Al-Hisbah dalam Islam: Menegakkan Kebaikan & Mencegah Kemungkaran

Al-Hisbah adalah salah satu konsep fundamental dalam ajaran Islam yang memiliki cakupan sangat luas, meliputi aspek sosial, ekonomi, keagamaan, dan moral. Secara harfiah, Hisbah berkaitan dengan 'perhitungan' atau 'pertanggungjawaban', namun dalam konteks syariat Islam, ia merujuk pada prinsip amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang dilaksanakan oleh individu atau institusi yang berwenang untuk memastikan tegaknya keadilan, moralitas, dan ketertiban dalam masyarakat Islam.

Gambar Timbangan Keadilan Sebuah timbangan tradisional dengan dua piringan, melambangkan keadilan, keseimbangan, dan pengawasan dalam pelaksanaan Al-Hisbah. Keadilan & Pengawasan

Konsep ini berakar kuat dalam ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, yang memerintahkan umat Muslim untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta secara aktif berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang saleh dan beradab. Al-Hisbah bukan sekadar konsep teoritis, melainkan sebuah institusi yang pada masa keemasan Islam memiliki peran sentral dalam tata kelola pemerintahan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Artikel ini akan mengkaji secara mendalam tentang Al-Hisbah dalam Islam, mulai dari definisi etimologis dan terminologisnya, dasar-dasar hukumnya, sejarah perkembangannya, ruang lingkup implementasinya, syarat-syarat bagi pelaksana Hisbah (al-muhtasib), adab dan metodenya, perbedaan dengan lembaga lain, relevansinya di era kontemporer, hingga tantangan serta solusi yang mungkin dihadapi dalam penerapannya. Pemahaman yang komprehensif tentang Al-Hisbah diharapkan dapat memberikan perspektif baru dalam membangun masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai keislaman di tengah dinamika modern.

1. Definisi dan Terminologi Al-Hisbah

Untuk memahami Al-Hisbah secara utuh, penting untuk menelaah makna kata ini baik dari sudut pandang linguistik maupun terminologi syariat.

1.1. Etimologi

Secara etimologi, kata "Al-Hisbah" (الحسبة) berasal dari akar kata Arab hasaba (حسب) yang berarti menghitung, memperhitungkan, mengira, mencukupi, atau menuntut pertanggungjawaban. Dari akar kata ini, berkembang berbagai makna yang relevan:

Dari makna etimologis ini, dapat dipahami bahwa Hisbah memiliki kaitan erat dengan konsep akuntabilitas, pengawasan, dan pertimbangan yang cermat dalam setiap tindakan. Seseorang yang melakukan Hisbah berarti ia sedang memperhitungkan ganjaran dari Allah SWT atas perbuatan baiknya, sekaligus bertanggung jawab untuk menjaga kemaslahatan umat dan mencegah kerusakan.

1.2. Terminologi Syar'i

Dalam terminologi syar'i (hukum Islam), para ulama memberikan definisi yang beragam namun memiliki inti yang sama. Definisi-definisi ini menggambarkan Hisbah sebagai suatu institusi atau fungsi yang lebih dari sekadar nasihat biasa:

Dari definisi-definisi ini, dapat disimpulkan bahwa Al-Hisbah dalam Islam bukan hanya sekadar nasihat moral, tetapi juga merupakan sebuah fungsi atau lembaga yang diberikan otoritas untuk:

  1. Menyeru kepada Kebaikan (Amar Ma'ruf): Mendorong pelaksanaan ibadah, muamalah yang benar, etika sosial, dan segala hal yang sesuai dengan syariat Islam. Ini meliputi aspek ibadah ritual maupun interaksi sosial yang baik.
  2. Mencegah Kemungkaran (Nahi Munkar): Melarang dan menghentikan segala bentuk pelanggaran syariat, baik dalam aspek keagamaan, sosial, ekonomi, maupun moral. Pencegahan ini bisa berupa teguran, pembatalan transaksi, hingga tindakan hukum.
  3. Memiliki Otoritas dan Kekuatan: Pelaksana Hisbah (al-muhtasib) memiliki kewenangan, baik persuasif maupun koersif (memaksa), untuk memastikan terlaksananya perintah dan larangan tersebut. Kewenangan ini diberikan oleh penguasa atau khalifah.

Peran ini menjadikannya sangat berbeda dengan sekadar nasihat biasa, karena mengandung unsur pengawasan dan penegakan hukum dalam batasan-batasan tertentu yang ditetapkan syariat dan otoritas penguasa.

2. Dasar Hukum (Dalil-Dalil) Al-Hisbah

Konsep Al-Hisbah memiliki landasan yang sangat kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam, bahkan bisa menjadi fardhu 'ain dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang melakukannya atau jika kemungkaran terjadi di hadapan individu dan ia mampu mengubahnya.

2.1. Dalil dari Al-Qur'an

Beberapa ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar bagi pelaksanaan Hisbah antara lain:

2.2. Dalil dari Sunnah

Banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar, di antaranya:

Dari dalil-dalil di atas, sangat jelas bahwa Al-Hisbah bukanlah inovasi baru atau praktik yang muncul belakangan, melainkan sebuah kewajiban yang berakar kuat dalam ajaran Islam, yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat secara keseluruhan dari kerusakan dan penyimpangan.

3. Tujuan dan Manfaat Al-Hisbah

Al-Hisbah hadir dengan tujuan mulia dan membawa manfaat besar bagi individu maupun tatanan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan terwujudnya keadilan, kebaikan, dan ketaatan kepada syariat Allah SWT, yang pada akhirnya akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.

3.1. Tujuan Utama

Implementasi Al-Hisbah didasarkan pada beberapa tujuan utama yang strategis bagi keberlangsungan masyarakat Islam:

  1. Menegakkan Syariat Islam Secara Kaffah: Al-Hisbah bertujuan untuk memastikan bahwa ajaran Islam, baik dalam ibadah ritual maupun muamalah (interaksi sosial dan ekonomi), ditaati dan diamalkan dengan benar oleh masyarakat. Ini mencakup pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, serta menjaga nilai-nilai moral Islam dalam setiap aspek kehidupan.
  2. Mewujudkan Keadilan dan Keseimbangan Sosial: Salah satu pilar utama Hisbah adalah menjaga keadilan di antara sesama manusia. Ini berarti mencegah penindasan, penipuan, praktik riba, monopoli, praktik bisnis yang merugikan, dan segala bentuk ketidakadilan dalam interaksi sosial dan ekonomi. Hisbah berusaha menciptakan masyarakat yang setara dan adil.
  3. Melindungi Hak-hak Individu dan Masyarakat: Hisbah berfungsi sebagai penjaga hak-hak, baik hak Allah (seperti tidak melakukan syirik, meninggalkan shalat, berbuat maksiat terang-terangan) maupun hak manusia (seperti hak untuk mendapatkan barang berkualitas, harga wajar, lingkungan bersih, kehormatan diri, dan kebebasan beragama).
  4. Mencegah Kerusakan dan Kekacauan (Fasad): Dengan mencegah kemungkaran, Hisbah secara efektif membendung penyebaran kemaksiatan, kejahatan, dan perilaku destruktif yang dapat merusak tatanan sosial, ekonomi, dan moral masyarakat. Ini adalah upaya preventif dan kuratif terhadap patologi sosial.
  5. Menciptakan Lingkungan yang Saleh dan Beradab: Dengan mendorong kebaikan dan melarang keburukan, Hisbah berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang berakhlak mulia, saling tolong-menolong, hidup dalam kedamaian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
  6. Menjaga Akidah dan Akhlak Umat: Hisbah bertindak sebagai benteng yang melindungi akidah umat dari penyimpangan, bid'ah, dan khurafat, serta menjaga akhlak individu agar tetap sesuai dengan tuntunan Islam, sehingga umat tidak terjerumus dalam kesesatan.
  7. Mewujudkan Kemaslahatan Umum (Maslahah Ammah): Pada intinya, semua tujuan Hisbah bermuara pada pencapaian kemaslahatan umum, yaitu segala sesuatu yang membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat, serta menolak segala bentuk kerusakan.

3.2. Manfaat Al-Hisbah

Apabila Hisbah diterapkan dengan baik dan benar, maka akan mendatangkan berbagai manfaat yang signifikan:

  1. Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama: Masyarakat akan lebih terdorong untuk menjalankan ibadah dan menjauhi maksiat, sehingga kualitas keberagamaan individu dan kolektif meningkat, menciptakan spiritualitas yang lebih kuat.
  2. Stabilitas Sosial dan Politik: Dengan tegaknya keadilan dan berkurangnya kemungkaran, potensi konflik dan ketidakpuasan sosial dapat diminimalisir. Ini menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, stabil, dan terhindar dari perpecahan.
  3. Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi: Hisbah dalam bidang ekonomi (misalnya pengawasan pasar yang ketat) memastikan praktik bisnis yang jujur, menghilangkan praktik curang, dan menciptakan iklim ekonomi yang adil. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan umum.
  4. Terbentuknya Karakter Individu yang Baik: Individu yang hidup dalam lingkungan yang diawasi oleh prinsip Hisbah cenderung akan mengembangkan karakter yang lebih baik, bertanggung jawab, jujur, amanah, dan patuh terhadap norma agama dan sosial.
  5. Mendapat Rahmat dan Berkah dari Allah: Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an, umat yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar akan mendapat rahmat dan keberuntungan dari-Nya, serta keberkahan dalam kehidupan mereka.
  6. Pencegahan Bencana dan Azab: Dengan mencegah kemungkaran yang meluas, masyarakat dapat terhindar dari bencana dan azab yang mungkin diturunkan Allah akibat dosa-dosa kolektif yang merajalela.
  7. Memperkuat Solidaritas Umat: Ketika setiap Muslim merasa bertanggung jawab terhadap kebaikan dan keburukan di lingkungannya, akan tumbuh rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang kuat, mempererat tali persaudaraan sesama Muslim.

Singkatnya, Al-Hisbah adalah mekanisme vital untuk memelihara keseimbangan moral, sosial, dan ekonomi dalam masyarakat Islam, memastikan bahwa tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi dapat tercapai dengan baik.

4. Sejarah Perkembangan Al-Hisbah

Konsep amar ma'ruf nahi munkar telah ada sejak awal Islam, bahkan sebelum adanya formalisasi institusi Hisbah. Namun, pembentukan Hisbah sebagai lembaga resmi mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu dan kompleksitas masyarakat Islam yang semakin meningkat.

4.1. Masa Nabi Muhammad SAW

Pada masa Nabi Muhammad SAW, fungsi Hisbah dilaksanakan langsung oleh beliau. Nabi SAW adalah teladan utama dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Beliau seringkali turun langsung ke pasar untuk memeriksa timbangan dan takaran para pedagang, melarang penipuan (misalnya, mencampur barang bagus dengan yang jelek), dan memberikan nasihat. Beliau juga menegur perilaku tidak pantas atau pelanggaran syariat yang beliau saksikan.

Para sahabat juga turut serta dalam tugas ini, baik atas inisiatif pribadi maupun instruksi Nabi. Misalnya, Umar bin Khattab dikenal sering berkeliling pasar untuk mengawasi para pedagang dan memastikan keadilan. Meskipun belum ada lembaga formal dengan nama "Hisbah" atau jabatan "Muhtasib", prinsip-prinsip dasarnya telah berjalan efektif melalui kepemimpinan Nabi dan semangat para sahabat dalam menjaga moralitas dan keadilan.

4.2. Masa Khulafa' Ar-Rasyidin

Setelah wafatnya Nabi SAW, para Khulafa' Ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) melanjutkan tradisi pengawasan dan penegakan keadilan. Terutama di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, peran ini semakin menonjol dan mulai terorganisir.

Umar bin Khattab mengangkat petugas-petugas khusus yang dikenal sebagai 'amil as-suq' (pengawas pasar) atau 'sahib as-suq' di berbagai kota untuk memastikan transaksi yang adil, mencegah riba, dan menjaga kebersihan. Ini adalah cikal bakal formalisasi Hisbah. Beliau bahkan menunjuk perempuan terkemuka seperti Asy-Syifa' binti Abdullah dan Samra' binti Nuhaik Al-Asadiyyah untuk mengawasi pasar dan menegakkan keadilan, menunjukkan inklusivitas peran Hisbah sejak dini dan penghargaan terhadap kemampuan perempuan dalam administrasi publik.

Para khalifah lainnya juga meneruskan praktik ini, menyadari pentingnya pengawasan untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Namun, institusi Hisbah masih dalam tahap awal pengembangan.

4.3. Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah

Pada masa Bani Umayyah, peran pengawas pasar mulai dikenal dengan nama "Sahib al-Hisbah" atau "Wali al-Hisbah", dan fungsinya semakin diinstitusionalisasi sebagai bagian dari aparat pemerintahan. Mereka memiliki kantor dan staf pendukung.

Namun, puncaknya adalah pada masa Bani Abbasiyah, terutama pada abad ke-3 Hijriyah (abad ke-9 Masehi), ketika Al-Hisbah menjadi sebuah lembaga pemerintahan yang mandiri dan terstruktur dengan baik. Seorang pejabat yang disebut Al-Muhtasib ditunjuk secara resmi, dan posisinya memiliki kedudukan penting dalam struktur pemerintahan. Tugas-tugas Al-Muhtasib di masa ini sangat luas dan terperinci, mencakup:

Al-Muhtasib memiliki otoritas untuk memberikan teguran, denda, bahkan hukuman cambuk ringan, serta memerintahkan pembatalan transaksi yang tidak sah. Ia bekerja di bawah pengawasan qadhi (hakim) tetapi memiliki kewenangan yang lebih cepat dan langsung dalam menyelesaikan masalah kecil yang tidak memerlukan proses pengadilan yang rumit. Hubungan antara Muhtasib dan Qadhi bersifat saling melengkapi; Muhtasib menangani pelanggaran minor di muka publik, sementara Qadhi menangani kasus-kasus serius yang membutuhkan bukti dan proses hukum formal.

4.4. Perkembangan Lanjutan

Lembaga Hisbah terus berkembang dan diadopsi oleh berbagai kerajaan dan dinasti Islam lainnya, seperti Fatimiyah di Mesir, Ayyubiyah, Mamluk, dan Utsmaniyah. Masing-masing memiliki sedikit variasi dalam implementasinya, tetapi esensi Hisbah tetap sama, yaitu menjaga kemaslahatan umum dan menegakkan syariat. Banyak ulama terkemuka menulis buku-buku khusus tentang Hisbah (disebut Kutub al-Hisbah), seperti karya Al-Mawardi (Al-Ahkam As-Sultaniyyah), Ibn Taymiyyah (Al-Hisbah fi al-Islam), Ibn al-Ukhuwwah (Ma'alim al-Qurbah fi Ahkam al-Hisbah), dan Al-Ghazali (dalam Ihya' Ulumuddin), yang merinci tugas, etika, dan hukum-hukum terkait Hisbah.

Seiring dengan melemahnya kekuatan politik Islam dan munculnya negara-negara modern dengan sistem pemerintahan dan hukum yang berbeda, institusi Hisbah dalam bentuk tradisionalnya mengalami kemunduran atau digantikan oleh lembaga-lembaga modern yang memiliki fungsi serupa. Misalnya, kepolisian menangani ketertiban umum, departemen perdagangan mengawasi pasar, dan lembaga perlindungan konsumen melindungi hak-hak pembeli. Meskipun demikian, semangat dan prinsip-prinsip Hisbah tetap relevan dan banyak diadopsi dalam berbagai bentuk di masyarakat Muslim kontemporer.

5. Ruang Lingkup Al-Hisbah

Ruang lingkup Al-Hisbah sangatlah luas, mencakup seluruh aspek kehidupan yang berada di bawah naungan syariat Islam. Secara umum, Hisbah terbagi menjadi dua pilar utama: amar ma'ruf (menyeru kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran), yang diaplikasikan dalam berbagai dimensi kehidupan, mulai dari ibadah individu hingga tata kelola masyarakat secara kolektif.

5.1. Amr bil Ma'ruf (Menyeru Kebaikan)

Tugas menyeru kebaikan dalam Hisbah meliputi mendorong dan memastikan pelaksanaan segala hal yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syariat Islam. Ini termasuk:

5.2. Nahi Anil Munkar (Mencegah Kemungkaran)

Aspek pencegahan kemungkaran dalam Hisbah memiliki cakupan yang lebih dominan dalam praktik institusionalnya, karena seringkali memerlukan intervensi langsung untuk menghentikan pelanggaran. Ini meliputi:

5.2.1. Kemungkaran Terkait Akidah dan Ibadah

5.2.2. Kemungkaran Terkait Muamalah (Ekonomi dan Perdagangan)

5.2.3. Kemungkaran Terkait Sosial dan Moral

5.2.4. Kemungkaran Terkait Lingkungan dan Fasilitas Publik

Dari cakupan yang luas ini, terlihat bahwa Al-Hisbah berperan sebagai mekanisme pengawasan yang komprehensif untuk menjaga kemaslahatan umat dan memastikan pelaksanaan syariat dalam seluruh aspek kehidupan, menjadikannya instrumen penting dalam pembangunan peradaban Islam.

6. Syarat-Syarat Pelaku Hisbah (Al-Muhtasib)

Mengingat pentingnya dan sensitivitas tugas Hisbah, Islam menetapkan syarat-syarat ketat bagi orang yang mengemban amanah ini, yang dikenal sebagai Al-Muhtasib. Syarat-syarat ini bertujuan untuk memastikan bahwa tugas Hisbah dilaksanakan dengan adil, bijaksana, efektif, dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

  1. Muslim: Ini adalah syarat fundamental dan ijma' (konsensus) ulama, karena Hisbah adalah tugas keagamaan yang memerlukan pemahaman dan keimanan terhadap ajaran Islam, serta bertujuan menegakkan syariat Allah.
  2. Baligh dan Berakal: Muhtasib haruslah orang dewasa yang mampu membedakan mana yang benar dan salah, serta memiliki kemampuan berpikir yang jernih, matang, dan bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Anak kecil atau orang gila tidak dapat mengemban tugas ini.
  3. Adil: Syarat keadilan sangat krusial. Seorang Muhtasib haruslah orang yang teguh memegang prinsip keadilan, tidak memihak, tidak pandang bulu, tidak mudah terpengaruh oleh harta, jabatan, hubungan pribadi, atau ancaman. Keadilan ini mencakup baik dalam memutuskan suatu perkara maupun dalam cara penyampaian Hisbah. Tanpa keadilan, Hisbah bisa berubah menjadi kezaliman.
  4. Memiliki Ilmu (Faqih): Muhtasib harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum syariat (fiqh), terutama yang berkaitan dengan ma'ruf dan munkar yang akan dia tangani. Ia harus tahu batasan-batasan syariat, mana yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Ia juga harus memahami perbedaan pendapat ulama (khilafiyah) agar tidak terlalu kaku pada masalah ijtihadiyah. Tanpa ilmu, Hisbah bisa berubah menjadi kekeliruan, menyuruh yang bukan ma'ruf atau melarang yang bukan munkar.
  5. Berani dan Tegas: Pelaksanaan Hisbah seringkali menghadapi tantangan, penolakan, bahkan perlawanan dari pelaku kemungkaran. Oleh karena itu, Muhtasib harus memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran, membela hak, dan ketegasan dalam menegakkan hukum Allah, tanpa takut celaan atau ancaman. Keberanian ini harus dilandasi oleh keyakinan dan keikhlasan.
  6. Sabar dan Lemah Lembut (Hilm): Meskipun harus tegas, Muhtasib juga harus dilengkapi dengan kesabaran dan kelemahlembutan. Tidak semua kemungkaran harus diatasi dengan kekerasan atau paksaan. Kebijaksanaan, kesabaran, dan cara yang baik seringkali lebih efektif dalam mengubah perilaku seseorang. Ia harus mampu menahan emosi dan tidak terprovokasi.
  7. Ikhlas dan Mengharap Ridha Allah: Niat yang tulus semata-mata untuk mencari ridha Allah adalah pondasi Hisbah. Tanpa keikhlasan, tugas ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, politik, kekuasaan, atau pencitraan. Hisbah yang didasari riya' tidak akan mendapat berkah.
  8. Mampu Melaksanakan Kewajibannya: Muhtasib harus sehat secara fisik dan mental, serta memiliki kemampuan praktis untuk menjalankan tugas-tugas Hisbah, termasuk melakukan investigasi (jika diperlukan), berkomunikasi secara efektif, dan jika diperlukan, mengambil tindakan yang sesuai dengan batas kewenangannya.
  9. Tidak Melakukan Kemungkaran (Ideal): Idealnya, seorang Muhtasib harus bersih dari kemungkaran yang ia larang, atau setidaknya ia tidak melakukan kemungkaran secara terang-terangan. Meskipun bukan syarat mutlak untuk individu (karena semua wajib amar ma'ruf nahi munkar), bagi seorang Muhtasib yang ditunjuk sebagai pejabat, menjaga integritas diri sangat penting untuk kredibilitasnya dan efektivitas Hisbah yang ia lakukan.

