Dalam hening malam, di antara rintik hujan yang membasahi jendela, hati ini bergumam. Terkenang wajah-wajah teduh, tangan-tangan yang membimbing, dan suara-suara yang mengajarkan arti kehidupan. Dua pilar utama dalam perjalanan hidup ini: orang tua dan guru. Jasa mereka, bagai samudra yang tak bertepi, seringkali baru terasa kedalamannya ketika sang waktu telah mengikis habis kesempatan untuk membalasnya.
Di balik senyum riang, tersimpan lelah yang tak terperi,
Dalam pelukan hangat, dunia terasa utuh berdiri.
Engkau, ibu, pelabuhan hati yang tak pernah sepi,
Telah kau curahkan segalanya, demi mimpi sang buah hati.
Kini, keriput mulai menghiasi sudut matamu yang bening,
Rambut yang dulu hitam legam, kini memutih seiring usia berpaling.
Aku melihatmu, ibu, dengan hati yang teriris pilu,
Bagai melihat mentari senja yang perlahan tenggelam, membawa sinarnya yang syahdu.
Bisakah aku mengembalikan setiap tetes keringatmu yang mengalir?
Bisakah aku meredakan sedikit saja lelah di pundakmu yang tegar?
Saat suara serakmu tak lagi mampu berbisik lembut,
Aku hanya bisa berharap, maafkanlah segala khilafku yang tak terhitung.
Tangan kasar yang selalu berusaha membentengi,
Dahi berkerut menyimpan beban, tak pernah terperi.
Engkau, ayah, benteng kokoh di tengah badai kehidupan,
Kau ajarkan arti juang, tanpa pernah meminta balasan.
Kini punggungmu membungkuk, tak sekuat dulu merengkuh,
Langkahmu mulai terseok, tak selincah dulu melangkah jauh.
Aku melihatmu, ayah, dengan jiwa yang bergetar sedih,
Bagai melihat pohon tua yang rantingnya mulai berguguran, tak sanggup lagi meneduh.
Adakah untaian doa yang bisa meringankan bebanmu?
Adakah pelukan hangat yang bisa menghapus lelah di wajahmu?
Saat suara lantangmu tak lagi mampu membimbingku tegas,
Aku hanya bisa merindukan masa lalu, saat kau masih gagah bergegas.
Di ruang kelas yang sederhana, kau taburkan ilmu,
Membuka jendela dunia, mengusir ragu yang membelenggu.
Setiap kata yang terucap, bagai benih kebaikan tersemat,
Mengukir masa depan, menumbuhkan asa yang berkarat.
Kini wajahmu tak lagi berseri, disapu usia yang terus berjalan,
Mata yang dulu awas menatap, kini mulai redup tak lagi terbilang.
Aku melihatmu, guru, dengan hati yang terenyuh dalam diam,
Bagai melihat lentera tua yang cahayanya kian meredup, namun jejaknya terpatri dalam.
Bisakah aku membalas setiap kesabaran yang kau beri?
Bisakah aku menghapus lelah di wajahmu yang selalu sabar menanti?
Saat suara lembutmu tak lagi mampu mengeja huruf satu-satu,
Aku hanya bisa merenung, betapa beruntungnya aku pernah belajar darimu.
Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar impian, melupakan mereka yang telah memberikan segalanya demi mimpi kita. Kesedihan itu muncul ketika kita menyadari bahwa waktu terus berlari, dan kesempatan untuk berterima kasih, meminta maaf, atau sekadar memeluk erat semakin menipis. Jasa orang tua dan guru bukanlah utang yang bisa dilunasi dengan materi, melainkan kebaikan abadi yang tertulis di hati. Semoga kita selalu diberi kesempatan untuk menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kita, sebelum senja benar-benar tiba.
Puisi ini adalah renungan, sebuah pengingat bagi kita semua untuk tidak melupakan akar kebaikan kita. Jasa mereka tak terhingga, dan rasa sedih ini muncul dari kesadaran akan keterbatasan diri untuk membalasnya sepenuhnya. Semoga kita menjadi pribadi yang berbakti, mendoakan kebaikan bagi mereka yang telah membentuk diri kita.