup adalah seruan hati, sebuah gema dari alam yang semakin merintih tertindih oleh kerakusan dan ketidakpedulian manusia.
Di rimba sunyi, ranting berbisik mesra, Mengisahkan cerita purba, tentang kehidupan yang fana. Akar merayap dalam bumi, menopang segala asa, Daun hijau bergoyang, menyambut mentari ceria. Udara segar terhirup, jiwa pun kembali merdeka, Namun kini bisikan itu berubah, menjadi rintihan papa.
"Kita bukanlah pemilik alam, melainkan penjaganya. Setiap tindakan kecil kita memiliki dampak besar bagi kelestarian bumi."
Kemajuan seringkali datang dengan harga yang mahal. Hutan-hutan yang dulunya rimbun kini tergantikan oleh gedung-gedung beton yang menjulang. Sungai-sungai yang dulu mengalirkan kehidupan kini dipenuhi sampah dan limbah industri. Udara yang kita hirup menjadi pekat oleh polusi kendaraan dan pabrik. Keanekaragaman hayati perlahan menghilang, spesies-spesies tak berdosa lenyap sebelum sempat dikenal. Ini adalah ironi zaman, di mana manusia yang seharusnya menjadi puncak ciptaan malah menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup planet ini. Puisi lingkungan hidup menjadi cara untuk mengingatkan, untuk membangkitkan nurani yang tertidur.
Samudra biru bergelora, menyimpan sejuta pesona, Terumbu karang beraneka, rumah ikan-ikan jelita. Namun kini keruh warnanya, plastik mengapung merana, Terumbu karang memutih, kehidupan pun terancam sirna. Ratapan bumi terdengar pilu, dari kedalaman yang kelabu, Menanti sentuhan lembut, tangan manusia yang tulus.
Ancaman perubahan iklim bukan lagi sekadar ramalan, melainkan realitas yang sudah kita rasakan. Kenaikan suhu global memicu bencana alam yang semakin sering terjadi: banjir bandang, kekeringan ekstrem, badai dahsyat, dan kebakaran hutan yang tak terkendali. Es di kutub mencair, permukaan air laut naik, mengancam pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir. Semua ini adalah peringatan keras dari alam semesta, bahwa keseimbangan telah terusik. Puisi lingkungan hidup hadir sebagai jembatan, menghubungkan kesadaran individu dengan urgensi tindakan kolektif. Ia mengajak kita untuk merenung, untuk merasakan sakitnya bumi, dan untuk bangkit bertindak.
Tak perlu merubah dunia dalam semalam, Cukup mulai dari diri sendiri, dari langkah yang terjam. Pilahlah sampahmu, kurangi plastik sekali pakai, Tanamlah pohon di halaman, rawatlah hingga berderai. Hematlah air dan energi, sadarlah akan artinya, Karena bumi ini satu, tak ada planet pengganti.
Setiap puisi yang tercipta tentang lingkungan adalah sebuah doa. Doa untuk bumi yang lestari, doa untuk anak cucu kita yang kelak masih bisa menikmati keindahan alam. Puisi lingkungan hidup adalah panggilan untuk bertindak, bukan sekadar merenung. Ia mengingatkan kita bahwa kita adalah bagian dari alam, bukan tuan atasnya. Dengan puisi, kita berharap dapat menyentuh hati banyak orang, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Mari kita jadikan setiap bait puisi ini sebagai pengingat, dan setiap kata sebagai motivasi untuk beraksi. Melindungi lingkungan bukan hanya tugas pemerintah atau organisasi, melainkan tanggung jawab moral setiap insan. Mari bersama-sama menjadi penjaga setia, pewaris yang bertanggung jawab bagi planet yang kita cintai ini.