Diri sendiri adalah semesta terluas yang seringkali terlupakan. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, kebisingan dunia luar, dan tuntutan sosial, kita kerap tenggelam dalam arus, lupa menyapa jiwa yang bersemayam di dalam dada. Puisi menjadi jembatan, sebuah lorong waktu, atau mungkin cermin bening untuk memantulkan kembali segala rasa yang bersembunyi, yang berdenyut, yang tertahan, maupun yang meluap.
Perasaan diri sendiri adalah palet warna yang paling kaya. Ada gradasi kebahagiaan yang membumbung tinggi, rasa syukur yang mengalir tenang seperti sungai, dan kedamaian yang memeluk erat. Namun, tak jarang pula kita bertemu dengan gurat kesedihan yang dalam, keraguan yang menggerogoti, rasa cemas yang berkelebat seperti bayangan, atau bahkan amarah yang membara bagai bara api.
Menulis puisi tentang perasaan diri sendiri bukan sekadar merangkai kata. Ini adalah ritual penyembuhan, sebuah terapi ekspresi yang membebaskan. Saat kata-kata mulai menari di atas kertas (atau layar), kita memberi ruang bagi emosi yang selama ini terpendam untuk bernapas, untuk dilihat, untuk dipahami. Setiap bait, setiap larik, adalah bentuk penerimaan terhadap diri sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Puisi tentang perasaan diri sendiri adalah pengakuan akan kompleksitas manusia. Kita bukan sekadar robot yang bergerak sesuai perintah, melainkan entitas yang hidup, merasakan, dan berinteraksi dengan dunia batin kita sendiri. Ada momen keheningan yang mendalam, di mana kita merenungkan makna keberadaan, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tersembunyi di balik keseharian.
Kadang, perasaan itu hadir bagai badai, mengamuk dan mengguncang fondasi ketenangan kita. Namun, di balik badai, seringkali tersimpan kekuatan yang tak terduga. Puisi bisa menjadi jangkar, tempat kita berlabuh sejenak untuk memproses segala gejolak, menemukan kembali keseimbangan, dan bangkit dengan pemahaman yang lebih utuh.
Bagaimana rasanya saat harapan memudar? Bagaimana rasanya saat mimpi terasa begitu jauh? Puisi memberikan wadah untuk menggambarkannya. Tanpa penghakiman, tanpa perlu menutupi, kita bisa menuangkan segala kepedihan. Hal ini penting, karena dengan mengakui luka, kita membuka jalan untuk penyembuhan. Luka yang tak terucap cenderung mengakar dan tumbuh menjadi kegelapan yang lebih besar.
Di sudut hati, ada riak rindu,
Mengapa jiwa terasa sendu?
Bukan karena dunia tak indah,
Hanya saja diri belum sepenuhnya merekah.
Ada kalanya peluh mengering,
Namun air mata enggan bergulir.
Sebuah benteng kokoh tak terlihat,
Menyimpan luka yang teramat berat.
Namun, lihatlah mentari di pagi hari,
Ia tak pernah lupa terbit kembali.
Begitu pula asa dalam dada,
Akan menemukan jalannya, walau tertatih.
Aku adalah kisah yang belum selesai,
Dengan babak sedih dan bahagia terangkai.
Menerima semua, merangkul yang ada,
Karena diri sendiri adalah rumah terjaga.
Proses kreatif ini juga mengajarkan kita tentang kepekaan. Semakin sering kita menyelami dunia batin, semakin kita terlatih untuk mengenali sinyal-sinyal halus dari tubuh dan jiwa. Perasaan yang samar, intuisi yang berbisik, semuanya menjadi lebih jelas ketika kita membiasakan diri untuk mendengarkan.
Puisi adalah pernyataan otentik. Ia tidak peduli tentang citra yang ingin kita bangun di hadapan orang lain. Ia berbicara dari lubuk hati yang paling dalam, jujur dan tanpa pretensi. Melalui puisi, kita bisa berkomunikasi dengan diri kita yang terdalam, memaafkan kesalahan masa lalu, dan merangkai kembali serpihan-serpihan diri menjadi sebuah mozaik yang indah.
Ketika kita berani menulis tentang perasaan diri sendiri, kita sedang melakukan perjalanan penemuan. Kita menemukan fragmen-fragmen yang hilang, menyatukan bagian-bagian yang terpisah, dan pada akhirnya, membangun hubungan yang lebih kuat dengan diri kita sendiri. Ini adalah fondasi dari segala hubungan yang sehat; jika kita tidak bisa menerima dan memahami diri sendiri, bagaimana kita bisa berharap untuk benar-benar terhubung dengan orang lain?
Oleh karena itu, mari luangkan waktu untuk menyapa diri. Dengarkan detak jantungmu, perhatikan tarikan napasmu, dan biarkan pena mengalirkan apa pun yang terasa. Puisi tentang perasaan diri sendiri adalah undangan untuk mencintai diri, untuk memeluk semua sisi dirimu, dan untuk menyadari bahwa di dalam dirimu terdapat kekuatan, keindahan, dan kedalaman yang tak terhingga.