Syarat-syarat ini menunjukkan bahwa peran Al-Muhtasib adalah posisi yang sangat strategis dan membutuhkan integritas moral serta kapasitas intelektual yang tinggi. Seseorang yang ditunjuk sebagai Muhtasib adalah representasi dari keadilan dan moralitas Islam dalam masyarakat, sehingga ia harus menjadi teladan bagi lingkungannya.

7. Adab dan Metode Pelaksanaan Hisbah

Pelaksanaan Hisbah tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau serampangan. Islam mengajarkan adab dan metode tertentu agar tujuan Hisbah tercapai tanpa menimbulkan kerusakan atau fitnah yang lebih besar. Pendekatan yang bijaksana, lembut, bertahap, dan berlandaskan ilmu adalah kunci keberhasilan Hisbah.

7.1. Adab Al-Muhtasib

Seorang Muhtasib harus menghiasi diri dengan adab-adab mulia agar Hisbahnya efektif dan berkah:

  1. Ikhlas: Niat hanya untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk mencari pujian, kekuasaan, popularitas, atau kepentingan pribadi lainnya. Ini adalah pondasi utama setiap amal saleh.
  2. Ilmu: Memiliki pengetahuan yang cukup tentang hukum syar'i terkait dengan ma'ruf dan munkar yang akan ditangani. Muhtasib harus tahu persis apa yang dia perintahkan atau larang adalah benar-benar ma'ruf atau munkar menurut syariat.
  3. Rifq (Kelemahlembutan) dan Hikmah (Kebijaksanaan): Mendahulukan nasihat yang lembut, menjelaskan dengan cara yang baik, dan memilih waktu serta tempat yang tepat. Hindari kekerasan, perkataan kasar, atau sikap membentak kecuali dalam keadaan darurat dan memang diperlukan serta diizinkan. Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW, "Tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah kelemahlembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan merusaknya." (HR. Muslim)
  4. Sabar: Menghadapi penolakan, ejekan, cemoohan, atau bahkan ancaman dengan sabar. Tugas Hisbah membutuhkan ketabahan mental yang tinggi dan keuletan, karena perubahan perilaku tidak terjadi instan.
  5. Tidak Mengintai (Tajassus): Hisbah tidak membenarkan pengintaian, mencari-cari kesalahan, atau membuka aib orang lain yang tersembunyi. Kecuali jika kemungkaran sudah tampak jelas di publik (al-munkar al-dzahir) atau ada laporan yang kredibel dan perlu diverifikasi dengan cara yang tidak melanggar privasi.
  6. Mengutamakan Persuasif: Selalu memulai dengan nasihat, peringatan, dan penjelasan yang argumentatif sebelum beralih ke tindakan yang lebih tegas. Tujuan utama adalah kesadaran, bukan paksaan semata.
  7. Melihat Prioritas (Fiqh al-Aulawiyat): Mendahulukan pencegahan kemungkaran yang paling besar dan paling berbahaya dampaknya terhadap individu dan masyarakat, serta mendahulukan perintah kebaikan yang paling utama.
  8. Menjaga Rahasia: Jika Hisbah dilakukan secara personal, upayakan untuk menjaga kerahasiaan aib orang yang diberi Hisbah, kecuali memang ada kemaslahatan syar'i yang lebih besar untuk mengungkapkannya (misalnya, untuk mencegah bahaya yang lebih besar).
  9. Mengenal Kondisi Mad'u (Orang yang Diberi Hisbah): Mempertimbangkan latar belakang, pengetahuan, dan kondisi psikologis orang yang akan diberi Hisbah agar pesan dapat disampaikan dengan tepat.

7.2. Metode Pelaksanaan Hisbah (Tahapan Amar Ma'ruf Nahi Munkar)

Merujuk pada hadis Nabi SAW tentang mengubah kemungkaran dengan tangan, lisan, dan hati, serta panduan para ulama, metode Hisbah dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yang hierarkis:

  1. Pengingkaran Hati (Al-Inkar bil Qalb): Ini adalah level paling dasar dan wajib bagi setiap Muslim. Ketika melihat kemungkaran yang tidak bisa diubah dengan tindakan atau lisan, seseorang wajib membenci dan mengingkarinya dalam hati, serta menjauhinya. Ini adalah indikasi iman yang paling lemah, tetapi tetap merupakan kewajiban.
  2. Nasihat dan Penjelasan dengan Lisan (Al-Inkar bil Lisan):
    • Peringatan Ringan dan Edukasi: Jika kemungkaran dilakukan oleh orang yang mungkin tidak tahu hukumnya, Hisbah dimulai dengan memberitahu secara pribadi dan lembut, menjelaskan hukum syariat, dan konsekuensi perbuatannya.
    • Nasihat Terbuka: Jika kemungkaran itu tampak jelas di publik atau dilakukan oleh banyak orang, nasihat bisa diberikan secara lebih terbuka (misalnya, ceramah umum) tetapi tetap dengan cara yang baik, bijaksana, dan tidak menyinggung pribadi.
    • Teguran Keras: Jika nasihat tidak mempan dan kemungkaran terus berlanjut, teguran lisan yang lebih tegas bisa diberikan, namun tetap dalam batasan adab Islam dan bertujuan untuk menghentikan kemungkaran, bukan menghina.

