Senja

Puisi Pramuka Sedih: Luka di Tengah Alam

Alam semesta Pramuka selalu digambarkan penuh keceriaan, persahabatan, dan semangat petualangan. Namun, di balik seragam cokelat yang gagah dan tepukan semangat yang riuh, tersimpan pula kisah-kisah pilu yang tak terucap. Saat matahari terbenam di ufuk barat, menorehkan warna jingga yang syahdu, terkadang hati seorang pramuka diliputi kesedihan. Ini bukan tentang kegagalan dalam mencapai sebuah simpul tali, atau tersesat di hutan belantara. Ini adalah kesedihan yang lebih dalam, luka yang meresap hingga ke relung jiwa.

Ketika api unggun mulai meredup, menyisakan bara yang memancarkan kehangatan semu, pikiran melayang pada hal-hal yang telah pergi. Kenangan tentang sahabat yang kini terpisah jarak, atau mungkin sosok pembina yang telah tiada, bisa menjadi alasan di balik tatapan nanar ke langit malam. Bintang-bintang yang berkelip di atas sana, seolah menjadi saksi bisu setiap tetes air mata yang jatuh tanpa suara. Gemuruh jangkrik dan desir angin di antara pepohonan pinus, yang biasanya menjadi melodi pengantar tidur, kini terdengar seperti ratapan sendu.

Setiap kegiatan pramuka mengajarkan kita tentang kebersamaan, tentang saling menjaga dan melindungi. Namun, tidak semua situasi dapat dihindari. Ada kalanya kesendirian menyergap di tengah keramaian. Ada kalanya sebuah kehilangan terasa begitu nyata, meski dikelilingi oleh orang-orang terkasih. Puisi pramuka sedih ini mencoba merangkum perasaan yang terpendam, sebuah ekspresi dari hati yang sedang terluka, namun tetap berusaha teguh seperti tiang bendera yang menjulang tinggi.

Di bawah langit yang memudar,
Api unggun meredup perlahan.
Tiada lagi tawa yang berhamburan,
Hanya hening merajai malam.

Seragam ini saksi bisu,
Perjuangan, mimpi, dan rindu.
Namun kini, di balik senyum itu,
Ada duka yang merasuk kalbu.

Sahabat, jejakmu hilang di ujung jalan,
Pembina, suaramu kini tinggal kenangan.
Di rimba sunyi, hati terasa berat,
Mimpi yang kandas, asa yang terperangah.

Bukan api unggun yang tak lagi hangat,
Tapi hati yang dilanda kabut pekat.
Mengapa senja harus selalu berujung gelap?
Saat bintang-bintang pun enggan menatap.

Biarlah air mata ini mengalir,
Menyiram luka yang masih mengalir.
Meski tertatih, ku kan terus berdiri,
Karena di dalam jiwa, semangat takkan mati.

Puisi ini adalah pengingat bahwa menjadi pramuka bukan berarti harus selalu kuat dan tegar secara fisik semata. Kematangan emosional dan kemampuan untuk merasakan serta mengekspresikan kesedihan adalah bagian dari perjalanan hidup yang utuh. Dalam kesendirian malam, di tengah hening alam, seorang pramuka belajar untuk memahami dirinya sendiri, untuk merawat luka yang tersembunyi, dan untuk menemukan kekuatan dalam kerapuhan. Alam yang luas, yang selalu menjadi sahabat setia, juga menjadi tempat pemulihan, tempat jiwa menemukan kedamaian di antara akar-akar yang kokoh dan langit yang tak bertepi. Ini adalah sisi lain dari kepramukaan yang jarang terungkap, sebuah melodi kesedihan yang harmonis dengan keindahan alam.

🏠 Homepage