Pengantar: Kekuatan Kisah dalam Al-Qur'an
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki posisi istimewa dalam Al-Qur'an, seringkali dibaca pada hari Jumat karena hikmah-hikmah besar yang terkandung di dalamnya. Surah ini kaya akan cerita-cerita inspiratif dan penuh pelajaran, yang masing-masing berfungsi sebagai pedoman bagi umat manusia dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Kisah-kisah utama dalam surah ini—Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Dzulqarnain—mengajarkan kita tentang pentingnya iman, kesabaran, kerendahan hati, dan keyakinan akan takdir dan kekuasaan Allah SWT.
Pada bagian sebelumnya dari Surah Al-Kahfi, kita telah diperkenalkan dengan kisah menakjubkan tentang Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari kekejaman raja zalim untuk mempertahankan akidah mereka. Allah SWT kemudian menidurkan mereka di dalam gua selama berabad-abad sebagai mukjizat dan tanda kebesaran-Nya. Kini, kita akan menyelami lebih jauh kelanjutan kisah mereka dan beralih ke kisah berikutnya, yaitu kisah dua pemilik kebun, yang dimulai dari ayat 21-40. Ayat-ayat ini membawa pesan-pesan esensial tentang kebangkitan setelah kematian, pentingnya kesabaran dalam beragama, bahaya kesombongan duniawi, dan nilai sejati dari kekayaan hakiki yang abadi di sisi Allah.
Setiap ayat dalam rentang ini bukan hanya sekadar narasi, melainkan sebuah cermin yang memantulkan kondisi hati manusia, godaan dunia, dan janji akhirat. Melalui tafsir mendalam ini, kita berharap dapat memahami esensi ajaran Al-Qur'an, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadikan kisah-kisah ini sebagai sumber inspirasi untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Ayat 21-26: Kebangkitan Ashabul Kahfi dan Tanda Kekuasaan Allah
Setelah tidur panjang yang menakjubkan, Allah SWT membangkitkan Ashabul Kahfi sebagai bukti nyata kekuasaan-Nya. Ayat-ayat ini menguraikan reaksi masyarakat terhadap kebangkitan mereka dan pelajaran besar di baliknya tentang hari kebangkitan.
Ayat 21: Penemuan dan Pelajaran Akan Kebangkitan
Artinya: "Dan demikianlah Kami perlihatkan (kepada manusia) keadaan mereka, agar mereka mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka (penduduk kota) berselisih tentang urusan (Ashabul Kahfi) itu, mereka berkata, 'Dirikanlah bangunan di atas mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.' Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, 'Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah masjid di atas mereka.'"
Ayat ini menandai titik balik dalam kisah Ashabul Kahfi, di mana mereka ditemukan oleh penduduk kota yang telah lama berubah. Frasa "وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ" (Dan demikianlah Kami perlihatkan keadaan mereka) menunjukkan campur tangan ilahi yang sengaja. Allah SWT tidak hanya membangkitkan mereka, tetapi juga memastikan penemuan mereka oleh masyarakat. Tujuan utamanya adalah "لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا" (agar mereka mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya).
Pada masa itu, setelah tidur panjang Ashabul Kahfi, terdapat perdebatan sengit di kalangan masyarakat tentang kebangkitan jasad dan hari kiamat. Beberapa kelompok mengingkari atau meragukan kemungkinan tersebut. Maka, penemuan Ashabul Kahfi yang hidup kembali setelah tidur ratusan tahun menjadi bukti konkret, mukjizat yang tidak terbantahkan, bahwa Allah Mahakuasa untuk menghidupkan kembali makhluk setelah kematian, sebagaimana Dia mampu menidurkan dan membangunkan mereka kembali. Ini adalah demonstrasi langsung dari janji Allah tentang Hari Kebangkitan.
Ketika penduduk kota mengetahui kisah Ashabul Kahfi dan mukjizat yang terjadi, mereka berselisih tentang apa yang harus dilakukan terhadap mereka. Ada yang berpendapat agar dibangunkan sebuah bangunan sebagai tanda, menyerahkan pengetahuan tentang mereka kepada Allah: "Dirikanlah bangunan di atas mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Ini menunjukkan sikap tawadhu' dan pengakuan akan keterbatasan ilmu manusia di hadapan ilmu Allah. Namun, kelompok yang berkuasa dan memiliki pengaruh dalam masyarakat, mungkin karena ingin mengabadikan peristiwa itu dan menjadikannya sebagai tempat ibadah atau pengingat, berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah masjid di atas mereka." Ini merupakan awal dari tradisi mendirikan tempat ibadah di atas kuburan orang-orang saleh, sebuah praktik yang kemudian menjadi bahan diskusi dalam fikih Islam, dengan berbagai pandangan ulama mengenai hukumnya.
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah penekanan kuat pada keyakinan akan hari kiamat. Allah menggunakan kisah ini untuk menepis keraguan dan menegaskan bahwa kebangkitan adalah suatu kepastian yang berada dalam genggaman kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Kisah ini juga mengajarkan kita tentang bagaimana manusia cenderung ingin mengabadikan peristiwa-peristiwa penting, terkadang dengan cara yang melampaui batas syariat, seperti dalam hal membangun masjid di atas kuburan.
Ayat 22: Spekulasi dan Batasan Ilmu Manusia
Artinya: "Mereka (orang-orang yang berselisih) akan mengatakan, 'Ashabul Kahfi itu tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.' Dan (yang lain) mengatakan, 'Lima orang, yang keenam adalah anjingnya,' sebagai terkaan terhadap yang gaib. Dan (yang lain lagi) mengatakan, 'Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.' Katakanlah (Muhammad), 'Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah) mereka kecuali sedikit.' Maka janganlah kamu (Muhammad) berdebat tentang mereka, kecuali perdebatan yang terang-terangan (sekadarnya), dan janganlah kamu meminta keterangan tentang mereka (kepada siapa pun) dari golongan mereka (Ahli Kitab)."
Ayat ini menyentuh sifat dasar manusia yang cenderung berspekulasi tentang hal-hal gaib atau yang tidak diketahui secara pasti. Setelah Ashabul Kahfi ditemukan, timbullah perdebatan mengenai jumlah pasti mereka. Allah SWT menyebutkan tiga pandangan utama yang beredar di masyarakat saat itu: ada yang mengatakan tiga orang ditambah anjingnya, ada yang mengatakan lima orang ditambah anjingnya, dan ada yang mengatakan tujuh orang ditambah anjingnya.
Al-Qur'an secara tegas menyebutkan dua pandangan pertama (tiga dan lima) sebagai "رَجْمًا بِالْغَيْبِ" (terkaan terhadap yang gaib), artinya hanyalah tebakan tanpa dasar ilmu yang kuat. Ini menunjukkan bahwa hanya pandangan ketiga (tujuh orang dan anjingnya) yang dianggap mendekati kebenaran, meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit membenarkannya melainkan hanya menyajikannya sebagai salah satu dari tiga pendapat. Hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, dan manusia tidak perlu terlalu fokus pada detail-detail yang tidak esensial untuk inti pelajaran.
Kemudian, Allah memberikan arahan kepada Nabi Muhammad SAW dan melalui beliau kepada umat Islam: "قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ" (Katakanlah, 'Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah) mereka kecuali sedikit'). Ini menegaskan bahwa pengetahuan sejati tentang hal-hal gaib hanya milik Allah. Frasa "kecuali sedikit" mungkin merujuk kepada para Nabi atau orang-orang tertentu yang Allah izinkan untuk mengetahui sebagian dari ilmu-Nya.
Pentingnya ayat ini terletak pada penekanan untuk tidak terlalu larut dalam perdebatan tentang detail-detail yang tidak memberikan manfaat substansial bagi iman atau amal. Oleh karena itu, Allah berfirman: "فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا" (Maka janganlah kamu berdebat tentang mereka, kecuali perdebatan yang terang-terangan). Ini berarti perdebatan boleh dilakukan sebatas menyampaikan kebenaran yang jelas dari Al-Qur'an, tanpa melibatkan diri dalam spekulasi atau argumentasi yang bertele-tele. Lebih lanjut, Allah melarang mencari informasi lebih lanjut dari Ahli Kitab: "وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا" (dan janganlah kamu meminta keterangan tentang mereka dari golongan mereka (Ahli Kitab)), karena pengetahuan mereka tentang kisah ini juga telah bercampur aduk dengan mitos dan perubahan. Sumber kebenaran satu-satunya adalah wahyu dari Allah.
Ayat 23-24: Pelajaran Tentang Insya Allah
Artinya: "Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok,' (23) kecuali (dengan menyebut), 'Insya Allah.' Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa, dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenaran (petunjuk)nya.'" (24)
Ayat-ayat ini datang sebagai arahan penting setelah peristiwa Ashabul Kahfi dan perdebatan seputar mereka. Diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah karena kaum musyrikin Mekah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang ruh, kisah Ashabul Kahfi, dan Dzulqarnain. Nabi menjawab akan memberitahukan jawabannya esok hari, namun beliau lupa mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki). Akibatnya, wahyu terlambat turun selama beberapa hari, membuat beliau resah.
Maka, Allah SWT menurunkan teguran sekaligus pengajaran universal: "وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ" (Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok,' kecuali (dengan menyebut), 'Insya Allah'). Ini adalah perintah fundamental bagi umat Islam untuk selalu menyertakan "Insya Allah" ketika berjanji atau berencana melakukan sesuatu di masa depan. Pesan ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan mendalam akan keterbatasan manusia dan kebergantungannya kepada kehendak Allah. Manusia tidak memiliki kendali penuh atas masa depan; segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak-Nya.
Selanjutnya, ayat ini mengajarkan tentang pentingnya zikir dan istighfar ketika kita lupa. "وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ" (Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa). Ini adalah obat bagi kelupaan dan kekhilafan. Ketika seseorang lupa mengucapkan "Insya Allah" atau lupa akan sesuatu, ia hendaknya segera mengingat Allah, berzikir, dan memohon ampunan. Mengingat Allah adalah cara untuk mengembalikan fokus dan memohon petunjuk-Nya.
Bagian terakhir dari ayat ini mengajarkan doa dan harapan akan petunjuk yang lebih baik: "وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا" (dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenaran (petunjuk)nya'). Ini adalah ekspresi kerendahan hati dan optimisme seorang mukmin yang selalu berharap akan bimbingan Allah untuk mencapai kebenaran dan kesempurnaan yang lebih tinggi. Ini adalah doa untuk senantiasa berada di jalan yang paling lurus dan benar dalam setiap urusan, bahkan jika kita merasa telah berada di jalur yang baik, kita tetap memohon yang "lebih dekat kepada petunjuk".
Ayat 25: Durasi Tidur yang Menakjubkan
Artinya: "Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun, dan ditambahi sembilan tahun (lagi)."
Ayat ini secara spesifik menyebutkan durasi tidur Ashabul Kahfi di dalam gua. Allah SWT dengan jelas menyatakan bahwa mereka tinggal "ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا" (tiga ratus tahun, dan ditambahi sembilan tahun (lagi)). Ini merupakan rincian yang menghilangkan segala keraguan dan spekulasi tentang berapa lama mereka tertidur, sekaligus menunjukkan detail ilmu Allah yang sempurna.
Penambahan "sembilan tahun" setelah "tiga ratus tahun" seringkali dijelaskan dalam tafsir sebagai perbedaan antara kalender Masehi (solar) dan kalender Hijriyah (lunar). Tiga ratus tahun Masehi setara dengan sekitar 309 tahun Hijriyah. Ini menunjukkan presisi Al-Qur'an dan kemukjizatan ilmu Allah yang mencakup segala bentuk perhitungan waktu, bahkan yang berbeda-beda di antara peradaban manusia. Ini juga merupakan bukti bahwa Al-Qur'an adalah firman yang berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu.
Bagi orang-orang yang hidup di masa itu, yang masih memiliki keraguan tentang kebangkitan dan kekuasaan Allah, angka ini adalah bukti yang kuat. Menidurkan sekelompok orang selama tiga abad lebih, lalu membangkitkan mereka dalam keadaan tubuh yang tidak lapuk dan sehat, adalah di luar kemampuan manusia. Ini sepenuhnya adalah mukjizat ilahi yang menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk mengembalikan kehidupan setelah kematian dan mengendalikan waktu serta alam semesta.
Pelajaran dari ayat ini adalah pengukuhan keimanan terhadap kekuasaan Allah yang tak terbatas. Durasi yang luar biasa ini menekankan betapa kecilnya pengetahuan dan kemampuan manusia dibandingkan dengan Penciptanya. Ketika kita merenungkan lamanya waktu tersebut, kita akan semakin merasakan kebesaran Allah yang mampu melakukan apa saja yang Dia kehendaki, tanpa terikat oleh hukum-hukum alam yang kita kenal.
Ayat 26: Pengetahuan Gaib Milik Allah Semata
Artinya: "Katakanlah (Muhammad), 'Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); milik-Nya semua yang gaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada bagi mereka pelindung selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan.'"
Ayat ini berfungsi sebagai penutup bagi pembahasan durasi tidur Ashabul Kahfi dan menegaskan kembali prinsip fundamental dalam Islam: bahwa pengetahuan gaib sepenuhnya milik Allah SWT. Meskipun ayat sebelumnya telah memberikan rincian waktu, ayat ini kembali menegaskan bahwa "قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا" (Katakanlah, 'Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua)'). Ini menunjukkan bahwa bahkan rincian yang telah diwahyukan pun berasal dari ilmu Allah yang tak terbatas, dan manusia hanya mengetahui apa yang Dia izinkan.
Pernyataan "لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ" (milik-Nya semua yang gaib di langit dan di bumi) adalah deklarasi tauhid yang kuat. Tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui hal-hal gaib, baik di langit maupun di bumi, kecuali Allah. Ini mencakup masa lalu, masa depan, dan segala sesuatu yang tersembunyi dari pandangan dan pemahaman manusia. Oleh karena itu, mencari pengetahuan gaib dari selain Allah adalah bentuk kesyirikan.
Kemudian, ayat ini memuji sifat-sifat Allah yang Maha Melihat dan Maha Mendengar dengan ungkapan yang indah: "أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ" (Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya). Ungkapan ini bukan berarti Allah melihat dan mendengar seperti makhluk, melainkan untuk menggambarkan kesempurnaan mutlak dari sifat-sifat-Nya. Penglihatan-Nya meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, di kegelapan malam, di kedalaman bumi, di alam semesta yang luas. Pendengaran-Nya meliputi setiap suara, setiap bisikan, setiap doa, di mana pun dan kapan pun.
Bagian terakhir ayat ini menekankan keesaan Allah dalam hal kekuasaan dan pemerintahan: "مَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا" (tidak ada bagi mereka pelindung selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan). Ini berarti tidak ada pelindung, penolong, atau pengatur urusan selain Allah. Segala keputusan, ketetapan, dan hukum adalah milik-Nya semata. Dia tidak memiliki sekutu dalam mengatur alam semesta dan menetapkan syariat-Nya. Ini adalah penegasan tentang tauhid uluhiyah (keesaan Allah dalam peribadatan) dan tauhid rububiyah (keesaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur).
Ayat 27-31: Keteguhan Iman, Kesabaran, dan Hakikat Hidup Dunia
Setelah kisah Ashabul Kahfi yang penuh mukjizat, Al-Qur'an beralih untuk memberikan arahan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tentang pentingnya berpegang teguh pada wahyu, bersabar bersama orang-orang beriman, dan memahami hakikat kehidupan dunia.
Ayat 27: Berpegang Teguh pada Wahyu Allah
Artinya: "Dan bacakanlah (wahai Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu dari Kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya, dan engkau tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia."
Ayat ini adalah perintah langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk membacakan dan menyampaikan Al-Qur'an secara sempurna. Kata "وَاتْلُ" (dan bacakanlah) tidak hanya berarti membaca, tetapi juga memahami, merenungkan, mengamalkan, dan menyampaikan. Ini adalah amanah besar kenabian.
Penegasan "لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ" (Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya) memiliki makna ganda yang sangat dalam. Pertama, ini menegaskan kemurnian dan keabadian Al-Qur'an. Tidak ada seorang pun, dari manusia maupun jin, yang mampu mengubah, memalsukan, atau mengganti firman Allah. Janji ini menjadi jaminan ilahi akan terjaganya Al-Qur'an dari segala bentuk distorsi, berbeda dengan kitab-kitab suci sebelumnya yang telah mengalami perubahan. Kedua, ini juga berarti bahwa hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an adalah final dan tidak dapat diubah oleh siapa pun. Syariat-Nya adalah yang terbaik dan abadi.
Selanjutnya, kalimat "وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِ مُلْتَحَدًا" (dan engkau tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia) adalah pengingat penting bagi setiap manusia, terutama bagi mereka yang menghadapi tantangan dalam berpegang teguh pada kebenaran. Ketika seseorang merasa tertekan, terancam, atau sendirian dalam menjalankan perintah Allah, ayat ini menegaskan bahwa tidak ada tempat berlindung yang hakiki selain Allah SWT. Dialah satu-satunya Dzat yang mampu memberikan perlindungan, kekuatan, dan ketenangan. Pesan ini menguatkan hati mukmin untuk tidak takut pada celaan manusia atau godaan dunia, karena perlindungan Allah adalah yang paling utama dan abadi.
Secara keseluruhan, ayat ini adalah pondasi bagi umat Islam untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber utama petunjuk dan perlindungan, serta menumbuhkan keyakinan penuh akan kebenaran dan keabadian firman Allah.
Ayat 28: Kesabaran Bersama Orang-orang Beriman
Artinya: "Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas."
Ayat ini merupakan inti dari bimbingan akhlak dan sosial bagi Nabi dan umatnya. Allah memerintahkan kesabaran dan kebersamaan dengan orang-orang yang beriman, khususnya mereka yang tulus mencari keridaan Allah. "وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ" (Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya). Ini adalah gambaran dari para sahabat Nabi yang miskin namun tulus, yang selalu berzikir dan beribadah kepada Allah. Nabi diperintahkan untuk tetap bersama mereka, memberikan perhatian, dan menguatkan hati mereka, meskipun mungkin ada sebagian orang kaya Quraisy yang menganggap rendah mereka dan berharap Nabi menyingkirkan mereka.
Perintah ini juga berlaku untuk setiap mukmin. Kita harus mencari dan memelihara pertemanan dengan orang-orang saleh, yang senantiasa mengingat Allah dan beramal hanya untuk keridaan-Nya. Kesabaran diperlukan karena pertemanan ini mungkin menuntut pengorbanan, seperti tidak tergoda oleh kilauan duniawi yang ditawarkan oleh orang-orang kaya dan berkuasa yang tidak peduli agama.
Larangan berikutnya adalah "وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا" (dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia). Ini adalah peringatan keras agar tidak meninggalkan perkumpulan orang-orang beriman demi mencari pergaulan dengan orang-orang kaya atau berkedudukan tinggi yang hanya menawarkan daya tarik duniawi. Nilai sejati seseorang tidak terletak pada harta atau kedudukan, melainkan pada ketakwaannya dan keikhlasannya dalam beribadah kepada Allah.
Akhirnya, ayat ini memperingatkan untuk tidak mengikuti orang yang hatinya lalai dari mengingat Allah: "وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا" (dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas). Orang seperti ini adalah bahaya besar bagi iman. Hatinya telah dikuasai kelalaian, nafsunya menjadi pemandu, dan segala urusannya menjadi berlebihan atau melampaui batas syariat. Mengikuti mereka berarti mengikuti jalan kehancuran. Ayat ini mengajarkan pentingnya memilih teman dan panutan dengan bijaksana, karena teman adalah cerminan diri dan penentu arah hidup.
Ayat 29: Kebenaran dari Tuhanmu dan Peringatan Neraka
Artinya: "Dan katakanlah (Muhammad), 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah ia kafir.' Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka; dan jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan luluhan tembaga yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek."
Ayat ini adalah deklarasi tegas tentang kebenaran Islam dan kebebasan memilih, diikuti dengan peringatan keras tentang konsekuensi dari pilihan tersebut. "وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ" (Dan katakanlah, 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu') adalah pernyataan yang jelas bahwa ajaran Islam, Al-Qur'an, dan bimbingan Nabi Muhammad SAW berasal langsung dari Allah SWT. Ini bukanlah rekayasa manusia, melainkan wahyu ilahi yang murni.
Setelah menyatakan kebenaran, Allah memberikan kebebasan memilih: "فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ" (maka barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah ia kafir). Ini bukan berarti Allah meridai kekafiran, melainkan penegasan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Allah telah menunjukkan jalan yang benar dan jalan yang sesat, manusia diberikan akal dan kehendak untuk memilih. Namun, kebebasan ini datang dengan tanggung jawab besar dan konsekuensi yang pasti.
Konsekuensi bagi mereka yang memilih kekafiran dan kezaliman diuraikan dengan gambaran neraka yang sangat mengerikan: "إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا" (Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka). Suradiq adalah tenda atau dinding api yang mengepung dari segala sisi, tidak ada jalan keluar. Ini menunjukkan kepungan yang total dan tak terhindarkan. Penderitaan mereka diperparah dengan gambaran minuman yang mengerikan: "وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ" (dan jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan luluhan tembaga yang mendidih yang menghanguskan muka). Air "muhl" adalah cairan panas yang sangat pekat, seperti logam cair atau minyak kotor yang mendidih, yang saking panasnya akan menghanguskan dan mengelupaskan kulit wajah.
