Di dunia yang serba transaksional ini, hampir segalanya seolah punya label harga. Mulai dari secangkir kopi, aksesORIES fashion, hingga sekadar pengakuan dan apresiasi. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah diperjualbelikan? Sesuatu yang jika dilepas, rasanya lebih merugikan ketimbang kehilangan harta berlimpah. Ya, kita bicara tentang **harga diri**.
Seringkali, kita melihat fenomena di mana orang rela "menjual" sebagian dari harga diri mereka demi keuntungan sesaat. Entah itu demi pujian palsu, pengakuan semu, atau sekadar menghindari konfrontasi yang mungkin dianggap tidak layak. Kata-kata sindiran tentang betapa "murahnya" sebagian orang sering terdengar, namun apakah kita benar-benar memahami betapa berharganya apa yang mereka pertaruhkan?
Ada pepatah yang bilang, "Emas dan perak bisa dicari, tapi harga diri sekali hilang, sulit didapat kembali." Sungguh sebuah analogi yang tepat. Bandingkan dengan barang-barang material. Sebuah mobil mewah bisa saja dibeli dengan uang, sebuah rumah megah bisa dibangun. Namun, ketika seseorang dengan sengaja merendahkan diri, mengorbankan prinsip, atau membiarkan dirinya diperlakukan seenaknya demi kepuasan pihak lain, di situlah letak ke-mahal-an harga diri terungkap. Sesuatu yang seharusnya dijaga ketat, kokoh berdiri, kini justru digadaikan.
Banyak orang terperangkap dalam perangkap sosial di mana validasi eksternal menjadi mata uang utama. Mereka mengukur nilai diri dari jumlah likes di media sosial, komentar pujian dari orang yang bahkan tidak mereka kenal baik, atau sekadar anggukan kepala dari atasan yang hanya melihat kinerja, bukan karakter. Ini adalah sindiran halus dari realitas yang pahit: harga diri itu mahal, dan ironisnya, banyak yang menukarnya dengan hal-hal yang sangat murah.
Mungkin ini terdengar klise, tapi mari kita bayangkan kembali. Jika Anda ditawari sejuta rupiah untuk berbohong tentang sesuatu yang fundamental dalam hidup Anda, apakah Anda akan melakukannya? Atau jika Anda ditawari promosi jabatan dengan syarat Anda harus mengkhianati teman seperjuangan Anda, apakah itu sebuah "deal" yang bagus? Jawabannya ada pada seberapa tinggi Anda menilai harga diri Anda. Jika nilainya tinggi, tawaran tersebut akan terasa sangat rendah, bahkan hina. Namun, jika nilai harga diri sudah tergerus oleh keraguan diri dan kebutuhan akan penerimaan, tawaran semacam itu mungkin akan terlihat menggiurkan.
Seringkali, kritik atau sindiran yang dilontarkan kepada orang lain justru mencerminkan ketakutan dan kelemahan diri sendiri. Ketika kita menyindir seseorang "murahan", bisa jadi kita sebenarnya sedang menyoroti betapa kita takut menjadi sama, betapa kita berjuang keras menjaga harga diri kita agar tidak "terjual" dengan mudah. Ini adalah mekanisme pertahanan yang rumit, namun mendasar.
Mari kita ubah perspektif. Alih-alih melihat orang lain sebagai objek sindiran karena dianggap "murah", cobalah melihat mereka sebagai pengingat. Pengingat betapa beruntungnya kita jika masih memiliki kendali atas nilai diri kita sendiri. Pengingat bahwa ada aset tak ternilai yang seharusnya tidak pernah masuk ke pasar lelang. Harga diri itu mahal, bukan dalam artian harus mengeluarkan banyak uang, tapi dalam artian perjuangan untuk mempertahankannya jauh lebih berharga daripada imbalan materi atau sosial yang ditawarkan dengan cara-cara yang merusak.
Menjaga harga diri berarti berani berkata tidak pada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip, berani berdiri tegak meskipun sendirian, dan berani mengakui kesalahan tanpa merendahkan diri sendiri. Ini adalah investasi jangka panjang yang tidak akan pernah lekang oleh waktu atau inflasi. Jika Anda merasa tertekan untuk melakukan sesuatu yang melanggar etika demi "menjual" diri, ingatlah, Anda sedang menawar aset yang paling berharga dalam hidup Anda dengan harga yang sangat, sangat murah. Jangan biarkan harga diri Anda menjadi komoditas diskon. Hargai itu, lindungi itu, karena nilainya sungguh tak terperi.