    Pada tahap ini, tujuannya adalah menyadarkan pelaku kemungkaran melalui argumen, dalil, dan penjelasan konsekuensi perbuatannya, serta memberikan dorongan moral.

  3. Tindakan Fisik atau Otoritas (Al-Inkar bil Yad):
    • Perubahan Langsung Minimal: Jika kemungkaran dapat dihentikan dengan tindakan fisik ringan yang tidak menimbulkan kerusakan lebih besar, misalnya membuang minuman keras yang baru akan diminum, menghancurkan alat judi, atau menutup aurat yang terbuka secara tidak sengaja. Ini biasanya dilakukan oleh individu atau masyarakat dalam batas yang tidak melampaui.
    • Penggunaan Kekuatan Otoritas (Al-Muhtasib/Pihak Berwenang): Bagi seorang Muhtasib yang ditunjuk (atau pihak berwenang di negara modern), tindakan fisik bisa berupa:
      • Menyita barang dagangan yang curang atau haram.
      • Menutup tempat usaha yang terang-terangan melanggar syariat.
      • Memberikan sanksi denda atau hukuman ringan (cambuk) yang telah ditetapkan oleh syariat dan diizinkan oleh penguasa.
      • Menahan pelaku kemungkaran yang tidak mau berhenti dan terus melakukan pelanggaran.

    Tindakan fisik ini harus dilakukan dengan batasan yang jelas, tidak boleh melampaui batas, dan harus sesuai dengan tingkat kemungkaran serta kewenangan yang dimiliki. Otoritas untuk melakukan tindakan fisik yang berat dan penjatuhan hukuman hudud atau qisas biasanya hanya dimiliki oleh penguasa dan lembaga peradilan (Qadha), bukan Muhtasib.

  4. Melapor kepada Pihak Berwenang: Jika Hisbah secara individu atau melalui lisan tidak mempan, dan pelakunya memiliki kekuatan atau pengaruh, atau kemungkarannya terlalu besar dan berbahaya untuk diatasi sendiri, maka kewajiban Hisbah beralih dengan melaporkannya kepada pihak berwenang yang memiliki kekuasaan dan kapasitas (penguasa, polisi, atau institusi Hisbah yang resmi) untuk ditindaklanjuti secara hukum.

Pentingnya tahapan ini adalah untuk menghindari fitnah, kekacauan, atau kerugian yang lebih besar daripada kemungkaran itu sendiri. Tujuan Hisbah adalah perbaikan dan kemaslahatan, bukan penghancuran atau menimbulkan masalah baru.

8. Perbedaan Al-Hisbah dengan Lembaga Lain

Meskipun memiliki tujuan yang sama dalam menegakkan keadilan dan syariat, Al-Hisbah memiliki perbedaan fundamental dengan beberapa lembaga lain dalam tata kelola Islam, seperti Al-Qadha (peradilan) dan Ad-Da'wah (dakwah), serta dengan kepolisian modern.

8.1. Perbedaan dengan Al-Qadha (Peradilan)

Al-Qadha adalah lembaga peradilan yang dipimpin oleh seorang hakim (qadhi) yang bertugas untuk menyelesaikan perselisihan, mengadili perkara, dan menjatuhkan hukuman berdasarkan syariat Islam. Perbedaan utamanya adalah:

Meskipun berbeda, keduanya saling melengkapi dan bekerja sama dalam sistem peradilan Islam. Muhtasib dapat merujuk kasus-kasus yang rumit atau memerlukan hukuman berat kepada Qadhi, dan Qadhi dapat meminta Muhtasib untuk menegakkan putusannya di pasar atau ruang publik.

8.2. Perbedaan dengan Ad-Da'wah (Dakwah)

Ad-Da'wah adalah kegiatan menyeru manusia kepada Islam, menjelaskan ajarannya, dan mengajak untuk beriman serta beramal saleh. Perbedaannya adalah:

Meskipun berbeda, dakwah adalah bagian dari Hisbah (yakni amar ma'ruf dengan lisan), namun Hisbah cakupannya lebih luas termasuk penegakan. Dakwah adalah fondasi yang menyiapkan masyarakat untuk menerima Hisbah dan meminimalkan kebutuhan akan tindakan paksa, sementara Hisbah adalah implementasi dakwah dalam bentuk penegakan hukum dan moral.

8.3. Perbedaan dengan Kepolisian Modern

Kepolisian modern adalah lembaga penegak hukum yang menjaga ketertiban, keamanan, mencegah kejahatan, dan menindak pelanggaran hukum. Perbedaannya adalah:

Dalam konteks negara modern, fungsi-fungsi Hisbah banyak yang telah diambil alih oleh berbagai departemen, seperti kepolisian, departemen perdagangan, badan pengawas obat dan makanan (BPOM), lembaga perlindungan konsumen, atau kementerian agama. Namun, aspek moral dan keagamaan yang menjadi inti Hisbah seringkali tidak tercover sepenuhnya oleh lembaga-lembaga ini yang cenderung berfokus pada aspek hukum formal dan keamanan fisik semata.

9. Relevansi Al-Hisbah di Era Kontemporer

Meskipun institusi Al-Hisbah dalam bentuk tradisionalnya mungkin tidak sepenuhnya ada di sebagian besar negara Muslim modern, prinsip-prinsip dasarnya tetap sangat relevan dan dapat diterapkan untuk mengatasi berbagai persoalan kontemporer yang semakin kompleks. Semangat amar ma'ruf nahi munkar harus terus hidup dan diadaptasi sesuai konteks zaman.

9.1. Penerapan Prinsip Hisbah dalam Bidang Ekonomi

Dalam ekonomi modern yang seringkali diwarnai oleh ketidakadilan dan eksploitasi, prinsip Hisbah menawarkan solusi:

9.2. Penerapan Prinsip Hisbah dalam Bidang Sosial dan Moral

Tantangan sosial dan moral di era modern sangat beragam. Hisbah dapat berperan dalam mengatasi hal ini:

9.3. Penerapan Prinsip Hisbah dalam Bidang Keagamaan

Dalam menjaga kemurnian dan praktik keagamaan, Hisbah memiliki peran penting:

Intinya, semangat Al-Hisbah, yaitu menjaga kebaikan dan mencegah kerusakan demi kemaslahatan umat, harus tetap hidup. Meskipun bentuk organisasinya berubah, esensi tugasnya tetap relevan dan dibutuhkan dalam setiap zaman. Peran ini bisa diemban oleh negara melalui berbagai lembaga resmi, oleh organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang moral dan sosial, bahkan oleh setiap individu Muslim sesuai dengan kapasitas dan wewenangnya, dengan tetap mematuhi hukum yang berlaku dan mengedepankan kebijaksanaan.

10. Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Al-Hisbah Kontemporer

Menerapkan prinsip-prinsip Al-Hisbah di era kontemporer tidaklah tanpa tantangan. Kompleksitas masyarakat modern, keragaman pandangan, batasan-batasan hukum positif, dan pengaruh global seringkali menjadi penghalang. Namun, dengan pendekatan yang tepat, tantangan ini dapat diatasi demi mewujudkan masyarakat yang lebih baik.

10.1. Tantangan Utama

  1. Legalitas dan Batasan Otoritas: Di banyak negara modern, fungsi pengawasan dan penegakan hukum adalah monopoli negara. Menerapkan Hisbah secara mandiri oleh individu atau kelompok tanpa wewenang resmi dapat berbenturan dengan hukum positif, dianggap sebagai tindakan main hakim sendiri, dan berpotensi menimbulkan kekacauan.
  2. Pluralisme dan Kebebasan Individu: Masyarakat modern cenderung lebih pluralistik dalam pandangan, agama, dan gaya hidup, serta sangat menjunjung tinggi kebebasan individu dan hak asasi manusia. Penerapan Hisbah yang terlalu represif, kaku, atau tidak bijaksana dapat dianggap melanggar hak-hak ini dan menimbulkan konflik sosial yang parah.
  3. Perbedaan Penafsiran Syariat: Apa yang dianggap "ma'ruf" dan "munkar" terkadang bisa berbeda penafsirannya di antara kelompok Muslim yang berbeda mazhab atau aliran, apalagi dengan non-Muslim. Ini bisa menimbulkan perdebatan, polarisasi, dan ketegangan di masyarakat.
  4. Kurangnya Ilmu dan Hikmah Pelaksana: Pelaku Hisbah yang tidak memiliki ilmu syariat yang cukup, tidak sabar, tidak memiliki empati, atau tidak bijaksana dapat memperburuk keadaan dan menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada manfaat yang diharapkan. Sikap ekstrem atau sempit dalam memahami Hisbah bisa kontraproduktif.
  5. Potensi Penyalahgunaan Wewenang: Jika Hisbah diberikan kepada individu atau kelompok tanpa pengawasan dan akuntabilitas yang ketat, ada risiko besar penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, politik, sektarian, atau bahkan untuk menindas pihak yang tidak disukai.
  6. Skala Kemungkaran yang Sistemik: Kemungkaran di era modern seringkali bersifat sistemik, masif, dan terorganisir (misalnya korupsi tingkat tinggi, kejahatan siber, kejahatan transnasional, eksploitasi ekonomi global). Ini jauh lebih sulit ditangani oleh Hisbah individu atau lembaga kecil.
  7. Pengaruh Global dan Budaya Asing: Arus informasi dan budaya global yang tak terbatas, didukung oleh teknologi, dapat membuat Hisbah kesulitan dalam membendung penyebaran nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam dan budaya lokal.
  8. Kurangnya Dukungan Penguasa: Tanpa dukungan atau legitimasi dari penguasa yang sah, Hisbah sulit untuk diinstitusionalisasikan dan ditegakkan secara efektif.

10.2. Solusi dan Pendekatan yang Direkomendasikan

Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, penerapan Hisbah di era kontemporer memerlukan pendekatan yang adaptif, bijaksana, dan kolaboratif:

  1. Formalisasi dan Integrasi dengan Sistem Negara: Fungsi-fungsi Hisbah yang relevan dapat diintegrasikan ke dalam lembaga-lembaga negara yang sudah ada (misalnya: Kementerian Agama, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Departemen Perdagangan, Kepolisian Sektor Ekonomi) dengan landasan syariat sebagai salah satu panduan etika dan moral. Ini memberikan legitimasi hukum dan dukungan struktural.
  2. Mengedepankan Pendidikan dan Dakwah Persuasif: Sebelum melakukan penegakan, upaya pendidikan dan dakwah harus menjadi prioritas utama. Menjelaskan nilai-nilai Islam dan konsekuensi kemungkaran dengan cara yang baik, dialogis, dan argumentatif. Membangun kesadaran melalui literasi agama yang komprehensif.
  3. Fokus pada Kemungkaran yang Jelas dan Berdampak Luas (Dharuriyat): Prioritaskan Hisbah pada kemungkaran yang sudah disepakati keharamannya secara luas (ma'lum minad-din bid-dharurah) dan dampaknya merusak kemaslahatan umum (misalnya: korupsi, narkoba, penipuan publik, pencemaran lingkungan, kekerasan). Hindari terlalu fokus pada masalah khilafiyah atau yang sifatnya sangat personal.
  4. Membangun Kesadaran dan Partisipasi Kolektif: Mendorong setiap individu Muslim untuk menjalankan Hisbah sesuai kapasitasnya (dengan hati, lisan, atau tindakan ringan di ranah pribadi), dan membangun kesadaran bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.
  5. Membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Islam yang Berintegritas: LSM dapat berperan dalam advokasi kebijakan, pengawasan sosial, pendidikan publik, pendampingan korban, dan melaporkan pelanggaran kepada pihak berwenang, tanpa harus mengambil peran penegak hukum secara langsung.
  6. Pemanfaatan Teknologi Digital: Menggunakan platform digital dan media sosial untuk menyebarkan informasi kebaikan, mengedukasi tentang bahaya kemungkaran, melawan hoax, dan memfasilitasi laporan pelanggaran kepada pihak berwenang secara anonim jika diperlukan.
  7. Kerja Sama Antar-Lembaga dan Lintas Sektor: Menggalang kerja sama yang erat antara ulama, pemerintah, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat sipil untuk merumuskan kebijakan yang mendukung implementasi prinsip Hisbah secara konstruktif dan sesuai konteks modern.
  8. Pelatihan Muhtasib Kontemporer: Jika ada lembaga Hisbah resmi atau semi-resmi, pastikan para pelaksananya mendapatkan pelatihan yang komprehensif, tidak hanya dalam ilmu syariat tetapi juga dalam etika komunikasi, psikologi sosial, manajemen konflik, dan hukum positif.

Dengan demikian, Al-Hisbah dapat tetap menjadi kekuatan positif dalam membangun masyarakat yang lebih baik, tanpa terjebak dalam pendekatan yang kaku, kontroversial, atau melanggar hak. Ia harus menjadi gerakan moral yang didukung oleh semua elemen masyarakat, bukan hanya menjadi tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab bersama yang diemban dengan kebijaksanaan dan profesionalisme.

Kesimpulan

Al-Hisbah adalah pilar penting dalam tata nilai Islam yang mengakar kuat pada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Lebih dari sekadar nasihat, ia adalah sebuah prinsip dan pada masanya merupakan sebuah institusi yang bertugas untuk secara aktif menyeru kepada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar) dalam segala aspek kehidupan. Fungsi fundamentalnya adalah menjaga keadilan, moralitas, dan kemaslahatan umum dalam masyarakat Islam.

Dari sejarah perkembangannya, kita melihat bagaimana Al-Hisbah bertransformasi dari peran individu yang diemban langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, hingga menjadi lembaga formal yang terstruktur dengan seorang Muhtasib sebagai pimpinannya di era Bani Abbasiyah. Ruang lingkup tugasnya sangat luas, mencakup aspek ibadah, muamalah (ekonomi dan perdagangan), sosial, moral, hingga lingkungan, semuanya demi terwujudnya masyarakat yang adil, bersih, beradab, dan diridai Allah SWT.

Syarat-syarat yang ketat bagi seorang Muhtasib, seperti keilmuan mendalam, keadilan, keberanian, kesabaran, dan keikhlasan, menunjukkan betapa krusial dan strategisnya peran ini. Demikian pula, adab dan metode pelaksanaannya yang mengedepankan hikmah, kelemahlembutan, dan tahapan yang bijaksana, memastikan bahwa Hisbah membawa maslahat dan bukan kerusakan atau fitnah. Hisbah, Al-Qadha, dan Ad-Da'wah, meski berbeda fungsi, saling melengkapi dalam mewujudkan tatanan Islam.

Meskipun institusi Hisbah tradisional kini sebagian besar telah digantikan oleh lembaga-lembaga modern seperti kepolisian, badan pengawas, dan departemen perdagangan, semangat dan prinsip Al-Hisbah tetap relevan di era kontemporer. Tantangan seperti pluralisme, batasan legalitas, perbedaan penafsiran, dan kompleksitas masalah modern memerlukan pendekatan yang adaptif, edukatif, persuasif, dan kolaboratif. Integrasi prinsip-prinsip Hisbah ke dalam sistem negara, penguatan dakwah persuasif, fokus pada kemungkaran esensial yang berdampak luas, dan pembangunan kesadaran kolektif adalah kunci untuk memastikan bahwa amanah amar ma'ruf nahi munkar tetap terlaksana secara efektif dan konstruktif.

Pada akhirnya, Al-Hisbah adalah refleksi dari tanggung jawab kolektif umat Islam untuk menjaga bumi ini agar tetap sesuai dengan kehendak Allah SWT, menciptakan tatanan masyarakat yang saleh, dan meraih keberuntungan di dunia maupun akhirat. Ia adalah pengingat abadi bahwa setiap Muslim, sesuai dengan kapasitas dan kewenangannya, memiliki peran dan kewajiban dalam membangun kebaikan dan melawan kebatilan, demi kemaslahatan bersama dan ridha Ilahi.

🏠 Homepage