Ayat ditutup dengan penegasan: "بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا" (Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek). Ini kontras dengan kenikmatan surga yang digambarkan sebagai tempat istirahat terbaik. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras agar manusia berpikir serius tentang pilihan hidup mereka dan tidak meremehkan janji dan ancaman Allah.
Ayat 30-31: Balasan Bagi Orang Beriman dan Gambaran Surga
Artinya: "Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik. (30) Mereka itulah yang memperoleh surga Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalamnya mereka dihiasi dengan gelang-gelang dari emas dan memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal; mereka duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah." (31)
Setelah memberikan gambaran mengerikan tentang neraka bagi orang-orang zalim, Al-Qur'an menyeimbangkan dengan janji yang menenangkan tentang surga bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ini adalah metode Al-Qur'an dalam menggabungkan harapan (raja') dan rasa takut (khauf) untuk memotivasi manusia.
Ayat 30 dimulai dengan janji agung: "إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا" (Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik). Ini adalah jaminan mutlak dari Allah bahwa setiap kebaikan, sekecil apapun, yang dilakukan dengan iman dan keikhlasan, tidak akan pernah disia-siakan. Allah Maha Adil dan Maha Pemurah, Dia akan memberikan balasan yang berlipat ganda bagi hamba-hamba-Nya yang taat.
Ayat 31 kemudian merinci balasan yang agung itu: "أُولَٰئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ" (Mereka itulah yang memperoleh surga Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai). Surga Adn adalah salah satu tingkatan surga tertinggi, yang mengindikasikan tempat tinggal abadi yang penuh kebahagiaan. Sungai-sungai yang mengalir di bawahnya adalah simbol kesegaran, keindahan, dan kenikmatan yang tak terhingga.
Surga juga digambarkan dengan perhiasan dan pakaian mewah: "يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ" (di dalamnya mereka dihiasi dengan gelang-gelang dari emas dan memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal). Gelang emas melambangkan kemuliaan dan kemewahan, sementara pakaian sutra berwarna hijau—warna yang menenangkan dan menyegarkan—dari jenis sundus (sutera halus) dan istabraq (sutera tebal) menggambarkan kenyamanan dan keindahan yang tak tertandingi di dunia.
Kondisi mereka di surga adalah ketenangan dan kebahagiaan: "مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ" (mereka duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah). Duduk bersandar di atas dipan yang mewah menunjukkan ketenangan, kebahagiaan, dan tidak adanya rasa lelah atau kesulitan. Ini adalah puncak kenyamanan dan kemewahan yang diberikan Allah kepada penghuni surga.
Ayat ditutup dengan pujian: "نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا" (Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah). Ini kontras langsung dengan "minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek" bagi penghuni neraka di ayat sebelumnya. Surga adalah balasan terbaik dan tempat kembali yang paling mulia, sebuah puncak kenikmatan abadi yang dicari oleh setiap mukmin.
Ayat 32-40: Kisah Dua Pemilik Kebun: Ujian Harta dan Iman
Setelah mengajarkan tentang keteguhan iman dan balasan akhirat, Al-Qur'an kemudian melanjutkan dengan kisah parable (perumpamaan) tentang dua orang laki-laki yang memiliki kebun. Kisah ini mengajarkan tentang bahaya kesombongan, kekufuran terhadap nikmat, dan pentingnya syukur serta tawakal kepada Allah.
Ayat 32-34: Gambaran Dua Kebun yang Kontras
Artinya: "Dan berikanlah kepada mereka (manusia) suatu perumpamaan, dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi salah seorang di antara keduanya dua buah kebun anggur, dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya Kami jadikan ladang. (32) Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan tidak kurang sedikit pun (hasilnya), dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu. (33) Dan dia memiliki kekayaan (yang banyak), maka dia berkata kepada kawannya (yang miskin) ketika bercakap-cakap dengan dia, 'Aku lebih banyak harta daripadamu dan lebih kuat pengikutku (keluarga dan keturunanku).'" (34)
Allah memulai kisah ini dengan perintah "وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا" (Dan berikanlah kepada mereka suatu perumpamaan), menunjukkan bahwa kisah ini bukan hanya sekadar cerita, melainkan mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat penting bagi umat manusia. Perumpamaan ini melibatkan "رَّجُلَيْنِ" (dua orang laki-laki), yang mewakili dua sikap dasar manusia terhadap nikmat Allah: kesyukuran dan kekufuran.
Ayat 32-33 secara detail menggambarkan kemewahan dan kesuburan kebun milik salah satu dari dua laki-laki tersebut. Dia memiliki "جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ" (dua buah kebun anggur), yang dikelilingi oleh "نَخْلٍ" (pohon-pohon kurma), dan di tengah-tengahnya terdapat "زَرْعًا" (ladang) yang menghasilkan berbagai jenis tanaman. Deskripsi ini menunjukkan kekayaan yang berlimpah dan keberagaman hasil bumi.
