Batu bara telah lama menjadi tulang punggung industri dan penyedia energi utama di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, jejak karbon masif yang ditinggalkannya telah menempatkan planet kita pada titik kritis. Keputusan untuk secara tegas stop batu bara bukan lagi sekadar pilihan lingkungan, melainkan sebuah keharusan ekonomi dan kemanusiaan demi masa depan yang berkelanjutan.
Pembakaran batu bara melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan sumber energi fosil lainnya. Peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati adalah konsekuensi langsung dari ketergantungan yang berkelanjutan pada komoditas hitam ini. Kita menyaksikan fenomena iklim yang semakin tak terduga, yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat rentan.
Selain isu iklim, polusi udara lokal yang disebabkan oleh PLTU batu bara juga memicu krisis kesehatan masyarakat. Partikulat halus (PM2.5), sulfur dioksida, dan nitrogen oksida adalah racun yang mengancam sistem pernapasan, terutama pada anak-anak dan lansia. Menghentikan operasi batu bara berarti memberikan napas segar, secara harfiah, bagi kota-kota yang selama ini tercekik asap industri.
Kritik sering muncul bahwa transisi energi akan melumpuhkan ekonomi. Pandangan ini terlalu sempit. Transisi menuju energi terbarukan—seperti matahari, angin, dan panas bumi—justru membuka peluang ekonomi yang masif. Investasi dalam teknologi hijau menciptakan lapangan kerja baru yang lebih stabil dan berorientasi masa depan. Kita perlu memprioritaskan pengembangan kapasitas lokal dalam manufaktur panel surya, turbin angin, dan teknologi penyimpanan energi.
Kebijakan untuk stop batu bara harus diimbangi dengan program Just Transition (Transisi Berkeadilan) bagi pekerja dan komunitas yang ekonominya sangat bergantung pada sektor pertambangan dan PLTU. Pelatihan ulang keterampilan (reskilling) dan pembangunan infrastruktur baru di daerah terdampak adalah kunci agar transisi ini berjalan mulus dan inklusif. Negara-negara maju telah menunjukkan bahwa dekarbonisasi ekonomi adalah jalan menuju inovasi, bukan kemunduran.
Meskipun niat baik sudah ada, implementasi praktis sering terhambat oleh kepentingan jangka pendek dan infrastruktur yang sudah mapan. Diperlukan komitmen politik yang kuat untuk menetapkan batas waktu (timeline) yang jelas dan tidak bisa ditawar untuk penutupan PLTU batu bara. Ini termasuk penghentian izin pembangunan PLTU baru dan penarikan subsidi terselubung yang selama ini dinikmati oleh industri batu bara.
Pendanaan internasional, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), harus dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, upaya domestik harus menjadi yang utama. Audit energi nasional harus dilakukan untuk memetakan potensi energi terbarukan yang belum termanfaatkan secara optimal. Energi yang bersih harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan energi nasional, menggantikan dominasi batu bara secara bertahap namun pasti.
Perubahan sistemik harus didukung oleh kesadaran publik. Sebagai konsumen, kita dapat menekan perusahaan dengan memilih produk dan layanan dari entitas yang berkomitmen pada nol emisi. Dukungan terhadap regulasi pro-lingkungan dan partisipasi dalam advokasi publik sangat penting untuk menjaga momentum perubahan. Setiap langkah kecil menuju konservasi energi di rumah tangga turut mengurangi permintaan agregat terhadap listrik berbahan bakar batu bara.
Keputusan untuk stop batu bara adalah ujian moral kita terhadap generasi mendatang. Ini adalah investasi jangka panjang pada kesehatan planet dan kesejahteraan manusia. Waktu untuk menunda sudah habis; tindakan tegas harus dilakukan sekarang untuk mengamankan masa depan energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan.