Warna merupakan salah satu ciri fisik batuan sedimen yang paling mudah diamati dan sering kali memberikan petunjuk penting mengenai komposisi mineralogi serta kondisi lingkungan pengendapannya. Studi mengenai warna batuan sedimen bukan sekadar klasifikasi visual, tetapi merupakan jendela menuju sejarah geologis batuan tersebut. Warna ini dipengaruhi oleh dua faktor utama: komposisi mineral asli sedimen dan proses kimia yang terjadi setelah pengendapan (diagnesis).
Mayoritas warna pada batuan sedimen didominasi oleh pigmen mineral tertentu. Pigmen utama yang paling sering ditemui adalah senyawa besi (Fe), mangan (Mn), karbon, dan materi organik. Intensitas dan jenis warna yang muncul sangat bergantung pada tingkat oksidasi dan hidrasi dari mineral-mineral tersebut.
Warna-warna hangat ini hampir selalu diindikasikan oleh adanya mineral hematit ($\text{Fe}_2\text{O}_3$). Hematit terbentuk ketika sedimen mengalami oksidasi intensif, biasanya di lingkungan darat (terestrial) dengan akses oksigen yang baik, seperti dataran banjir atau gurun. Batuan dengan warna merah pekat menunjukkan kondisi pengendapan yang sangat teroksidasi. Warna coklat atau jingga seringkali disebabkan oleh mineral besi terhidrasi seperti goetit atau limonit.
Warna kuning seringkali disebabkan oleh mineral besi terhidrasi (seperti limont), yang menandakan batuan tersebut mungkin terbentuk di lingkungan dengan kadar air tinggi namun masih memungkinkan sedikit oksidasi, atau telah mengalami pelapukan pasca-pengendapan. Dalam beberapa kasus, warna kuning pucat bisa juga disebabkan oleh mineral lempung tertentu.
Warna hijau pada batuan sedimen umumnya dikaitkan dengan keberadaan besi dalam keadaan tereduksi, yaitu besi divalen ($\text{Fe}^{2+}$). Mineral klorit, glaukonit, atau siderit sering menjadi penyebab warna hijau. Keberadaan glaukonit, misalnya, sering mengindikasikan lingkungan laut dangkal yang energinya rendah dan relatif teroksidasi secara parsial. Warna hijau secara umum menandakan lingkungan anoksik (kekurangan oksigen) selama atau segera setelah pengendapan.
Warna abu-abu gelap hingga hitam biasanya disebabkan oleh tingginya kandungan materi organik (karbon) atau pirit ($\text{FeS}_2$). Lingkungan pembentukan batuan yang sangat reduktif, seperti dasar laut dalam atau rawa gambut, mencegah oksidasi materi organik, sehingga karbon tetap terawetkan dan memberikan warna gelap pada batuan seperti serpih hitam (black shale) atau batu bara. Pirit ($\text{FeS}_2$) juga berkontribusi pada warna hitam, terbentuk dalam kondisi sangat reduktif dengan adanya hidrogen sulfida ($\text{H}_2\text{S}$).
Sangat penting untuk membedakan warna asli (yang mencerminkan kondisi pengendapan) dan warna yang diinduksi oleh proses diagenesis (perubahan pasca-pengendapan). Misalnya, batuan yang awalnya abu-abu (kaya karbon) dapat berubah menjadi merah atau coklat jika fluida yang mengandung oksigen atau oksida besi mengalir melaluinya setelah batuan mengeras. Proses ini dikenal sebagai "bleaching" (pemucatan) atau "staining" (noda). Fenomena ini menunjukkan bahwa warna tidak selalu merupakan indikator lingkungan pengendapan yang tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks antara mineralogi awal dan sejarah hidrotermal batuan tersebut. Oleh karena itu, para ahli geologi selalu menganalisis warna bersamaan dengan tekstur dan struktur batuan untuk mendapatkan kesimpulan yang paling akurat mengenai paleoklimat dan paleogeografi.