Lebih lanjut, kedua kebun itu digambarkan sangat produktif: "كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِم مِّنْهُ شَيْئًا" (Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan tidak kurang sedikit pun (hasilnya)). Ini berarti hasil panen selalu melimpah dan tidak pernah mengecewakan. Ditambah lagi, Allah mengalirkan "نَهَرًا" (sungai) di celah-celah kedua kebun itu, menjamin pasokan air yang berkesinambungan dan tidak perlu khawatir akan kekeringan. Ini adalah puncak dari kenikmatan duniawi yang diberikan Allah kepada seseorang.
Pada ayat 34, Allah menjelaskan bahwa pemilik kebun ini "وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ" (dan dia memiliki kekayaan (yang banyak)). Kata "tsamar" di sini bisa berarti buah-buahan secara harfiah, tetapi dalam konteks yang lebih luas juga berarti hasil dari kekayaan secara umum, seperti emas, perak, hewan ternak, dan lain-lain. Dengan semua kekayaan dan kemewahan ini, ia kemudian berbicara kepada kawannya yang miskin dengan nada sombong: "أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا" (Aku lebih banyak harta daripadamu dan lebih kuat pengikutku (keluarga dan keturunanku)). Ini adalah manifestasi dari kesombongan, kebanggaan diri atas harta dan keturunan, serta merendahkan orang lain. Ia menganggap kekayaannya sebagai hasil usahanya semata, bukan anugerah dari Allah, dan menggunakannya sebagai tolok ukur nilai seseorang.
Kisah ini mengajarkan kita tentang godaan harta dan kekuasaan. Seringkali, ketika seseorang diberi kelimpahan, ia cenderung lupa akan asal-usul nikmat tersebut dan mulai menganggapnya sebagai hak pribadi atau hasil kecerdasannya semata, bahkan meremehkan orang lain yang kurang beruntung.
Ayat 35-36: Kekufuran dan Kesombongan Pemilik Kebun
Artinya: "Dan dia memasuki kebunnya dengan (keadaan) menzalimi dirinya sendiri (karena kekafiran dan kesombongannya); dia berkata, 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,' (35) dan aku tidak percaya hari Kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini." (36)
Ayat 35 menggambarkan perilaku pemilik kebun yang sombong tersebut. "وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ" (Dan dia memasuki kebunnya dengan (keadaan) menzalimi dirinya sendiri). Ungkapan "menzalimi dirinya sendiri" di sini berarti dia berada dalam keadaan kufur nikmat dan kesombongan, yang pada hakikatnya merugikan dirinya sendiri karena menjauhkannya dari kebenaran dan kebahagiaan abadi. Ia menyombongkan diri atas karunia Allah, seolah-olah semua itu adalah hasil murni dari usahanya, bukan pemberian ilahi.
Dalam kesombongannya, ia berkata: "مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا" (Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya). Ini adalah puncak kekufuran nikmat. Ia merasa bahwa kekayaannya abadi, tidak akan pernah sirna, dan tidak pernah memikirkan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat fana. Ia telah melupakan bahwa Allah yang memberinya bisa mengambilnya kembali kapan saja.
Ayat 36 melanjutkan kekufuran dan kesombongannya dengan mengingkari hari kiamat: "وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً" (dan aku tidak percaya hari Kiamat itu akan datang). Ini menunjukkan bahwa kesombongan terhadap harta seringkali berujung pada pengingkaran terhadap akhirat, karena ia telah terlalu terpaku pada dunia ini. Orang yang mengingkari akhirat cenderung hidup tanpa batas, karena merasa tidak ada pertanggungjawaban di kemudian hari.
Dan yang lebih parah, ia bahkan berprasangka buruk kepada Allah: "وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا" (dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini). Ia beranggapan bahwa jika pun ada hari kebangkitan dan ia kembali kepada Tuhannya, maka Tuhannya pasti akan memberinya yang lebih baik daripada kebunnya di dunia, karena ia merasa dirinya pantas mendapatkannya. Ini adalah keyakinan yang batil, mengukur kebaikan Allah berdasarkan kenikmatan duniawi, dan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki pemahaman yang benar tentang keadilan Allah dan balasan akhirat.
Kisah ini menjadi peringatan keras tentang bahaya kesombongan, melupakan asal usul nikmat, dan mengingkari janji-janji Allah tentang akhirat. Sikap seperti ini tidak hanya merugikan di dunia, tetapi juga mengundang azab di akhirat.
Ayat 37-38: Nasihat dari Sahabat yang Beriman
Artinya: "Kawannya (yang beriman) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, 'Apakah engkau kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, lalu dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna? (37) Tetapi aku (berkeyakinan), Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.'" (38)
Ketika pemilik kebun yang sombong itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan kufur, kawannya yang beriman tidak tinggal diam. Dengan penuh kebijaksanaan dan keberanian, ia mencoba menasihatinya. Ayat 37 menunjukkan pendekatan nasihat yang mendalam: "قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا" (Kawannya (yang beriman) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, 'Apakah engkau kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, lalu dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?')
Nasihat ini dimulai dengan pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran. Sahabat beriman itu mengingatkan temannya tentang asal-usul dirinya sendiri. Dari "تُرَابٍ" (tanah)—mengingatkan penciptaan Nabi Adam AS, kemudian dari "نُّطْفَةٍ" (setetes mani)—menjelaskan proses penciptaan manusia secara biologis, hingga akhirnya Allah "سَوَّاكَ رَجُلًا" (menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna). Ini adalah argumen yang sangat kuat dan mendasar untuk mengingatkan orang yang sombong itu akan kebesaran Allah sebagai Pencipta dan betapa rendahnya asal-usul manusia.
Bagaimana mungkin seseorang yang diciptakan dari sesuatu yang begitu remeh (tanah dan setetes mani) menjadi sempurna, lalu ia justru kufur kepada Penciptanya yang Mahakuasa? Nasihat ini menyentuh akar permasalahan kesombongan, yaitu lupa diri dan lupa akan Sang Pencipta. Jika Allah mampu menciptakan dari tiada menjadi ada, dan dari yang hina menjadi mulia, maka Dia juga mampu mengambil kembali segala nikmat yang telah diberikan, dan membangkitkan kembali manusia setelah kematian.
Kemudian, pada ayat 38, sahabat beriman itu menegaskan akidahnya sendiri sebagai kontras: "لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا" (Tetapi aku (berkeyakinan), Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku). Ini adalah deklarasi tauhid yang jelas dan lugas. Ia tidak hanya menasihati, tetapi juga menunjukkan keteguhan imannya sendiri, bahwa ia mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb (Tuhan, Pencipta, Pemelihara) dan tidak akan pernah menyekutukan-Nya dengan apa pun atau siapa pun, baik dalam ibadah maupun dalam pengakuan kekuasaan.
Pelajaran dari sini adalah bahwa seorang mukmin harus berani menyampaikan kebenaran, bahkan kepada orang yang berkuasa atau lebih kaya, dengan cara yang bijaksana dan menggugah. Nasihat harus dimulai dengan mengingatkan tentang asal-usul dan tujuan hidup, serta menguatkan keyakinan pada Allah semata.
Ayat 39-40: Pentingnya Syukur, "Masya Allah", dan Ancaman Azab
Artinya: "Mengapa engkau tidak mengatakan, ketika engkau memasuki kebunmu, 'Masya Allah, la quwwata illa billah' (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah)? Sekiranya engkau melihatku lebih sedikit daripadamu dalam hal harta dan anak, (39) maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan Dia mengirimkan ketetapan (petir) dari langit ke kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin tandus." (40)
Ayat 39 melanjutkan nasihat dari sahabat beriman, menekankan pentingnya bersyukur dan mengembalikan segala nikmat kepada Allah. Ia berkata: "وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ" (Mengapa engkau tidak mengatakan, ketika engkau memasuki kebunmu, 'Masya Allah, la quwwata illa billah' (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah)?). Ini adalah ajaran fundamental tentang tawakal dan pengakuan bahwa segala keberhasilan dan kekayaan datang sepenuhnya dari Allah. Ucapan "Masya Allah, la quwwata illa billah" (Apa yang dikehendaki Allah, itulah yang terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan Allah) adalah zikir yang sangat dianjurkan ketika melihat kenikmatan, baik pada diri sendiri maupun orang lain, untuk menghindari rasa iri, takjub berlebihan, atau kesombongan.
Pernyataan ini bukan hanya ucapan, tetapi manifestasi keyakinan bahwa semua kekuatan, baik untuk mendapatkan maupun mempertahankan nikmat, berasal dari Allah. Tanpa kehendak dan pertolongan-Nya, manusia tidak memiliki apa-apa. Ini adalah antidote (penawar) yang sempurna untuk kesombongan dan kekufuran nikmat.
Kemudian, sahabat beriman itu melanjutkan dengan perbandingan kondisi dirinya yang miskin dengan kemungkinan balasan dari Allah: "إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا فَعَسَىٰ رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ" (Sekiranya engkau melihatku lebih sedikit daripadamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini)). Ia tidak merasa rendah diri dengan kekurangannya di dunia. Sebaliknya, ia memiliki harapan yang teguh kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya balasan yang lebih baik di akhirat atau bahkan di dunia ini jika Dia berkehendak. Ini menunjukkan kepuasan hati dengan takdir Allah dan keyakinan akan keadilan-Nya.
Ayat 40 diakhiri dengan peringatan yang menakutkan tentang kemungkinan azab bagi pemilik kebun yang sombong: "وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا" (dan Dia mengirimkan ketetapan (petir) dari langit ke kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin tandus). Kata "حُسْبَانًا" bisa berarti azab yang dihitung atau ditimpakan dengan perhitungan, seperti petir, hujan batu, atau bencana alam lainnya yang berasal dari langit. Azab ini akan mengubah kebun yang subur menjadi "صَعِيدًا زَلَقًا" (tanah yang licin tandus), artinya tanah yang rata, gundul, tidak mampu menumbuhkan apa-apa lagi, dan sangat licin sehingga tidak ada yang bisa berdiri tegak di atasnya. Ini adalah gambaran kehancuran total, mengingatkan bahwa kekayaan duniawi bisa sirna dalam sekejap mata atas kehendak Allah.
Peringatan ini menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa untuk menarik kembali nikmat-Nya dari siapa saja yang kufur dan sombong, dan bahwa kenikmatan dunia tidak ada jaminan kekal. Segala sesuatu berada di bawah kekuasaan dan kehendak-Nya.
Hikmah dan Pelajaran Mendalam dari Ayat Al-Kahfi 21-40
Bagian Surah Al-Kahfi ini, dari ayat 21 hingga 40, menyuguhkan serangkaian pelajaran yang tak ternilai harganya bagi kehidupan seorang mukmin. Dari kebangkitan Ashabul Kahfi hingga kisah dua pemilik kebun, setiap narasi dan perintah ilahi sarat akan makna dan panduan. Mari kita telaah beberapa hikmah utamanya:
1. Pengukuhan Keyakinan Akan Hari Kebangkitan
Kisah kebangkitan Ashabul Kahfi setelah tidur ratusan tahun adalah mukjizat konkret yang berfungsi sebagai bukti nyata kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali manusia setelah mati. Di tengah perdebatan dan keraguan manusia tentang Hari Kiamat, kisah ini menegaskan bahwa janji Allah itu benar dan kebangkitan adalah suatu kepastian. Ini menguatkan iman umat Islam dan menepis keraguan para pengingkar. Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, dan akan ada hari di mana semua akan dihidupkan kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
- Implikasi Teologis: Menguatkan pilar keimanan pada Hari Akhir.
- Implikasi Praktis: Mendorong kesadaran akan pertanggungjawaban amal perbuatan.
2. Pentingnya Tawakal dan Pengakuan Kehendak Allah (Insya Allah)
Perintah untuk selalu mengucapkan "Insya Allah" ketika berencana melakukan sesuatu di masa depan adalah pengingat konstan akan keterbatasan manusia dan kemutlakan kehendak Allah. Manusia hanya bisa berencana dan berusaha, tetapi segala hasil dan kejadian adalah atas izin Allah. Melupakan "Insya Allah" berarti mengklaim kekuasaan yang bukan miliknya, sebuah kesalahan yang fatal. Zikir "Masya Allah, la quwwata illa billah" juga mengajarkan kita untuk mengembalikan segala pujian dan kekuatan kepada Allah saat melihat nikmat.
- Implikasi Teologis: Mengukuhkan tauhid rububiyah dan pengakuan atas kehendak mutlak Allah.
- Implikasi Praktis: Mencegah kesombongan, menumbuhkan kerendahan hati, dan melatih lisan untuk selalu mengingat Allah.
3. Nilai Sejati Harta dan Kekuasaan
Kisah dua pemilik kebun menjadi cermin yang jelas tentang bagaimana harta dan kekuasaan dapat menjadi fitnah (ujian) terbesar bagi manusia. Pemilik kebun yang sombong, yang melupakan asal-usul nikmatnya dan mengingkari hari akhir, adalah contoh buruk dari kekufuran nikmat. Ia menganggap hartanya abadi dan dirinya lebih mulia karena kekayaannya. Kontrasnya, sahabatnya yang miskin namun beriman mengajarkan kita tentang kepuasan hati, tawakal, dan keyakinan akan balasan yang lebih baik dari Allah.
- Implikasi Teologis: Harta hanyalah amanah dan ujian, bukan sumber kehormatan abadi.
- Implikasi Praktis: Mendorong sikap syukur, dermawan, tidak sombong, dan menjauhi sifat tamak.
4. Bahaya Kesombongan dan Kekufuran Nikmat
Kesombongan terhadap harta, kekuasaan, atau bahkan ilmu, seringkali berujung pada pengingkaran terhadap kebenaran dan hari akhir. Pemilik kebun yang sombong tidak hanya melupakan Allah, tetapi juga berprasangka buruk bahwa jika pun ada akhirat, ia pasti akan mendapatkan yang lebih baik. Ini adalah tanda hati yang telah buta oleh dunia. Al-Qur'an secara tegas memperingatkan bahwa kesombongan dan kekufuran nikmat akan mendatangkan azab, baik di dunia maupun di akhirat.
- Implikasi Etis: Menjauhi sifat sombong dan merendahkan orang lain.
- Implikasi Spiritual: Menjaga hati dari kekufuran nikmat dan selalu bersyukur.
5. Pentingnya Ukhuwah dan Lingkungan yang Saleh
Perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk bersabar bersama orang-orang yang beriman, meskipun mereka miskin, adalah pelajaran tentang pentingnya memilih lingkungan dan pergaulan yang baik. Nilai sejati seseorang terletak pada keimanan dan ketakwaannya, bukan pada status sosial atau harta bendanya. Menjauhi orang-orang yang lalai dari mengingat Allah dan mengikuti hawa nafsunya adalah kunci untuk menjaga kemurnian iman. Sahabat beriman dalam kisah dua kebun juga menunjukkan pentingnya nasihat yang tulus dan berani kepada sesama muslim, bahkan jika nasihat itu menyinggung.
- Implikasi Sosial: Membangun komunitas yang berlandaskan iman dan saling menasihati.
- Implikasi Personal: Selektif dalam memilih teman dan lingkungan pergaulan.
6. Pengetahuan Gaib Milik Allah Semata
Melalui kisah Ashabul Kahfi, Al-Qur'an berulang kali menegaskan bahwa detail-detail gaib, seperti jumlah pasti mereka atau durasi tidur mereka (kecuali yang diwahyukan), sepenuhnya adalah ilmu Allah. Manusia tidak perlu berspekulasi atau terlalu fokus pada detail yang tidak esensial. Ini mengajarkan batasan ilmu manusia dan pentingnya menyerahkan hal-hal gaib kepada Allah yang Maha Mengetahui. Allah memiliki segala sesuatu yang gaib di langit dan di bumi, dan Dia tidak memiliki sekutu dalam memutuskan hukum-Nya.
- Implikasi Teologis: Pengakuan atas ilmu Allah yang sempurna dan tak terbatas.
- Implikasi Praktis: Menjauhi takhayul dan keyakinan pada perdukunan atau ramalan yang mengklaim mengetahui hal gaib.